Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12 - The Act

🎶
Angel eyes, tell me lies
Gonna give you my heart to break
🎶

Aku tidak menyangka akan melakukannya, ini bahkan sangat jauh dari kebiasaanku. Walau sebelumnya, aku juga sering berdiri di depan cermin di kamar mandi lebih lama dari waktu mandi. Namun, kali ini entah kenapa ada sesuatu yang memiliki gejolak aneh, seperti ingin mencari pembuktian atas sesuatu. Dan sesuatu ini adalah apa yang diucapkan Alby minggu lalu.

"Tubuhmu indah, kau tak perlu malu."

Aku baru sekali mendapat pujian itu dan tidak pernah sampai terus-terusan mengingatnya seperti sekarang. Maksudku, apa semua orang akan bereaksi serupa setelah dipuji?

Pagi ini aku berdiri di depan cermin full body di belakang pintu kamar mandi hanya dengan mengenakan underwear berwarna cokelat. Aku sudah mandi dan baru saja mengeringkan tubuhku. Takada bedanya dengan kebiasaanku berlama-lama di kamar mandi, bedanya hanya pada apa yang kulakukan setelah mandi.

Biasanya aku akan tersenyum, seperti orang tidak waras. Katanya dengan tersenyum, kebahagiaan akan datang. Namun, aku tidak yakin itu bekerja untukku. Sebab sebanyak apa pun aku tersenyum, kebahagiaan tak kunjung datang. Entah caraku yang salah, atau aku memang tidak ditakdirkan untuk bahagia. Coba kupikirkan lagi, apa yang bisa cermin lakukan untuk membuatku bahagia selain hanya mampu memantulkan bayanganku? Mungkin senyumku salah sasaran.

Itu yang kulakukan seminggu lalu sebelum ucapan Alby mengubah kebiasaanku. Cermin di depan wastafel sudah tidak kupandangi lama-lama lagi. Takada senyum konyol yang biasa kulakukan, tetapi wajah yang bingung. Ya, aku tidak tahu dari sisi mana tubuhku yang tipis ini bisa disebut indah. Aku sadar ucapan itu hanya untuk meredakan panik yang menerjangku setelah tragedi Alby mengganti pakaianku. Namun, aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Pria itu seperti punya kemampuan untuk membuat orang lain takbisa menyapunya dari ingatan.

Ah, sudahlah. Waktuku terlalu berharga untuk dipakai memikirkan tentangnya.

Tepat waktu. Pintu kamar mandi diketuk ketika aku sedang mengenakan jubah mandi milikku yang berwarna abu-abu gelap. Nate mandi lebih dulu dariku hari ini, dia bilang akan ada evaluasi mingguan di kantor. Makanya dia tidak mendesakku untuk segera membukakan pintu. Paling hanya perlu buang air sebentar sebelum dia berangkat.

Aku keluar dari kamar mandi sambil menunduk untuk mengikat tali jubah. Aku tidak fokus pada apa yang ada di depanku, hingga menabrak sesuatu yang tidak kalah keras dari dinding.

"Alby!" Mataku yang melotot kaget bersirobok dengan miliknya. Aku melangkah mundur lagi dan menabrak pintu kamar mandi yang dipasangi alat khusus agar bisa tertutup secara otomatis. Penampilanku sangat-sangat tidak layak untuk menemuinya. Well, bukan berarti aku harus berpenampilan baik untuknya.

"Apa yang kaulakukan di rumahku?" Aku menyilangkan tangan di dada ketika mata Alby tak berhenti menjelajahi tubuhku. Sekarang aku jauh lebih yakin kalau dia pria mesum. Setelahnya aku melesat secepat kilat menuju meja makan. "Nate! Kenapa kau tidak memberitahuku kalau dia datang? Dan kenapa tidak disuruh menunggu di ruang tamu?"

Nate yang sedang mengunyah roti pun tersedak karena kupukul punggungnya. Tidak terlalu kuat, tetapi berhasil membuat tubuhnya terdorong ke depan. Itu membuatku sedikit bersalah, jadi aku mengusap punggungnya kemudian, sebagai permintaan maaf.

"Dia melarangku memberitahumu," balas Nate setelah menelan roti di mulutnya. Dia tampak seperti orang kebingungan sekarang.

"Memangnya dia siapamu?"

"I'm his boss." Alby yang merespons. Aku menoleh hanya untuk melihatnya berjalan mendekat.

"And I'm his sister. Hanya karena dia bekerja denganmu bukan berarti kau berhak memerintahnya di rumah kami, Alby." Aku membalas sambil merotasikan bola mataku, kesal bukan main.

"Harus pergi. Bye." Nate lekas-lekas meraih ponselnya di atas meja dan tas yang disampirkan di sandaran kursi. Dia keluar rumah tanpa menunggu persetujuanku, padahal aku belum selesai bicara dengannya. Rupanya dia tidak ingin terlibat dalam masalah kami.

Aku tidak bisa terima Alby dibiarkan masuk sampai ke depan kamar mandi. Dia hanya tamu, dan tamu sepantasnya berada di ruang tamu. Bukan menerobos masuk lebih dalam, bahkan menemui sang tuan rumah dalam keadaan setengah telanjang. Ya, jubah mandi tidak sama dengan pakaian bagiku, walau terkadang bahannya bisa lebih tebal dari baju.

Sekarang kami tertinggal berdua saja, diselimuti keheningan yang menyebalkan.

"Jadi apa yang membuatmu datang ke sini pagi-pagi dan mengetuk pintu kamar mandiku? Aku merasa terhina karena tatapanmu tak berhenti menjelajahi tubuhku." Aku mengatakan itu sembari berjalan ke sudut meja, sekaligus untuk menutupi kaki telanjangku dari pandangannya. Jubah mandi ini hanya sepanjang setengah pahaku.

"Kau sedang bicara, bagaimana mungkin tidak kutatap." Seringai itu lagi yang dia tunjukkan. Itu sama seperti ketika dia memujiku waktu itu. Dan akhirnya aku teringat lagi. Alby sialan.

"Wajahku di sini. Bukan di dada, perut, atau kakiku, Asshole." Kutunjuk wajahku sendiri dengan telunjuk. Suaraku bahkan terdengar seperti geraman hanya agar dia sadar bahwa aku sedang emosi.

"Waw. Mulutmu kasar." Dia merespons seraya berjalan mendekatiku.

Parahnya, aku mematung. Kakiku terasa berat untuk dipakai melangkah hanya karena tatapan tajamnya menghunus telak di mataku. Tak terhitung lagi berapa kali aku mengumpat untuknya dalam hati. Sampai dia berdiri di hadapanku, aku masih mengatakan Alby adalah si brengsek yang terlahir tampan.

"Aroma sabunmu enak." Dia menunduk dan terang-terangan mengendus sekitaran leherku. "Bunga mawar."

Aku mengulurkan kedua tangan dan dengan kuat mendorong dadanya. Rupanya kemarahan membuat tenagaku jadi berkali-kali lipat lebih banyak hingga mampu membuatnya mundur beberapa langkah.

"Katakan saja apa keperluanmu," tegasku dengan suara yang berat. Aku menatapnya tajam, dengan rahang yang mengeras.

"Ada pertemuan dengan Claudia hari ini di kantor. Sesuai kesepakatan, kau harus ada di sampingku." Pria ini kemudian menyugar rambutnya yang sudah disisir rapi. "Aku perlu sesuatu untuk mengalihkan pikiranku darinya."

Aku menghela napas panjang. "Haruskah aku ikut? Apa yang akan kulakukan di sana?"

Alby tampak berpikir untuk pertanyaan itu. "Harus dan kau bisa lakukan apa saja. Melanjutkan desain, mengerjakan job freelance, atau apa saja. Yang terpenting duduk di sebelahku."

Jadi, permainannya dimulai hari ini. Aku bahkan tidak tahu harus bersikap seperti apa untuk menjadi pasangannya. Maksudku, apa yang dilakukan mantan kekasihnya dulu-apa yang dilakukan Claudia?

Mudah saja berimprovisasi jika dia sudah memulai, tetapi yang kupermasalahkan adalah lokasi di mana kami harus berakting. "Aku bahkan bukan pegawaimu." Andai di kafe, atau tempat umum, aku takkan pikir panjang untuk mengiakannya.

"Aku yang memimpin pertemuan, Ava, hanya dihadiri oleh Jacob—dia asistenku, Claudia dan asistennya. Hanya berlima dengan kita."

"Jacob tahu soal kita?" Aku menatapnya penuh selidik, mengingat pertemuan terakhir dengan Jacob dan bagaimana cara pria itu bicara dengan Alby, aku merasa mereka sangatlah dekat. Ada kemungkinan kalau dia akan diberi tahu. Walau kelihatannya Alby mampu mengurus banyak hal seorang diri.

"Tidak. Jadi, kita harus berperan seperti pasangan tidak hanya di hadapan Claudia, tapi Jacob juga."

Kedua alisku spontan naik sebagai reaksi bahwa itu di luar dugaanku. Entah Alby adalah seorang penyendiri atau dia hanya tidak suka melibatkan orang lain dalam urusannya. Lagi pula, kenapa aku memikirkannya? Menjadi pasangan pura-puranya tidak mengharuskan aku untuk tahu banyak tentangnya.

Aku menghela napas, lagi. Karena sudah disepakati, aku tentu saja tidak bisa menolak. "Baiklah. Biarkan aku berpakaian dulu."

🎶

Aku pernah memuji desain interior kantor Alby dulu. Hari ini aku melakukannya lagi. Desainnya jauh lebih berkelas daripada kantor majalah Jeff. Modernisasi di sini jauh lebih terasa dibandingkan tempat lain yang pernah kukunjungi. Ya ... as expected dari sebuah perusahaan game. Fasilitasnya lebih canggih, penghematan tenaga diterapkan di sini. Seperti mesin kopi otomatis, yang hanya mengandalkan jari untuk menekan beberapa tombol-tanganku gatal sekali ingin mencobanya. Tempat sampah elektrik yang dikontrol khusus agar menghampiri tiap-tiap kubikal dan karyawannya akan membuang sampah mereka di sana. Aku tidak bisa menyebutnya satu per satu, tetapi itulah yang baru kulihat tadi.

"Maaf kami terlambat." Alby mengatakan itu setelah pintu bersensor terbuka dan menampilkan tiga manusia yang sudah duduk di dalam; Claudia, seorang pria yang aku yakin adalah asistennya, dan Jacob.

Di dalam sana terdapat lemari kaca yang diisi beragam sertifikat yang tidak kupahami berarti apa. Namun, satu yang sempat kubaca, itu tentang game terbaik pilihan editor. Lalu ada meja panjang yang besar, sebagaimana ruangan rapat pada umumnya dengan sekitar dua puluh kursi yang mengelilingi. Yang pasti, ruangan ini berkilau karena didominasi warna putih dan perak, serta sangat bersih. Oh, kursinya bahkan tampak sangat nyaman sampai aku ingin lekas-lekas mendudukinya.

Aku tersenyum pada Claudia ketika tatapan kami bertemu. Dia sangat cantik hari ini. Rambutnya digelung rapi dan ada jepit panjang dengan hiasan mirip mutiara yang berbaris. Riasannya tampak natural, tetapi lipstiknya berwarna merah agak gelap. Penampilannya sangat elegan dan profesional di saat bersamaan. Aku jadi membandingkannya dengan penampilanku yang sederhana. Rambutku bahkan hanya diikat satu tinggi agar terlihat rapi. Orang-orang mungkin akan menyayangkan selera Alby yang turun drastis dari mengencani Claudia menjadi aku.

Maksudku, itu akan merusak reputasi Alby di mata orang-orang mengingat aku tidak cukup cantik untuk menggantikan Claudia. Sedangkan teman-temanku akan mengira aku beruntung karena menjadi kekasihnya setelah mengakhiri Jeff. Kalau dipikir-pikir lagi, siapa yang tidak akan tersipu dengan sikap Alby. Dia bahkan menarik kursi untuk kududuki.

"Kuharap pertemuan kita bisa berlangsung cepat. Aku tidak mau membuat kekasihku menunggu lama."

Aku refleks menghindar ketika tangan Alby mendarat di puncak kepalaku. Andai aku tidak cepat-cepat sadar bahwa kami sedang berakting, aku mungkin sudah melayangkan protes kepadanya. Tiga orang lainnya di ruangan ini sudah memandang kami dengan kening yang berkerut. Apa aku baru saja membuat mereka menyadari kalau hubungan ini hanyalah sebuah kepura-puraan?

Sebelum mereka sempat mengutarakan pikiran, aku segera tersenyum semanis yang kubisa kepada Alby. "Ya, pakai saja waktu sebanyak yang kaumau." Aku membalasnya seraya menangkap tangan Alby yang merayap turun menyusuri rambutku, lalu kukembalikan pada pemiliknya-ke atas meja, tepat di mana tangannya harus berada. "Aku akan duduk di sana menunggumu sambil mengerjakan desainku." Aku melanjutkan sembari menunjuk kursi yang berada di sisi lain meja dan berada cukup jauh dari kursi kami sekarang, hampir di sudut ruangan.

Tanpa menunggu persetujuan Alby, aku langsung menghampiri kursi yang kumaksud. Mereka masih memandangku, seperti pegawai senior yang sedang mengawasi anak magang. Akulah si anak magang itu, yang tidak tahu apa-apa dan hanya bisa tersenyum kaku.

"Kalian sungguh berkencan?" Jacob menanyakan itu pada Alby. Sudah kuduga dia akan mempertanyakan soal itu. Aku hanya tidak terbiasa dengan sikap Alby dan ingin lekas-lekas menjauh darinya. Kalian tahu, mengurangi interaksi dengannya.

"Aku tidak pernah melihat Ava semenggemaskan itu."

Aku mengernyit pada ucapan Claudia, tetapi tidak mereka sadari. Entah disadari yang lainnya atau tidak, matanya mengerjap sendu, dan senyum yang terpatri di wajahnya berarti penyesalan. Sementara Alby tampak seperti orang salah tingkah. Dia bahkan tak berani menatap wanita di hadapannya. Dua orang yang saling mencintai, tetapi tidak bisa bersama. Mungkin aku akan menghabiskan waktu di sini sambil mengasihani mereka.

"Kami baru saja mencoba berhubungan, jadi perlu waktu untuk sama-sama terbiasa. Dia wanita yang luar biasa. Ekhem. Bisa kita mulai?"

Boleh kubilang kalau Alby memiliki bakat berbohong yang luar biasa. Aktingnya bagus tanpa cela. Tiga orang di sana percaya kalau yang dikatakannya benar, meski aku tidak yakin dengan Jacob. Keningnya berkerut saat mencoba memproses informasi itu, mungkin yang tadi tidak seperti Alby yang biasanya. Dia menjadi alasan agar aku lebih berhati-hati lagi.

Well, Alby akan membayar utang Dad, jadi aku tidak punya alasan untuk tidak berakting dengan baik.

Aku tidak tahu sudah berapa jam waktu yang dihabiskan untuk diskusi mereka. Yang jelas, aku sudah mulai lapar dan sudah menyelesaikan sketsa mereka. Saking kurang kerjaannya, aku menggambar mereka yang sedang fokus berdiskusi di iPad-ku. Bagian tersulit adalah menggambar wajah Alby. Bentuk hidung dan rahangnya sangat jarang ditemui. Aku harus membuat kesan cool dan tegas agar terlihat sepertinya. Aku jadi terlalu banyak memandanginya hari ini.

"Untuk selanjutnya, akan kita bicarakan lain waktu. Mungkin di tempat yang lebih santai? Tinggal sedikit yang perlu diselesaikan, di sini terlalu formal." Alby bicara, dia mulai menyalami asisten Claudia. Dia tampak sangat profesional, tetapi ketika tiba giliran Claudia yang mengulurkan tangan, pria itu tampak ragu membalasnya. Mereka hanya saling tatap, seperti komik yang menunjukkan adegan mereka akan bersalaman dan latarnya berwarna merah muda. Ya, seperti itu, tidak bergerak sama sekali.

"Asistenku yang akan menghubungi asistenmu nanti." Suara Claudia memecah keheningan sekaligus memutus pandangan mereka. Alby pun tidak punya pilihan selain menjabat tangan wanita itu.

"Mau makan siang bersama kami?"

Claudia melirikku dan aku spontan tersenyum kepadanya. Mungkin dia akan merasa bersalah lagi jika mengiakan ajakan Alby. Padahal aku justru merasa senang kalau mereka makan siang bersama. Aku bisa beralasan tidak lapar dan pulang.

"Um, sebenarnya aku sudah membuat janji dengan Jeffrey hari ini." Claudia menggaruk lengan kanannya. Biasanya dia akan seperti itu jika merasa tidak enak menolak.

"Kita bisa makan bersama. Aku yakin Ava tidak akan keberatan." Alby menatapku ketika menyebut namaku, bahkan dia juga tersenyum sangat manis, seperti isyarat agar aku tidak menolak. Gagal sudah rencanaku.

Aku memicing dulu sebagai bentuk protes sebelum cepat-cepat tersenyum ketika Claudia ikut memandangku. Rasanya seperti keputusan akhir diserahkan kepadaku. Sekarang Alby bersikap seperti seseorang yang tidak ingin kembali dengan mantannya, alias sok merelakan, tetapi masih ingin berhubungan baik dengannya.

Entahlah, aku tidak bisa menebak apa yang ada di dalam pikiran seorang Alby. Hingga pada akhirnya aku menjawab, "Yeah, sounds like double date."

🎶

"Hai, Guys."

Jeff baru tiba di Il Violino setelah kami menikmati makan siang kami. Aku bahkan sudah sudah hampir menghabiskan setengah porsi lasagnaku. Tadinya aku berharap dia tidak jadi datang saja agar kami bisa segera pulang.

"Hai," balasku dan memaksakan senyum. Ya ... sekadar formalitas.

Aku menyesap jusku ketika Jeff yang baru saja duduk di sebelah Claudia mulai mengecup puncak kepalanya. Momen romantisme itu berhasil menyulut pria di sebelahku. Dengan gerakan pelan, aku menoleh hanya sekadar untuk memeriksa kalau dia baik-baik saja. Yang kutemukan adalah Alby menatap keduanya dengan tatapan tajam. Aku ingat tatapan pemeran Katniss Everdeen ketika akan meloloskan anak panahnya di poster film The Hunger Games. Persis seperti itu, seandainya benar-benar ada panah, mungkin sudah menancap di dahi Jeff.

"Hei," tegurku dengan suara pelan sembari menyikut lengan Alby. Matanya terpejam sebelum bertemu dengan tatapanku. "Tidak bisa menahan diri? Kamu lupa peranku sebagai apa di sini? Aku bisa pulang kalau sudah tidak diperlukan lagi," bisikku. Kuharap mereka tidak mendengar apa pun.

Wajahnya mendekat. "Lakukan sesuatu untuk mengalihkan pikiranku." Dia balas berbisik, menguarkan aroma mint dari mulutnya.

"This is your game, Alby. I have no responsibility to start everything." Enak saja dia. Dari awal dia yang memulai, seharusnya lebih tahu apa yang harus dilakukan.

"Kenapa kalian bisik-bisik?"

Aku langsung menegakkan badan di kursi ketika Jeff menegur. Dia dan Claudia sudah memperhatikan kami dan aku tidak tahu sejak kapan mereka melakukannya.

"Ava kepedasan. Dia salah memilih saus untuk lasagnanya." Alby beralasan. "Kau mau pesan minuman lagi, Darling?"

Aku mual dan nyaris memuntahkan isi mulutku setelah mendengar panggilan yang diberikannya untukku. Namun, aku sadar harus menahannya dan segera memasang ekspresi yang tepat untuk lakon ini. Aku pura-pura kepedasan meski lasagna milikku sama sekali tidak pedas.

"Tidak perlu. Jusku masih banyak," tolakku.

"Kapan kau akan mencoba makan makanan pedas, Va? Sejak dulu tak pernah berubah." Claudia berceletuk. Dia masih mengingat itu rupanya.

Alby tiba-tiba menjatuhkan tangannya di sekeliling bahuku ketika mulutku terbuka ingin bicara. "Ya. Aku sudah pernah memasak masakan pedas untuknya, tapi dia benar-benar tega membuangnya ke wastafel." Dia mulai mengarang. Aku mulai merasa dia memang cocok dengan profesinya sekarang. Storyline creator untuk game sangat diperlukan.

"Ava setega itu?"

"Aku tidak heran Ava akan melakukan itu. Dia tidak akan ragu membuang sesuatu yang tidak disukainya."

Respons Claudia dan Jeff saling berkebalikan. Namun, keduanya tidak salah. Claudia mengenalku saat SMA, di mana aku masih berperilaku cukup baik, kurasa-meski aku tidak merasa kalau aku yang sekarang tidak baik. Sedangkan Jeff mengenalku setelah badai menerjang hidupku bertubi-tubi. Itulah Ava yang sekarang.

"Kalian membicarakanku, padahal aku ada di sini." Aku mengatakannya sambil sedikit mendesis. Akting, aku masih belum melupakannya. Demi membuatnya tampak lebih meyakinkan, aku menyesap jusku hingga tersisa tak sampai setengah.

"Kau tahu, membicarakan seseorang di depan orangnya langsung jadi tren akhir-akhir ini." Jeff yang merespons, padahal aku sama sekali tidak ingin mengobrol dengannya.

"Oh, benarkah? Lalu apa kalian akan terus membicarakanku?"

Jeff menatap Claudia dan tersenyum lebar. Aku ingat senyum itu, senyum yang sama ketika dia memamerkanku ke teman-temannya, seolah-olah dia baru saja menemukan bongkahan berlian paling langka di dunia. Sebangga itu.

"Kita bisa ganti topik. Seperti Claudia yang baru saja tanda tangan kontrak dengan Victoria's Secret." Jeff merangkul Claudia, menariknya, dan mendaratkan kecupan ke puncak kepalanya cukup lama.

Momen itu lagi-lagi membuat Alby tersulut api cemburu. Tangannya yang masih berada di bahuku mulai bergerak gelisah. Jari-jarinya mulai menekan bahuku dengan kuat hingga berakhir menjadi remasan yang membuatku harus menahan ringisan. Sakitnya sama seperti ketika dia menggenggam tanganku di acara pertunangan pasangan di hadapan kami. Lama-lama makin sakit. Aku menginjak kakinya dengan kuat hingga dia mengaduh kesakitan dan melepaskan bahuku.

"Ada apa?" Claudia bertanya penuh perhatian. Bagus, itu akan membuat Alby bahagia sedikit karena tahu bahwa mantan pacar yang dicintainya masih peduli.

"Tak masalah, Ava hanya salah menginjak dan terkena kakiku."

Jeff tertawa dan membuat yang lainnya bingung, terkecuali aku; yang sedang sibuk memijat pelan bahuku, berharap bisa meredakan sakitnya. Karena ini benar-benar berdenyut.

"Aku bisa membayangkan sakitnya karena Ava suka sekali memakai bot."

Alby menyeringai, dalam sekejap menyembunyikan kecemburuannya. "Dia memakai pantofel hari ini."

"Tetap saja bot adalah favoritnya."

Kebencianku pada Jeff meningkat berkali-kali lipat hari ini. Dia selalu berusaha mengungkit hal-hal yang dia tahu tentangku, dan andai bukan karena dia memamerkan kemesraan di depan Alby, aku tidak akan menjadi korban. Tidak, Alby juga salah karena menjadikan aku sebagai pelampiasan atas kekesalannya. Aku bahkan tidak tahu apa masalahnya. Cemburu bukanlah alasan yang bisa dimaklumi agar dia dapat menyakiti orang lain. Hanya Claudia yang bersih di sini, dia seperti seekor bebek kecil yang tersesat di antara angsa dewasa, tak mengerti apa-apa dan kebingungan.

Makin gerah saja berada di sini terus-menerus. Bahkan sudah tidak bernafsu lagi untuk menghabiskan lasagnaku.

"Lanjutkan obrolan kalian. Need the restroom for a sec." Setelah mengatakan itu aku segera meninggalkan mereka bersama tas dan kardiganku. Aku ke toilet wanita dengan hanya membawa ponsel.

Aku mencuci tangan di sana sembari menatap diriku sendiri di cermin. Beruntungnya, tak ada siapa pun di sini selain aku. Udara ini benar-benar sangat kubutuhkan-tak ada dua orang yang bersitegang. Setelah mengeringkan tangan di bawah embusan angin dari alat pengering, aku menatap wajahku lagi. Wajah yang kesakitan. Aku membuka dua kancing teratas dan menurunkan sebelahnya sampai memamerkan bahu kiriku. Alby meninggalkan jejak tangannya di sana. Sekuat apa dirinya sampai hanya dengan mencengkeram saja bisa sampai seperti itu.

Aku hanya bisa berharap memar ini nanti tidak akan membuat lenganku sulit digerakkan, karena sudah pasti aku akan membuat Nate kerepotan lagi. Ini sakit sekali, sungguh. Rasanya lebih baik dia melukai hatiku yang mati rasa daripada fisikku.

Kutumpukan kedua tangan di tepian wastafel dan memandang memar itu melalui cermin dalam diam. Dulu aku bisa mengadu pada Mom, lalu dia mengecup sekitaran lukanya dan aku akan merasa jauh lebih baik. Sekarang, aku harus mengadu pada siapa?

Mom, aku merindukanmu.

Kupejamkan mataku sebentar sekadar untuk membayangkan dia ada di sampingku. Hanya Mom yang mampu membuatku merasa jauh lebih baik. Betapa aku sangat ingin bertemu dengannya. Sayangnya, ketika kubuka kembali mataku, yang kutemukan justru Alby berdiri di belakangku.

"Alby! Ini toilet wanita!" Aku memekik sembari membenahi kemejaku. Kuharap dia tidak cukup lama berdiri di sana. Wajahnya datar, kupikir dia memang baru datang.

"Kau terlalu lama di toilet, jadi kuhampiri. Kau tahu, sebagai kekasih yang baik." Oh, Alby, kenapa menatapku seolah-olah kau benar-benar peduli?

Aku mendengkus pada pengakuannya. "Kau tidak perlu bersikap sejauh ini. Kita hanya pura-pura, ingat?"

"Apa kau selalu seperti tadi jika takada orang lain?"

"Maksudmu?"

"Apa yang tadi itu bekas cengkeramanku?"

Jadi dia sudah melihat memarnya.

"Kau sudah melihatnya sendiri, 'kan? You did it twice."

Alby menunduk, aku melihatnya dari pantulan cermin. Apa dia sedang menyesali perbuatannya? Aku tidak yakin tentang itu.

"Kita harus kembali, mereka akan bertanya-tanya kalau kita pergi terlalu lama." Aku ingin berbalik dan pergi, tetapi Alby meraih pergelangan tanganku dan menariknya hingga aku berada di antara wastafel dan tubuhnya. Oh, tangannya bahkan berada di kedua sisi tubuhku, mengurungku agar tidak pergi ke mana-mana.

"Bisakah kau tidak membuatku penasaran? Aku masih mencintai Claudia."

Aku mengerjap kebingungan karena tidak mengerti maksudnya.

"Kau menyembunyikan banyak hal, Ava. Kurasa, kita perlu mengenal satu sama lain mengingat kita akan bersama selama setahun."

Ah, sial.

🎶

Selamat hari Selasa dan Selamat Hari Raya Idul Adha bagi yang merayakan.
Aku kembali dengan kisah Ava dan Alby. Well, I did it. Bagaimana bab ini? /kepanjangan.
Yes, I know, I know, aku nggak bisa menahan diri. Hiks.
Daripada emosi, mending hibur diri dengan membaca kisah song series yang lain, yuk. Jadi Aku Sebentar Saja karya Kak VitaSavidapius, berikut cuplikannya.

***
Satu desahan lolos dari bibir Miko. Lelaki dengan setelan kaus merah marun itu membalik tubuh saat rinai tawa Mika tiba-tiba mengusik telinganya.

Ada apa dengan dirinya?

Kenapa melihat kebersamaan Mika dan Ario yang dulu biasa saja, kini jadi tak biasa di matanya?

Dan hatinya?...

Baru kemarin dia mulai membebaskan hatinya, membiarkan kebahagiaan perlahan merasuki dadanya. Tapi melihat bagaimana Mika dan Ario siang tadi, membuat Miko sadar.

Mereka masih seperti yang dulu.
Dan dia bukanlah apa-apa.
***

See you on next chapter~
Lots of Love,
Tuteyoo
20 Juli 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro