110 - Goodbye
Hidup adalah tentang pilihan. Ada pilihan yang pada akhirnya kusesali, membahagiakan, ada juga yang menghantuiku tanpa akhir. Pada akhirnya, kita harus dituntut untuk berdamai pada semuanya mengingat pilihan yang sudah diambil tidak bisa dikembalikan lagi.
Aroma tanah yang basah setelah guyuran hujan tidak pernah gagal membuatku merasa tenang. Rintiknya kali ini tidak hanya membasahi tubuh, tetapi kuharap mampu mencairkan seluruh beban yang berada di pundak. Melelehkan semua hal yang menjadi bukti tentang betapa kerasnya hidup. Aku tidak membawa payung saat datang ke sini. Seperti suasana hati yang mudah berubah tanpa disangka-sangka, langit yang cerah pun dalam sekejap berubah kelabu. Namun, aku sudah di sini, sekali lagi menatap sepetak tanah dengan batu nisan yang lama tidak kudatangi.
Percaya atau tidak, aku bahkan mencabuti rumput di sepetak tanah itu, yang kukira-kira sendiri seukuran dengan tubuhnya, sebelum ditaburi bunga. Padahal aku tidak pernah datang dengan membawa sesuatu untuknya, kecuali kemarahan. Sejak di rumah, aku terus meyakinkan diriku kalau kunjungan kali ini mungkin akan menjadi yang terakhir, jadi berikan kesan yang baik. Meski aku tahu dia tidak pernah menyambutku dengan benar.
Hari ini aku memutuskan untuk berdamai dengannya. Sudah cukup aku membiarkan sikapnya terus menghantui hingga membuatku tidak leluasa untuk melakukan apa yang kumau. Aku menyadari bahwa kenangan buruk di masa lalu membawa pengaruh yang besar padaku yang sekarang. Aku terus menghalangi diriku, menahannya sendiri, cenderung menutup semua akses dengan orang banyak, dengan dalih tidak ingin hal yang sama terulang kembali, yang tanpa kusadari hanyalah sebuah ketakutan. Ketakutan itu menciptakan tameng, yang tidak hanya menghalangiku, tetapi juga orang-orang yang peduli.
"Hei, Dad."
Memanggilnya saja sudah terasa pahit di lidah. Kuusap wajahku yang basah sebelum memaksa seulas senyum tipis untuk hadir. Aku mencabut rumput terakhir di atas makamnya dan melemparnya ke sisi kiri tubuhku. Sejak hujan mengguyur, aku sudah duduk bersila menghadap makamnya.
"Aku benci mengakui ini, tapi ... aku merindukanmu. Bukan berarti aku sudah tidak membencimu. Tapi aku sedang berusaha untuk mengingat hanya hal-hal baik tentangmu. Kau melihatku dari sana, 'kan? Kau menyaksikan betapa tersiksanya aku hidup bersama beban kebencian padamu? Seharusnya aku mendengar maaf darimu, 'kan? Setidaknya satu kali sebelum kau meninggalkan dunia ini. Bagian terburuk dari kepergianmu adalah, kau meninggalkan masalahmu di sini dan membebankannya pada kami."
Aku mendengkus, sekaligus menertawakan diri sendiri. Situasi seperti ini tidak pernah kupikirkan akan kulakukan sebelumnya, bahkan ini adalah rekor. Aku tidak akan tahan berada di sini tanpa melukai tangan. Nisan itu sudah beberapa kali menjadi sasaran tinjuku. Namun, kali ini aku melampiaskannya pada rumput liar. Lihat betapa bersih dan cantik makam Dad sekarang.
"Dad, biar bagaimanapun kau tetap ayahku. Tanpamu, aku tidak akan ada di dunia ini. Ya ... kalau saja boleh memilih, aku tentu tidak ingin hidup seperti ini. Sebesar apa pun kebencianku, hubungan ayah dan anak di antara kita akan tetap ada. Itu sebuah hubungan yang tidak akan ada akhirnya."
Aku tidak menyiapkan kata-kata sebanyak itu, tetapi semuanya meluncur begitu saja. Sebenarnya aku datang untuk mengucapkan selamat tinggal, karena setelah ini mungkin aku tidak akan berkunjung dalam waktu yang sangat lama. Sebelumnya aku juga sudah mengunjungi Mom, Nate, dan makam ibu Nate. Saat mampir ke makam Mom, aku teringat akan mimpiku tentangnya. Betapa Mom sangat bahagia di sana, padahal tahu seperti apa Dad di belakangnya. Aku belajar darinya lagi, tentang ikhlas menerima semuanya. Mom sadar, dia tidak mungkin terus-terusan menyesali keputusan menikah dengan Dad dulu, apalagi sebelumnya dia tidak pernah tahu kalau akan diselingkuhi.
"Seharusnya kau menjadi cinta pertama bagi anak perempuanmu. Tapi apa yang kau lakukan? Kau memberi ketakutan padaku. Cinta itu hanya omong kosong. Dan kau tahu tidak? Aku terus meyakini itu dan sekarang itu pun terjadi padaku." Aku tertawa dan menangis di saat bersamaan. Hidup saja sudah menyedihkan, dan sekarang aku harus mengakui hal cheesy ini. "Aku mulai belajar kalau cinta tidak seburuk itu, pelan-pelan mulai mengikis persepsi buruk tentang cinta, tapi ternyata aku dibohongi. Dia cinta pertamaku, Dad. Aku suka saat jantungku berdebar lebih dari biasanya, tapi sekarang aku takut padanya."
"Dia terlalu sempurna untukku yang hancur."
Senyumku luntur, berikut air mata yang sudah tidak mengalir lagi. Aku tidak mengerti bagaimana menamai situasi ini. Aku bahkan lupa bagaimana rasanya berbagi cerita dengan seorang ayah, tetapi kali ini aku merasa sedikit lega. Dia terpendam di dalam tanah, tetapi kali ini aku merasakan kehadirannya.
"Utangmu sudah lunas, Dad. Seharusnya kau merasa tenang sekarang. Aku melihatmu bersama keluarga kecil barumu, tapi kumohon jangan abaikan Mom. Kunjungi dia sesekali, dia sendirian. Jaga Mom dan Nate. Tapi kuharap Mom menamparmu setidaknya satu kali di sana."
Hujan sudah benar-benar berhenti. Aku berdiri dan seketika merasakan betapa nikmatnya peregangan meski tidak sedang melakukannya. Aku duduk bersila terlalu lama. Ada rasa enggan beranjak pergi dari sana, padahal tidak ada hal lain yang bisa kulakukan selain mengoceh. Masih banyak hal yang ingin kukatakan padanya, tetapi itu tidak lebih dari mencurahkan apa yang kurasakan selama hidup seorang diri.
"Aku akan pergi. Aku ingin meninggalkan semua masalahku di sini, dan memulai cerita hidup yang baru. Jadi, kuharap masa lalu yang buruk denganmu tidak terulang lagi, Dad. Aku masih membencimu, tapi kuharap kau membalas perasaan itu dengan kasih sayang yang banyak--kau berutang itu padaku. Sampai jumpa, Dad."
•••
Bandara cukup padat oleh penumpang hari ini. Sedangkan aku datang tiga jam lebih awal dari waktu keberangkatan. Tidak ada alasan khusus, aku hanya berusaha menghindari orang-orang yang ingin bertemu denganku dulu sebelum berangkat. Pertama, aku tidak ingin goyah karena bujukan-bujukan mereka. Kedua, aliran air mata Hyunjoo lebih sulit dihentikan daripada keran air yang macet, terlebih lagi semenjak hamil dia menjadi lebih-lebih sensitif. Aku sendiri tidak sanggup menghadapinya. Aksinya dikhawatirkan akan membuatku terlambat naik pesawat. Namun, pada akhirnya aku tetap menyambut kedatangan mereka di Starbucks JFK. Aku tidak lagi bisa menolak ketika Hyunjoo, Dave, dan entah bagaimana Troy bisa ikut mereka, meneleponku dan mengatakan kalau sudah tiba di bandara.
Kami tidak mengatakan apa-apa sejak pesanan kami siap lima menit lalu. Hyunjoo hanya bergelayut padaku, dengan menggamit lenganku, serta menyandarkan kepalanya di bahuku. Tubuhnya makin berisi sejak hamil, dan kalau boleh jujur aku lebih suka dengan penampilannya seperti itu daripada saat lebih kurus. Hyunjoo sendiri sudah menggemaskan dengan wajah Asia-nya. Bayangkan akan seperti apa anaknya jika dipadukan dengan kulit putih pucat milik Dave.
"Jadi, kau sungguhan pergi." Tiba-tiba Troy berceletuk. Karena kata-katanya itu, Hyunjoo makin mempererat pegangan pada lenganku.
"Aku perlu melakukannya," balasku sekenanya. Terlalu merepotkan jika harus menjelaskan semuanya. Aku tidak ingin mendengar lebih banyak kata-kata yang berarti 'kami akan selalu ada untukmu'.
"Kau harus sering-sering menghubungiku." Suara Hyunjoo agak serak. Aku sudah melarangnya menangis jika ingin bertemu denganku, mungkin dia sedang menahannya sekarang. Seperti yang kubilang, dia sangat merepotkan kalau sudah menangis.
"Hanya jika kau tidak mengganti nomor atau menghapus akun media sosial." Aku bicara pada Hyunjoo, tetapi tatapanku tertuju pada Troy, dan tersenyum, karena dia sudah lebih dulu menatapku dengan cara yang tidak kumengerti.
"Barang-barangmu bagaimana? Kau serius hanya membawa koper kecil itu?" Dave mendelik pada koper di samping kakiku. Pria yang akan menjadi ayah itu lebih mengerti aku dibandingkan yang lainnya. Dia adalah satu-satunya yang tidak sekali pun menahanku pergi. Setelah Pete maksudnya.
"Koper yang kupunya hanya ini." Aku menepuk koper setinggi lututku. "Lagi pula, bajuku tidak banyak. Barang-barangku yang sedikit sudah lebih dulu dikirim ke sana, Pete yang membantu mengurusnya."
Memindahkan lemari, sofa, kasur, dan barang-barang besar lainnya yang akan menghabiskan ongkos besar sengaja kutinggal di apartemen. Mrs. Shelley menyayangkannya, tetapi kubilang dia boleh mengambilnya kalau memang masih layak. Aku bahkan tidak yakin seseorang menginginkannya karena modelnya yang sudah usang, meski terlihat masih bagus, tentu saja aku dan Nate menjaganya dengan baik. Yang jelas barang-barang itu masih menyisakan bau Nate. Aku akan terus memikirkan Nate jika membawa semua itu bersamaku.
"Baguslah. Aku tidak bisa membayangkannya kalau kau membawa banyak barang bersamamu."
"Aku sudah memikirkannya, Dave, dan aku cukup sadar diri tidak punya lebih dari dua tangan." Aku mengangkat tanganku sejajar dengan dada. Meski yang sebelah kiri sedikit susah payah karena Hyunjoo menggamitnya.
"Kau harus sering-sering mengunjungiku. Bayi kecil ini akan mencari di mana tantenya." Hyunjoo yang merengek dengan nada imut tidak pernah tidak membuatku merinding. Namun, itu lebih baik daripada dia menangis. Tangannya yang dipasangi beberapa cincin, termasuk cincin kawin, mengusap perutnya yang sudah mulai buncit.
"Mari kita lihat jadwalku dulu." Aku bergurau dan tertawa kecil, sengaja untuk mengalihkan perasaan aneh yang mulai memenuhi dadaku.
New York adalah yang pertama kukunjungi setelah memutuskan meninggalkan Pennsylvania. Banyak hal pertama kali yang kulakukan di sini. Aku berani bilang kalau tidak mudah hidup di kota besar, apalagi sekelas New York. Aku hanya cukup beruntung bertahan selama bertahun-tahun di sini, bertemu dengan orang-orang baik, dan punya seseorang yang rela melakukan apa saja untukku. Karena pemikiran itu, aku jadi teringat Jeff. Aku tidak mengabarinya kalau akan pergi hari ini. Dia tahu rencanaku, tetapi aku tidak memberi tahu detailnya. Sebenarnya aku juga lupa. Hyunjoo dan Dave pun tahu karena dua hari lalu kami masih bertemu.
"Aku siap menjadi tangan ketiga dan keempatmu." Suara itu membuat kami sama-sama menoleh ke sisi kananku. Dia datang dengan setelan jas lengkap dan rapi, aroma kain baru yang menguar membuatnya seperti baru keluar dari butik. Aromanya sedikit membuat mual, tetapi terselamatkan oleh aroma dari segelas kopi di tangannya. Kehadirannya membuatku bertanya-tanya tentang bagaimana dia tahu kami ada di sini, bahkan melanjutkan obrolan yang sudah lewat sedikit. "Aku datang ke apartemenmu, tapi kau tidak ada di sana. Lalu aku bertanya pada Dave. Apa ini pesta perpisahan dan aku tidak diundang?"
Jeffrey menarik satu kursi dan duduk di sebelahku. "Aku tidak akan melakukan apa-apa, hanya menonton kalian. Dan mana mungkin aku melewatkan momen terakhir bertemu denganmu?"
Sikapnya sekarang ini, aku tidak mempermasalahkannya karena Dave dan Hyunjoo sudah tahu kami pernah bersama, tetapi Troy ... aku sedikit merasa tidak enak padanya. Bahkan saat kuperhatikan, pria itu jadi sibuk dengan ponsel. Padahal dia sudah tahu kalau Jeff adalah mantan pacarku, tetapi Jeff sendiri yang bersikap tidak membuatnya nyaman.
"Kau sibuk. Tadinya aku hanya akan mengabarimu setelah tiba di Alaska."
Kukira Jeff akan meminum kopi yang dibelinya, tetapi itu justru disodorkan padaku. Setelah aku menolak, barulah dia menyesapnya sedikit.
"Aku akan menyisihkan waktu untukmu." Jeff mengatakannya dengan tenang, seolah-olah kami memang berhubungan cukup baik dan sudah diketahui banyak orang.
"Tapi kau cukup terlambat. Aku akan check in sebentar lagi."
"Aku akan mengantarmu. Aku punya tiket, jadi bisa ikut denganmu sampai gate keberangkatan."
Jeff sekali lagi bersikap seolah-olah masih ada sesuatu di antara kami. Itu terus membuatku merasa tidak enak meski dia sudah berkata tidak apa-apa, dan karena itulah pilihannya, sesuatu yang dia inginkan. Seperti biasa, seharusnya aku tidak perlu merasa bersalah karena apa pun yang dia dapatkan bukanlah tanggung jawabku, tetapi aku tidak bisa terus membiarkan orang lain berkorban untukku. Aku tidak akan bisa membalasnya.
Dave memberi pelukan singkat sebagai salam perpisahan. Troy juga, tetapi dia menambahkan kata-kata yang menyatakan agar aku menghubunginya kalau membutuhkan pekerjaan. Dia bahkan berkata akan mengusahakan ada satu posisi yang bisa dikerjakan dalam jarak jauh. Hyunjoo memanfaatkan waktu yang tersisa sebagai yang memelukku terakhir. Sulit melepaskan diri darinya, seperti perangko yang sudah ditempel pada amplop surat. Dan aku juga tidak tega mendorong ibu hamil muda ini menjauh. Terlebih lagi, dia sudah menjadi teman yang baik untukku sejak kami berkenalan di kantor Jeff.
"Ingat untuk terus menghubungiku dan kunjungi kami sesekali." Itu permintaan Hyunjoo.
"Akan kupikirkan lagi," balasku. Meski jauh di dalam diriku ingin sekali menolak permintaan itu. Aku tidak bisa memberi janji dalam bentuk apa pun, aku juga tidak ingin merencanakannya dari sekarang. Yang memenuhi pikiranku hanya, bagaimana memulai semua ini dari awal lagi. Mampukah aku beradaptasi dengan lokasi yang baru?
"Ini kopermu?"
"Ah, iya."
Jeff menarik koperku kemudian, dan Hyunjoo dengan berat hati melepaskanku. Berat sekali berpisah dengan mereka, sebenarnya. Aku tidak berpikir sebelumnya kalau ini akan sangat berat.
Aku dan Jeff meninggalkan mereka. Dia tidak berbohong tentang membeli tiket pesawat agar bisa check in bersamaku. Tidak, sebenarnya aku sudah melakukannya lewat situs maskapai, ini hanya untuk pengecekan bagasi. Yang tadi itu hanya alasan agar mereka mau melepas kepergianku. Namun, juga menemani Jeff check in karena dia membelinya sedikit terburu-buru.
"Aku tidak tahu kalau masih ada kursi kosong di penerbangan ke Alaska." Aku berkata setelah dia selesai melakukan check in.
"Siapa bilang aku membeli tiket ke sana? Aku hanya membeli asal tiket yang waktu penerbangannya tidak jauh berbeda denganmu."
Selama melewati bagian pemeriksaan, aku terus memikirkan seberapa mahal harga tiket yang harus dia bayarkan. Biasanya akan cenderung lebih mahal jika dibeli dalam waktu mendekati jam penerbangan, yang sebenarnya tentu tidak berarti apa-apa bagi Jeff. Dia seorang pria yang kelebihan uang, melakukan hal seperti ini tentu saja kecil baginya.
"Jadi, kau serius akan pergi?" Jeff baru bersuara lagi setelah kami duduk di gate keberangkatan. Kami duduk bersebelahan, dan aku terpaksa merapatkan kaki karena tidak ingin bersentuhan dengannya sedikit pun. Kau tahu, cara duduk seorang pria, kakinya sedikit terbuka, melebihi ukuran kursi yang didudukinya.
"Kalau keberadaanku di sini tidak cukup untuk membuatmu percaya, aku tidak tahu dengan cara apa lagi." Jawabanku membuat Jeff mengulum senyum.
"Mungkin kau hanya ingin pergi sebentar dan kembali lagi. Aku masih berharap kita kembali seperti dulu, aku ingin memenuhi semua kebutuhanmu, menghujanimu dengan kasih sayang, dan kau tidak perlu memikirkan apa pun untuk membalasnya. Bahkan aku tidak peduli kalau kau tidak balas mencintaiku."
Sikapnya membuatku kebingungan. Apa untungnya melakukan itu semua? Bagaimana mungkin dia rela berbuat sejauh itu?
Aku memandang deretan bangku-bangku kosong di hadapan demi menghentikanku menatap wajahnya. Aku sudah memintanya agar tidak terlalu peduli, tidak melakukan apa pun untukku, atau menawarkan hal-hal baik lainnya, tetapi dia tidak menurut. Dia terus datang lagi dan lagi, seolah-olah aku adalah pusat dunianya, padahal dia juga yang membuangku dulu.
"Kau tahu kenapa aku pergi, Jeff? Karena aku tidak ingin menjadi beban untuk orang-orang sepertimu."
"Apa termasuk Alby?"
Aku sudah bersusah payah agar tersenyum saat menjawab pertanyaan Jeff sebelumnya, setidaknya bisa mengurangi rasa khawatirnya, dan betapa mudahnya nama pria itu membuat senyumku luntur. Kenapa Jeff harus menyebut namanya juga padahal sangat membencinya?
"Mungkin?"
"Ava, kau sangat mencintainya dan dia juga merasakan hal yang sama. Kenapa kau harus menahan diri?" Jeff meraih tanganku, menggenggamnya dengan lembut. "Aku akan merasa tenang kalau kau bersamanya."
Aku menarik tanganku darinya dan bersedekap. "Aku bukan tanggung jawabmu, Jeff. Sebelumnya terima kasih karena kau sudah melakukan banyak hal untukku. Mungkin bagimu tidak masalah, tapi itu tidak berlaku bagiku. Aku tidak biasa hidup dengan semua kemudahan itu."
"Dan memikirkan balasan atas kebaikan orang lain padamu juga bukan tanggung jawabmu, Ava. Belajarlah untuk menerimanya, bukan terus memikirkan cara untuk membalas. Aku melakukannya karena ingin, apa pun yang kudapatkan setelahnya adalah risiko dari memutuskan untuk berbuat baik. Lagi pula, balasan atas sebuah kebaikan tidak harus datang darimu; atau dari seseorang yang kuberi bantuan."
"Aku seperti sedang mendengarkan seminar motivasi hidup." Itu bukan respons yang bagus sebenarnya, tetapi Jeff akan sedikit menyeramkan kalau sedang sangat serius. "Aku akan mengingatnya, Jeff. Tidak kusangka kau bisa sangat bijaksana."
Jeff merotasikan kedua matanya, antara menerima atau tidak terima aku menyindirnya begitu. "Seseorang pernah mengataiku anak manja, jadi aku sedang berusaha untuk memperbaikinya."
Aku ingat itu. Akulah yang menyebutnya begitu di awal-awal kami berkenalan. Itu adalah saat aku baru masuk bekerja dan dia belum menyatakan perasaannya padaku. Begitu kupikirkan lagi ternyata itu sikap yang kurang ajar, apalagi dia adalah atasanku.
Jeff tampak ingin bicara lagi, tetapi tidak jadi karena terdengar suara pemberitahuan kalau penumpang untuk penerbangan menuju Alaska diminta untuk memasuki pesawat sekarang. Aku segera berdiri, memasang tasku. Jeff mengikuti dan menahan lenganku agar tidak pergi, padahal aku belum berencana untuk pergi tanpa mengucapkan salam perpisahan padanya.
"Kalau kau berpikir untuk kembali, maksudku ke New York." Jeff buru-buru memperbaiki ucapannya sebelum aku berpikir itu tentang 'kembali' untuk yang lain. "Kau boleh mencariku. Selalu ada ruang untukmu, Ava."
"Kuharap kau menemukan seseorang yang lebih pantas untuk membayar semua pengorbananmu." Perpisahan ini sebenarnya terasa melegakan bagiku, tetapi Jeff tidak tampak demikian. "Terima kasih banyak dan maaf."
"Berbahagialah, Ava. Jangan pernah menahan dirimu untuk melakukan apa yang kau mau."
"Aku akan mengingatnya, Jeff."
Aku sudah duduk di dalam pesawat, masih ada waktu untukku memainkan ponsel. Aku mengirim pesan kepada teman-temanku sekadar memberi tahu kalau aku sudah akan pergi, tidak lupa juga menyematkan kata terima kasih atas kebaikan mereka selama ini, padahal aku ingat mereka sudah mengeluh bosan mendengarnya dariku.
Lalu aku memikirkan kata-kata Jeff. Lakukan yang hatiku inginkan, tetapi apa? Sambil menunggu awak pesawat menginstruksikan untuk mematikan ponsel, aku tidak berhenti menatapnya sambil memikirkan apa lagi yang mau kulakukan. Dan akhirnya wajah kecewa Alby muncul di pikiranku. Saat itu, apa yang dia pikirkan tentang keputusanku? Aku tidak benar-benar menolaknya, hanya memintanya agar memberiku waktu. Aku ingin sekali menerimanya, memberinya cinta yang kuharap lebih besar dari apa yang bisa dia berikan padaku. Baru kupikirkan lagi, dan aku mulai merasa takut. Bagaimana kalau dia salah memaknai ucapanku waktu itu?
Kontaknya sudah terpampang di layar ponselku. Aku mulai merindukan suaranya. Pesawat mulai dipenuhi oleh penumpang, tetapi mereka sedang sibuk menyimpan barang bawaan mereka. Masih ada waktu sebentar untuk bicara dengannya, setidaknya untuk berkata sampai bertemu lagi.
Jantungku berdebar kencang ketika memberanikan diri untuk meneleponnya. Aku menunggu lama sampai akhirnya dijawab oleh suara operator. Panggilan kedua, dia menolaknya.
Aku memandang ponsel dengan perasaan yang berkecamuk. Sesak sekali rasanya. Ini adalah kali pertama dia menolak panggilanku. Apa yang sudah kulakukan sampai dia tidak mau menerima panggilanku?
Setelah kau putuskan untuk meninggalkan semuanya, tidak pantas bagimu untuk berharap akan ada yang datang menyusulmu, Ava.
Yang kutahu, saat ini sudah tidak ada jalan untuk kembali.
•••
Abis?
See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
7 April 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro