Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11 - Won't Let Him Know

🎶
Wish I could be Invisible
Cause I don't want anyone to know
That I don't know where I'm supposed to go
Feel like I'm paralyzed
🎶

Siapa yang tidak mendambakan keluarga harmonis? Selalu makan bersama setiap pagi dan malam; saling mengucapkan salam sebelum berpisah, entah itu bepergian ke mana atau ke kamar masing-masing; atau saling menceritakan kejadian hari ini sebelum beranjak dari meja makan. Biasanya aku tidak pernah absen memamerkan nilaiku yang bagus pada Mom atau Dad—dengan catatan hanya nilai di atas B. Selebihnya, akan kusembunyikan.

Sebenarnya mereka tidak akan marah jika nilaiku jelek, tetapi aku tidak ingin melihat mereka kecewa, atau Mom tidak akan membuat popcorn lagi dan Dad tidak mengizinkanku ikut pergi memancing bersamanya. Aku sangat ingat hari itu, di musim panas ketika Ava kecil pulang sekolah dan mempersiapkan diri untuk perkemahan musim panas.

"Mom?" Waktu itu aku memanggilnya hati-hati. Mom duduk memeluk lutut di antara peralatan makan dan alat-alat memasak yang berserakan di lantai. Dapur seperti baru saja diguncang gempa. Pemandangan yang baru pertama kali kulihat itu benar-benar sangat mengerikan. Ava kecil mulai ketakutan.

"Oh, Ava pulang cepat?" Mom tampak kaget dan cepat-cepat bangkit dari posisinya. Dia mulai mengumpulkan barang-barang yang berserakan. Aku menyusul tepat setelah menjatuhkan tas ranselku di lantai.

Wajah Mom sangat pucat. Ava kecil tidak berhenti memandang wajahnya yang kehilangan cahaya. Gatal sekali lidahku untuk bertanya apa yang terjadi dengannya. Namun, setelah melihat senyumnya yang pilu, semua yang ingin kukatakan ikut tertelan bersama ludah. Ava kecil yang malang, dia tidak ingin pertanyaannya melukai Mom, hingga sampai setua ini aku tidak pernah tahu apa yang terjadi pada Mom saat itu. Yang pasti, aku tahu Mom tidak baik-baik saja dan aku membatalkan rencana untuk berkemah. Kupikir Mom perlu ditemani.

Itu adalah seminggu sebelum aku mendapati Mom pingsan dan harus dilarikan ke rumah sakit. Aku menelepon 911 setelah menghubungi Dad. Aku tidak tahu sejauh apa kantor Dad hingga orang-orang medis tiba lebih dulu daripada dia-dan nyatanya, kantor Dad tidak cukup jauh dari rumah. Fakta bahwa Dad tidak tampak sangat panik waktu itu berhasil membuatku keheranan. Aku sempat berpikir, mungkin Dad sudah lebih dulu mengetahui kondisi Mom.

Aku mengikuti Dad ketika dia diminta ke ruangan salah seorang dokter yang menangani Mom-di pintunya terdapat tulisan 'Oncologist' dan saat itu aku belum tahu kalau kalau artinya adalah dokter spesialis kanker. Mereka membahas tentang pengobatan, kondisi Mom yang memburuk, tidak bisa menerima segala jenis pengobatan, sampai kudengar istilah stadium untuk yang pertama kalinya.

Di usia sebelas tahun, aku mengetahui kalau Mom menderita kanker paru-paru stadium akhir. Faktor genetika.

Dad selalu bilang Mom akan sehat kembali, tetapi aku tidak melihatnya demikian. Wajah Mom kian memucat, seperti darahnya tersedot setiap hari. Mom rutin dijadwalkan kemoterapi selama beberapa bulan, tetapi dia masih sering pingsan di rumah karena kesulitan bernapas. Sayangnya, Mom tidak punya saudara yang bisa dihubungi untuk menemaninya di rumah. Hingga akhirnya dirawat inap di rumah sakit.

Ava kecil tidak lagi ikut teman-temannya bermain sepulang sekolah, tetapi menghabiskan waktunya di rumah sakit. Aku ingat, waktu itu Mom sampai mendesakku agar pulang ke rumah dan memberi izin untuk bereksperimen di dapurnya-itu tawaran yang luar biasa, mengingat Mom yang suka memasak tidak pernah membiarkan aku menyentuh peralatan dapurnya sembarangan.

"Ava boleh membuat popcorn sendiri."

Senyumku waktu itu mengembang seketika. Aku membereskan meja lipat di lantai beserta seperangkat alat untuk aku menggambar, dan meletakkannya di sudut ruangan. Sengaja kutinggal di sana karena aku akan kembali besok, besoknya, dan besoknya lagi. Sampai Mom membaik dan diperbolehkan untuk pulang.

***

Dua tahun setelah dirawat di rumah sakit, aku tidak pernah menyangka akan jadi hari terberat seumur hidupku. Air mata tak mampu kutahan dan mengalir begitu saja meski hanya teringat sekilas.

Ava kecil berlari di lobi rumah sakit, melewati beberapa perawat yang mendorong troli berisi keperluan pasien, atau mendorong kursi roda pasien. Ada pula orang-orang bermuka sedih, yang entah sedang menunggui atau mengunjungi teman, kerabat, atau keluarga. Aku tahu seperti apa sedihnya, aku sudah melewatinya, sampai-sampai aku tidak sanggup terus-terusan sedih. Minggu-minggu pertama Mom dirawat di rumah sakit selalu membuat wajahku senantiasa dibanjiri air mata dan ingus. Bayangkan saja, aku selalu menghabiskan sekotak tisu yang disediakan oleh rumah sakit setiap harinya. Wajahku membengkak dan teman sekelas mulai menjulukiku 'Big Face'.

Dan, ya, hari itu aku datang dengan senyum terlebar yang kumiliki; dengan rasa suka cita yang lebih-lebih, seperti ketika aku mendapat klien pertama di situs freelancer. Perasaan sederhana yang disebut bahagia itu menguasai diriku hingga takkuasa menahan diri agar tidak melompat-lompat kecil hingga menjatuhkan piala serta gulungan piagam penghargaan di masing-masing tanganku.

Namun, aku tetap menjatuhkannya, tepat di ambang pintu ruang inap Mom. Piala yang ingin kupamerkan patah menjadi dua dan gulungan piagam penghargaan tadi meluncur bebas dari tanganku.

"Mom!" Aku hanya mampu berteriak dan berlari menghampiri ranjangnya. Dad sudah ada di sana, menggenggam kertas kumal. Namun, kuabaikan dirinya dan mulai sibuk mengguncangkan lengan Mom.

"Mom! Bangun! Mom berjanji akan melukis bersamaku hari ini. Mom!"

Mom sama sekali tidak terusik. Isakanku tak tertahankan. Wajah Mom sangat pucat, nyaris kuning. Kau tahu, seperti ketika pergelanganmu diikat erat dan kemerahan di telapak tanganmu pudar. Ya. Sekujur tubuh Mom seperti itu, tetapi lebih buruk. Seluruh alat-alat medis yang seharusnya terpasang di beberapa sudut tubuhnya sudah terlepas. Satu hal yang aku tahu adalah bukti bahwa Mom meninggalkanku, yaitu mesin elektrokardiogram yang melengking panjang, serta garis lurus yang ditampilkan di layarnya.

"Mom belum boleh pergi!"

Dad menghampiri dan memelukku sangat erat. Dia menggumamkan kata maaf dan beberapa kalimat untuk menenangkanku walau gagal. Aku tidak bisa menekan rasa sedih atas kehilangan ini.

"Mom meninggalkan surat untuk kita. Dia bilang, Ava harus terus bahagia. Mom sudah tidak kesakitan lagi. Dia akan tenang di sana."

Beberapa orang berseragam dan seorang pria berjas putih menghambur di ruangan ini. Dad melepaskanku ketika pandanganku tertuju pada kertas kumal yang diletakkannya di atas kursi. Aku membacanya dan air mata kembali membanjiri wajahku. Itu adalah kali pertama tanganku tremor. Aku berusaha untuk tidak percaya, tetapi itulah yang terjadi. Mom tidak akan pernah kutemui lagi. Selamanya.

Dear
My husband, Tommy
And my beautiful daughter, Ava

Beberapa tahun belakangan terasa berat untuk kita semua. Aku mengira akan baik-baik saja dan menyembunyikan fakta bahwa kanker menyerangku. Rupanya menyembunyikan sesuatu sebesar itu sangat berat. Aku menanggungnya sendirian, sampai akhirnya tubuhku tak sanggup lagi menahan sakit. Aku tidak sadar akan sangat memerlukan support system. Kalian adalah orang-orang yang paling berharga di hidupku. Penyesalan terbesarku adalah terlambat memberi tahu dan terlambat mengobatinya.

Aku mendengar bisik-bisik para perawat dan dokter ketika mengganti cairan infus dan tabung oksigen yang kupakai. Mereka bilang pengobatannya percuma, kanker melawan semua jenis obat yang masuk ke tubuhku. Aku sudah terlalu lama di rumah sakit. Belum lagi biaya yang harus dibayarkan akan sangat besar.

Untuk putriku, Ava, kau adalah malaikat terindah yang pernah kutemui. Aku terluka melihatmu menangis sepanjang waktu, tapi kau mengatasi semuanya dengan baik. Malaikat kecilku harus terus bahagia. Kau menggambar sangat cantik. Teruslah seperti itu. Lakukan sesuatu yang akan kausukai, kau akan bahagia.

Aku harus pergi. Sakit ini, sudah tidak sanggup lagi kutahan. Sakit. Sakit sekali. Aku sampai menuliskannya tiga kali. Dokter sudah memperkirakan sampai kapan aku bertahan, tapi kurasa pergi lebih cepat adalah yang terbaik untukku-dan untuk kalian. Kalian tidak perlu mencemaskanku lagi. Kehilangan hanya akan berlangsung beberapa waktu, terlebih lagi melihat wajah khawatir kalian justru semakin membuatku merasa tak berarti untuk terus hidup.

Kalian berdua, hiduplah dengan baik.

With love,
Clairine Robinson

Hatiku hancur, berkeping-keping. Persis seperti gelas yang dibanting dan pecah. Kepingannya masih bisa disambung dengan lem, tetapi tidak akan pernah sempurna. Serpihan-serpihannya akan tersapu saking kecilnya, tak terlihat. Takada yang tahu kalau serpihan itu mewakili perasaanku. Aku mati rasa.

🎶

Aku menandaskan isi gelasku yang baru saja diisi Alby dengan wine hingga nyaris penuh, dalam sekali tenggakan. Bukan karena haus, tetapi sebagai bentuk pengalihan agar aku tidak menangis di sini, di hadapan Alby. Setelahnya gelas kaca itu kutaruh di atas meja dengan permukaan keramik agak keras, sampai menimbulkan dentingan yang nyaring. Aku bahkan tidak memikirkan apa yang terjadi jika gelas itu pecah. Mungkin akan kuganti jika itu terjadi.

Kusandarkan sisi tubuhku pada sandaran sofa, karena aku duduk menyamping, berhadapan dengan Alby. Dia tidak membiarkanku pulang, tidak pula melepaskan cengkramannya di pinggangku-tadi. Akhirnya itu menjadi alasan agar aku mau menceritakan masa lalu yang kelam itu kepadanya. Dan aku memutuskan untuk tidak menceritakan semuanya. Alby tidak pantas untuk tahu. Namun, aku tidak tahu kelak paksaan berupa apa lagi yang akan dia lakukan agar aku melakukan yang dia mau.

"Lalu ayahmu menikah lagi dengan ibu Nate?"

Aku menatap Alby dan membasahi bibir. Rasa wine yang kuminum tadi masih tersisa di sana. Pria dengan kebiasaan aneh itu masih menunjukkan simpatinya kepadaku, dan itu semakin menguatkan tekadku untuk tidak lanjut bercerita.

"Ava?" panggilnya, menagih jawaban. Sekali lagi caranya menyebut namaku seperti aku pantas diperlakukan dengan lembut, selembut suaranya tadi.

"Anggap saja begitu." Aku membalas dengan mata yang berpencar ke penjuru ruangan untuk menghindari tatapannya. Semakin lama, aku merasa transparan jika terus-terusan ditatapnya.

"Itu tidak menjawab pertanyaanku."

"Karena kau tidak ber-aw, ruangan ini berputar."

Aku menunduk dan memejamkan mata, berharap denyut yang tiba-tiba muncul di kepala segera enyah. Aku merasa seperti berada di atas perahu yang terombang-ambing di tengah laut. Ombaknya besar, guncangannya sangat kuat. Aku khawatir akan tercebur dan dinginnya air merengkuhku dengan erat sampai sesak bernapas.

"Alby," panggilku sembari pelan-pelan membuka mata hanya untuk melihatnya. Dia hanya membalas dengan gumaman dan masih berada di posisinya. "Wine-mu beralkohol?"

"Botol kedua, ya. Sekitar 18%. Itu kadar alkohol yang ringan."

"Berhenti berputar," suruhku. Tanganku bahkan terulur untuk meraihnya. Kupikir aku bisa memegangi kepalanya agar tidak bergerak lagi.

Tangan hangat Alby menyambut uluran tanganku. Jari-jarinya besar dan panjang, itu membuatku merasa kecil di hadapannya. Permukannya agak kasar, tetapi berada di genggamannya membuatku merasa nyaman. Aku dengan kesadaran yang tersisa, balas menggenggamnya erat, berharap dengan itu akan menahan Alby agar tidak lagi berputar-putar, walau sebenarnya dia tetap diam di sana. Jujur saja, aku semakin pusing.

"Are you drunk?"

"Aku ... tidak akrab dengan alkohol."

Aku limbung, nyaris terjatuh dan bisa saja kepalaku membentur tepian meja seandainya Alby tidak bergerak cepat menghampiriku. Tangannya berada di kedua sisi tubuhku dan telapak tangannya di punggungku, dia berperan sebagai penopang agar aku tetap duduk dengan tegap. Sesekali mataku terpejam ketika kepalaku terasa semakin pusing. Alby tidak lagi berputar, tetapi jaraknya sangat dekat denganku. Kukerahkan seluruh tenagaku untuk menahan tubuhnya agar dada kami tidak bertemu. Aku tidak akan pernah membiarkannya mendapat keuntungan apa-apa dariku.

"Aku mau pingsan. Lepaskan aku, aku ingin pulang."

"Bahkan di saat mabuk, kau masih sangat kuat mendorongku. Dan apa kaubilang? Pulang? Dengan kondisi seperti ini? Akan kuantar."

Aku menggeleng ketika Alby memegangi kedua lenganku semakin erat dan menariknya agar aku berdiri bersamanya, tetapi kepalaku justru terasa semakin berat dan kupikir aku tidak sanggup berdiri sekarang.

"Cukup lepaskan aku, aku bisa sendiri."

Alby melepaskanku, tetapi tidak menjauh. Aku hampir jatuh lagi, tetapi berhasil mempertahankan posisi dudukku. Sekelilingku sudah tidak bergoyang separah tadi. Hanya kepalaku semakin berat, seperti ada bocah yang duduk di atas kepalaku dan kakinya berpijak di kedua bahu. Dia menahanku agar tidak bergerak.

"Kau bisa berdiri?"

Alby sialan. Di saat aku sedang membencinya, kenapa dia harus sepeduli ini padaku. Apa dia bermaksud mengikis tembok pertahanan yang susah payah kubangun dan belum kering semennya?

"Sebentar. Aku akan pergi sebentar lagi." Aku memejamkan mata lagi. Biasanya ini akan meringankan nyeri di kepalaku. Namun, kali ini rasanya sia-sia saja. Apalagi dengan Alby di dekatku. Bahkan ketika aku membuka mata, dia masih memandangku.

"Aku akan pingsan sekarang," racauku. Kelopak mataku sangat berat untuk dibiarkan terbuka. Hingga akhirnya kubiarkan diriku jatuh menimpa sesuatu yang bidang dan hangat. Aku mulai merasa hangat sebelum kesadaranku sirna dan semuanya gelap.

🎶

Pernahkah kalian terbangun dan terkejut karena semalam tidak tidur di kasur milik kalian sendiri?

Kejadian itu sering terjadi di sini, bahkan mereka tidak akan mempermasalahkannya. Usually, it happened after one night stand. Kautahu, para pengunjung bar akan bertemu dengan lawan jenisnya dan ketegangan seksual muncul berkat alkohol yang mengambil alih kontrol atas diri mereka. Hingga tidak lagi sadar ke mana diajak pergi oleh pasangan dadakan itu. Yang mereka pikirkan hanya nafsu yang terpuaskan. Setelah melalui satu malam yang menyenangkan, mereka akan terbangun di ruangan asing tanpa sosok yang membersamai mereka sebelumnya. Sebagian akan lupa apa yang terjadi semalam, sisanya bisa saja mengingat setiap detail momennya dengan sangat jelas.

Itu terjadi padaku sekarang. Kamar ini asing. Ruangan ini tidak senyaman kamarku, walau kasurnya jauh lebih empuk dan selimutnya sangat tebal. Takada aroma tubuhku, atau laptop yang biasa menjadi teman tidurku. Namun, kasusku berbeda dari orang-orang. Kasur yang kutempati tidak berhamburan, seprai masih terpasang rapi, dan bagian kasur di sebelahku terasa dingin; bukti bahwa bagian itu tidak ditempati semalam. Takada baju yang berhamburan di lantai, milikku bahkan terlipat rapi di atas nakas.

Itulah masalahnya. Baju yang kukenakan semalam tanggal dari tubuhku, menyisakan atasan piyama berwarna merah marun dan tanpa celana. Namun, pakaian dalamku masih menempel erat tubuhku dan atasan yang besar ini mungkin akan menutupi sampai separuh pahaku.

Aku tidak melupakan apa pun; hanya pingsan semalam dan entah apa yang terjadi setelahnya. Tentu saja Alby yang membawaku ke kamar ini. Aku berusaha percaya kalau dia tidak akan mengambil keuntungan dariku dengan melakukan hal-hal menjijikkan ketika aku pingsan. Karena penciumanku tidak sedikit pun mendapati aroma tubuhnya di sekitarku-piyamanya hanya beraroma sabun. Aman. Aku harus merasa tenang. Namun, fakta bahwa dia sudah melihat tubuhku yang nyaris telanjang membuatku naik pitam seketika.

Aku mengibaskan selimut dan segera keluar kamar. Setelah melewati beberapa pintu yang aku tidak tahu ruangan apa di baliknya, akhirnya aku tiba di dapur. Alby ada di sana, berdiri membelakangiku. Dia sedang memasak, karena dari mana lagi asal suara penggorengan kalau bukan darinya.

Alby mengenakan kaos berwarna putih yang tipis itu lagi dan bawahan training berwarna abu-abu gelap. Kali ini gambar tatonya lebih terlihat, seperti ada sesuatu yang membentang sampai ke bahunya. Aku tidak ingin tahu apakah itu kaos yang dipakainya semalam atau kaos yang baru dipakainya pagi ini. Karena aku yakin aroma Alby akan sama enaknya seperti biasa.

"Ck!" Aku berdecak keras ketika tanpa disadari mulai memujinya lagi. Itu berhasil menjadi tanda kehadiranku hingga Alby berbalik dan tersenyum lebar.

"Selamat pagi," sapanya dengan mata yang mengerling ke tubuhku. "Kau tidur dengan nyaman?"

Rahangku mengeras begitu menyadari kalau dia sudah lancang mengganti pakaianku. Tanganku sudah terkepal erat di kedua sisi tubuh. Andai aku tidak bisa mengontrol emosi, pasti sudah mendarat di wajahnya.

"Kenapa kau mengganti pakaianku?"

"Karena kau tidak akan merasa nyaman tidur mengenakan jeans."

"Tapi kau melihat tubuhku!" Intonasiku meninggi. Aku tahu marah tidak akan mengubah apa-apa, tidak pula mampu menghapus ingatannya akan tubuh jelekku di kepalanya. Memalukan. Namun, aku ingin melampiaskan kemarahan ini, setidaknya itu akan mencegah kejadian yang kedua kali.

"Tubuhmu indah, kau tak perlu malu." Dia memuji dengan tenang, seolah-olah yang diperbuatnya adalah sesuatu yang lumrah. Sialnya, pujian itu membuat pipiku memanas, kuharap tidak sampai memerah.

"Aku tidak memintamu melakukan itu!"

"I'm just trying to be a good person. Dan aku sudah berusaha menutup mataku." Alby membuang muka ketika kulihat semburat kemerahan tipis muncul di wajahnya. Reaksi aneh itu membuatku memicing.

"Aku merasa ada tapi di ucapanmu."

Alby mengedikkan bahu dan bersandar pada meja pantri di belakangnya. "Aku tidak berhasil membuat mataku tetap tertutup. Dan lagi, lebih baik kulakukan dengan mata terbuka daripada harus meraba-raba tubuhmu. Ya, walau itu tidak ada ruginya." Dia terkekeh kala mengakhiri ucapannya.

"God! Alby! You're so fucking pervert!" Aku berjalan cepat dan melayangkan kepalan tanganku ke dadanya. Namun, dia jauh lebih cepat menangkap tanganku. "Lepaskan!"

"Agar kau bisa memukuliku? Tidak akan."

Sial. Alby memegangi tanganku sangat erat. Aku sampai kesusahan melepaskan tanganku darinya. Ditambah lagi tenagaku tidak cukup banyak pagi ini. Aku cukup lapar karena sejak tadi malam belum makan apa-apa.

"Menjadi pervert penting untuk reproduksi, demi keberlangsungan makhluk hidup, sekaligus mencetak bibit unggul di masa depan."

"Tetap saja kau lancang! Kita bukan sedang dalam misi menyelamatkan dunia, tahu!"

"Hei, relax. Itu tidak ada bedanya dengan kau mengenakan bikini di pantai dan ditonton oleh banyak orang."

Aku tersenyum miris karena dia merendahkanku, menyamakanku dengan wanita-wanita lain di luar sana.

"Kau tahu, Alby, aku tidak pernah memamerkan tubuhku. Bikini di pantai?" Aku mendengkuskan tawa. "Aku lebih suka berendam di bathtub-ku sendiri pada musim panas. Ini menjadikanmu sebagai pria kurang ajar pertama yang sudah melihat tubuhku."

Entah mendapat kekuatan dari mana aku sampai mampu menarik tanganku darinya. Mungkin saja Alby jadi lengah karena pengakuanku itu hingga genggamannya melonggar tanpa sadar. Aku bergegas kembali ke kamar yang kutempati semalam dan dengan cepat mengganti pakaianku. Tak lupa kukenakan sepatu dan kusampirkan tas selempang sebelum aku keluar dari sana.

"Kau mau ke mana?" tanyanya ketika aku melintasi ruangan yang luas itu.

"Pulang. Tak ada gunanya terus berada di sini. Jangan hubungi aku jika tidak penting."

"Aku sudah memasak untukmu," ujarnya sembari berjalan menghampiriku. Namun, aku mengabaikannya dan mempercepat langkah hingga tiba di depan pintu elevator.

Aku mengernyit kebingungan ketika tidak menemukan satu pun tombol seperti yang ada di samping pintu elevator kebanyakan. Yang ada hanya sebuah kotak kecil serupa alat pemindai dan di atasnya bertuliskan 'please put your card here'.

"Aku yakin kau sedang tidak bertenaga untuk menendang elevator itu agar terbuka."

Dia mengejekku dan aku melihat senyumnya yang sangat menyebalkan. Lagi-lagi aku kalah dari Alby. Dia selalu punya cara untuk membuatku kalah. Di hadapannya, tidak ada lagi si tangguh, Ava.

"Ayo sarapan denganku, aku akan memberikan satu kunci untukmu."

Bisakah hidup ini memiliki tombol skip?

🎶

🎶

Selamat hari Selasa lagi, Fellas!
Bagaimana bab ini? 🙂
Dibuka dengan yang sedih-sedih, lalu diakhiri dengan sesuatu yang menyebalkan. Aku hanya berharap ini bisa menghibur kalian.
Seperti biasa, aku membawakan cuplikan cerita lain dari #SongSeries. Lovesick Girls karya NeissLyn

***

"Gue aja," bisiknya.

Tyssa menyerahkan obeng yang dimaksud. Gelang merah yang selalu ia kenakan jatuh di pergelangan. Berada sejajar dengan gelang hitam yang dikenakan Zian. Tiba-tiba kedua gantungan yang dilengkapi magnet pada gelang itu saling tarik menarik. Menyatu, seperti tautan jari kelingking mereka saat membuat janji, dulu.

Zian terkejut dan spontan menengok. Tyssa masih memakai maskernya, tapi Zian bisa menebak siapa gadis itu dari mata yang berlinang air. Meski tadi ia tak mengenalinya karena rambut sepinggang yang dulu jadi favorit Zian itu kini hanya tersisa seperempatnya.

"Tys ..."

***

See you on next chapter
Lots of Love,
Tuteyoo
13 Juli 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro