Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

108 - "Please, let me go."

⚠️

Tidurku terusik karena tidak ada lagi lengan yang melingkari pinggangku. Udara yang menembus serat-serat kain dari kemeja Nate yang kukenakan terasa dingin hingga membuatku bergidik. Selimut masih menutupi tubuhku, tetapi rasa hangat yang mengantarku tidur sudah tidak ada lagi. Posisiku berbaring berubah telentang. Sisi kiri kasurku sudah kosong, tetapi bagian itu masih terasa hangat. Alby belum lama pergi meninggalkanku. Kenapa dia buru-buru pergi?

Aku ... masih sangat merindukannya.

Tidak kusangka aku berani memintanya agar memelukku. Dengan dia berada di sini, aku tidak memikirkan hal lain lagi selain memanfaatkannya. Aku tidak ingin sendirian. Hyunjoo sedang hamil, tidak baik kalau terus-terusan membuatnya merasakan kesedihanku. Pete sepertinya sudah pindah, karena sehari sebelum Nate pergi, dia sedang berkemas. Andai Dave belum menikahi Hyunjoo, aku pasti menyeretnya ke sini. Jeffrey sangat memperhatikan aku, tetapi dia terlalu posesif dan itu tidak membuatku nyaman bersamanya. Satu-satunya orang yang tepat adalah Alby. Penerbangan dari London ke New York menghabiskan waktu berjam-jam, setidaknya dengan membiarkan dia ada di sini juga berarti menghargai usahanya.

Namun, apa tindakan sudah tepat? Apa boleh aku benar-benar bergantung padanya? Bisakah aku memercayainya?

Aku tidak tahu. Pete akan menjadi orang pertama yang akan berteriak kalau aku sangat bodoh jika masih ingin percaya pada Alby. Hatiku menginginkannya. Nate sudah pergi, hanya Alby satu-satunya pria yang kuinginkan untuk memberi warna kembali di hidupku yang suram. Apakah cukup adil jika Alby harus mengurusku yang hidupnya sudah kacau ini?

Kuharap Mom atau Nate menjemputku. Karena di dunia ini, aku sudah takut berharap terlalu banyak. Aku tidak ingin pada akhirnya Alby juga akan pergi seperti mereka. Takdir senang sekali merenggut semua orang yang kusayangi.

Aku kembali berbaring dalam posisi miring, meringkuk. Tubuhku yang tidak bertenaga ini kupeluk dan kuhirup kuat-kuat aroma Nate yang tersisa dari kemejanya. Ini membuatku merasa bahwa Nate masih berada di sekitarku. Aku ... belum bisa merelakan dia pergi, meski orang-orang berkata itu akan menyulitkannya di kehidupan yang lain. Hanya dia satu-satunya yang memiliki hubungan darah denganku.

Sekarang aku menangis lagi. Tidak hanya air mataku yang mengalir, aku juga meraung. Kupikir tidak masalah karena tidak ada orang lain selain aku. Namun, ketika pintu kamarku tiba-tiba terbuka, aku langsung menutup mulut. Kukira Alby sudah pulang.

"Kenapa kau menangis?" Dia sudah berada di hadapanku, bahkan menarikku ke pelukannya lagi. Aku benci mengakui kalau masih ingin dia berlama-lama di sini. "Ava, sudah. Ada aku di sini, aku tidak akan ke mana-mana."

Aku sudah terisak, tetapi air mataku tidak mau berhenti mengalir membasahi sweter yang dikenakan Alby. Cukup lama seperti ini. Dia sangat sabar mengusap punggung dan rambutku. Aku bahkan tidak pernah membayangkan situasi seperti ini akan terjadi. Maksudku, dulu dia adalah pria yang ingin kusingkirkan dalam hidupku, tetapi sekarang aku justru bergantung padanya.

"Sudah selesai? Ayo, kita harus makan malam. Tubuhmu sangat ringan saat kugendong ke kamar. Sejak kapan kau tidak makan?"

Semua yang ada pada diri Alby terasa begitu hangat. Sentuhannya, pelukannya, bahkan suaranya pun. Debar jantungnya sama cepatnya denganku, dan aku sangat menikmatinya. Berada di pelukannya seperti ini berhasil membuatku meragukan keputusanku untuk pergi.

"Aku tidak ingat. Tapi sekarang aku sangat lapar."

"Kalau begitu kau harus makan." Alby melepaskan pelukan dan memosisikan tangan di lipatan kaki dan punggungku. Dia berusaha menggendongku lagi, tetapi aku menahannya. Aku tidak memakai celana saat ini, dan tangannya yang panas langsung menyentuh kulit lipatan kakiku. Di saat seperti ini, aku tidak bisa menerima sensasi yang berhasil menggelitik perutku.

"Aku akan berjalan sendiri." Lengan kemeja Nate basah karena kupakai untuk menyapukan sisa-sisa air mata di wajahku. Memalukan sekali membiarkan Alby melihat kekacauan di wajahku meski sebenarnya wajar-wajar saja. "Maaf, kau harus melihatku seperti ini."

Alby menghujani wajahku dengan kecupan ringan, sebenarnya terasa sedikit menggelikan karena rambut-rambut halus yang dia biarkan tumbuh di wajahnya. Biasanya aku merasa risi, tetapi kali ini aku membiarkannya. Perasaanku membaik setelah menerima semua itu darinya.

"Aku tidak peduli apa pun kondisimu, Ava. Bahkan aku merasa senang kau membiarkan aku melihat sisi terlemahmu. Aku ingin kau mencariku di saat sulit, menjadi rumah yang lain bagimu." Alby berlutut di lantai. Dia meraih tanganku, menggenggamnya begitu erat seolah-olah dia sedang berpegangan pada tali saat memanjat tebing. Jika dilepaskan, dia akan jatuh.

"Kalau perhatianmu ini semata-mata hanya untuk menebus rasa bersalah, sebaiknya hentikan saja." Kata-kata itu mungkin akan melukainya, tetapi aku tiba-tiba memikirkannya. Sikapku sungguh berkebalikan dengan keinginan untuk membuatnya tetap berada di sini lebih lama lagi.

"Apa yang harus kulakukan untuk membuatmu percaya kalau yang kurasakan ini tulus? Aku sungguh mengkhawatirkanmu. Apa yang kurasakan padamu sudah muncul sejak lama, bukan secara tiba-tiba karena merasa bersalah padamu." Dia menatapku dengan wajah memelas.

"Aku tidak tahu. Pikiran dan perasaanku sedang sangat kacau. Aku takut kau juga akan pergi seperti Nate dan Mom."

Alby menggeleng. "Tidak akan. Aku milikmu, dan akan selamanya seperti itu." Dia menciumi punggung tanganku bergantian, berkali-kali, sampai akhirnya berhenti di tangan kanan. Dia menciumnya sangat lama di sana. "Aku sungguh mencintaimu, Ava. Benar-benar mencintaimu sampai rasanya ingin meledak."

Matanya mulai berkaca-kaca. Aku melihat kesungguhan di sana. Yang perlu kulakukan hanya menerimanya, dan mengatakan kalau aku juga sangat mencintainya. Namun, tidak di situasi ini. Aku ingin menerimanya bukan karena aku sedang membutuhkannya, atau menjadikannya sebagai pengganti Nate. Setelah kematian Nate, kurasa aku perlu membiasakan diri dengan ketiadaannya dulu, serta meluruskan kekacauan di hati dan pikiranku. Benar, kepergianku bukan tanpa alasan. Aku ingin saat bertemu dengannya lagi, aku benar-benar siap untuk membalas apa yang dia rasakan padaku. Itu pun jika dia memang mau menungguku.

"Ava?" Dia memanggilku setelah aku terdiam cukup lama. "Kumohon jangan meragukanku. Kau hanya perlu menerima pembuktian dariku."

Aku menarik tanganku dan menangkup wajah lelahnya. Aku rindu ketika dia tersenyum, tetapi hari ini dia justru harus ikut merasakan kesedihanku. Seharusnya dia cukup pantas merasa tersiksa setelah apa yang dia perbuat padaku, tetapi aku tidak bisa melakukannya. Aku terlalu mencintainya sampai-sampai tidak lagi peduli tentang itu. Rasa ingin terus bersamanya terlalu besar sampai menenggelamkan kekecewaan itu.

"Kau bilang akan melakukan apa saja untukku, 'kan?"

"Tentu saja. Apa pun itu, kecuali membantumu menyusul Nate." Alby memandangku takut-takut sekarang.

"Biarkan aku pergi. Aku ingin ... membenahi hidupku dulu." Sebelah tanganku ada di pipinya, dan satu lagi untuk merapikan rambutnya yang sedikit lebih panjang. "Aku ingin menerima dan membalas perasaanmu dengan benar. Untuk saat ini, aku belum bisa, Alby."

Dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi hanya memandangku dengan tatapan yang sarat akan kekecewaan. Aku bisa terima kalau pada akhirnya dia akan menyerah padaku.

"Sampai berapa lama aku harus menunggu?" Itu sungguh respons yang tidak terduga, meski suaranya berubah serak. Kukira dia akan marah, mengingat rahangnya sudah mengeras dan dua tangannya yang bertumpu pada kasur juga sudah mengepal. Rasanya aneh karena dia tidak memaksaku untuk tetap tinggal. Apa dia sungguhan membiarkan aku pergi?

"Sampai ... kau berhasil menemukanku."

Alby menjatuhkan pandangannya ke lantai. "Apa kau berusaha menghukumku? Bisakah dengan cara lain selain meninggalkanku?" Dia berdiri dan memberi jarak beberapa langkah dariku. Tawanya lepas, seperti ditujukan pada dirinya sendiri dan itu sama sekali tidak terdengar menyenangkan. Sebagaimana tawa adalah sebuah reaksi untuk sesuatu yang menyenangkan, tetapi Alby melakukannya karena merasa kecewa, kedengarannya menyakitkan. "Aku sudah berharap banyak tentang hubungan kita. Seharusnya kau usir saja saat aku datang. Aku tidak peduli hidupmu hancur atau tidak, aku tetap ingin menjadi sesuatu yang berarti bagimu. Tidak bisakah aku terus berada di sisimu? Kita bisa meninggalkan New York bersama."

Aku beranjak menghampirinya ketika dia berbalik badan. Punggungnya yang tegap tampak menggoda untuk kupeluk dan aku melakukannya tanpa ragu.

"Kumohon, Alby. Aku ingin setidaknya sekali saja melakukan apa yang kuinginkan sejak lama. Untuk saat ini, aku mungkin hanya melihatmu sebagai penghibur. Tidak lebih dari itu. Jadi--"

Alby berbalik, membuatku mau tidak mau melepas pelukan. Dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi membungkamku dalam satu ciuman yang sarat akan rasa putus asa. Aku tidak menolaknya, tetapi tidak juga membalasnya. Aku sudah tidak bertenaga dan sentuhan-sentuhan Alby membuatku makin lemas. Saat ini, aku merasa sangat membutuhkan dirinya, lebih dari apa pun. Atas dasar kebutuhan pula, aku membalas ciumannya dengan mata terpejam. Bahunya kuremas kuat-kuat sebagai pegangan. Dia menyadari betapa lemas tubuhku dan menggendongku. Aku spontan melingkarkan kaki di pinggangnya, masih tidak ingin penyatuan ini berakhir.

Pikiranku jadi kosong ketika sebelah tangan Alby mulai menyusup di balik kemeja, membelai punggungku dengan leluasa setelah pengait braku dia lepaskan. Ciuman kami sempat berakhir ketika pantatnya mendarat di sofa dan sekarang aku berada di pangkuannya. Belum selesai aku menarik napas, Alby sudah kembali meraup bibirku.

Rasanya makin panas ketika ciumannya turun, menyusuri garis rahang, leher, sampai dia berhasil menciumi bahuku. Beberapa kancing kemeja yang kupakai sudah dia lepas dan ciumannya kini berada di dadaku. Perasaan aneh macam apa ini? Di mana pun dia menyentuhku, berhasil meninggalkan sensasi yang panas dan mendebarkan. Detak jantungku memenuhi telinga. Perutku bergejolak, meminta lebih dan lebih lagi. Aku tidak peduli kalau pada akhirnya kami akan benar-benar melakukannya. Mungkin ini akan menjadi salam perpisahan kami.

Alby terus menarik pinggulku mendekat. Hingga satu lenguhan kukeluarkan. Tonjolan miliknya baru saja menabrak bagian dalam pahaku. Kukira akan terjadi sesuatu setelah ini, tetapi Alby justru berhenti. Karena aku, dia menahannya lagi.

"Kau membuatku gila." Suaranya serak dan sangat pelan, nyaris seperti bisikan. "Apa kau masih ingin pergi? Tubuhmu, tidak, hatimu juga menginginkanku."

Tubuhku ambruk menimpanya. Aku benar-benar kehabisan tenaga sekarang. Lapar yang kurasakan ini, tidak hanya soal makanan, tetapi juga sentuhannya. Rasanya begitu hampa ketika dia menarik tangan dari tubuhku, mengakhiri semua jenis kontak fisik meski kami tidak sepenuhnya berjarak.

"Seperti yang kubilang, aku ingin memilikimu dengan benar. Kumohon mengertilah."

Alby menangkup wajahku lagi, menyingkirkan helai-helai rambut yang menempel di wajahku, dan mengakhirinya dengan satu ciuman panjang yang lembut.

"Aku harus memberimu makan. Setidaknya isi perutmu dulu sebelum pergi."

Sejak mengatakan itu, Alby jadi bersikap dingin padaku. Meski begitu, dia tetap memelukku saat tidur. Aku tidur nyenyak malamnya dan kehilangan dirinya begitu bangun di pagi hari. Aku takut suatu saat akan menyesali keputusanku, tetapi untuk saat ini kupikir aku sudah melakukan tindakan yang tepat.

•••

Sudah hampir tiga minggu sejak kematian Nate. Dibandingkan seminggu setelahnya, aku sudah jauh lebih baik sekarang. Meski begitu, aku belum benar-benar bisa menyingkirkan keinginan untuk segera menyusulnya. Bayangkan saja, bangun di pagi hari tanpa tahu harus melakukan apa dan tidak punya motivasi untuk melakukan apa pun. Biasanya aku punya alasan melakukannya untuk Nate. Lalu, setelah dia juga bekerja, aku ingin mengumpulkan uang untuk pindah apartemen yang lebih besar, agar aku dan Nate bisa tinggal lebih nyaman. Sekarang aku sendirian, tidak punya pekerjaan dan malas melakukan apa-apa.

Aku memandang wajahku sendiri di cermin. Hasil dari makan yang tidak teratur adalah pipi yang menjadi lebih tirus. Tiga hari lalu aku memotong rambut, sekarang hanya sebatas bahu. Risi sekali melihat rambutku yang terlalu panjang berhamburan di lantai. Rambutku rontok parah karena stres, tetapi aku tidak tahu apa penyebabnya. Lagi pula, aku tidak benar-benar kesepian, teman-temanku akan datang mengunjungi saat sore atau pagi, bahkan Troy juga rutin mengunjungiku setiap jam makan siang sampai sore sejak tahu alamat tempat tinggalku. Mau tidak mau, aku harus menyambut mereka dengan benar, dengan senyuman dan berusaha terlihat baik-baik saja agar mereka tidak khawatir. Kabar baiknya, berkat kunjungan mereka, aku tidak punya banyak waktu untuk menangisi hidup yang menyedihkan.

Hari ini, untuk yang pertama kali sejak kepulanganku dari rumah Jeffrey, aku pergi keluar. Teman-temanku tidak datang dengan tangan kosong dan pemberian mereka itu bisa dijadikan stok untuk di rumah. Aku tidak perlu keluar untuk belanja. Soal pekerjaan, aku sudah resmi berhenti, tentunya berkat bantuan Troy. Pertama kali dia datang ke apartemenku adalah untuk membawakan berkas-berkas yang perlu kutandatangani sebagai karyawan yang mengundurkan diri.

Nate, kukira aku tidak akan bertahan tanpamu lebih dari tiga hari, tetapi Mom benar kalau aku masih cukup beruntung punya waktu lebih banyak untuk hidup. Kalau bukan karena kehilangan dia, aku mungkin tidak akan benar-benar mengapresiasi keberadaan mereka dan tidak akan pernah bersyukur mengenal mereka. Mereka adalah orang-orang baik. Mom juga benar tentang masih ada orang-orang yang peduli padaku yang akan membuat hatiku nyeri ketika mereka ikut merasakan kesedihanku.

Ponsel di tanganku bergetar. Ada satu pesan dari Paula. Yah, semenjak pertemuanku dengan Alby terakhir kali, aku berhenti memblokir nomor mereka. Awalnya sengaja karena aku berpikir Alby akan menghubungiku, tetapi itu tidak terjadi. Aku tidak tahu dia bermaksud menghargai keputusanku atau sedang marah padaku. Sebenarnya itu juga mengganggu pikiranku akhir-akhir ini. Dan untuk Paula, aku mengirim pesan padanya untuk meminta maaf karena sudah memblokirnya, padahal jelas-jelas dia sama sekali tidak terlibat dalam rencana saudaranya.

Paula - Kabari aku kalau sudah di depan gedung. Aku akan menemuimu.

Aku memandang gedung yang menjulang di hadapanku. Sudah lama aku tidak datang ke tempat ini. Tampak luar tidak banyak yang berubah, tetapi melalui pintu kaca transparannya, di dalam sana tampak luar biasa.

Aku kembali menatap layar ponsel dan mengetikkan balasan untuk Paula.

AvaClair - Aku sudah di sini.

Paula muncul dari pintu masuk gedung tidak lama kemudian. Seperti biasa, dia selalu tampil modis. Kali ini celana kulot yang dipadukan dengan sweter tanpa lengan. Outer yang menyerupai jas hanya disampirkan di bahu. Warna hijau tua menyempurnakan penampilannya, lebih-lebih lagi dengan rambutnya yang diurai dan diberi jepit di sebelah kiri. Stiletto yang dikenakannya membuatku harus mendongak jika ingin bicara dengannya. Perbedaan tinggi badan kami sudah cukup signifikan, ditambah sepatu macam itu, aku makin terlihat seperti kurcaci di sebelahnya.

Meski hubunganku dengan Alby sedang tidak baik, Paula masih begitu hangat padaku. Dia menyambutku dalam sebuah pelukan. "Aku suka penampilan barumu, tampak lebih segar meski aku lebih menyukai rambut panjangmu yang bagus."

Aku tersenyum tipis, merasa asing dengan keramahannya. "Terima kasih." Biasanya aku tidak akan ragu menceritakan apa alasan rambutku dipotong, tetapi situasinya sudah tidak sama seperti dulu.

Paula mengajakku berjalan menuju belakang gedung Mate Inc., menyusuri jalan setapak yang dilapisi keramik dan tiba di sebuah kafe yang bangunannya terpisah dari gedung utama. Kafe itu lumayan sepi, mengingat sekarang belum memasuki jam istirahat. Kemarin Paula menghubungiku, menanyakan kapan bisa bertemu karena ada beberapa hal yang harus dibicarakan tentang Nate. Sebenarnya aku tidak sanggup membicarakannya, tetapi aku harus mewakilinya karena Nate masih punya tanggung jawab sebagai karyawan di perusahaannya. Namun, yang kusayangkan adalah, kenapa bukan Alby yang menemuiku? Jelas-jelas dia menempati posisi yang penting di perusahaan.

Aku sangat mengerti kalau dia harus kembali ke London untuk mengurus pekerjaan di sana, tetapi aku juga takut kalau sebenarnya dia memang tidak mau menemuiku. Salahmu, Ava, kau yang membuatnya pergi.

"Kau mau minum apa?"

"Sweet Latte saja."

"Tidak makan?"

Aku menggeleng. "Aku sudah sarapan." Kalau saja sisa puding yang dibeli Hyunjoo kemarin termasuk menu untuk sarapan.

"Maaf, seharusnya kita langsung membicarakan intinya, tapi aku tidak bisa berhenti terpukau dengan penampilanmu. Seperti biasa, gaya berpakaianmu sangat mencerminkan dirimu. Dan kalung itu, sangat cantik."

Aku langsung menyentuh bandul mistletoe dari kalung yang kukenakan. Andai saja dia tahu kalau ini hadiah dari Alby, dia mungkin tidak akan begitu bersemangat membicarakannya. Aku memutuskan untuk memakainya kembali setelah teringat akan keinginannya agar aku tetap menyimpannya.

"Terima kasih. Aku akan bertemu seseorang setelah ini, bisa langsung ke intinya saja?" Satu hal yang tidak berubah dariku, aku tidak suka berbasa-basi.

Paula menyembunyikan senyumnya dalam kuluman bibir. Kurasa kata-kataku tidak terdengar cukup ramah dan bisa saja membuatnya kecewa. "Sebelumnya, aku turut berduka cita atas kematian Nate. Mungkin sangat terlambat, tetapi kita baru bisa bertemu hari ini."

"Aku tidak perlu diingatkan tentang itu. Simpan saja rasa simpatimu itu, tapi aku tetap berterima kasih atas kemurahan hatimu."

Dia berhenti bicara sebentar karena seorang pelayan mengantarkan pesanan kami. Interaksi yang seperti dua orang asing ini sebenarnya cukup menggangguku.

"Kami sangat menyayangkan kepergiannya. Nate adalah karyawan yang luar biasa, kami sangat puas dengan kinerjanya. Dia menunjukkan kecintaannya terhadap pekerjaan ini."

Senyumku mengembang begitu saja setelah mendengar hal-hal baik tentang Nate. Ini membuktikan bahwa Alby menerimanya bukan karena ingin menjadikannya sebagai perantara untuk kesepakatan kami, tetapi karena Nate memang pantas diberi kesempatan.

"Ini adalah aturan perusahaan kami, setiap karyawan yang meninggal, akan diberi santunan untuk keluarganya. Ini untukmu, Ava." Paula mendorong selembar cek ke arahku. Awalnya nominal yang tertera di sana tertutup oleh tangannya, tetapi setelah cek tersebut dilepasnya, aku tidak bisa tidak melotot. Nominal itu bahkan melebihi uang yang Alby keluarkan untuk membayar utang Dad.

Apa setiap karyawan mendapatkan nominal yang sama? Atau mereka mengalikan jumlahnya karena kasihan padaku?

"Aku tidak bisa menerimanya." Kalau dulu, aku mungkin akan menerimanya dengan senang hati, mengingat uang masih menjadi kebutuhan utama untuk memenuhi kebutuhanku dan Nate. Namun, sekarang aku tinggal seorang diri, aku tidak punya keinginan khusus, bahkan punya uang secukup untuk makan dan membeli kebutuhan saja rasanya sudah cukup untukku.

"Tapi Ava, uang ini tidak bisa dikembalikan. Ini sudah dikeluarkan oleh anggaran perusahaan."

"Apa nominalnya memang sebanyak itu?" Sebenarnya merasa curiga seperti ini bukan sesuatu yang baik, tetapi aku tidak tahan menyimpan rasa penasaran ini seorang diri. "Aku juga tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan uang sebanyak itu."

Paula tertawa hambar. Dia bersandar pada kursi dan menyesap minumannya. "Kau benar-benar sesuatu, Ava. Orang-orang akan senang mendapat uang banyak, tapi kau justru kebingungan."

"Aku bukan orang-orang." Aku mengoreksi.

"Iya, aku tahu. Kau juga tidak mudah dikelabui, tapi entah bagaimana Alby bisa berhasil." Paula menghela napas. "Sebenarnya, kami juga menambahkan nominalnya untukmu. Anggap saja untuk membayar jasamu karena sudah turut bermain peran dalam rencana Alby. Ini juga tidak seberapa, dia mendapat keuntungan lebih banyak."

Tidak seberapa katanya? Lama-lama ini terdengar menyebalkan. Aku makin tidak ingin menerimanya tidak peduli sekuat apa dia membujukku. "Kalau begitu, bisa tolong kau berikan pada Alby? Aku sudah berjanji akan mengganti uang yang dia keluarkan untuk membayar utang ayah kami. Dengan begini, aku bisa pergi dengan tenang." Aku mendorong kertas cek itu kembali padanya.

"Ava, Alby sudah menganggap itu lunas. Kau tidak perlu membayar apa pun."

Dia ingin mendorong kertas itu lagi, tetapi aku menahan tangannya. "Kumohon, Paula. Tolong berikan padanya."

Akhirnya dia menarik tangan dari kertas tersebut dan memandangku penuh rasa tidak percaya. Aku pun begitu, tidak percaya kalau pada akhirnya akan menolak sesuatu yang pernah begitu kuharapkan sejak lama.

"Apa kau sangat membencinya?"

Aku memegangi bandul mistletoe dari kalungku lagi. "Ini hadiah dari Alby di hari ulang tahunku, menurutmu kenapa aku masih memakainya?"

"Aku tidak mengerti kenapa kau memutuskan untuk pergi."

Menata hidupku. Meluruskan kekacauan di kepalaku. Memulai kembali hidup yang lebih baik. Aku tidak ingin Paula mendengarnya, karena dia bisa saja melakukan sesuatu yang membuatku goyah. Dia juga pemaksa, sama seperti saudaranya. Setidaknya Alby sudah belajar kalau aku tidak senang dipaksa.

"Kukira kau akan paham sebagai sesama wanita, Paula." Aku sengaja membuatnya berpikir kalau aku melakukannya karena ingin menghukum Alby. Kedua alisnya terangkat, dan aku tahu itu menandakan dia mengerti maksudku.

"Kuharap kau memaafkannya, Ava. Dia pantas diberi kesempatan lagi."

"Kau bicara tentang memaafkan, apa kau juga sudah memaafkan Matthew?" Sebenarnya jika dibandingkan, perbuatan Matthew tidak seberapa dari apa yang saudaranya lakukan padaku.

Bahu Paula menjadi lemas. Aku tidak bermaksud mengungkit masa lalunya yang menyakitkan, tetapi aku juga tidak bisa membiarkan kesalahpahaman di antara mereka terus berlarut-larut. Yah, walau saat itu Matthew sudah merendahkan harga dirinya sebagai seorang wanita yang tidak bisa memberikan keturunan.

"Matthew pria yang jahat, Ava. Alby masih jauh lebih baik darinya."

"Aku lebih suka menyebut Matthew adalah seorang pria yang punya motivasi untuk berbuat jahat." Paula tidak merespons kata-kataku. Itu membuatku berpikir kalau dia mungkin sudah tahu kenapa Matthew sampai seperti itu. "Sekali lagi, terima kasih atas kemurahan hati kalian padaku, pada kami. Aku tidak bisa lama-lama karena ada janji bertemu seseorang. Sampai jumpa lagi, Paula."

Aku beranjak pergi sambil mengepalkan kedua tangan. Ujung-ujung jariku mulai tremor saat aku menyadari kata-kataku melukai Paula. Bahkan untuk menyembunyikannya, aku sampai tidak menyentuh minumanku.

Setidaknya, setelah ini aku bisa meninggalkan New York dengan tenang, tanpa membawa beban atau meninggalkan sesuatu yang belum terselesaikan. Kupikir begitu, sampai akhirnya kuterima pesan dari seseorang yang tidak pernah ingin kutemui lagi.

•••

Maaf ada sodanya :)

See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
20 Maret 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro