Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

106 - Unreachable

Apa yang Alby lakukan sampai ada di sini? Cara orang-orang itu memperlakukan Alby memantik sesuatu di dalam diriku. Tirai jendela yang kupegangi sejak tadi bahkan tanpa sadar sudah kuremas. Aku tidak terima Alby diperlakukan seperti itu.

Sebagai atasan di kantor, tentu saja dia akan tahu kabar tentang Nate--aku selalu ingin menangis begitu memikirkannya. Namun, kali ini perhatianku cukup teralihkan oleh Alby. Kupikir dia tidak akan melakukan penerbangan jauh dan memakan waktu yang tidak sebentar untuk datang. Apalagi aku tahu pekerjaannya sangat banyak dan jadwalnya lumayan padat di sana. Kalau saat ini dia yang berada di sampingku, apa aku akan baik-baik saja?

"Ava, apa yang kaulakukan di sana?"

Jeff kembali dan dia baru saja menutup pintunya. Aku bergeming, masih ingin melihat Alby sampai dia memasuki mobil dan meninggalkan halaman rumah Jeff.

"Ava."

Dia memanggilku sekali lagi dan masih kuabaikan. Aku cukup sadar dia sudah sangat baik karena membantu membawa Nate ke rumah sakit dan menjagaku sampai sekarang. Entah berapa lama aku berada di sini bersamanya, aku belum sempat memeriksa tanggal hari ini dan di ruangan ini tidak ada kalender. Namun, aku tidak bisa tidak marah setelah dia membuat Alby diperlakukan seperti tadi. Dia punya mata di mana-mana, dengan berada di sini berarti sudah pasti karena ada aku. Keinginan untuk menemuinya muncul begitu saja, mengaburkan semua rencana untuk melupakannya. 

Daripada bersama Jeff di sini, kupikir akan lebih baik bersama Alby.

"Apa Alby datang untuk mencariku?"

Jeff mendekat dan berdiri di sebelahku. "Jadi, kau melihatnya."

"Kenapa kau mengusirnya seperti itu?"

"Karena aku tidak bisa membiarkan kalian bertemu." 

Peganganku pada tirai langsung lemas. Tanganku jatuh kembali di kedua sisi tubuh. Mungkin aku sudah melakukan kesalahan karena sudah memberitahunya waktu itu. Meski dia tahu sesuatu, aku tidak perlu bercerita padanya tentang berakhirnya hubungan kami. Aku tidak tahu bagaimana menyebut dirinya sekarang, apakah sebagai orang baik, atau orang jahat. Dia berada di perbatasan.

"Aku yang memutuskan akan bertemu dengannya atau tidak. Hanya karena kau sudah berbuat banyak untukku, bukan berarti kau berhak untuk memutuskan." Yang membuatku sangat marah adalah, dia tidak bersimpati sedikit pun pada Alby yang datang dari jauh. Mungkin dia pernah berbuat buruk padaku, tetapi aku masih punya hati untuk sedikit bersimpati padanya.

"Ava." Jeff meraih tanganku dan membuatku berhadapan dengannya. Aku tidak bisa mengelak karena terlalu lemas, hanya kepalaku yang masih tertuju ke luar jendela meski tidak ada apa-apa lagi di sana. "Dia ... sudah menyakitimu, kau sendiri yang bilang begitu, 'kan? Aku tidak bisa membiarkan dia bertemu denganmu semudah itu. Bagaimana kalau dia berbuat buruk lagi?"

"Kau tahu apa soal itu? Aku mungkin jauh lebih kuat dari yang kaupikirkan. Aku sanggup menghadapi semuanya, kecuali kematian Nate, atau orang-orang yang kusayang. Argh!" Aku melepaskan diri darinya dan mengacak rambut. "Aku ingin pulang. Bajuku di mana? Yang kupakai ini bukan milikku."

Aku berkeliling ruangan seperti orang gila, mencari keberadaan benda-benda yang adalah milikku. Namun, aku tidak menyentuh apa pun, entah itu laci, lemari, nakas, atau tempat penyimpanan lainnya. Rasa ingin pergi dari tempat ini yang begitu besar membuatku tidak bisa berpikir jernih.  Bahkan aku tidak bisa mencari dengan benar. Hanya karena mataku tidak menangkap satu pun, aku sudah menyerah, sekali lagi menggeram frustrasi.

"Tidak, Ava. Kau akan di sini sampai kondisimu stabil." Sekali lagi Jeff berusaha untuk menyentuhku, tetapi aku juga berhasil menepisnya.

"Apa aku sudah tampak gila? Ya. Benar. Kewarasanku hilang sejak truk itu menabrak Nate. Dan sekarang kau menahanku di sini. Aku akan benar-benar gila, Jeff. Kau mungkin akan menemukanku sudah tidak bernyawa besok." Punggungku menghantam dinding setelah berjalan mundur sejak tadi untuk menjauh darinya.

"Kumohon berhenti bicara tentang mengakhiri hidupmu." Jeff terdengar memelas, caranya menatap seperti aku adalah sebuah berlian yang tidak ternilai harganya, sarat akan takut kehilangan.

"Kalau begitu biarkan aku pulang. Aku lebih nyaman berada di rumahku sendiri."

Jeff menghela napas. Seperti biasa, pada akhirnya dia akan selalu menyerah jika aku sudah bersikeras. Terkadang sikapnya yang seperti ini yang akan membuat wanita mana pun tersanjung. Jeff cenderung suka mengabulkan apa yang kumau, meski awalnya harus dibumbui dengan debat tidak berguna.

"Aku akan mengantarmu setelah kau sarapan dulu di sini." Jeff berjalan menuju pintu dan membukanya. Sebelah tangannya terulur agar aku meraihnya. Tentu saja aku enggan.

"Aku tidak lapar. Aku hanya ingin pulang, Jeff, kumohon."

"Kau belum makan dari kemarin."

Lapar? Aku memang nyaris limbung sejak tadi karena tidak bertenaga, tetapi aku tidak merasakan apa-apa termasuk lapar. Lagi pula, mana mungkin aku bisa menikmati hidangan, apa pun jenisnya di situasi seperti ini. Nate tidak bisa makan apa pun, dan rasanya tidak adil kalau tubuhku terus menerima asupan.

"Aku hanya ingin pulang."

•••

Akhirnya Jeff mengantarku pulang. Kami menghabiskan waktu di perjalanan yang cukup jauh dalam diam. Seperti ini lebih baik, diselimuti kesunyian. Aku lelah harus menerima rasa simpati orang lain melalui caranya bicara padaku, tidak peduli jika itu adalah wujud rasa kepedulian mereka. Itu tidak akan membuat Nate kembali, atau membawaku pergi menyusulnya.

Mengakhiri hidup adalah jalan pintas tercepat untuk menyusul Nate dan Mom. Sedangkan aku sendiri tidak tega melakukannya pada diriku. Lantas, Ava, apa maumu sebenarnya?

Selama di jalan, aku juga tidak berhenti memindai tiap-tiap kendaraan yang melaju. Kupikir aku akan menemukan mobil Alby, mengingat dia belum lama meninggalkan rumah Jeff. Akan tetapi, apa yang akan kulakukan kalau melihatnya? Menyapanya seolah-olah tidak terjadi sesuatu di antara kami pun tidak bisa kubayangkan. Rasanya pasti akan canggung. Namun, aku yakin rasanya melegakan meski hanya melihat dia baik-baik saja, dan kuharap bisa meringankan sedikit kegelisahan yang mengganggu ini.

"Ava." Jeff memecah keheningan, yang sejujurnya lebih kunikmati daripada harus mengobrol dengannya. "Ada satu hal lagi yang membuatku tidak ingin dia menemuimu."

Aku tidak tahu apa aku ingin mendengarnya, yang pasti aku enggan merespons apa pun yang dia ucapkan. Yang terjadi hari ini sudah cukup mengecewakan.

"Dia sangat mabuk. Seseorang yang tidak sepenuhnya sadar bisa melakukan banyak hal di luar kendali. Aku tidak mau sesuatu terjadi padamu."

Alby, pria yang menghargai dirinya terlalu tinggi lebih memilih menikmati masalahnya seorang diri daripada membaginya kepada orang lain. Selalu ingin terlihat kuat dan menunjukkan sikap dominan. Alby cenderung seperti itu, dia tidak suka direndahkan dan kejadian tadi jelas benar-benar merusak harga dirinya. Dan aku merasa cukup beruntung menjadi seseorang yang diperlihatkan sisi terlemahnya. Itu berarti dia merasa nyaman dan percaya sepenuhnya padaku.

Sayangnya, aku tidak bisa melihat akhir yang bagus untuk kami.

"Kau yakin ingin pulang? Bagaimana kalau dia datang ke apartemenmu?"

Sejak Jeff bicara, aku sama sekali tidak tertarik untuk mengalihkan pandangan dari luar jendela mobil. Aku ingin dia tahu kalau aku masih kecewa padanya. "Tidak masalah. Mungkin dia akan sangat membantuku untuk segera menyusul Nate."

Jeff tidak lagi bicara. Dan aku tidak peduli bagaimana dia akan menanggapi itu. Yang pasti, aku tersenyum, setelah berpikir bahwa itu ide yang bagus. Karena Alby sudah menghancurkan hatiku, mungkin dia juga mampu menghancurkan duniaku. Dunia yang tidak lagi punya tempat untuk kusebut rumah. Sedangkan aku sangat ingin pulang, sebenar-benarnya pulang.

Mobil Jeff berhenti di depan gedung apartemenku. Sebelum benar-benar keluar dari sana, aku sempat mengucapkan terima kasih dan memintanya untuk tidak ikut aku masuk. Pandanganku mulai berkunang-kunang, tetapi aku masih berusaha agar tetap berdiri tegak. Tenagaku benar-benar terkuras habis sekarang, andai bukan karena terali besi di sisi kiriku untuk berpegangan, mungkin aku sudah tersungkur.

Tempatku berpijak sekarang, adalah posisi di mana aku menyaksikan truk itu menghantam Nate beserta motornya. Kejadian itu masih sangat segar di pikiran. Baru sehari dan aku sudah sangat merindukannya. Aku terus mencari tahu apa alasanku tetap melanjutkan hidup, tetapi aku tidak menemukan satu pun. Sudah tidak ada artinya lagi. Sekarang aku juga tidak punya pekerjaan, meski belum sepenuhnya diberhentikan, tetapi aku yakin Matthew juga tidak akan menerimaku kembali setelah meliburkan diri tanpa izin.

Aku jatuh terduduk di teras gedung dengan kepala bersandar pada terali besi. Sejak tadi aku tidak sadar kalau langit lumayan gelap, dan sekarang mulai turun hujan. Mobil Jeff sudah tidak ada lagi. Dia pergi setelah aku mengancam tidak akan masuk ke apartemen kalau dia masih di sini. Sesak sekali rasanya. Air mataku mengalir bersama air hujan yang membasahi wajahku, padahal aku tidak bermaksud ingin menangis.

Angin yang bertiup membuatku memeluk lutut, berusaha mencari kehangatan yang tersisa. Aku ingin masuk, tetapi di saat yang sama aku juga tidak sanggup melihat semua benda yang pernah disentuh Nate, itu hanya akan memancing semua ingatan tentang dirinya. Satu hari jelas tidak cukup untuk bisa terbiasa dengan kekosongan ini, bahkan mungkin aku tidak akan mampu bertahan lama.

Setelah berusaha menguatkan diri, aku beranjak dari tempatku dan berjalan masuk ke gedung apartemen. Beberapa orang yang berpapasan denganku di lorong tidak berhenti mencuri-curi pandang ke arahku. Seorang wanita dengan mengenakan baju terusan panjang berwarna hitam dan basah kuyup jelas akan menimbulkan rasa penasaran bagi yang melihatnya. Selain itu, meski tinggal satu gedung selama bertahun-tahun, aku tidak banyak bertemu mereka, apalagi saling menyapa. Satu-satunya yang kukenal meski tidak dekat hanya Mrs. Shelley, tetangga sebelah yang merasa kasihan pada yatim piatu seperti kami. Sekarang dia akan lebih kasihan lagi padaku.

"Nona Clairine." Aku menoleh saat Mrs. Shelley, yang baru saja kupikirkan, memanggilku. Aku tidak sadar kapan dia berdiri di ambang seperti itu dengan satu stoples berisi kukis cokelat seperti biasa, hanya saja stoplesnya lebih bagus.

Dia berjalan menghampiriku, tetapi aku sama sekali tidak bisa tersenyum untuk menyambut kehangatannya.

"Aku turut berdua atas kematian adikmu. Bersemangatlah." Remasannya di lenganku membuatku merintih, padahal tidak sekuat itu. "Ini untukmu, kau boleh menyimpan stoplesnya."

"Terima kasih banyak, Mrs. Shelley." Aku berucap lemah, sudut bibirku yang bergetar akhirnya mampu membentuk senyum. Mrs. Shelley masih menatapku, dan aku tidak tahu dengan keraguan di matanya itu apakah ada sesuatu yang lain lagi yang akan dia ucapkan.

"Um, tadi pagi ada seseorang datang dan mencari Nona Clairine. Dia menitipkan nomor ponsel agar kuhubungi kalau sudah datang. Tapi aku tahu situasimu sekarang tidak memungkinkan untuk menerima tamu, jadi aku tidak langsung menghubunginya."

Ah, pantas saja Mrs. Shelley sudah berada di ambang pintu, rupanya dia memang sedang menungguku.

"Seseorang?" Aku memikirkan Alby sebagai seseorang itu, tetapi aku tetap bertanya untuk memastikan.

"Pria tampan yang pernah kutemui waktu itu. Dia tidak menyebutkan namanya. Dia terus meneleponmu, tapi tidak terhubung."

Tentu saja, nomornya masih kublokir dan aku tidak memegang ponsel sejak kemarin. Aku sampai lupa di mana terakhir meletakkannya. Kalau hilang, mungkin sudah pertanda bagiku untuk mengakhiri hubungan dengan dunia.

"Ah, ponselnya ada di dalam. Mungkin mati. Aku yang akan menghubunginya nanti."

Mrs. Shelley mengulum senyum, menyembunyikan rasa kasihan di sana. Aku bisa menerima simpati darinya kali ini. Mrs. Shelley memang cukup memperhatikan kami sejak lama, meski terkadang akan mengomel jika kami tidak segera mengembalikan stoples, atau piring, atau tempat apa pun yang bisa dijadikan sebagai wadah menampung pemberiannya.

Dia meremas lenganku untuk menguatkan. "Aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Jangan lama-lama seperti ini, Nate akan ikut sedih."

"Ya. Akan kuingat. Sekali lagi, terima kasih Mrs. Shelley."

Mrs. Shelley menepuk pundakku satu kali sebelum pergi. Aku menatap kukis di tanganku sebentar. Rasa lapar membuatku ingin segera memakannya.

Kegelapan menyambutku begitu masuk ke rumah. Namun, udara yang seharusnya dingin, justru terasa hangat. Aku meraba dinding sebelah kananku untuk menemukan sakelar dan menekannya begitu kutemukan. Apartemen ini sempat didatangi seseorang sebelumnya. Aku ingat sebelumnya cukup berantakan. Mungkin saat datang Alby tidak hanya mencariku, tetapi juga membantu merapikannya.

Stoples kukis pemberian Mrs. Shelley kuletakkan ke atas meja sementara aku berjalan menuju kamar, yang masih berantakan karena kupikir Alby tidak memasukinya. Ponselku tergeletak di kasur, rencananya ingin kuperiksa dulu sebelum membersihkan diri. Ada puluhan panggilan tidak terjawab dan puluhan pesan pula.

Dua panggilan tidak terjawab dari Matthew.

Tujuh panggilan tidak terjawab dari Troy.

Dua belas panggilan tidak terjawab dari Hyunjoo.

Sepuluh dari Pete.

Terakhir, empat puluh lima panggilan dari satu nomor tidak dikenal.

Aku membuka pesan, mencari yang berasal dari nomor yang paling banyak memanggilku itu, hanya untuk tahu barangkali si pemilik nomor memberitahukan namanya dan apa keperluannya menghubungiku.

+1-646-0000000 - Ini Alby.
+1-646-0000000 - Aku tahu kau tidak akan senang kuhubungi, tapi setidaknya balas pesan ini. Kumohon.
+1-646-0000000 - Aku hanya ingin tahu kabarmu.
+1-646-0000000 - Kau ada di mana? Aku ke apartemenmu, tapi sangat gelap.
+1-646-0000000 - Bisa kita bertemu?
+1-646-0000000 - Sekali saja. Kumohon.
+1-646-0000000 - Bagaimana kau bisa bersama Jeffrey? Kau sedang di rumahnya?
+1-646-0000000 - Aku akan ke sana.
+1-646-0000000 - Angkat teleponku, kumohon.
+1-646-0000000 - Mereka tidak membiarkanku bertemu denganmu.
+1-646-0000000 - Aku merindukanmu. Sangat.
+1-646-0000000 - Maafkan aku.

Bolehkah merindukan seseorang sebegitu dalamnya, padahal aku sendiri yang membatasi peluang untuk kami bisa bertemu?

Aku menatap ponsel dengan rasa bimbang. Muncul keinginan untuk membalas pesannya dan memberi tahu kalau aku ada di rumah. Dia bisa datang kapan pun dia mau, aku tidak akan ke mana-mana. Sayangnya, keinginan itu bertolak belakang dengan akal sehat. Rencana untuk meninggalkan New York akan terhambat jika aku bertemu dengannya. Maksudku, akan muncul pertimbangan baru yang lain jika itu terjadi. Sedangkan aku tidak ingin lebih lama berada di sini. Tidak ada yang tersisa. Sudah tidak ada Nate.

Namun, aku merindukan Alby. Suaranya yang husky, tawanya yang renyah, tatapan kecewanya ketika hal-hal tidak berjalan sesuai harapannya, caranya menyentuhku seperti aku adalah barang yang rapuh, dan aku ingin sekali mengusap punggungnya. Aku rindu semua aspek dalam dirinya meski tahu apa yang sudah dia perbuat kepadaku. Bolehkah aku menjadi egois dan hanya memedulikan apa yang hatiku inginkan? Bagaimana dengan rasa kecewa yang juga kurasakan?

Duniaku tidak lebih dari ruang yang kosong, tetapi aku masih mengharapkan dia datang untuk mengisi semua kekosongan yang ada. Sebagaimana hati dan pikiran yang tidak pernah bisa sejalan, suara di dalam kepalaku terus meneriakkan 'jangan', tetapi tanganku secara impulsif melakukan panggilan pada nomor tersebut.

Mungkin aku sudah gila, tetapi ketika terdengar nada sambung dari ponsel, aku tidak bisa menahan jantungku berdebar begitu kencang. Aku menatap layar ponsel sambil menggigit bibir bawah, menunggu keterangan calling... berubah menjadi durasi telepon tersambung. Ini adalah kali pertama aku menantikan sesuatu sebegitu besarnya.

"Ava? Ava, kau di mana sekarang?"

Air mataku mengalir begitu saja setelah suaranya terdengar. Aku menutup mulut, agar tidak terdengar suara isakan.

"Apa boleh aku menemuimu? Kumohon. Aku tidak bisa berhenti memikirkan kau baik-baik saja atau tidak. Ava? Jawab aku."

Dia masih peduli. Suaranya sarat akan rasa khawatir dan aku mulai percaya bahwa aku tidak benar-benar sendirian.

"Al--"

Aku belum selesai bicara dan ponselku mati. Daya baterainya habis.

•••

Maaf, mereka belum bisa ketemu dulu :"

See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
16 Maret 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro