"Tolong carikan penggantiku untuk berangkat ke Vancouver. Ya, siapa pun yang punya potensi untuk menambah relasi di sana, tanyakan saja pada HRD. Sesuatu sedang terjadi di sini, aku tidak bisa pergi. Tenang saja, aku akan menghubungi mereka. Terima kasih."
Aku menyimpan ponsel dan kembali duduk di sebelah Ava, setelah sebelumnya berdiri agak jauh untuk menelepon. Tubuhnya yang berbalut pakaian lembap tidak berhenti bergetar. Jasku sudah berpindah di punggungnya, berharap itu bisa menghangatkannya. Awalnya kukira dia hanya sedang menggigil kedinginan, mengingat hujan turun, tidak deras, ketika dia berlari menghampiri Nate--begitu nama yang kudengar dari jeritannya--tetapi tremor yang biasa terjadi di tangannya kini menjalar sampai hampir seluruh tubuh. Aku tidak tega melihatnya seperti ini. Kedua tanganku terkepal di atas paha, menahan diri agar tidak memeluknya.
Entah bagaimana kecelakaan itu terjadi, aku tidak terlalu memperhatikan sekitar karena harus menghubungi seseorang, sampai-sampai tidak menyadari Ava sudah di depan gedung kalau saja tidak mendengar teriakannya. Aku menyusul sembari menghubungi 911. Tidak banyak orang di jalan untuk membantu saat itu dan seseorang perlu segera memindahkan motornya agar tidak menghalangi jalan. Aku melakukannya dengan susah payah karena tidak pernah punya satu sebelumnya. Motornya rusak parah, bayangkan saja bagaimana kondisi Nate.
Pengemudi truk kontainer yang menabrak motor Nate diduga mabuk dan kabar terakhir yang kudapat, dia sedang diperiksa di kantor polisi. Dari pengakuannya, dia hanya sedang mengantuk dan rem truknya tidak bekerja dengan baik, tetapi aroma alkohol yang kuat tercium setiap dia membuka mulut. Kabar baiknya, pria itu tidak berusaha kabur dan tampak panik melihat Nate tergeletak di atas aspal dengan darah mengucur dari kepalanya. Helm yang seharusnya melindungi kepala, justru tidak melakukan pekerjaannya dengan benar kali ini. Bagian kaca penutup wajahnya terbuka, dan luka yang ada di wajah Nate diperkirakan berasal dari kacamatanya.
Aku yang tidak punya hubungan apa-apa dengan Nate saja merasa miris melihat kondisinya, apalagi Ava. Air mata tidak berhenti mengalir dari matanya meski dia tidak tampak seperti sedang menangis. Tatapannya yang kosong tertuju pintu ruang IGD, di mana Nate sedang mendapat tindakan di sana.
"Nate akan baik-baik saja." Sebenarnya bukan keahlianku menenangkan diri dengan kata-kata, tetapi tidak mungkin aku hanya diam tanpa melakukan apa-apa.
Cukup lama aku tidak mendapat responsnya, hingga menyadarkanku kalau kata-kata itu sebenarnya sangat buruk, dan klise. Kurasa seseorang memang perlu diyakinkan bahwa yang akan terjadi adalah sesuatu yang baik.
"Kepalaku dipenuhi dengan kemungkinan terburuk. Aku selalu yakin Nate akan kembali padaku. Dia milikku, begitupun aku adalah miliknya. Tapi hari ini ... aku takut kecewa karena harapanku sendiri."
Ava selalu optimis, punya rasa percaya diri yang tinggi pada apa pun yang dia lakukan, dan tidak mengenal kata menyerah ketika menghadapi hal-hal sulit. Hari ini aku justru melihat kebalikan dari dirinya. Ketegasan di suaranya kini terdengar lemah. Selama beberapa tahun mengenal Ava, aku merasa seperti sudah tahu semua hal tentangnya, tetapi hari ini aku seperti orang asing yang tidak tahu harus melakukan apa pada seseorang yang baru kukenal. Saat kami masih bersama, Ava tidak pernah membuatku repot. Dia bukan wanita yang suka mengadu ketika kesulitan, atau cemberut ketika beberapa hal tidak berjalan sebagaimana mestinya, yang ada aku justru harus memutar otak setiap akan memberinya kejutan yang berkesan. Aku terlena akan semua kemudahan menghadapi dirinya hingga tidak siap untuk situasi seperti ini.
Aku memberanikan diri untuk menyentuh tangannya yang dingin dan masih tremor, meski tidak separah tadi. Noda darah Nate mengering di sana. Begitu dia tidak menolak, aku memberanikan diri untuk menggenggamnya. Tanganku tidak cukup panas untuk membuatnya merasa lebih hangat, tetapi aku ingin dia tahu kalau aku akan selalu ada untuknya.
"Aku harus bagaimana kalau Nate pergi?" Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku memang tahu Ava tinggal berdua saja dengan Nate, tetapi tidak pernah tahu kalau pria itu berarti segalanya.
"Ava, adikmu pria yang kuat. Seperti yang kau bilang, dia akan kembali padamu. Percayalah padanya." Kedengarannya memang agak aneh saat kuucapkan.
Ava menoleh, memperlihatkan wajahnya yang pucat dan penuh noda darah di bagian pipinya. Bibirnya bergetar saat berusaha tersenyum. Kilau di matanya lenyap. Orang-orang yang melihatnya akan mengira kalau Ava seperti orang yang ingin mengakhiri hidupnya saat ini.
"Aku benci tempat ini. Aku kehilangan orang yang paling kusayang di tempat seperti ini."Dia menarik tangannya dari genggamanku untuk memeluk tubuhnya sendiri. Diusapnya wajahnya yang basah meski percuma, air matanya tidak berhenti mengalir. "Saat Mom dirawat, aku tidak berhenti berharap dia segera pulang. Tapi kondisinya makin buruk. Kenapa orang-orang yang kusayang harus selalu direnggut dariku?" Ava mulai terisak. "Kenapa?"
Aku tidak tahan lagi, kutarik tubuhnya dalam pelukanku. Aku mendekap tubuhnya begitu erat tanpa peduli noda darah di bajunya akan mengotori bajuku juga, takut kalau dia akan tiba-tiba ingin melepaskan diri. Namun, dia sama sekali tidak melawan. Betapa aku merindukan saat-saat ini. Aku rindu , rindu menerima omelannya setelah itu. Ava sering kali merasa risi dengan terlalu banyak kontak fisik, dan aku sering membuatnya kesal karena selalu punya cara untuk bisa memeluknya, atau sekadar mencium pipinya.
Punggungnya yang bergetar kuusap sangat pelan, seolah-olah dia adalah barang rapuh yang bisa pecah jika salah perlakuan. Dia begitu lemah.
"Kau tidak akan sendirian, Nate akan kembali padamu. Aku dan teman-temanmu, selalu ada untukmu."
Kurasakan dia menggeleng pelan. "Bersamamu di sini saja sudah membuatku merasa buruk." Dia mengatakan itu sembari melepaskan diri dariku. "Kau bisa pergi, Jeff."
Mana mungkin aku bisa pergi dengan keadaannya sekarang?
"Aku akan menemanimu di sini sampai kita tahu Nate akan baik-baik saja." Berada di sini dan siaga untuk apa pun yang dia butuhkan lebih nyaman untukku daripada pergi dari sini dan tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana kondisinya.
Sudah dua jam berlalu dan belum ada tanda-tanda penanganan Nate selesai. Kerongkonganku lama-lama terasa kering, jadi aku memutuskan pergi sebentar untuk membeli minum. Tidak lupa kutawari Ava, tetapi dia hanya menggeleng dan memeluk lututnya.
Ponselku berdering. Aku tidak percaya ini, tetapi Claudia yang meneleponku. Setelah memutuskan untuk mengakhiri perjodohan, kami tidak pernah lagi saling berhubungan, kecuali menyelesaikan apa yang tersisa dari kebersamaan kami. Seperti membersihkan nama kami dari skandal, misalnya. Aku masih penasaran siapa pelakunya mengingat Claudia tidak bersalah, kami memutuskan untuk melupakan dan berhenti berusaha mencari tahu siapa pelakunya.
"Ya?" Sesingkat itu responsku meski kami pernah melalui masa-masa yang menyenangkan. Aku berani bilang begitu karena di awal-awal pertemuan kami, aku sempat tertarik padanya. Kalian tahu, tertarik karena fisik dan tentu saja tidak bertahan lama. Dia memang cantik, tetapi Ava punya fitur wajah yang tidak bosan kupandang. Matanya sangat cantik, dan itu menjadi alasan kenapa aku bisa tertarik padanya dan makin mencintainya setelah mengenal lebih jauh seperti apa dirinya.
"Apa kita bisa bertemu?"
"Kukira kita sudah tidak punya alasan untuk bertemu lagi." Aku berhenti sebentar di lorong rumah sakit yang sepi dan duduk di kursi terdekat. Dari sini aku masih bisa melihat gerak-gerik Ava, meski sangat jauh.
"Ini tentang Ava dan Alby. Kau sudah tahu mereka berakhir, 'kan?"
Kabar tentang berakhirnya mereka memang menjadi kabar baik untukku, dan aku sudah merasakan euforia itu di pesta amal saat aku bertemu Ava. Aku bisa menjadi egois dan akan berusaha keras mendapatkan hatinya lagi. Namun, aku tidak sejahat itu sampai tidak memikirkan bagaimana perasaannya. Dan saat ini aku benar-benar tidak nyaman membicarakan Ava, tidak ketika dia sedang tidak baik-baik saja.
"Kenapa kita harus membicarakan soal itu?"
"Aku membutuhkan bantuanmu, dan kau bisa mendapatkan Ava."
Entah kenapa aku tidak terkejut dengan tujuannya meneleponku. Wanita ini berani menurunkan harga dirinya demi seorang pria seperti Alby. Aku tidak habis pikir. Wanita secantik dirinya akan mudah mendapatkan hati pria mana pun, termasuk aku saat belum tahu bagaimana kepribadiannya yang sebenarnya. Saat pertama kali melihatnya dan bagaimana dia bertutur kata, aku tidak percaya dia punya obsesi berlebihan terhadap sesuatu.
"Aku tidak akan memaksanya. Meski aku tidak tahu apa yang terjadi di antara mereka sampai berpisah, tapi aku tahu mereka saling mencintai. Lupakan saja, Claudia, kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri kalau berusaha mendapatkan apa yang bukan untukmu. Dan aku sungguh tidak punya waktu untuk pembicaraan yang tidak penting ini."
Bahkan kejadian Claudia menabrak Ava saat bermain ice skate masih belum bisa kulupakan. Tidak peduli seberapa banyak air mata penyesalan yang dia keluarkan, aku tetap akan menganggap itu sebuah kesengajaan, mengingat ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mencegah itu terjadi, tetapi dia tidak melakukannya.
"Aku percaya masih ada yang tersisa di antara kami. Alby terlalu cepat bersama Ava, pria itu bisa saja hanya mempermainkannya. Apa tidak ada hal lain untuk membujukmu? Aku tidak ingin mereka kembali bersama, Jeff."
Aku menghela napas, memikirkan kata-kata untuk menghentikannya.
"Itu risiko yang harus kau terima karena meninggalkannya. Terima saja dan jangan libatkan aku lagi."
Aku mengakhiri sambungan telepon tanpa persetujuan darinya. Aku ingat sudah memintanya untuk berhenti menghubungiku, tetapi dia tidak melakukannya. Gara-gara meladeninya, aku jadi membuang banyak waktu meninggalkan Ava.
Aku berdiri, lalu melihat Ava dulu sebelum melanjutkan jalanku mencari kantin atau mesin penjual minuman. Namun, yang kutemukan justru Ava berlutut di lantai dengan dua orang perawat di hadapannya, berusaha untuk membuatnya berdiri lagi.
Itu pasti kabar buruk.
•••
Aroma bunga yang ditabur ke atas gundukan tanah lembap makam Nate memenuhi penciuman. Langit makin gelap meski masih tengah hari. Orang-orang yang berdatangan membawa payung di masing-masing tangan mereka, berjaga-jaga kalau hujan turun. Begitu juga aku, membawa payung yang lebih besar untuk dua orang dewasa.
Aku berdiri jauh di belakang, sengaja membiarkan Ava ditenangkan oleh orang-orang terdekatnya. Pembacaan doa baru saja berakhir dan orang-orang terdekat Ava dan Nate mulai beranjak pergi. Sekarang tersisa kami berlima. Ava masih belum beranjak dari posisinya, memeluk nisan Nate. Dan Hyunjoo tampak kesulitan membujuknya agar kembali berdiri lagi. Rasanya menyedihkan melihat Ava seperti itu, padahal sudah tidak terisak lagi. David dan pria yang berteman baik dengan Ava, yang kuingat namanya adalah Peter, juga menyusul berjongkok di sana, berusaha menenangkan Ava.
Sebenarnya aku juga ingin bergabung, tetapi aku tahu mereka tidak menyukaiku setelah membuat hidup Ava berantakan. Jadi rasanya akan canggung kalau aku berada di sana meski tujuannya adalah untuk Ava.
David menoleh, menatapku, dan aku hanya bisa tersenyum untuk meresponsnya. Pria itu bangkit dan berjalan menghampiriku. Matanya memerah karena habis menangis. Ava dan Nate pasti punya hubungan yang kuat dengannya.
"Tuan Austine, aku dan Hyunjoo tidak bisa lama-lama di sini. Hyunjoo sedang hamil dan akhir-akhir ini agak bermasalah dengan cuaca. Apa bisa kami titipkan Ava bersamamu? Hanya sampai dia mau pergi dari sini."
Aku mengangguk. David adalah karyawanku, dan aku tentu masih perlu terlihat berwibawa demi memperbaiki citraku yang buruk. Lagi pula, dia juga bersikap profesional saat ini. Meski tidak menyukaiku, tetapi dia masih karyawan yang baik di perusahaan.
"Terima kasih." Setelah mengatakan itu, David kembali menghampiri yang lainnya.
Aku baru akan menghampiri Ava ketika hanya tersisa Peter di sana. Namun, pria itu sudah lebih dulu melihatku dan kini berjalan menghampiriku, jadi aku berhenti melangkah tepat di bawah pohon. Meski tatapanku tertuju pada Ava, tetapi aku sangat sadar kalau pria itu menatap sinis ke arahku. Aku tidak mampu mencegah kebenciannya terhadapku, mengingat apa pun yang kulakukan tidak akan semudah itu membuat kadar kebenciannya padaku, tetapi yang mampu kulakukan hanya membuktikan bahwa aku benar-benar peduli pada Ava. Terserah dia mau percaya atau tidak, setidaknya aku sudah melakukan apa yang seharusnya kulakukan.
"Aku berterima kasih karena kau masih peduli padanya. Terima kasih karena menemani Ava menunggu Nate di rumah sakit. Terima kasih juga karena sudah membantu biaya rumah sakit. Tapi kuharap kau tidak menuntut apa-apa darinya. Dia sudah tidak punya apa-apa lagi sekarang."
Mendengar itu dari seseorang membuatku merasa sangat buruk. Tidak kusangka apa yang kuperbuat padanya membawa pengaruh yang begitu besar. Biasanya aku akan melawan, mempertahankan harga diriku, tetapi kali ini aku menerimanya.
"Aku tahu. Aku melakukannya karena ingin. Apa yang kuperbuat dulu sudah cukup untuk membuatku menyesal setengah mati, tidak mungkin aku akan melakukan kesalahan lagi. Dengan dia tidak membenciku saja sudah lebih dari cukup untukku."
"Kalau begitu, bisakah aku memintamu melakukan sesuatu untuk Ava?"
Tidak akan kutolak, ada atau tidak ada untungnya bagiku. Aku menatapnya penuh rasa tertarik, apalagi karena statusnya sebagai teman baik Ava. Apa pun keperluannya, tidak mungkin untuk merugikan Ava.
"Aku tidak bisa mengawasi Ava selama masa terpuruknya karena harus pindah, dia perlu seseorang yang benar-benar memperhatikannya selama di sini, yang mampu meyakinkannya agar tidak ikut mengakhiri hidupnya juga."
Bagian akhir dari ucapannya sukses membuatku tercekat.
"Kau pasti terkejut," ujarnya lagi dan tersenyum masam. "Tapi bagi Ava, keinginan itu lebih besar dari rasa sayang pada dirinya sendiri."
Ava benar-benar seperti wanita yang baru kukenal, dan jelas aku sudah menjadi kekasih yang buruk untuknya. Entah karena aku yang kurang peka, atau Ava yang memang pintar menyembunyikannya.
"Apa yang bisa kulakukan?"
Peter menatap Ava sebentar sebelum kembali padaku. "Kau punya waktu untuk bicara padaku, 'kan? Tenang saja. Ava akan seperti itu setidaknya sampai dua jam ke depan. Dia perlu waktu untuk sendiri. Kita tidak pergi jauh, hanya ke tempat yang sedikit lebih nyaman untuk mengobrol."
Pria ini menyadari kegelisahanku saat dia mulai berkata akan meninggalkan Ava sendirian di sana, tetapi meski dia sudah menjelaskannya pun, aku tetap keberatan meninggalkan Ava di sana seorang diri.
"Seperti yang kau bilang, bagaimana kalau Ava justru mengakhiri hidupnya di sana?"
"Kita tidak jauh, hanya ke kedai seberang sana. Kita masih bisa memantaunya. Dan lagi, kau akan menyesal kalau tidak tahu soal ini."
Pria ini berhasil membujukku.
•••
"Ava, ayo pulang."
Aku memperhatikan sekitar begitu tiba di samping Ava, memastikan tidak ada siapa pun yang memantau. Peter benar, Ava tidak akan melakukan apa pun dan hanya memandang nisan Nate dengan tatapan kosong. Sudah tidak ada lagi cahaya hidup di matanya. Sudah sejam berlalu sejak Peter pulang. Hari mulai gelap, bukan karena mendung lagi kali ini. Malam hampir tiba dan Ava belum makan apa pun sejak tadi pagi, dan aku tidak tahu apakah dia sudah sarapan.
"Tinggalkan saja. Aku masih ingin bersama Nate."
Aku meraih lengannya, memaksanya untuk menghadapku. "Kumohon, Ava. Jangan siksa dirimu seperti ini. Kau belum makan atau minum sejak tadi pagi." Wajahnya terlalu pucat, bibirnya bahkan kering. Ini mungkin kehilangan terberat yang dia alami. Hatiku terasa sakit melihatnya seperti ini.
"Pergilah, Jeff!" Dia menyentak tanganku dengan kuat. Aku mengkhawatirkan kondisinya, tetapi dia masih punya tenaga sebesar itu untuk melepaskan diri. "Bagus kalau aku menyusulnya. Aku sudah tidak punya alasan untuk tetap hidup. Mungkin aku juga akan bertemu Mom di sana. Atau Dad? Aku ingin sekali menghajarnya."
Senyumnya mengembang. Biasanya itu senyum yang cantik, tetapi yang ini membuatku pilu. Ada seberkas harap di matanya begitu memikirkan tentang bertemu ibunya.
"Nate tidak akan senang melihatmu seperti ini, apalagi ibumu. Setiap ibu tidak ingin anaknya terus bersedih." Kurasa aku sudah salah bicara ketika tatapannya berubah murka padaku.
Sekali lagi aku dibuat takjub dengan seberapa banyak tenaga yang Ava miliki. Baru saja dia mendorongku menjauh sampai aku mundur beberapa langkah. Aku ingin menangkap tangannya, tetapi dia sudah lebih dulu menjauh dan duduk di sebelah makam Nate, memeluk nisannya begitu erat.
"Aku kehilangan Nate, Jeff. Nate!" Sebelah tangannya memukul-mukul tanah dan berakhir meremasnya. Erangan pilu darinya tidak tertahankan. Dia menangis, tetapi air matanya tidak mengalir. "Aku tidak punya apa-apa lagi. Kenapa semua yang kusayang pergi? Mom, Dad, dan sekarang Nate. Kenapa Tuhan begitu jahat padaku? Untuk apa dia mendatangkan Nate di hidupku kalau pada akhirnya diambil lagi?"
Aku berjongkok, menyejajarkan wajah dengannya. Dia masih terisak dan aku menangkup wajahnya dengan hati-hati, jempolku bergerak menyapu pipinya seolah-olah ada air mata di sana. Aku sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Semua rasa sakit yang dia rasakan sekarang, tidak sampai padaku. Yang kutahu, dia hancur sehancur-hancurnya.
"Masih banyak orang yang sayang padamu, Ava. Tugas Nate sudah selesai untukmu. Dan dia ... dia juga tidak ingin meninggalkanmu, tapi Tuhan lebih menyayanginya. Dia bahagia di sana, kau juga harus bahagia."
Ava menggeleng kuat sekali. "Nate adalah alasan aku terbangun di pagi hari, dia adalah alasanku bertahan, alasanku tetap menghirup udara yang begitu sesak dan kotor. Alasanku tetap--"
Pegangannya pada nisan mulai melemas saat mengatakan itu, hingga akhirnya dia kehilangan kesadaran. Aku segera maju untuk menangkapnya. Betapa terkejutnya aku begitu merasakan tubuhnya sangat dingin. Dia sudah bediri lama di sini, dijatuhi rintik hujan, dan ditiup oleh angin musim semi yang sejuk.
Aku menggendongnya, membawanya ke mobil dengan langkah tergesa-gesa untuk pulang ke rumahku. Tidak aman bagi Ava tinggal di rumahnya sementara atau di mana pun itu tanpa pengawasanku. Dan aku harus pergi sebelum orang itu bertemu dengannya.
Alby sialan. Tidak akan pernah kubiarkan dia menyentuh Ava meski hanya seujung rambut.
•••
:))
Tenang, itu bukan konflik baru :")) bentar lagi abis. InsyaAllah. Hehe.
See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
26 Februari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro