
102 - Resignation Letter
"Ini salinan surat pengunduran diriku."
Selembar kertas, yang akhirnya kutandatangani setelah mempertimbangkannya seminggu penuh dan tidak lupa membicarakannya dengan Nate. Sempat ada perdebatan dan membuat interaksi kami menjadi canggung selama tiga hari. Keputusan untuk ikut Pete memang agak mendadak, apalagi Nate belum menyelesaikan proyek dan belum mengajukan pengunduran diri, bahkan ketika pengajuan pengunduran dirinya diterima, Nate harus bekerja selama satu bulan dulu sebelum benar-benar berhenti. Aku juga sudah berkata akan menunggunya, mengingat pengunduran diriku juga akan memerlukan waktu sebelum diterima.
Buket bunga yang tidak berhenti dia kirimkan ke apartemen memperkuat alasan untuk segera pergi. Dengan Alby melakukan itu, aku merasa seperti dipantau setiap saat. Matanya ada di mana-mana dan itu sungguh membuatku risi. Belum lagi keberadaanku di Ander-Ads terpantau melalui Jeffrey. Rasanya seperti berada dalam lingkaran obsesif seseorang, semua hal yang kulakukan akan diketahuinya. Bagaimana aku bisa mengakhiri rasa yang menyiksa ini seandainya dia tidak berhenti menunjukkan keberadaannya di sekitarku?
Terakhir, diskusi dengan Nate juga tidak cukup menyenangkan. Aku paling benci membuatnya berkorban untukku, dan aku tidak akan pernah bosan mengatakan ini, tetapi dia memaksa akan menjual motornya untuk biaya transportasi pengiriman barang-barang kami. Pete sudah mencarikan sebuah flat yang tidak terlalu mahal dan cukup untuk kami tempati berdua. Rencananya kami akan memindahkannya ke sana lebih dulu dan menginap di rumah orangtua Pete--tentunya setelah mereka memaksa agar tinggal di sana sementara sampai semua urusan kami selesai.
Aku memperhatikan perubahan ekspresi Matthew lamat-lamat ketika kertas itu berada di tangannya. Surat yang asli sudah kuberikan pada HRD, dan mengingat ada sedikit urusan pribadi antara aku dan Matthew, aku berpikir dia perlu tahu tentang ini lebih cepat.
"Kau yakin?" Kupikir dia akan senang, apalagi dia selalu ingin menyingkirkanku dari perusahaannya. Serangga kecil sepertiku sudah seharusnya dibasmi, begitu yang selalu terlihat dari sorot matanya. Namun, aku menemukan sepercik kekecewaan di sana. Bibirnya dikulum dan keningnya berkerut, seolah-olah sedang memikirkan sesuatu untuk dikatakan lagi dan jika salah memilih kata akan berakibat fatal. Aku berani berpikir seperti itu mengingat hubungan kami sudah mulai membaik.
"Itu yang selalu kau inginkan. Aku sedang mewujudkannya agar kau senang." Sebenarnya sangat berat melepaskan sesuatu yang kusukai. Pekerjaan ini dan semua hal merepotkan di dalamnya, aku menyukainya. Namun, demi awal yang baru, kisah yang lebih ringan, dan bahu yang tidak memikul terlalu banyak beban, memang membutuhkan sebuah pengorbanan yang sebanding--setidaknya begitu yang tertulis di bagian belakang kover buku Troy.
"Tapi itu karena aku terlalu cepat menilaimu. Semua hal yang berkaitan dengan Alby terus membuatku emosi." Punggungnya melakukan pendaratan sempurna pada sandaran kursi, penuh perhitungan karena itu terlihat membuatnya sedikit lebih rileks. "Bukankah ini sangat keterlaluan?" Tatapannya baru saja naik ke wajahku, mengintimidasi dan jelas sangat kesal. Aku sampai melupakan sebagian dari alasan kenapa aku ingin berhenti.
"Bukannya itu hakku?" Sebelah alisnya naik, tersentil oleh sesuatu yang baru diingatnya. Dan itu memberiku sedikit keberanian untuk melanjutkan. "Satu tahun pertama perusahaan tidak bisa memecatku kecuali aku yang mengundurkan diri."
Satu helaan napas dia loloskan. "Biasanya aku akan membiarkan mereka pergi, tapi apa yang bisa kulakukan untuk menahanmu? Posisi yang bagus, kenaikan gaji, atau bonus yang besar? Katakan saja."
Aku merasa tersanjung begitu tahu Matthew merasa aku pantas dipertahankan. Satu lagi impianku yang tercapai. Sayangnya, dengan berat hati aku membalas, "Tidak ada. Ini keputusan yang sudah direncanakan sejak lama. Aku berencana pindah."
Melegakan sekali mengatakan itu pada orang lain. Namun, tidak begitu bagi pria di hadapanku. Aku tahu dia sedang terbebani oleh pekerjaan, yang rasanya seperti merombak habis proyek-proyek yang sudah ada karena pembaruan alur bisnis. Jadwal rapat yang padat, bahkan satu hari bisa tiga kali dengan departemen berbeda. Sekarang aku justru menambah beban dengan kabur dari perusahaannya. Seseorang harus mencari pengganti untuk mengerjakan pekerjaanku dan Elizabeth sedang mengurusnya.
Sebelum menyerahkan suratku ke HRD, aku tentu menghadap ketua tim terlebih dahulu. Wanita itu benar-benar merasa antusias akan rencanaku, bahkan sampai menemaniku ke ruang HRD, dan itu adalah satu-satunya keramahan yang kudapat darinya. Lihat betapa dia sangat ingin menyingkirkanku.
Matthew mengangguk. "Kalau begitu, aku tidak bisa menahanmu." Diletakkannya kertas yang sudah agak kumal itu kembali ke atas meja. "Aku harus membuat pertemuan dengan Jeffrey karena perjanjiannya kemarin adalah membuatmu nyaman berada di sini."
Jarinya sudah menyentuh ponsel, tetapi tidak jadi mengambilnya karena tanganku terulur untuk menahan gerakannya. "Aku akan bicara dengannya."
Matthew memandangku sebentar sebelum mengangkat kembali tangannya dan kembali menari di atas kibor, sebagaimana yang sudah dia lakukan saat aku tiba di sini.
"Aku tidak perlu menjelaskan seperti apa proses pengunduran dirinya, 'kan?" Dia tidak lagi menatapku saat bicara. Sikapnya membuatku merasa seperti baru saja melakukan kesalahan.
"Tidak. Aku sudah diberi tahu." Bahwa setelah pengajuanku disetujui, aku masih harus bekerja di sini satu sampai dua minggu, sampai mereka menemukan pengganti. Itu tidak terlalu lama jika dibandingkan dengan Nate yang masih harus bekerja selama sebulan dulu.
"Kau bisa pergi."
"Terima kasih, Matthew."
Aku berusaha mengabaikan kalau dia kecewa dengan keputusanku. Setelah banyak hal terjadi, terlalu peduli pada perasaan orang lain dan mencampurinya hanya akan menambah masalah. Itu yang terjadi ketika aku terlalu mengkhawatirkan perusahaan Jeff dan mengorbankan yang lain-lain. Aku tidak ingin itu terulang lagi dan mengorbankan rencana kami yang sudah sangat matang.
Begitu pintu ruangan Matthew tertutup sempurna di belakangku, saat itu pula aku harus siap melepas semuanya. Bahkan menginjak tempat ini saja mengingatkanku akan tatapan kebencian yang kuterima dari orang-orang. Kenyataannya, tidak semua orang siap menerima niat baik kita, apalagi yang tidak memerlukannya.
Aku mengeluarkan ponsel dari saku celana begitu ingat kalau harus memberi tahu Jeffrey tentang keputusanku. Keberadaanku di sini hanya memberi akses pada Alby untuk tahu apa saja yang kulakukan.
"Halo, Ava?"
Pria itu apakah terlalu santai sekarang? Teleponku sudah diterima padahal dering pertama belum berakhir. Aku bahkan belum selesai mempersiapkan kata-kata untuk kuucapkan padanya.
"Kau baik? Apa yang bisa kulakukan untukmu?" Dia bicara lagi karena aku masih diam.
"Apa kau punya waktu?" Aku beranjak pergi sambil memperhatikan sekitar, tidak ingin ada orang lain yang mendengar. "Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu."
Hanya gumaman yang kudengar sebelum dia memanggil sekretarisnya. Ms. Markle, wanita itu sudah menjadi sekretarisnya selama bertahun-tahun, tidak pernah mengambil cuti sampai dipaksa ikut ketika aku dan Jeff pergi berlibur, dan belum menikah. Dia wanita yang baik meski aku jarang mengobrol dengannya. Setelah itu suara obrolan mereka terdengar pelan, samar, dan tidak terlalu jelas, mungkin karena dia menutup bagian perekam suara di ponselnya. Namun, aku tahu Jeff sedang mempertanyakan jadwalnya.
"Ava, kau masih di sana?"
"Ya ... ." Tiba-tiba aku merasa tidak enak karena permintaanku tadi membuat mereka berdiskusi cukup lama.
"Aku punya waktu besok pagi sampai jam sepuluh sebelum berangkat ke Vancouver untuk menghadiri undangan. Kita bisa mengobrol dan pergi sarapan sekalian kuantar ke kantor, bagaimana?"
"Sebenarnya kita bisa mengobrol di telepon." Aku tidak siap bertemu dengannya setelah pengakuannya di acara malam itu. Aku juga tidak ingin dia menganggap permintaan mengobrol dengannya sebagai sesuatu yang baik. Dia mungkin akan kecewa setelah tahu apa yang ingin kubicarakan padanya.
"Tidak apa-apa. Aku akan pergi seminggu penuh, setidaknya aku bisa bertemu denganmu dulu."
Itu yang tidak kuinginkan.
"Baiklah." Aku yang perlu dia, sudah seharusnya aku menyesuaikan jadwalnya. "Sampai jumpa besok."
•••
Aku bangun lebih pagi hari ini. Jeff berkata akan menjemputku jam tujuh, jadi aku juga membuat sarapan lebih awal. Selain aku, ada perut lain yang harus diisi dan Nate semalam juga berpesan kalau hari ini ingin makan roti bakar isi daging Salmon dan telur dadar. Tidak ketinggalan selada, tomat, dan alpukat di luar roti. Kami pergi belanja semalam, mengingat aku tidak pernah menyediakan daging salmon di kulkas dan bahan-bahan yang lain juga habis. Marsmallow-nya juga habis. Nate kebetulan mendapat uang dari hasil proyek pertama sistem informasi yang dia kerjakan bersama teman-temannya dan kami belanja sangat banyak. Aku bahkan membeli cokelat merek kesukaanku sampai lima batang.
Semalam kami melupakan definisi dari sebuah kata 'hemat'.
Daging Salmon yang sudah dicuci bersih kuletakkan ke penggorengan pelan-pelan, tentu setelah memastikan margarinnya meleleh, dan tidak kugoreng sampai terlalu matang seperti yang tertera pada resep yang kulihat secara daring. Di samping ikan, aku juga menggoreng telur demi menghemat waktu. Api kompor kukecilkan selagi mengoleskan mentega ke empat lembar roti sebelum dimasukkan ke alat pemanggang yang sudah tua. Pemanggang roti ini adalah benda pertama yang kubeli saat kami memutuskan tinggal di apartemen berdua. Aku terlalu nyaman tinggal di rumah Pete sampai tidak membeli barang-barang yang kiranya akan dibutuhkan ketika tinggal seorang diri.
Tepat setelah roti bakar dengan isinya selesai kubuat, Nate keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai kaus dalam dan celana selutut. Dia menghampiriku sambil menghirup kuat-kuat aroma yang menguar dari roti bakar ala kadarnya milikku. Cokelat panasnya juga sudah tersaji, hanya perlu menambahkan Marshmallow, tetapi kubiarkan dia melakukannya sendiri.
"Kita sarapan enak hari ini." Celetukannya membuatku tersenyum. Dia mengabaikan cokelat panas dan sebungkus Marshmallow di sebelahnya demi segera menikmati roti bakar ala kadarnya itu.
"Hanya jika rasanya enak. Aku tidak mencicipinya selama memasak," kataku, menyusul duduk di seberangnya. Jika bicara tentang aroma, aku setuju dengan ucapannya, ini enak. Namun, aku tidak langsung mencicipinya, sengaja membiarkan Nate memakannya duluan.
Satu potongan besar masuk ke mulutnya, padahal aku yakin itu masih sangat panas, tetapi Nate mengabaikannya. Dia mengunyah sambil menggumam cukup nyaring. Dia memberiku dua acungan jempol karena tidak bisa bicara. Rasanya melegakan kalau itu memang bisa dinikmati.
"Ini sangat enak. Kau bisa membuka kafe jika berhenti bekerja." Baru kali ini aku mendengar pujian seperti itu darinya. Maksudku, dia tidak akan melakukan itu pada saudaranya sendiri. Kalian tahulah, sesama saudara akan canggung jika keseringan saling memuji.
"Aku hanya beruntung pagi ini. Resepnya kutemukan di internet saat kau sibuk di rak sayur." Aku ikut menyuap roti bakar milikku untuk membuktikan ucapannya. Dan kupikir lapar yang kurasakan membuat ini menjadi lebih enak. "Ngomong-ngomong, kau serius tentang menjual motor?"
Sebelah alis Nate naik dan dia buru-buru menelan makanan di mulutnya. "Apa kau tidak bosan menanyakan hal yang sama setiap hari?"
"Hanya berusaha meyakinkan? Siapa tahu kau menyadari betapa berharganya motor itu dan berubah pikiran."
Meski bukan pemiliknya, dan bahkan tidak tahu cara mengendarai, tetapi aku jauh lebih menyayangkan keputusannya menjual motor tersebut. Benda dengan dua roda itu menemaninya sejak awal kuliah dan dibeli dengan sisa uang asuransi ibunya--setelah sebelumnya sebagian besar dipakai untuk membayar sewa apartemen selama beberapa bulan. Kabar baiknya, Nate adalah pemakai yang bertanggung jawab, dia merawat motornya dengan baik. Namun, aku tidak mengerti kenapa dia tidak begitu pada kacamatanya.
"Motor itu tidak ada apa-apanya dibandingkan denganmu." Dia mengatakannya dengan wajah cemberut, sembari menarik selembar tisu di tengah meja. "Jawabannya juga tidak akan berubah, aku tetap akan menjualnya. Ada yang tertarik untuk membeli, kami akan bertemu hari Minggu. Hari ini akan jadi hari terakhir aku pergi bekerja dengan motor." Dia tersenyum lebar sambil mengacungkan jempol kiri.
Aku hanya mengangguk, tidak lagi mempermasalahkan keputusannya. Lagi pula, kalau dia baik-baik saja, kenapa aku harus membuat ribut?
"Aku sudah menyerahkan surat pengunduran diri kemarin."
"Oh, ya?" Nate sudah menghabiskan roti bakar dan sekarang sibuk menambahkan Marshmallow ke gelas cokelat--yang kuharap masih--panas. "Apa rencanamu selanjutnya selain menjadi freelancer?"
"Um ... aku menunggu kabar dari Pete dan pacarnya. Dia bilang akan mengabariku kalau ada lowongan kerja yang sesuai." Lalu kenyataan menamparku. "Mungkin aku akan lebih gencar dengan freelance dulu." Sulit untuk mendapat pekerjaan dalam waktu dekat.
"Aku akan memasukkannya hari ini. Sudah kuketik, tapi belum kucetak. Aku juga belum bicara pada ketua tim. Bahkan Jacob baru mengirim game percobaan untuk dievaluasi dulu." Dia menyesap cokelatnya dan menyisakan embun pada kacamata yang baru dipakainya. "Itu bisa selesai satu sampai dua minggu."
"Kita tidak akan buru-buru, Nate. Santai saja. Ya ... walau aku tidak sanggup lagi menampung semua itu. " Aku menoleh pada setumpuk buket bunga di sudut ruang tamu. Aku tidak punya vas lagi untuk menata semua itu, bahkan mengganti bunga pada vas secara berkala juga cukup melelahkan. Beberapa di antaranya bahkan sudah berguguran bunganya. Andai buketnya kecil, tidak masalah. Yang kuterima justru buket besar yang membutuhkan dua tangan untuk membawanya, benar-benar memakan ruang. "Dia bahkan tidak pernah memberiku buket bunga saat masih bersama."
"Wanita lain akan tersanjung kalau jadi kau."
"Aku akan dengan senang hati kalau ada yang mau bertukar hidup."
Nate berdecih dan tertawa kecil. "Tidak akan ada yang sanggup menjadi dirimu, Ava. Kalau bukan kau, siapa lagi yang mau mengurusku? Tapi kau tenang saja, mulai sekarang aku yang akan mengawasimu."
Hatiku menghangat. Tidak ada lagi yang bisa kukatakan selain tersenyum lebar. Rasanya aku makin siap untuk meninggalkan semuanya di sini selagi itu bersama Nate. Tidak ada hal lain yang lebih berarti darinya.
"Ngomong-ngomong, kau mau berangkat cepat?" Dia bertanya ketika aku mengumpulkan peralatan makan kotor di atas meja makan.
"Pagi ini Jeff akan menjemputku, memberitahunya tentang pengunduran diriku. Aku tidak ingin dia salah paham dan mengira Matthew membuatku tidak nyaman. Selain itu, aku juga tidak ingin dia bercerita pada Alby kalau kita pindah. Itu perlu karena pria itu mungkin akan meneror Jeff tentang kabarku. Sebagaimana yang selama ini aku tahu, Alby selalu punya cara untuk mendapatkan yang dia mau.
"Pria majalah itu tidak mengganggumu, 'kan? Aku masih kesal karena dia memecatmu."
Aku tertawa hambar karenanya. Suara peralatan makan yang bersinggungan saat kuletakkan ke wastafel menutupi betapa terpaksanya tawaku saat itu. Alih-alih mengingat kejadian itu sebagai sesuatu yang menyebalkan, rasa bersalah lebih mendominasi. Lagi-lagi aku membuatnya repot hari ini.
"Dia pria yang baik." Hanya itu yg kukatakan sebelum perhatianku teralihkan pada petir yang baru menyambar. Aku tersentak karena di hadapanku ada jendela kecil dan aku bisa melihat kilat dengan jelas di sini. "Di luar mendung, kau yakin akan berangkat dengan motor?"
Nate tidak menjawab karena sibuk menghabiskan minuman cokelatnya. "Kalau begitu, aku akan berangkat sebelum hujan." Dia menghampiriku bersama gelasnya yang sudah kosong. Namun, dia tidak segera pergi, melainkan memelukku erat dan mencium pipi kananku satu kali. Aku ingin sekali mengacak rambutnya yang basah seandainya tanganku tidak dipenuhi busa sabun cuci. "Aku menyayangimu," katanya sebelum beranjak ke kamarnya.
Dia meninggalkan aroma sabun mandi di sekelilingku dan tidak ketinggalan aroma sampoku. Padahal samponya baru dibeli kemarin, tetapi masih memakai punyaku.
Ponsel yang kuletakkan di atas meja makan berdering, bertepatan dengan gelas terakhir yang kubilas. Aku segera meletakkan gelas itu di rak dan mengelap tangan yang basah.
"Iya, Jeff?"
"Aku sudah di depan apartemenmu."
Aku langsung menjauhkan ponsel dari telinga hanya agar dapat melihat jam. Karena di luar sana mendung, aku tidak menyadari kalau sekarang sudah jam tujuh lewat tiga menit.
"Aku akan turun sebentar lagi, Jeff. Maafkan aku."
Sambungan telepon segera kuakhiri meski Jeff belum merespons. Aku paling tidak suka membuat orang lain menunggu, kecuali jika orang itu sering membuatku menunggunya, dia perlu diberi tahu bagaimana rasanya menunggu.
Aku sudah mandi, juga sudah siap dengan setelan untuk bekerja hari ini, yang lengannya sedikit kumal karena saat memasak tadi kugulung sampai siku. Aku hanya perlu menata rambut sedikit, mengikat ulang menjadi lebih rapi dan memakai pantofel yang kusimpan di rak dekat pintu. Tidak lupa tas kerja kuambil dari belakang pintu kamar saat keluar dari sana.
"Kau juga akan berangkat sekarang?" Nate bertanya ketika mengikat tali sepatu di sofa. Aku berhenti melangkah sekadar untuk menatap lantai di bawah kakinya, memastikan itu tidak kotor karena aku sudah menyapunya tadi pagi. "Sepatuku yang ini masih bersih. Lihat, ini yang kubeli tapi belum pernah kupakai," celetuknya begitu mengerti apa yang sedang kulakukan.
"Ya ... aku ingat kau tidak memakainya karena warnanya menyalahi aturan perusahaan. Tapi kenapa kau pakai?"
Nate menaikkan kacamata sambil tersenyum jahil. "Hari ini aku, kan, mau mengundurkan diri. Tidak apa-apalah terlihat sedikit berandal agar mereka segera mendepakku keluar."
Aku tidak bisa berkata-kata lagi selain bereaksi dengan kerutan di dahi pada perilaku konyolnya. "Kau sudah selesai? Ayo keluar biar pintunya sekalian dikunci."
Jeff tidak berbohong, dia sedang berdiri bersandar pada badan mobil sambil memperhatikan ponsel. Selagi dia belum menyadari aku sudah di luar, aku menyempatkan untuk melepas kepergian Nate dengan motornya. Aku tidak pernah menyadari kalau dia tumbuh sangat baik, bahkan terlihat gagah saat menaiki motornya. Dengan porsi tubuh yang pas meski minim otot, aku penasaran apa dia tidak pernah berkencan sekali pun? Selama ini Nate memang tidak pernah bercerita, atau menunjukkan gelagat seperti seseorang yang sedang jatuh cinta--yang baru aku tahu perbedaannya setelah aku jatuh cinta pada Alby. Mungkin aku akan menjadikan itu topik obrolan kami nanti malam.
Selayaknya seorang ibu yang melepas anaknya ke sekolah untuk pertama kali, membiarkan dia mengenal sendiri dunia yang dia mau, punggung Nate yang sedang melaju dengan motornya tidak luput dari pandanganku. Kukira aku akan melihatnya melewati persimpangan, tetapi lampu lalu lintasnya menyala merah. Namun, ketika truk kontainer besar melaju di belakangnya yang sedang berhenti, aku berharap aku yang sedang berada di sana.
"NATE!"
•••
:"))
Maaf ngaret, Tuteyoo abis buntutin bos ke Bali. Hehehe
See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
3 Februari 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro