Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

101 - Charity Gala

"Hola, Ava."

Aku berjengit kaget ketika satu tepukan mendarat di bahu. Troy tersenyum ramah, sama sekali tidak merasa bersalah, padahal sudah membuatku hampir menjatuhkan ponsel di tangan. Dia tidak peduli ketika beberapa hari lalu kuperingatkan agar tidak sering-sering menemuiku seperti ini saat jam makan siang, tetapi dia terus datang seolah-olah dia tidak punya kenalan lain untuk diajak bicara di gedung ini.

"Hai, Troy. Aku berencana untuk mengajak Ava mencoba menu baru di kafe kantor, tapi aku tidak bisa melakukannya lagi kalau kau berusaha merebutnya." Lauren melepas kacamatanya dengan wajah tertekuk. Suasana hatinya sudah tidak bagus sejak tadi pagi karena Elizabeth tiba-tiba menyerahkan proyek milik anggota yang lain. Konsepnya bahkan tidak dijelaskan padanya. Dan sekarang seseorang akan merebut teman makan siangnya.

Lauren malang sekali. Sedangkan aku tidak bisa berbuat apa-apa karena jika menolak, Troy akan memanfaatkan posisinya di perusahaan.

Troy tertawa, dan aku menyenggolnya agar tidak bermain-main dengan wanita yang sedang sensitif. Dia membuktikan kalau keberadaannya di sini memang hanya untuk mengisi jabatan yang kosong, sekadar tempelan. Namun, dia tidak berhenti menceritakan perkembangan rencananya untuk membangun sebuah rumah penerbitan, apalagi buku pertamanya yang terbit laku keras. Aku beruntung mendapat cetakan pertama dengan tanda tangannya. Sayangnya, aku belum sempat membaca karena sibuk dengan pesanan desain digital.

"Aku bicara sebentar saja. Tapi bisakah kau menunggu di luar? Ini permintaan sebagai atasan, bukan teman." Lihat, apa kubilang? Dia akan memanfaatkan posisinya untuk sesuatu yang sepele.

"Kau beruntung punya jabatan lebih tinggi dari kami, Troy." Lauren mendorong kursinya masuk ke lorong bawah meja dan meraih ponselnya. "Temui aku di lantai dua, Ava."

Aku mengiakan dan membalas lambaian tangan Lauren sampai dia menghilang di balik pintu. Meski Troy bisa menciptakan rumor tidak enak tentang kinerjaku, apalagi Elizabeth juga sudah memperingatkan, tetapi aku tidak bisa mengabaikannya. Dia satu dari sedikit hal baik yang kudapat selama delapan jam bekerja dalam sehari.

"Jadi, ada perlu apa? Kalau kau bertanya tentang ilustrasi untuk bukumu selanjutnya, aku sedang mengerjakannya. Kau tidak perlu khawatir."

"Bukan, bukan itu. Tapi ini." Troy menyodorkan sebuah amplop berwarna hijau muda dengan ukiran timbul berwarna keemasan. Tidak keterangan lebih banyak di sana selain tulisan 'you're invited'. Akan sangat mengejutkan kalau ternyata itu undangan pernikahannya, apalagi dia tidak pernah sekali pun bercerita tentang kehidupan asmaranya.

Aku menerima amplop itu dan menerimanya tanpa berhenti menyoroti wajahnya yang penuh semangat. Pergerakan bola matanya menginstruksikanku agar segera membaca apa yang tertulis di kertas tebal dari dalam amplop tersebut.

"Charity Gala di Central Park Jumat ini. Membaca kode busananya saja aku seketika merasa sangat miskin." Kukembalikan amplop tersebut beserta isinya. "Kau tidak bermaksud memintaku untuk datang ke sana, 'kan? Aku tidak punya apa-apa untuk didonasikan."

"Tidak, tidak. Kau bisa datang untuk mewakili Alby--karena aku yakin dia diundang, kalau dia tidak bisa datang--atau menjadi plus one-ku. Bagaimana?"

Aku mendengar namanya lagi. Troy tentu tidak bermaksud buruk ketika menyebut-nyebut namanya, toh dia tidak tahu kalau kami sudah selesai. Tidak banyak yang tahu, memang. Lagi pula, aku bukan orang yang suka mengumumkan apa yang terjadi padaku kepada orang banyak. Biar saja waktu yang menunjukkan semuanya.

"Aku tidak yakin datang untuk alasan keduanya." Aneh saja orang serbakekurangan sepertiku datang ke acara mewah seperti itu. Jika sebagai pekerja paruh waktu dan melayani para tamu, itu lebih cocok. Aku cukup sering melakukannya saat kuliah, ada sebuah komunitas yang sering kali menyebarkan info tentang lowongan kerja paruh waktu dan aku tidak pernah absen mendaftarkan diri.

"Baiklah, Ava. Aku tidak bisa memaksamu." Troy menyandarkan pinggul pada salah satu meja milik seseorang yg posisinya di belakangku. "Ini acara amal pertama yang akan kudatangi. Seharusnya untuk Matthew, tapi dia harus pergi dan Dad meminta aku yang mewakili sebagai bentuk latihan sebelum aku benar-benar memimpin sebuah rumah penerbitan. Katanya aku akan mendapat banyak undangan ke acara seperti itu." Matanya berotasi dan ada nada malas ketika dia menceritakan soal itu.

Troy sekali lagi menunjukkan padaku betapa dia tidak benar-benar terbiasa dengan hal-hal yang dilakukan oleh para pebisnis. Meski begitu, penampilan dan pembawaannya yang rapi dan cerdas akan berhasil menipu orang-orang hingga mengira dia benar-benar punya peran penting dan banyak memberikan kontribusi, tetapi kenyataannya tidak.

Namun, kupikir aku bisa menerima ajakannya satu kali sebagai bentuk terima kasih atas apa yang sudah dia lakukan untukku, memberi pekerjaan ini misalnya.

"Baiklah. Aku pakai opsi kedua, sebagai plus one-mu. Dan secuil informasi untukmu, aku dan Alby sudah selesai." Pada akhirnya aku harus memberi tahu orang lain pelan-pelan agar tidak mendengar namanya terus, bukan?

Dia menjatuhkan undangan di tangan, reaksi yang tidak kalah dramatis dari Hyunjoo yang saat ìni jauh lebih sensitif. Aku tidak tahu jika kabar berakhirnya kami akan menjadi kabar tidak menyenangkan bagi sebagian orang. Yah, lagi pula, mereka hanya melihat luarnya, tidak di bagian aku adalah umpan.

"Bagaimana bisa? Dia selalu mengeluarkan aura permusuhan saat bertemu denganku. Cemburu berat, ya, seperti itu."

Tengkuk yang tidak gatal kugaruk. Aku tidak tahu mau merespons apa, jadi aku hanya tertawa hambar. Memalukan sekali rasanya kalau dia tahu kecemburuan itu hanyalah permainan peran.

"Kau tahu, hubungan jarak jauh tidak selalu berhasil." Bahkan yang dekat pun masih mengalami kegagalan. Aku menepuk lengan Troy dan tersenyum untuk menunjukkan bahwa aku baik-baik saja, tidak perlu diberi tatapan kasihan seperti yang dia lakukan sekarang. "Aku pergi dulu, Lauren sudah menungguku."

•••

Apa yang kupikirkan ketika menerima ajakan Troy saat itu? Sebagai bentuk terima kasih?

Meski itu adalah sebuah niat yang baik, tetapi diputuskan tanpa pertimbangan yang matang. Menyaksikan keindahan Central Park pada malam hari yang dijadikan venue acara memang sebuah momentum yang luar biasa, tetapi tidak di antara lautan orang-orang asing yang memakai setelan dan aksesoris mahal. Mereka semua melengkapi keindahan dan betapa berkilaunya Cherry Hill, titik utama acara diadakan. Di danau penuh dengan lampu-lampu apung, di sekeliling air mancur juga tidak ketinggalan dari sentuhan tangan-tangan dekorator.

Pertama, aku tidak punya gaun untuk pergi. Semua yang pernah kusimpan sudah kukembalikan pada Alby, termasuk pemberian Paula. Aku bahkan mengira mungkin saja sebenarnya Paula tahu rencana Alby dan mendukung penuh rencana tersebut mengingat dia tidak tampak merasa rugi setelah memberikan banyak baju padaku. Akhirnya, aku memakai gaun dari Jeffrey, yang waktu itu diberikan setelah kami putus dan sebelum dia bertunangan, kebetulan modelnya cocok dengan kode busana acara ini; gaun putih untuk wanita dan setelan jas warna hitam untuk pria Aku pernah berpikir akan menjualnya karena tidak akan pernah kupakai, tetapi itu berakhir di sudut lemariku. Dan aku meminta bantuan Hyunjoo untuk merias dan menata rambutku agar lebih rapi. Dia punya peralatan rias yang lebih lengkap.

Kedua, tidak ada orang lain yang kukenal di sini, kecuali Troy yang datang bersamaku. Namun, pria itu sudah sangat lama meninggalkanku di dekat bufet dan pergi menyapa orang-orang dari rumah penerbit besar. Aku tahu bertemu mereka adalah kesempatan yang bagus bagi Troy untuk bisa mendapat beberapa masukan tentang buku ataupun rencananya membuat rumah penerbitan. Awalnya dia mengajakku, tetapi aku merasa itu akan mengganggu pembicaraan mereka dan beralasan ingin melihat makanan dan minuman yang disajikan di sini.

Ketiga, karena tidak ada yang bisa kulakukan lagi, aku pergi melihat-lihat. Setidaknya aku bisa menikmati keindahan yang memanjakan mata, tetapi kenapa harus ada mereka? Dari banyaknya orang di sini, aku harus menemukan mereka sedang mengobrol di atas Jembatan Bow. Mungkin aku perlu tetap diam di titik di mana aku berkata akan menunggu Troy, tidak perlu pergi ke mana-mana. Bahkan seharusnya aku tidak perlu datang ke sini. Dia bahkan rela pulang untuk datang ke acara ini, padahal bisa meminta orang lain untuk mewakilinya, seperti yang Matthew lakukan ketika meminta Troy untuk datang.

Namun, kenapa harus datang bersamanya? Dari banyaknya wanita, kenapa harus dia lagi? Tidak mungkin kalau mereka tidak datang bersama.

Alby dan Claudia berjalan beriringan sambil membicarakan sesuatu yang menyenangkan. Ya, setidaknya begitu yang terlihat di wajah mereka meski hanya dari satu sisi wajah mereka.

Apakah pantas pergi bersama wanita lain ketika dia baru saja mengirimkan bunga pada mantan pacar yang kemarin berusaha keras dia yakinkan untuk tidak pergi meninggalkannya. Lagi pula, aku tidak tahu apa maksud kiriman bunga itu. Aku tidak bisa menganggap itu adalah usaha agar aku kembali padanya. Dia bahkan tidak berusaha menghubungiku dengan nomor lain setelah aku memblokirnya. Well, bukan berarti aku menginginkannya, tetapi kupikir bunga-bunga itu bisa berarti sesuatu sebelum aku berhenti menerimanya.

Aku tidak sanggup lagi untuk melihat ketika Claudia mendekat dan memeluk Alby. Pria itu tidak menolak, bahkan satu tangannya terangkat untuk menepuk pelan punggung Claudia yang terbuka. Sama sekali tidak terlihat penolakan seperti yang selalu Alby katakan, bahwa dia tidak ingin kembali bersama Claudia. Sekarang semuanya terlihat lebih jelas, entah itu mereka kembali bersama atau tidak, aku hanya bagian dari permainan bisnis Alby. Tidak lebih. Dan seharusnya aku terus berpegangan pada itu sejak awal, bukan malah terlena oleh perlakuannya yang manis, tetapi palsu.

Troy tidak terlihat di mana-mana. Aku berusaha mencarinya di antara tamu-tamu yang berdatangan makin banyak. Apa dia lupa kalau datang ke sini bersamaku? Acara formalnya sudah selesai, tersisa sesi hiburan dan beberapa orang secara bergantian menyanyikan lagu-lagu Jazz diiringi musik dari orkestra di dekat jembatan.

Aku berbalik, bermaksud ingin mencari ke arah lain, tetapi aku harus menabrak seseorang. Aku langsung meminta maaf dalam bungkukan ringan karena merasa tidak.

"Ava?"

Aku tidak ingin menemuinya, bahkan aku sendiri yang meminta agar kami tidak lagi bertemu, tetapi untuk situasi ini aku cukup merasa lega menemuinya di sini. Setidaknya, aku bertemu seseorang yang kukenal di lautan orang-orang kaya ini.

"Hai, Jeff." Begitu saja aku menyapanya.

Jeff menatap wajahku terlalu intens hingga aku harus membuang muka. "Kau berkeringat, mau duduk sebentar dan minum?"

Aku tidak menolak dan mengikutinya menuju meja dengan empat kursi yang posisinya paling dekat dengan danau. Kami duduk berseberangan dengan danau di sisi kananku. Tidak lupa dia mengambil dua gelas minuman berbeda dari bufet.

"Yang itu tidak beralkohol."

Dia masih ingat itu. "Terima kasih, Jeff."

Kukira dia juga akan minum ketika aku melakukannya, tetapi sekali lagi dia memandangku. Ada rasa puas di wajahnya, sampai kemudian aku menyadari dia mungkin merasa senang aku memakai gaun pemberiannya dulu.

"Kukira kau akan menjualnya."

"Tadi kupikir begitu." Kuletakkan gelas kembali ke atas meja. "Tapi aku merasa akan memerlukannya suatu saat nanti, jadi aku menyimpannya."

"Kau terlihat cantik."

Pujian Jeff membuatku merasa tidak nyaman melihat wajahnya lama-lama. "Terima kasih." Jangan berharap aku akan membalas pujiannya.

"Kau datang untuk mewakili Alby?" Kalau dia sudah bertanya begitu, berarti Jeff tidak bertemu Claudia atau Alby di sini. Lagi pula, meski hanya sebagian tempat dari Central Park yang dijadikan venue acara, tetap saja terasa sangat luas. Namun, aku justru melihat mereka di antara orang-orang.

Saat aku melihat Jeff lagi, aku tidak sengaja menangkap pemandangan mereka berdua jauh di belakangnya. Mereka tampaknya akan pergi. Ketika Alby sedang berbicara dengan seseorang, Claudia mengedarkan pandangan hingga akhirnya bertemu tatap denganku. Dia terlihat kaget pada awalnya, tetapi berhasil mengontrol ekspresinya. Kami terus saling menatap sampai akhirnya dia yang mengakhiri lebih dulu. Setidaknya aku masih bisa bersyukur Alby tidak mengetahui keberadaanku di sini. Claudia tentu tidak ingin merusak situasi di mana dia bisa mendampingi Alby lagi.

"Tidak. Aku datang bersama COO kami. Tapi saat kami berpisah, aku tidak kembali ke tempat di mana aku berkata akan menunggunya."

Jeffrey hanya mengangguk. "Tapi namamu terdaftar sebagai donatur, sedangkan nama Alby tidak ada. Padahal ini sangat cocok untuknya. Yayasan yang menyelenggarakan acara ini ingin membuka beasiswa untuk para remaja yang ingin kuliah di jurusan IT."

Namaku? Memang benar tidak akan ada orang lain yang akan memakai namaku selain Alby, tetapi kenapa harus namaku? Kenapa dia terus bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi di antara kami?

"Aku tidak tahu soal itu, Jeff. Dan lagi, kami sudah berakhir. Hubungan kami belum benar-benar siap melawan jarak." Lagi, aku mengatakan itu sebagai alasan kami berakhir.

"Apa?" Oh, kenapa semua orang selalu terkejut dan tidak bisa langsung percaya saja pada apa yang kukatakan? "Bagaimana bisa?"

Aku hanya mengangkat bahu, enggan membicarakan itu lebih banyak dan dia mengerti. Untuk beberapa saat, kami hanya diam. Sampai akhirnya aku ingat sesuatu yang perlu kutanyakan padanya.

"Jeff, Matthew bilang kau mencabut laporan dengan syarat agar aku merasa nyaman, apa maksudnya itu?"

Dia menatapku sembari jari-jarinya bermain-main di atas alas meja berkain beludru warna putih.

"Seperti yang kau bilang, pesan darimu saja tidak cukup untuk melaporkan Ander-Ads. Alby membantuku, dia punya rekam jejak bagaimana Ander-Ads selalu berusaha menjatuhkan perusahaan lawan."

Holy shit! Kenapa pria itu selalu ikut campur dalam semua masalah?

"Tapi setelah kita bertemu di acara makan malam perusahaanku, aku membatalkan rencana dan Alby membantuku lagi, dengan syarat aku harus membuatmu nyaman. Kau mungkin mengira dia tidak tahu apa-apa, tapi dia selalu memperhatikanmu, Ava. Dia bahkan tahu kariermu nyaris terancam. Itu sebabnya aku sulit percaya kalian berakhir. Dan sekarang aku mengerti kenapa dia berhasil mendapatkan hatimu. Itu membuatku iri, sungguh."

Andai Jeff tahu aku memberinya hati karena aku sangat bodoh, tanpa mengira kalau hanya untuk dihancurkan. Kepalaku dipenuhi oleh keraguan apakah Alby melakukan semua itu sebagai bagian dari rencananya atau memang tulus karena dia peduli. Nyatanya sekarang aku sudah tidak bisa lagi menganggapnya sebagai pria yang baik.

"Ava." Jeff menyentuh tanganku karena aku diam cukup lama. "Kau baik?"

Tatapannya tidak pernah berubah sejak dulu, selalu mampu memberi rasa aman. Setidaknya begitu yang pernah kurasakan. Dia memberi kesan kalau aku bisa bergantung padanya kapan saja. Selain karena perjodohan itu, Jeff tidak pernah sekalipun membuatku kecewa, tetapi kenapa aku tidak bisa menyukainya saja?

"Aku tidak tahu. Terlalu banyak hal tidak menyenangkan yang terjadi pada hidupku. Kurasa New York bukan lagi tempat yang aman."

Aku tahu, tidak benar berkeluh kesah pada mantan pacar. Namun, ketika seseorang menawarkan wadah untuk membantu menampung hal-hal yang hampir meluap di kepala, aku tidak mungkin menahannya lagi.

"Kau benar. Yang kaukatakan saat itu benar, dia akan menyakitiku. Itu sudah terjadi." Aku menghela napas, merasa sedikit lebih lega setelah mengatakannya. "Tapi itu bukan sesuatu untuk dipermasalahkan, aku sudah melewati masa-masa itu."

Dia mengangguk. Tentu aku tidak berharap dia ikut campur dan melakukan sesuatu untuk membalas Alby. Dia juga tidak perlu tahu kalau Alby adalah dalang di balik artikel-artikel yang nyaris merusak namanya. "Dan jangan sampai hubungan kalian rusak gara-gara aku. Seperti katamu, dia banyak membantu, bukan?" Aku menambahkan, meski tahu Jeff tidak akan segegabah itu untuk mengambil risiko.

"Aku mengerti. Kau wanita yang kuat, Ava. Tapi kalau kau perlu sesuatu, kau bisa menghubungiku. Aku akan selalu ada untukmu." Jeff mengusap pelan punggung tanganku dengan jempol sebelum melepaskan tanganku.

"Kenapa kau masih peduli? Aku akan merasa sangat bersalah karena tidak bisa membalasmu."

Jeff tertawa renyah, seolah-olah takada beban di pundaknya. Hanya hal sekecil itu saja sukses membuatku merasa iri. Kapan aku bisa tertawa seperti itu, meski tidak terdengar puas, tapi terasa ringan.

"Perasaanku tidak pernah berubah padamu, Ava. Aku mencintaimu tanpa pamrih. Itu keputusanku untuk tetap peduli padamu, aku sudah siap atas risiko apa pun dan aku tahu perasaan tidak bisa dipaksakan datangnya. Bahkan jika kau kembali tanpa perasaan pun, aku akan dengan senang hati menerimanya. Memang, rasanya menyakitkan melihatmu bersama orang lain, tapi itulah risiko yang harus kuterima atas apa yang kurasakan."

"Jeff ... ." Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Tidak pernah kupikirkan kalau akan ada seseorang yang mencintaiku setulus itu. Maksudku, apa istimewanya aku? Apa yang membuatnya merasakan hal sebesar itu padaku?

"Jangan melihatku seperti itu, Ava. Jangan merasa bersalah. Ini salahku karena tidak bisa melupakanmu." Jeff menyugar rambutnya yang mulai kehilangan kilaunya. "Aku anggota penyelenggara acara ini, dan sudah waktunya aku kembali bersama mereka. Tidak apa-apa jika kutinggal?"

Aku mengangguk dan tersenyum dengan mudah. Kebencianku perlahan-lahan menguap karena pengakuannya. Bukan karena terenyuh, tetapi kupikir karena aku berterima kasih atas apa yang sudah dia perbuat selama ini. Aku mungkin akan menganggapnya sebagai teman yang baik, malah sangat baik.

"Ava, rupanya kau di sini. Maaf, lama terpisah denganmu. Ada banyak kenalan Matthew jadi aku tidak bisa tidak menyapa mereka." Troy datang tidak lama setelah Jeff pergi. Aku mempersilakan dia untuk duduk, tetapi pria itu hanya menggeleng. "Sudah hampir tengah malam. Bagaimana kalau kita pulang?"

"Aku akan mengikutimu." Meski sebenarnya aku sangat setuju dengan ide pulang.

Troy mengulurkan tangan, membuat gestur ingin membantuku berdiri. Padahal gaunku tidak selebar itu sampai harus dibantu saat berdiri, tetapi aku juga tidak menolak uluran tangannya. Kami berjalan beriringan, sesekali berhenti melangkah untuk berpamitan pada tamu yang dikenal Troy. Aku juga bermaksud ingin pamit pada Jeff jika bertemu, tetapi aku tidak melihatnya di mana pun.

Di dekat jalan masuk dan keluar ke venue acara, seorang pria bersetelan krem menahan langkahku. Troy kuminta berjalan lebih dulu dan aku akan menyusul. Aku tidak mengenal pria ini, tetapi pakaian yang dia kenakan menunjukkan bahwa dia adalah satu di antara orang-orang yang dibayar untuk mengatur jalannya acara. Dan perannya di sini sebagai yang menyambut tamu, kurasa.

"Maaf, Nona, ada seseorang yang menitipkan ini untuk Anda." Pria berperawakan tinggi besar ini memberiku buket bunga berwarna merah. Seperti biasa, si pemberi selalu menyelipkan mistletoe dan aku tidak perlu bertanya-tanya itu dari siapa.

"Terima kasih," kataku sembari menerimanya. Ada selembar kertas menggantung di salah satu tangkai. Aku mengambil itu dan membacanya.

'I miss you so much, My Love.'

Alby mengetahui kalau aku datang ke sini. Kupikir dia akan fokus pada Claudia sampai tidak lagi memperhatikan sekitar. Aku melihat sekeliling begitu merasakan seseorang sedang memantauku dari kejauhan. Cukup lama begitu sampai kutemukan Alby berdiri sendirian di dekat pagar pembatas venue. Dia tersenyum, tetapi aku tidak bisa membalasnya. Kalau aku tahu dia sedang memperhatikan, mungkin aku akan menolak bunga ini tadi, tetapi apa aku sanggup?

Kenapa dia masih bersikap seperti ini? Begitu mudah dirinya menggoyangkan tembok yang susah payah kubangun. Perasaanku bergejolak, ada keinginan yang muncul untuk menghampirinya dan mengatakan kalau aku juga sangat merindukannya. Namun, akal sehatku terus menahan kaki ini agar tidak secara impulsif mendatanginya ke sana. Dan di tengah pergulatan antara hati dan pikiran itu, Troy menyelamatkanku. Pria itu memanggilku dari dalam mobilnya yang tidak jauh dari jalan masuk. Aku tentu segera menghampirinya dan tidak lagi menoleh ke belakang untuk memastikan apakah Alby masih di sana dan menyaksikannya.

Selagi Alby tahu aku masih di sini, dia tidak akan berhenti melakukan hal-hal konyol ini.

"Dari mana kau mendapatkan bunga itu?"

Tidak ada tempat sampah yang kulewati, jadi buket ini terbawa sampai ke mobil.

"Penjaga itu memberikannya, kurasa dia juga membagikannya ke tamu wanita yang lain."

Troy bukan orang bodoh yang mudah ditipu, tetapi aku tahu dia tidak akan repot-repot memastikannya.

Satu pesan masuk ke ponselku ketika mobil Troy mulai melaju.

Pete - Aku positif akan pindah ke Alaska. Bagaimana dengan kalian? Mau sekalian kucarikan tempat tinggal dengan sewa murah?

•••

:"))

See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
22 Januari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro