Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

100 - After-effect

"Apa kau akan pulang terlambat malam ini?"

Pertanyaan itu kulontarkan begitu Nate keluar dari kamar. Rambutnya lembap dan berantakan, mata sayu yang nyaris tenggelam oleh kantung mata berusaha menatapku dengan ramah. Setidaknya dia sudah mencuci muka dulu sebelum menemuiku. Pemandangan yang dia suguhkan mengingatkanku pada kebiasaan buruknya; begadang. Namun, yang berbeda adalah begadangnya kali ini menghasilkan uang. Nate bersama tiga orang temannya membuat kelompok dan dibayar seseorang atau sebuah organisasi untuk membuat sebuah sistem informasi. Katanya mengerjakan sistem informasi akan menghasilkan uang banyak, dengan harapan kami bisa segera membayar uang yang dihabiskan Alby untuk membayar utang Dad. 

Sepertinya keberuntungan sedang berada di pihak kami, atau Tuhan sedang memberi kami kesempatan untuk terlepas dari segala sumber masalah. Yah, kupikir ada terlalu banyak masalah yang muncul semenjak aku mengenal Alby, hal-hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya yang merasuk ke dalam hidup dan membuat sistem kendali diri menjadi kacau. Dan aku tentu tidak membiarkan Nate berjuang sendirian. Situs freelance kembali aktif kugunakan. Atas saran Troy waktu itu, aku menaikkan sedikit tarifnya. Kira-kira tidak sampai sepuluh persen.

Sebenarnya aku kasihan pada Nate yang harus bekerja ekstra meski dia yang memaksa. Makin dewasa dia, makin keras kepala pula pada keputusan yang sudah dia ambil, tidak tergoyahkan. Aku tidak mampu memengaruhinya seperti dulu lagi. Nate bukan lagi remaja labil yang mudah terpengaruh oleh gertakan saudara yang lebih tua. Sekarang dia lebih dari sekadar tahu apa yang sedang dia lakukan.

"Sepertinya begitu." Dia menguap sebelum menjatuhkan tubuh di kursi. "Tapi aku lebih perlu tidur, jadi mungkin pulang cepat. Kenapa? Kau perlu sesuatu?"

Kami tidak pernah tidak memikirkan kebutuhan satu sama lain.

"Tidak," kataku sembari membuang ke bak sampah kotak susu yang sudah habis kutuang isinya ke mangkuk dan mengambil yang baru dari lemari. "Aku hanya ingin kau lebih memperhatikan waktu istirahat. Tapi aku lega kau berencana pulang cepat."

Dia hanya mengangguk, sebelah tangannya meraih kotak susu yang baru kuambil tadi, membuka tutupnya, dan menuang isinya ke mangkuk. Pagi ini aku hanya menyiapkan sereal, malas memasak. Tinggal bersama Nate tidak membuatku merasa tertuntut untuk masak ini itu. Jika dia ingin sesuatu, dia akan bertanya bagaimana kalau kita membeli sesuatu dari luar, begitu pula denganku. Kondisi sulit menjadikan kami berdua adalah orang-orang yang akan memakan apa saja yang tersaji di hadapan tanpa mengeluh.

"Bagaimana perasaanmu sekarang?" Dia membuka obrolan setelah beberapa saat berlalu dalam keheningan, hanya suara-suara di kepala yang sibuk berdebat dan tentu persinggungan antara sendok dengan mangkuk.

Aku mengedikkan bahu. Setelah semua yang terjadi, setelah hubunganku dan Alby berakhir, dan setelah pertemuan terakhir kami seminggu lalu, aku belum merasakan yang namanya baik-baik saja. Mengakhirinya dan berpikir hidupku akan kembali seperti sebelum bertemu Alby adalah keinginan yang munafik. Satu masalah tersingkirkan, tetapi masalah yang lain belum benar-benar hilang, begitu yang kupikirkan saat memandang vas bunga di tengah meja makan. Setelah memperkenalkan studio itu padaku, dia terus mengirim bunga, seolah-olah menjadi yang paling mengerti kalau aku akan terenyuh oleh tumbuhan cantik itu. Lima hari pertama, aku terus membuangnya, tetapi di hari keenam aku membeli sebuah vas dan meletakkan bunganya di sana. Setidaknya aku bisa memanfaatkan itu untuk membuat rumah menjadi sedikit lebih cantik.

"Dia seperti terus berada di sekitarku walau di setiap bunga yang dia kirimkan tidak membawa pesan apa-apa."

"Kenapa kau begitu yakin kalau itu darinya?"

Kupandang wajah kusut Nate yang sedang mengunyah sereal. Melihat cara makannya yang seperti orang kelaparan parah membuatku tidak berselera lagi untuk menghabiskan sereal di depanku.

"Dia tidak pernah meninggalkan mistletoe di antara bunga-bunga itu. Awalnya kupikir hanya orang iseng, atau Jeffrey; karena dia suka sekali meninggalkan pemberiannya di depan pintu, dan mistletoe itu memang sudah seharusnya ada dalam buket tanpa disengaja. Tapi aku menyadarinya tiga hari kemudian. Buketnya berbeda setiap hari, tapi mistletoe tidak pernah ketinggalan. Hanya Alby yang berpikir aku seperti mistletoe."

Kalung pemberiannya masih kusimpan. Benda itu memang terlalu cantik jika dibuang begitu saja. Desainnya minimalis, tidak terlalu menarik perhatian ketika dipakai. Namun, tentu saja siapa pun yang melihat kilauannya akan tahu kalau benda itu sangat mahal. Sekarang aku cukup bersyukur talinya tidak putus ketika kutarik paksa waktu itu.

"Kau masih mencintainya." Terlalu tiba-tiba mendengar itu darinya, sampai aku tersedak air yang sedang kuminum. "Ini berbeda dari ketika hubunganmu dengan Si Pria Majalah berakhir. Dia tidak membuatmu sampai punya kantung mata yang sangat hitam, melebihi biasanya."

"Well, aku tidak akan mengelak yang satu itu."

Namun, apa pentingnya membicarakan itu pagi-pagi begini?

"Kau yakin dengan mengakhirinya adalah keputusan yang tepat? Memang aku tidak tahu seperti apa yang kau rasakan, tapi situasi ini lebih terlihat seperti kau menyiksa diri sendiri daripada memberinya pelajaran. Kau membencinya sebanyak kau merindukannya."

Nate, aku berusaha mengabaikan perasaan itu, berusaha untuk tidak mengingat betapa besar keinginanku untuk tetap bersamanya dengan terus mengingat betapa buruknya dimanfaatkan oleh pria yang kucintai. Sudah berhasil, aku tidak banyak memikirkan sesuatu tentang ingin kembali padanya atau fakta bahwa aku belum bisa melupakannya. Semudah itu benteng pertahananku diruntuhkan, dan ini membuatku merasa sangat lemah.

"Kau ... aku tidak mengerti kenapa akhir-akhir ini kau sering mengatakan hal-hal tidak biasa, terlalu banyak pertimbangan hingga memicu pemikiran yang lebih bijaksana. Itu memang bagus, tapi aku justru merasa khawatir. Kau seperti sedang berusaha meninggalkan jejak-jejak baik sebelum pergi."

Nate hanya tertawa. Sial sekali, setelah bicara sok bijaksana, sekarang dia malah mengejek orang lain yang sedang merasa tegang. Aku menatapnya dengan cermat, tidak melewatkan seinci pun wajahnya. Di tertawa lepas, nyaris seperti utang Dad yang sedang kami tanggung bukanlah beban hidup. Aku tidak mengerti kenapa mengkhawatirkannya bisa jadi terasa lucu baginya. Sembari menunggunya selesai tertawa, aku hanya bertopang dagu, belum sedikit pun mengalihkan pandangan, tetapi berharap dia mengerti kalau aku sedang melayangkan protes melalui sorot mata kesal.

Kendati begitu, aku tetap mendorong segelas air putih di sisi kirinya ketika dia terbatuk. Karma bekerja sangat cepat. Nate menenggak isi gelas itu sampai habis.

"Tapi, bukannya bagus dikenang orang lain karena hal-hal baik?"

"Sekalian saja kau ceramah pada semua penghuni apartemen." Merasa kesal, aku membawa mangkuk dan gelas yang sudah kosong ke wastafel, tetapi tidak langsung mencucinya. Aku hanya berdiri di sana, memberi waktu pikiran untuk menguasai diri sebentar, setidaknya agar aku bisa membalas kata-kata Nate dengan benar.  "Dan tentang memaafkannya, hatiku tidak sebesar itu untuk bisa menerima perbuatannya."

"Aku tidak setuju kau tidak berhati besar." Aku berbalik karena penasaran apa yang membuatnya berpikir demikian. Dia siap menyerangku dengan kata-kata karena dia menghabiskan isi mangkuknya tanpa mengalihkan pandangan dariku. "Menurutmu bagaimana aku bisa seperti ini sekarang? Aku tumbuh dengan baik, tanpa kesulitan. Kau berusaha keras agar kebutuhanku terpenuhi dan mengesampingkan keinginanmu, padahal jelas-jelas aku anak dari seseorang yang tidak ingin kau lihat wajahnya. Padahal kau tidak akan mendapat apa-apa dari bocah sepertiku."

"Kita saudara kandung, kalau kau lupa. Darah Dad mengalir di tubuh kita berdua. Dan kasusmu dengan Alby berbeda, Nate." Aku benci ketika Nate mulai membanding-bandingkan dirinya dengan kesialan yang terjadi padaku sampai membuatku tidak ingin lama-lama bicara dengannya. Jadi, aku segera mencuci peralatan makan kotor ini dulu. Untuk mangkuk bekas dipakai Nate biar jadi urusan nanti, aku tidak peduli dia akan langsung mencucinya atau membiarkannya sampai aku pulang nanti sore.

Kupikir Nate akan bicara lagi, tetapi sampai aku selesai mencuci, masih terasa hening. Ketika aku berbalik sembari mengelap tangan dengan handuk, yang kutemukan justru dia sedang berpikir keras. Tadinya aku sudah berpikir ingin segera pergi, tetapi lebih penasaran pada apa yang mau Nate katakan.

"Kau pernah bilang ingin pergi, 'kan? Bagaimana kalau pergi bersama? Bernapas di New York mungkin terasa menyesakkan bagimu. Dan aku tidak mau kau meninggalkanku karena tidak ingin aku merasa terbebani, padahal aku belum menuntaskan tugas sebagai saudaramu."

Harusnya aku langsung pergi saja tadi. "Tugas apa maksudmu?"

"Lihat, aku sudah cukup dewasa, bahkan lebih kekar dan lebih tinggi darimu. Sudah waktunya aku menjagamu, bukankah itu tugas saudara laki-laki untuk menjaga saudara perempuannya?"

"Kau tahu, aku setuju soal pergi. Akan kupikirkan lagi dan kubicarakan denganmu, awalnya aku ingin ikut Pete, dan kalau kau juga setuju--"

"Ya, ya, setuju saja. Ayo kita jalani hidup yang lebih baik lagi."

•••

Mejaku sudah bersih, hanya tersisa satu komputer yang dipasang di situ. Kata seorang teknisi, akan sulit dipindahkan karena sistem pengkabelan yang agak rumit. Lagi pula, aku tidak bermaksud ingin membawanya. Keuntungan dari memiliki sedikit barang adalah aku tidak perlu merasa keberatan ketika proses pemindahanku ke ruangan yang lama. Aku akan bertemu Lauren lagi, dan beberapa orang yang belum kukenal baik sebagai rekan kerja. Ketua tim kami, Elizabeth, tidak bersikap cukup ramah padaku sejak awal, dan memburuk semenjak aku dipindahkan ke ruangan dekat Matthew. Sayangnya, orang-orang di sini tidak suka bergosip seperti karyawan di perusahaan Jeff. Aku jadi tidak mendengar desas-desus tentang apa yang wanita itu pikirkan tentangku.

Kembalinya aku ke ruangan terjadi begitu saja. Aku bukan sedang mengharapkan sambutan yang baik, apalagi setelah membuat mereka kerepotan karena harus mengulang sampel untuk proyek. Kupikir setidaknya seseorang akan melihatku dan tersenyum, tetapi tidak satu pun peduli, bahkan ketika aku masih berdiri di ambang pintu dan seseorang ingin lewat, dia tidak berkata permisi dan melewati ruang kosong di sebelahku yang sempit. Dia memintaku menyingkir dengan senggolan bahu.

Aku tidak pernah merasa direndahkan seperti ini sepanjang perjalanan karier, bahkan meski aku kekasih dari pimpinan perusahaan dulu, kinerjaku masih diakui dan dipercaya sebagai penanggung jawab tata letak majalah bulanan. Aku tidak sedang membandingkan dua perusahaan, tetapi menyesali perbuatanku kemarin yang tidak dipertimbangkan matang-matang. Maka dari itu, jangan pernah mengharapkan kebaikan dari orang-orang dan fokus pada apa yang akan kukerjakan. Hari ini, aku punya dua buletin yang harus dikerjakan sebelum dikirimkan ke ketua tim sebelum jam pulang. Tidak masalah tidak ada makan siang bersamanya atau bersama rekan kerja yang lain, yang terpenting, mereka tidak membuat pekerjaanku menjadi sulit.

Lauren juga tampak tidak tertarik dengan keberadaanku. Namun, aku masih berusaha berprasangka baik, dia mungkin telanjur tenggelam dengan pekerjaan serta headphone yang menutup telinganya. Yah, walau rasanya terlalu pagi untuk mendengarkan musik yang berisik.

"Ava."

Suara Elizabeth yang agak serak dengan cepat menarik perhatianku dari komputer. Aku memutar kursi hingga posisi kami berhadap-hadapan. Jarang sekali dia akan menyapaku langsung seperti ini. Biasanya untuk tugas pun dia lebih suka memberi instruksi lewat email.

"Ada yang bisa kubantu?" Agar bisa bertahan di tempat ini, aku harus menahan diri agar tidak membalas sikapnya dengan respons yang tidak ramah. Kuharap senyum ini tidak terlihat sangat terpaksa karena kernyitan di dahinya menunjukkan rasa tidak senang.

"Aku hanya berusaha memperingatkanmu, hanya karena kau dekat dengan Troy dan Matthew mengizinkanmu bekerja di dekatnya, bukan berarti kau bisa bersikap semena-mena."

Itu mengejutkan. Dia terlalu kekanakan jika sampai bersikap seperti itu, sama sekali tidak cocok dengan wajahnya yang jelas-jelas menunjukkan rumitnya kehidupan wanita di usia tiga puluhan akhir dan belum menikah. Rambutnya selalu diikat tinggi dan ditata sedemikian rupa demi menyembunyikan beberapa bilah uban yang tumbuh di sana.

"Aku tidak tahu kesalahan apa yang kuperbuat, tapi sejak aku tiba di sini tiga jam lalu, tidak ada hal lain yang kulakukan selain mengerjakan tugasku. Jika berkenan, bisakah jelaskan lebih terperinci, apa yang sudah kuperbuat hingga itu merusak suasana hatimu?"

Dia bersedekap dan picingan matanya makin tajam. Ujung sebelah kakinya mengetuk-ngetuk lantai, seolah-olah sedang menunjukkan bahwa aku memang sudah melakukan kesalahan dan melupakannya. Damn. Kalau dia akan memperlakukanku seperti ini setiap hari, aku akan benar-benar menyetujui saran Nate tanpa menunggu apa-apa lagi.

"Tidak ada pemberitahuan soal kembalinya kau ke ruangan ini. Tidak ada laporan tentang apa yang kaulakukan bersama Matthew di sana, semua orang berpikir kau sedang merayunya. Bahkan saat kembali ke ruangan ini kau tidak menyapa orang-orang. Ingat posisimu sekarang yang masih berstatus karyawan percobaan."

Astaga. Betapa lucunya dunia ini, ketika mulut bisa menjadi senjata mematikan untuk seseorang yang sedang melayangkan tuduhan tidak jelas pada orang lain.

Sementara itu, aku harus tetap bersikap tenang meski emosiku sudah menyentuh ubun-ubun.

"Pertama, aku tidak punya alasan untuk membuat laporan padamu, mengingat Matthew langsung yang memberiku pekerjaan. Soal aku kembali ke sini, kupikir itu hanya koordinasi kalian berdua. Kedua, kau bisa periksa CCTV untuk membuktikan bahwa aku sama sekali tidak menyentuhnya. Ketiga, bagaimana aku bisa menyapa jika semua orang bersikap seolah-olah aku tidak terlihat?"

Awalnya aku tidak ingin memulai drama, atau mengeluhkan sesuatu yang hanya dipandang sebelah mata oleh orang lain, tetapi aku tidak akan diam saja jika besok-besok dia akan seperti ini lagi. Rasa-rasanya kembali berada di depan ruangan Matthew tidak terasa buruk jika dibandingkan dengan ini. Bagian terbaiknya, orang-orang tidak melihat kemari, tetapi aku cukup yakin telinga mereka cukup aktif untuk mendengar semuanya.

Sekarang apa wanita berdarah Meksiko ini akan mengomel lagi? Beberapa detik berlalu dan tidak ada yang terjadi selain dia melihatku dengan tatapan yang merendahkan.

"Setelah apa yang kau perbuat pada anak buahku, kau tentu tidak berpikir mereka bisa bersikap baik, bukan? Aku hanya memperingatkanmu mengingat aku belum pernah menegurmu selama ini. Orang‐orang dari tim lain terus menyinggung tentang aku yang tidak becus mengawasi kalian. Itu menyiksaku. Reputasiku tercoreng karena kehadiranmu di sini."

Ah, jadi orang-orang di kantor ini tidak bergosip, tetapi membicarakannya langsung di depan orangnya. Well, done. Namun, aku juga jadi merasa tidak enak pada Elizabeth. Baiklah, dia punya alasan bagus untuk tidak menyukaiku.

"Aku sangat minta maaf soal itu." Hanya itu yang bisa kukatakan.

Elizabeth hanya mendengkus keras. Lalu pergi begitu saja tanpa mengatakan apa-apa lagi. Terlalu berat untuk hari kepindahan. Sudah cukup jelas kalau selanjutnya aku akan lebih banyak bekerja sendirian.

"Dia hanya merasa cemburu."

Aku takjub ketika suara Lauren terdengar. Dia sedang melepas headphone ketika aku memutar kursi ke arahnya.

"Sudah jadi rahasia umum di tim kita kalau dia menyukai Matthew. Setelah kau menghadang orang CG waktu itu, Liz dimarahi Matthew habis-habisan karena dianggap tidak mengurus anggotanya dengan benar. Kau tahu, betapa buruk rasanya dimarahi oleh pria yang kau suka. Aku juga cukup menyesal sudah membiarkanmu menyelinap waktu itu. Tapi apa yang bisa kuperbuat?" Lauren mencebik ketika mengangkat bahunya. "Semuanya sudah terjadi."

Setidaknya Elizabeth tidak dimanfaatkan oleh pria yang dia suka. Aku terus berpikir pengalaman asmaraku adalah yang terburuk.

"Aku nekat karena seseorang berkata Matthew berani menjatuhkan perusahaan lawan, lalu kesalahpahaman terjadi. Sementara lawannya pada proyek kemarin adalah perusahaan tempat aku bekerja dulu. Ada beberapa orang yang kukenal baik di sana. Tapi aku justru tidak memikirkan nasib orang-orang di sini."

"Kau tahu, Ava, ayo bekerja dulu. Kita akan makan siang bersama dan kuharap kau bercerita tentang di mana kau mendengar seseorang berkata seperti itu tentang Matthew."

Aku tidak tahu harus mensyukuri ini atau tidak. Makan siang bersama terdengar bagus, tapi tidak jika bercerita tentang Matthew. Sumber informasiku tentang dia adalah Alby. Meski baru memikirkannya, aku merasa sesuatu terbakar dalam diriku. Tentu itu bukan panas karena emosi, tetapi ledakan kebencian yang bercampur dengan rindu. Aku merindukannya, tetapi di saat aku bertemu dengannya, mungkin aku lebih ingin menampar wajahnya.

Nate benar. Aku masih belum bisa mengabaikan perasaanku pada Alby.

•••

:))

See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
15 Januari 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro