10 - The Rules
🎶
A kiss is meant for something special. —Ava
🎶
Musik EDM yang diputar di bar ini sungguh memekakkan telinga walau aku menyukainya. Aku sampai kerepotan memindahkan dua gelas besar bir dan tasku dari meja bartender ke meja di sudut ruangan. Tak masalah jika gelap, yang terpenting telingaku tidak mendadak tuli karena terus-terusan dihantam musik yang nyaring. Posisi meja ini mengingatkanku pada Alby—maksudku, saat pertama kali melihatnya teler dengan berbotol-botol alkohol. Mungkin itu gin atau bourbon, aku tidak melihatnya dengan jelas.
Siapa yang akan menduga kalau akhirnya aku tahu apa penyebab Alby teler waktu itu. Mungkin di hari yang sama ketika aku diberhentikan dari pekerjaanku, Alby baru saja kehilangan Claudia. Bedanya, dia tidak cukup kuat dariku. Entah sebesar apa cintanya sampai seperti itu. Dan, ya, itu mengingatkanku kalau dia sama sekali belum menghubungiku untuk membahas kelanjutan hubungan kami. Dan aku tidak tahu kapan dia akan membayar utang Dad.
Andai aku tahu kalau menjadi pasangan pura-puranya berarti aku tidak diteror lagi, mungkin aku sudah menerimanya sejak awal. Seminggu ini jauh lebih menenangkan tanpa diganggunya. Namun, apa arti menjadi pasangannya jika kami tidak pernah berkomunikasi lagi?
Aku menyesap birku sedikit, sambil memastikan kondisiku tetap sadar sebelum Hyunjoo datang. Dengan meminumnya sedikit demi sedikit, aku bisa mengontrol diriku dan tahu kapan saatnya berhenti. Mungkin aku hanya kurang terbiasa minum alkohol hingga mudah sekali mabuk meski tak sampai menghabiskan satu botol.
Seperti yang sudah kuperkirakan sebelumnya; ketika memberi Hyunjoo clue tentang aku dan Alby, dia akan memikirkannya sampai kesal karena tak mampu mendapat jawaban apa pun. Hingga akhirnya menghubungiku untuk bertemu. Untuk itulah aku ada di sini. Kemarin Hyunjoo menelepon dan bertanya kapan bisa bertemu. Si pengangguran ini, waktunya luang kapan saja—kecuali tengah malam hingga dini hari.
"Kau datang sendirian?"
Hyunjoo yang baru datang itu membanting tas di atas meja dan mengibaskan rambut panjang bergelombangnya. Kemejanya tampak kumal, aku mengira dia tidak pulang dulu tadi, dan langsung menuju ke sini dari kantor.
"Memangnya aku harus membawa siapa?" Mataku tertuju pada gelas bir yang ditenggaknya dengan kuat hingga kembali ke atas meja lagi dengan isi yang tersisa setengah. Hyunjoo lumayan kuat minum alkohol.
"Pria keren yang kemarin, mantannya Claudia. Kau tak boleh menyia-nyiakan bibit unggul sepertinya, bisa untuk memperbaiki keturunan."
Begitulah Hyunjoo, tidak tanggung-tanggung jika memuji seseorang, tetapi taksadar sudah membuat orang lainnya tersinggung.
"Apa maksudmu dengan memperbaiki keturunan? Sejelek apa aku di matamu?" Dan aku bergidik ngeri saat terlintas pikiran tentang memiliki keturunan bersama Alby. Tidak bisa kubayangkan kalau dia sampai menembakkan bibit produksinya dalam perutku. Gila!
"Takada salahnya mendekati pria itu." Hyunjoo menenggak birnya lagi, dengan telunjuk kirinya naik ke atas, mengisyaratkan bahwa dia akan bicara lagi. "Jadi apa maksudmu tentang kepalsuan?"
"Yang waktu itu? Artinya tidak ada apa-apa di antara kami berdua." Aku mengatakannya tanpa keraguan sedikit pun. Bahkan tidak perlu jeda untuk berpikir.
"Tapi dia mengatakan sesuatu tentang melaksanakan ritual. Seperti kalian sudah cukup lama bersama dan melakukan—"
"Shut it!" potongku sebelum dia mengatakan sesuatu yang tidak-tidak. "Kau lebih percaya aku atau pria asing yang baru kautemui beberapa detik?"
Parah. Pertanyaan itu membuat Hyunjoo tampak sedang menimbang-nimbang jawabannya. Rasa kesal kulampiaskan pada bir yang kutenggak cukup banyak dalam sekali tegukan. Beruntungnya, aku langsung berhenti di tegukan ketiga. Aman, aku masih sadar dan kepalaku belum pusing.
"Aku ingin percaya padamu, tapi di sisi lain aku juga berharap dia benar-benar pacarmu. Alby is limited edition!"
Benar. Andai Hyunjoo tahu, stoknya juga sudah habis. Dia hanya satu dan sudah mendedikasikan diri untuk Claudia. Aku menggeleng tak habis pikir karena ekspresi memuja yang Hyunjoo tampakkan saat ini.
"Serius tidak ada apa-apa?"
Aku mendelik kesal pada Hyunjoo. Kenapa manusia hanya ingin memercayai apa yang dilihatnya dan mengaminkan itulah yang terjadi?
Tadinya aku ingin merespons, tetapi seseorang meneleponku. Walau deringnya teredam oleh musik di bar ini, tetapi getarannya yang panjang terasa dalam kantong jaketku. Aku memberi isyarat pada Hyunjoo bahwa aku hendak mengangkat telepon ini dulu. Sayangnya, niat itu kuurungkan setelah membaca nama kontak si penelepon.
Aku ingin mengabaikannya, tetapi dia sudah menjadi bosku. Meski ogah-ogahan, aku tetap menekan ikon telepon berwarna hijau.
"Ya?"
"Kita perlu membahas tentang batasan-batasan. Aku akan mengirimkan alamatnya kepadamu."
Aku mengernyit dan menatap arloji. "Sudah jam delapan."
"Takkan sampai tengah malam kalau kau berangkat sekarang."
"Tidak bisa. I have another appointment."
"Sedang bersama temanmu dan tidak bisa meninggalkannya?"
Tunggu, bagaimana dia bisa tahu? Dia bukan sedang membayar seseorang untuk memantau dan melaporkan apa pun yang kulakukan padanya, 'kan? Karena itu hanya ada di film.
"Sekarang kau kebingungan. Aku yakin temanmu itu akan mengizinkanmu pergi bersamaku."
Aku tersadar akan satu hal. Kutajamkan pendengaran dan samar-samar terdengar suara musik yang sama dengan yang diputar di bar ini. Itu berasal dari seberang telepon. Sekarang aku menyapu pandangan ke seisi bar dan menemukan Alby duduk di salah satu bar stool depan meja bartender. Dia menghadap ke meja kami dan melambai saat tahu aku menemukannya.
"Sial." Aku mengumpat dan mematikan telepon. Kepalaku jatuh pada telapak tangan kiri yang sikunya bertumpu pada meja. Aku baru saja mengelak kalau Alby bukan siapa-siapa, tetapi dia justru muncul di sini. Sekarang Hyunjoo tidak akan percaya jika aku mengelak.
"Ada apa denganmu? Mendadak kayak orang tertekan," celetuk Hyunjoo ketika aku menenggak birku sampai tersisa sedikit.
"Beban hidupku sangat berat." Dengan begitu, dahiku bertemu permukaan meja.
"Kau kenapa, sih? Tiba-tiba aneh."
Aku tidak merespons, tetapi sibuk berdoa agar Alby tidak menghampiri meja kami. Padahal aku sudah sangat senang dengan satu minggu tanpa kehadirannya. Namun, aroma parfum familier yang mulai tercium menyadarkanku bahwa Alby sudah ada di sini.
"Hai. Boleh kubawa wanita ini pulang?"
🎶
Pulang. Kukira itu hanya sandiwara mengingat aku sudah setuju bekerja sama untuknya. Namun, sekarang aku di sini, di dalam elevator privat yang akan mengantar kami ke lantai teratas sebuah apartemen elite di Manhattan. Sekarang aku benar-benar percaya dia memiliki banyak uang, karena hanya orang-orang kaya yang mampu membeli elevator khusus untuk dirinya sendiri.
Dan Hyunjoo, aku tidak menyangka dia akan semudah itu memercayakan aku pada pria berbahaya ini. Wajah Alby memang bisa membuat siapa pun menganggapnya sebagai orang baik, tetapi predikat itu akan musnah seketika setelah mereka mengenal seperti apa Alby yang sebenarnya—aku berani bertaruh.
"Kau tampak tegang," celetuknya.
Kami berdiri berjauhan dan aku membalas tatapannya melalui dinding elevator. Enggan sekali menatap seringainya secara langsung. "Berada di sekitarmu selalu menakutkan."
"Aku bisa membuatmu merasa nyaman. Kau hanya perlu meminta."
Aku mendelik kesal, menumpahkan segala bentuk kebencianku kepadanya melalui tatapan, sebelum akhirnya merespons, "Gila, ya?"
"Tergila-gila untuk mendapatkanmu. Ya."
Mataku hanya berotasi dan tidak lagi merespons ucapannya. Entah perasaanku saja, atau elevator ini memang bergerak lambat. Atau gedung ini memang terlalu tinggi untuk ukuran apartemen? Atau gedung ini sudah cukup tua dan elevatornya sudah tidak layak pakai, tetapi masih dipaksa untuk bekerja. Mungkin itu sebabnya elevator ini dibiarkan untuk dipakai Alby seorang diri.
Akhirnya elevator berdenting. Pintu elevator terbuka dan aku langsung dibuat menganga. Tak ada lorong seperti di depan pintu apartemenku, karena elevator tadi langsung menuju ke dalam penthouse milik Alby. Ruang tamunya luas, warna putih dan abu-abu mendominasi furnitur yang ada di sini. Keramiknya berkilau, seperti dipel setiap jam, sangat bersih. Ruang tamu, dapur, dan ruang makan menjadi satu, itulah yang menjadikan ruangan ini sangat luas. Mungkin dia bisa mengundang seratus orang untuk mengadakan pesta di sini.
"Ruang santai ada di ujung, aku akan menyusul."
Suara Alby menyadarkanku. Aku segera menghapus ekspresi kagum di wajahku tadi. Jika Alby sampai melihatnya, dia akan besar kepala, seperti balon yang dipompa tanpa henti hingga nyaris meletus. Pria itu sedang berjalan ke pantri sembari melepas jaketnya dan dilempar sembarang ke sofa ruang tamu, menyisakan kaos tipis yang ketat membungkus tubuh bagian atasnya. Bahkan saking tipisnya, aku bisa menemukan gambar samar-samar di punggungnya. Mungkin itu tato.
Aku berusaha mengabaikan rasa penasaran atas apa yang tergambar di punggungnya dan berjalan menuju ruangan yang dia maksud tadi. Boleh kubilang kalau selera Alby sangat random. Desain interior ruang santai ini sangat berbanding terbalik dengan pemandangan di luarnya. Di dalam sana terdapat mini bar. Di salah satu sisi ruangan ada TV yang sangat besar, berhadapan dengan sofa panjang dan lebar berwarna merah gelap. Aku mungkin bisa berbaring di sofa itu tanpa harus melipat kaki. Lampunya tidak terang, tetapi kupikir itu karena memang tidak dinyalakan semuanya sekaligus untuk menonton film—aku suka menonton di ruangan yang gelap. Namun, di detik berikutnya, ruangan ini mendadak terang.
"Kenapa tidak kaunyalakan lampunya?"
Aku berbalik hanya untuk menemukan Alby berjalan menghampiriku dengan sebotol anggur dan dua gelas kosong. Itu merk yang sama dengan yang disajikan di rumah makan minggu lalu, aku mengira mungkin dia sangat menyukai yang itu.
"Kuharap kau tidak bosan dengan Dominus Estate. Napa Valley menghasilkan anggur terbaik." Dia bicara lagi sembari membaca merk di botol anggur yang dibawanya. Aku sadar tidak bisa menolak, dan beruntung anggur pilihannya memang enak.
"Can I pick something else?"
"No," balasnya sembari menyodorkan satu gelas kosong kepadaku dan mulai menuangkan isi dari botol anggur ke gelas setelah kuterima.
"Jadi ... kita akan bicara sambil berdiri?" Aku mulai merasa canggung ketika dia meminum anggur miliknya sambil menatapku. Tatapannya selalu mengintimidasi, seperti dia juga berusaha menelanku.
"Silakan duduk."
Kami duduk bersebelahan di sofa besar tadi, tetapi dengan jarak yang cukup jauh. Percayalah, aku tidak sudi berdekatan dengannya dan berakhir menikmati aroma wine dari napasnya ketika dia bicara. Anggur ini enak. Sungguh.
"Sejak kausinggung perihal batasan, aku mulai memikirkannya selama seminggu dan ini daftar yang kubuat." Alby menyusupkan tangan ke bawah meja dan kembali dengan beberapa lembar kertas di tangannya. "Aku sengaja membuat daftarnya lebih dulu, untuk kemudian kita bahas, aku tahu kau tidak suka menghabiskan waktu lama-lama bersamaku."
Aku mengangguk ringan ketika menerima kertas yang disodorkan padaku. Sekarang kami punya masing-masing satu salinan. Tidak kusangka dia akan seniat ini menanggapi ujaranku kemarin. Mungkin inilah alasan kenapa dia sama sekali tidak menggangguku, dia sibuk membuat ini.
===
SURAT KESEPAKATAN
Nama : Alby L Mateo
Usia : 30 th
Sebagai 1st Party.
Nama : Ava Burnett
Usia : ?
Sebagai 2nd Party.
Dengan ini menyepakati :
1. Hubungan pura-pura ini berlangsung selama setahun sejak disepakati.
2. Tidak boleh ada yang tahu tentang hubungan palsu ini.
3. Bersikap seperti pasangan ketika berada di tempat umum. Selebihnya, berteman.
4. Jika 1st Party perlu dan menelepon 2nd Party untuk datang, maka 2nd Party harus datang tak peduli kapan dan di mana.
5. Karena tujuannya untuk membuat Claudia cemburu, kita harus berakting romantis.
6. Jika 1st Party akan bertemu Claudia, 2nd Party harus ada di sana.
7. Untuk membuktikan bahwa kita berpasangan, 1st Party berhak mencium 2nd Party.
8. Tinggal bersama di rumah 1st Party, satu atau dua bulan setelah menjadi pasangan.
9. Kesepakatan berakhir jika misi membuat Claudia mengaku masih mencintai 1st Party atau misi untuk menggagalkan pernikahan Claudia berhasil.
10. Wajib mengingat kalau ini hanya sebatas kesepakatan, tidak boleh melibatkan perasaan.
Manhattan, New York, 16th of June
1st Party
(Alby L Mateo)
2nd Party
(Ava Burnett)
===
"Ini tidak adil, hanya menguntungkanmu." Kertas yang kupegang tadi kuempaskan pelan ke atas meja. Lalu kubiarkan Alby memandang wajah masamku sebagai reaksi atas kesepakatan abal-abalnya itu. "Ya ... walau tidak mengherankan karena kau sendiri yang menulisnya."
"Itulah kenapa aku perlu mendiskusikannya denganmu. Daftar itu masih bisa direvisi sebelum kita tanda tangan. Usiamu, masih kosong."
"28." Aku menyahut singkat dan kembali membaca isinya. Dari sudut mataku, kulihat dia meraih pena dan menuliskan sesuatu di kertas miliknya.
"Poin kedua. Apa aku tidak boleh memberi tahu Nate? Dia bahkan sudah tahu tentang kau yang berusaha memaksaku untuk jadi pasangan pura-pura."
Jika sejak awal semuanya kuceritakan pada Nate, mana mungkin aku membiarkan hal sebesar ini tidak diketahuinya. Dan aku bahkan sudah memberitahunya tentang ini—tepat setelah menginterogasinya habis-habisan karena sudah membeberkan masalah keluarga kami kepada Alby. Nate merasa sangat lega karena tahu aku tidak perlu kerepotan mencari uang lagi.
"Dia boleh dikecualikan, mengingat perannya sangat penting dalam hubungan kita." Alby tersenyum puas dan menyesap anggur di gelasnya. Sial sekali aku harus melihat bagaimana jakunnya bergerak ketika menelan minuman tersebut.
Stay focus, Ava!
"Poin ketiga, apa maksudnya dengan berteman?"
Alby menggumam sebelum menandaskan isi gelas dan meletakkannya ke atas meja. "Artinya, saling bercerita dan mengenal satu sama lain lebih baik. Aku tahu kau tidak akan menceritakan apa pun pada orang asing sepertiku, jadi mari berteman."
"Wow. Kau mulai memahamiku rupanya." Itu hanya ucapan sarkasme, tetapi dia justru tampak merasa bangga dengan itu. Padahal dia tidak perlu bereaksi berlebihan karena siapa pun enggan menceritakan tentang dirinya pada orang asing. Rupanya pria tampan juga bisa bersikap konyol.
"Poin keempat sampai keenam, kau hanya perlu menghubungiku jika akan bertemu Claudia, bukankah begitu?" Sebenarnya aku merasa tiga poin ini serupa walau konteksnya sedikit berbeda. "Dan seperti apa romantisme yang kau maksud di poin kelima?"
"Just be natural. Berpegangan tangan, berpelukan, menunjukkan afeksi pada satu sama lain, atau menyentuh pasangan ketika bicara. Apa Jeffrey tidak bersikap romantis padamu?"
"Apa orang yang berpacaran harus selalu berpegangan tangan?" Bayangan itu terlintas di kepala, hingga aku spontan bergidik jijik. "Menggelikan. Itu seperti anak remaja dengan kadar hormon tinggi saat mulai berkencan untuk yang pertama kalinya. Sedangkan kita adalah orang dewasa."
"Jadi ... menurutmu, kita perlu melakukan hal-hal sebagaimana pasangan dewasa pada umumnya?"
Alby mengerling, lidahnya mendorong pipi kanan dari dalam, seperti pria-pria nakal yang sedang menggoda wanita yang tak sengaja lewat depan mereka; di gang-gang sempit yang terjepit oleh dua gedung pencakar langit, berteman dengan beberapa botol minuman keras. Sedangkan aku, wanita yang sedang ditelanjanginya melalui tatapan. Persis. Mata Alby bergerak dari wajah sampai kakiku dan kembali dengan cepat ke wajahku. Aku sudah merinding.
"Abaikan. Ada lagi? Sekadar informasi, poin ketujuh dan kedelapan adalah favoritku."
Dalam sekejap, Alby kembali dengan wajah seriusnya. Telunjuknya berputar ke arah kertas di tanganku.
"Senafsu itukah kau ingin menciumku? Forehead or cheeks? Aku akan selalu membawa tisu basah untuk membersihkan jejakmu." Aku membalasnya sembari terkekeh. Kuharap dia tidak tersinggung tentang menghapus jejaknya dengan tisu basah.
Alby tidak meresponsku, tetapi memosisikan tangannya di atas sandaran sofa dan telapak tangannya dijadikan sebagai tumpuan kepala. Jari-jarinya bermain di dagu. Dia diam cukup lama seolah-olah pertanyaanku tadi adalah sesuatu yang perlu dipertimbangkan matang-matang. Sampai akhirnya aku menyadari kalau matanya tertuju pada bibirku. Perlu kuperjelas, bibir yang bahkan tidak diolesi lipstik sedikit pun. Aku tidak sedang ingin menggoda siapa pun, jadi aku pergi ke bar tanpa merias wajah.
Aku spontan mengulum bibir, menyembunyikannya dari pandangan liar Alby. Lalu bergeser hingga punggungku menabrak pinggiran sofa; tempat menaruh lengan.
"No. Never. I won't let you do that." Telunjukku tertuju ke wajahnya, memperingatkannya agar tidak mendekat atau mengatakan apa pun untuk membujukku.
"Kenapa? Itu hal yang normal bagi pasangan," sahutnya santai.
"Yes. But, we are not."
"Of course we are."
Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, berharap emosiku ikut menguap bersama karbon yang mencemari udara di ruangan ini. "Alby, dengar, kita hanya berpura-pura. Memangnya ciuman pura-pura itu ada? Our lips, akan tetap menempel. Dan aku, tidak menganggap ciuman adalah sesuatu yang dilakukan untuk memuaskan hormon, atau sekadar pembuktian. A kiss is meant for something special, dan aku tidak akan memberikannya pada sembarang orang. Ingat itu. Kalau kau berubah pikiran tentang menjadikanku sebagai pasangan pura-pura, kita bisa akhiri sekarang."
"Kau tinggal di negara bebas, Ava, tidak perlu menahan diri untuk memuaskan dirimu."
Memuaskan diri. Mudah sekali dia bicara seperti itu. Pandanganku jatuh pada kertas di tangan ketika aku menunduk. Kejadian itu kembali membayang di kepalaku, hingga membuatku semakin menguatkan benteng pertahanan agar tidak sembarang orang bisa menghancurkannya, termasuk si tampan Alby.
"Pikirkan saja lagi, lanjutkan permainanmu ini—" Aku mengangkat kepala untuk kembali menatapnya. "—atau kita akhiri, ada banyak wanita di luar sana yang ingin berada di posisiku sekarang."
Alby menyugar rambut dengan kedua tangannya, kemudian mengeluarkan suara erangan yang cukup panjang ketika dia mengembuskan napas. "Sorry. Ciuman selain di bibir. Oke. Ancamanmu mengerikan."
Aku tersenyum kecil ketika dia membaca lagi tulisan di kertasnya. "Aku yakin nomor delapan akan membuatmu marah."
Kubaca lagi poin kedelapan karena aku tidak ingat persis apa yang tertulis di sana. "Kenapa aku harus tinggal bersamamu?"
"Because couples do live together."
"Kenapa aku harus tinggal bersamamu ketika aku sudah punya tempat tinggal?"
"Karena itu akan menjadi bukti kalau kita saling mencintai dan memerlukan satu sama lain."
"But, I don't need you."
Responsku berhasil membuatnya bungkam. Sekarang dia memijat pelipis, mungkin aku adalah wanita pertama yang berani menolak keinginannya. Karena dari yang kutangkap sejak tadi, dia tidak tahu bagaimana cara merespons penolakanku. Dia seperti tidak mempersiapkan argumen apa-apa karena mengira aku akan langsung menandatangani surat abal-abalnya. Sayangnya, aku bukan seperti wanita lain yang pernah ditemuinya.
"Tapi kau perlu berada di sekitarku jika Claudia datang."
"Apa Claudia akan datang ke rumahmu setiap hari? Dia tidak akan datang ke sini secara tak terduga mengingat kalian sudah berakhir. Aku tahu Claudia tidak selancang itu."
Alby mungkin sedang berusaha menerima pernyataanku. Dia mengangguk dan berdeham setelahnya. "Luckily, aku akan sering-sering mengundangnya untuk proyek game yang sedang kukerjakan. Dia salah satu Brand Ambassador kami. Kau tidak perlu khawatir, aku punya banyak kamar dan kau bebas memilih."
Aku hanya tersenyum masam. "Aku hanya akan menginap jika perlu. Pilih, ganti redaksinya atau orangnya."
Ini kali pertama aku melihat Alby memutar kedua bola matanya. "Fine." Dia membalas agak kesal dan menarikan penanya di atas kertas. Aku tidak tahu kenapa merasa senang setelah membuatnya kesal. Mungkin selama ini aku jenuh dengan sikap menyebalkannya, sampai-sampai wajah berkerutnya tampak sangat menghibur.
"Lanjutkan. Sedikit lagi selesai."
Aku menyapu senyum di wajahku dan kembali membaca surat tadi dengan serius. Tentunya aku tidak ingin dia menyalahpahami maksud senyumanku tadi.
"Sembilan ... sepuluh ... oke."
"Sepakat?" Alby menaikkan sebelah alisnya, seperti sedang menguji apakah aku sudah benar-benar yakin atau belum.
"Ya." Aku membalas singkat. Kurasa semuanya sudah jelas dan aku tidak punya alasan lagi untuk tetap berada di sini lebih lama. Pulang adalah yang satu hal yang menghantui pikiranku.
Alby membubuhkan tanda tangan di bagian bawah surat dengan beralaskan meja. Postur tubuhnya sangat profesional, tangannya bergerak ringan, tanpa keraguan.
"Aku sudah. Giliranmu. Ini hanya sementara, aku akan mengetik ulang ini agar lebih rapi."
Alby menyodorkan kertas miliknya yang penuh dengan coretan kepadaku. Aku menatap tanda tangannya lebih dulu sebelum mataku harus menyipit pada namaku yang tertulis di sana.
"Apa aku lupa memberi tahu kalau namaku bukan Ava Burnett?" Kuraih pena di atas meja dan mencoret namaku untuk diganti menjadi Ava Clairine—tanpa Burnett ataupun Robinson.
"Nama belakangmu dan Nate berbeda?"
Dia tampaknya kaget. Nama Nate memang Nathaniel Burnett, tetapi nama belakang itu tidak berlaku untukku.
"Burnett milik ibunya Nate," balasku setelah menggoreskan tanda tanganku di surat tadi.
Alby memandangku tak percaya ketika aku mengembalikan surat tadi kepadanya. Ah, caranya menatapku, seperti sedang bersimpati dan aku sangat benci melihatnya.
"Apa yang terjadi pada orangtua kalian?"
"Aku tidak merasa perlu menceritakan itu padamu."
"Tapi aku perlu tahu."
Aku mendengkuskan tawa. "Hanya karena kita pura-pura sebagai pasangan, bukan berarti kau berhak tahu. Sudah selesai? Aku mau pulang."
Aku menyampirkan tasku dan beranjak dari sana. Yang kuinginkan sekarang adalah udara segar untuk menghapus bayang-bayang kejadian itu dari kepalaku. Namun, Alby meraih tanganku, menariknya dengan kuat hingga aku jatuh terduduk. Pantatku tidak bertemu empuknya sofa, melainkan kerasnya paha Alby yang aku yakin dipenuhi oleh otot.
Ini adalah jarak terdekat kami, aku sampai harus menahan napas karena tidak sanggup menghirup aroma yang menguar dari tubuhnya. Wine, citrus, mint, semuanya menyatu.
"Aku tidak akan melepasmu, Ava."
***
Hai, apa kabar? T_T
Maafkan aku yang menuliskan ini dengan sangat panjang 🤧
Ngebosenin kah? Tenang aja, aku punya penawarnya. Cerita #SongSeries lainnya yang berjudul Kutunggu Kau Putus karya tokohfiksi_ berikut cuplikannya.
***
***
See you on next chapter~
Lots of Love,
Tuteyoo
6 Juli 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro