1 - Ciao Adiós
🎶
If you're giving her all of your money and time
I'm not gonna sit here wasting mine on you, yeah, you
Ciao adiós, I'm done
🎶
Tanganku bergetar hebat. Telapaknya terasa sangat panas padahal sedang kugenggam gelas bekas minuman dingin yang masih berembun, to be specific. Tremor seperti ini sering kali muncul setelah aku melakukan sesuatu di luar kebiasaan, atau ketika kulakukan hal itu untuk yang pertama kali.
Seluruh mata tertuju padaku. Dalam hati aku menyumpahinya karena memilih restoran ini untuk makan siang. Lihat, pengunjungnya terlalu banyak! Ah, mungkin dia sudah menduga aku akan melakukan ini, makanya dia sengaja menjebakku agar aku tidak berani berbuat apa-apa. Sayang sekali, usaha itu tidak berhasil, aku bahkan tidak peduli dengan opini mereka.
"Ava ... ."
Rahangku mengeras ketika suara yang lembut itu memanggilku. Nadanya mengalun indah di telinga, tetapi berhasil memicu emosi. Aku tidak marah atau membencinya, sungguh. Kami hanya kebetulan bertemu di saat yang salah. Ya, sangat salah.
Gelas kosong yang kupegang sejak tadi kukembalikan ke atas meja, kepada yang memesannya. Aku menyayangkan minuman mahal itu yang tidak membasahi kerongkongan, melainkan seluruh rambut dan wajahnya. Oh, jas mahalnya juga terciprati, menyisakan noda merah keunguan di sana. Aku dengan bangga mengakui bahwa aku melakukannya dengan baik.
"Kenapa kau lakukan ini?" Dia mendesis, sungguh menakutkan. Ini kali pertama aku melihatnya sangat marah.
"Karena aku perlu alasan atas situasi ini." Aku bersedekap untuk menyembunyikan tremor dan mendelik pada wanita yang duduk di seberangnya, si pemilik suara lembut tadi. Namanya Claudia, dan aku mengenal baik dirinya sejak SMA.
"Kami hanya makan siang bersama, oke? Kau tak perlu sampai mempermalukanku!"
Wajahnya memerah karena marah. Iris biru kehijauan yang sialnya mirip dengan milikku itu bergerak liar memandang seisi restoran, hingga membuat orang-orang takut dan segera bersikap seolah-olah tidak ada kejadian aneh di sini.
"Kau menolak pergi denganku hanya untuk ini? Apa perlu kuingatkan dengan siapa kau akan bertunangan?"
Telunjukku menari ke arah sebuah kotak beludru berwarna merah bata di tengah-tengah meja. Dan Claudia memandangku kaget. Aku tersenyum tipis karena reaksinya, sekarang dia tahu siapa pria yang duduk di seberangnya itu.
Restoran ini mendadak senyap, hanya terdengar suara peralatan makan yang saling bersinggungan dari pengunjung lain. Aku masih berdiri tegap di depan mejanya, menunggu jawaban. Namun, dia dan Claudia justru saling pandang tanpa merasa bersalah sedikit pun padaku.
"Kurasa kau benar-benar ingin kita berakhir." Aku menunduk dan bertepuk tangan untuk menciptakan perayaan kecil. "Ini bukan kali pertama kau menolak ajakanku. Berarti rumor itu benar, padahal aku menunggu kau membantahnya, Jeffrey."
Aku menekankan namanya, seperti sedang memberitahu semua orang. Sayangnya, tanpa kulakukan itu pun, mereka sudah tahu. Memangnya siapa yang tidak mengenal Jeffrey Austine, General Manager perusahaan majalah yang bahkan tidak ada apa-apanya dari Harper's Bazaar?
"Benar, Ava, seharusnya dari awal aku tidak perlu membuang-buang waktu denganmu karena orangtua kami akan mempersatukan kami." Jeff-begitu aku memanggilnya-tersenyum penuh kemenangan dan memamerkan kemesraan dengan menautkan tangannya dengan milik Claudia di atas meja. Dia pasti berpikir aku akan cemburu.
Pria kurang ajar ini, ingin kusiram lagi rasanya. Empat tahun berlalu dan dia bilang hanya buang-buang waktu? Aku menyesal sudah membatalkan janjiku dengan Nate minggu lalu hanya untuk pergi ke toko perhiasan dengannya.
"Pilihlah model cincin yang kau sukai." Menggelikan!
"Sekarang aku mengerti kenapa kau tidak pernah membawaku bertemu orangtuamu." Kemarahanku semakin menjadi-jadi saat mengingatnya. "Kalau begitu, selamat untuk kalian."
Aku mengibaskan rambutku yang cokelat panjang bergelombang ke belakang bahu dan membenahi jaket. Lalu pergi dari sana dengan penuh suka cita. Aku sama sekali tidak merasa sedih ataupun kecewa atas keputusannya. Lagi pula, pria seperti Jeff tidak seberharga itu untuk ditangisi. Dan aku beruntung tidak pernah melakukan apa-apa selain berpelukan dengannya, bahkan sekarang itu jadi sangat menjijikkan jika diingat.
🎶
Jika seseorang bertanya siapa manusia paling menjengkelkan yang pernah ada di dunia, maka aku tanpa ragu akan mengumandangkan nama Nate, alias Nathaniel Brunett. Satu-satunya saudara yang kumiliki itu selalu berhasil menipu semua orang dengan wajah ramahnya. Dia bisa jadi sangat baik dan sopan di depan orang lain, tetapi tunggu saja sampai kalian betul-betul mengenalnya.
Meski bersaudara, tetapi aspek pada diri kami sangat berbeda. Yang paling menonjol adalah mata dan warna kulit kami. Kulitnya hampir setara dengan tone porcelain, sementara aku lebih gelap, natural. Matanya persis dengan Ayah, berwarna cokelat gelap, dan aku menuruni ibuku, warna hijau laut.
"Aku sudah bilang hubungan kalian tidak sehat. Pria itu terlalu berkelas dibandingkan denganmu."
Berkelas apanya? Aku berusaha merampas konsol game-nya, tetapi Nate berhasil menjauhkannya dariku. Jempol kurus itu tak berhenti menari-nari di atas tombolnya. Dia terlalu bersemangat sejak kami selesai makan malam setengah jam lalu.
"Yo! Kill'em, Man!"
Mataku berputar kesal karena teriakannya ketika berhasil mengalahkan musuh di game yang sedang dia mainkan.
"Victory!" Nate benar-benar seperti bocah ketika membanting konsolnya ke atas karpet tebal yang didudukinya. "Yo, Sist, lupakan saja si pria majalah itu, wajahnya bahkan tidak pantas ada di halaman belakang produk majalahnya."
"Itu bagian promosi perusahaan, Idiot. Bukan untuk membicarakan tentangnya."
"Ya, ya, ya," sahutnya dengan nada mengejek. Kepalanya ditelengkan ke kiri dan kanan seperti boneka yang lehernya patah. "Apa kau tidak bosan melihat wajahnya terus di sana?"
Wajah Jeff lantas muncul di kepalaku. Aku ingin membencinya, tetapi dia terlalu tampan sampai aku harus terpesona lagi dengan bayangan wajahnya. Itu sangat menyebalkan sampai aku harus menggeleng demi membuangnya dari ingatan.
"Mulai hari ini, kupikir aku akan muak." Kusuap camilan stik yang sejak tadi kujepit di antara dua jari, dan mengunyahnya dengan kuat sebagai bentuk pelampiasan. "Gila, dia bahkan tidak pernah memperbarui foto itu selama bertahun-tahun. Apa kau pernah menyangka hubungan kami akan berakhir tadi siang?"
"Tidak. Aku justru berpikir kalian berakhir lebih cepat dari ini."
Selanjutnya kulemparkan bantal sofa ke wajahnya, yang mana agak lambat karena dia berhasil menjadikan lengan sebagai tameng untuk melindungi kacamatanya.
"Kapan kau pernah mendukung segala keputusanku?"
"Apa aku pernah melarangmu melakukan sesuatu?"
"Ti-tidak, sih."
Coba kuingat-ingat lagi ... ya, dia memang tidak pernah melakukannya. Nate mungkin sosok yang suportif dengan caranya sendiri. Namun, aku tidak bisa menerima caranya itu karena kerap kali membuatku sangat kesal. Kupikir orang-orang akan setuju jika kubilang adik laki-laki itu akan selalu menjadi sosok paling menyebalkan.
"Jadi, bagaimana perasaanmu sekarang?"
Aku menggeleng ringan. "Tidak pernah lebih baik jika bersamamu."
"Bukan tentang bersamaku. Tentang kau dan si pria majalah."
Dia beranjak dari duduk bersila, dan itu memberiku kesempatan untuk mengambil remote TV dari atas karpet dan mengganti tayangan menjadi Netflix.
"Entahlah, aku tidak merasakan apa-apa. Rasanya ini benar. Kuharap aku sadar sejak dulu karena dia tidak pernah mau mengakui hubungan kami kepada orangtuanya."
Suara potongan es batu yang bersenggolan mengalihkan perhatianku dari drama di TV. Nate kembali dengan membawa satu gelas besar air es dan duduk di sebelahku. Hidungnya berkerut, membuatku penasaran apa yang sedang dipikirkannya.
"Kukira sudah tahu. Kalian sudah bersama tiga tahun lebih. Itukah sebabnya dia juga tidak mau bertemu denganku? Oh! Mungkin dia sudah lama bersama wanita itu dan orangtuanya tahu. Bisa jadi itu alasan kenapa kau tidak pernah bertemu mereka."
Nate mendadak seheboh itu, dan aku berhasil terpancing oleh dugaannya. Apa yang dikatakannya masuk akal juga, hingga aku tak sadar sudah mengangguk setuju.
"Bisa jadi, tapi seisi kantor tahu kalau kami bersama."
"Yang berarti ada banyak orang menganggapmu bodoh."
"Dia yang bodoh karena melepasku," sahutku penuh percaya diri.
"Hei, tidakkah kau cemas atas apa yang akan terjadi di kantormu besok?"
🎶
"Ava, pacarmu memintamu ke ruangan."
Hyunjoo, satu-satunya pegawai wanita yang berdarah Korea di kantor ini, memberitahuku tentang itu dan menepuk pundakku sangat kuat. Posisi kami bersebelahan, hanya terpisah oleh sekat kecil di antara meja. Dia juga teman suka dukaku selama bekerja.
"For your information, we are over."
Hyunjoo memandangku dengan mata sipitnya yang melotot. Namun, itu tidak tampak menakutkan karena mataku yang tidak sedang melotot ini masih lebih besar darinya.
"Aku menunggu detailnya, Ava. Sekarang pergilah ke ruangannya, aku tidak ingin diprotes karena dianggap tidak memberitahumu."
Aku berdecak kesal ketika dia membuat gestur mengusir dengan tangannya yang berisi. Hyunjoo selalu bilang ingin diet agar memiliki tubuh sepertiku-yang dianggapnya proporsional dengan tinggi 167 cm, tetapi dia saja tidak bisa berhenti makan. Lihat, bahkan sekarang dia sudah mengeluarkan sandwich yang dibawanya dari rumah.
"Ya ... makan saja terus, tubuhmu tak akan berhenti berkembang."
Setelah mengejeknya seperti itu, aku segera pergi ke ruangan Jeff. Aku tidak tahu ada hal apa yang ingin dia bicarakan. Kinerja pekerjaan? Tidak mungkin, aku selalu mengerjakan semuanya dengan baik dan tidak pernah membuatnya kecewa. Selain itu, ia bisa memberiku tugas melalui email. Atau tentang kejadian kemarin? Sangat tidak profesional sekali dirinya membicarakan itu di tempat kerja.
Aku tiba di depan pintu ruangannya. Selama ini aku tidak biasa mengetuk pintu dan langsung masuk begitu saja. Hanya aku yang berani seperti itu karena status kami. Namun, setelah kemarin, aku merasa tidak memiliki wewenang untuk bersikap seperti itu lagi. Akhirnya, aku mengangkat tangan dan mulai mengetuk.
"Masuk," sahutnya dari dalam.
Sebelum menyentuh gagang pintu, aku masih sempat-sempatnya memutar kedua bola mataku. Suaranya terdengar sangat bossy dan itu sungguh memuakkan. Behave yourself, Ava. Mungkin selama ini hubungan kami nyata, sebab dia tidak pernah bersikap sekeras itu padaku.
Aku membuka pintu dan melangkah masuk penuh rasa percaya diri. Lagi pula, aku tidak punya alasan untuk merasa ciut jika hal ini berkaitan dengan pekerjaan.
"Iya, Bos?" Aku lebih dulu bersuara, tak sedikit pun suaraku bergetar sebagaimana yang dialami oleh orang-orang patah hati di luar sana.
Ia duduk dengan tegap di singgasananya yang tampak sangat empuk dan nyaman. Untuk yang pertama kali, wajah itu terlihat menyebalkan di mataku. Orang bilang, semua hal baik tentang kekasihmu akan berubah 180 derajat setelah jadi mantan. Sekarang aku mulai merasakannya-karena Jeff adalah mantan pertamaku.
"Aku tersanjung, kau bisa dengan cepat terbiasa dengan status baru kita."
Aku tersenyum remeh. "Aku selalu berusaha untuk bersikap profesional setiap harinya, hal seperti ini mudah bagiku."
"Sayangnya, aku harus merelakanmu, Ava. Kau tidak bisa berada di sini lebih lama lagi."
Aku mengernyit tak paham pada ucapannya, tetapi semua itu terjawab setelah dia mendelik pada selembar kertas yang ada di atas meja; tanpa map, dan tanpa amplop. Itu akan sangat tidak sopan jika diserahkan pada atasan. Namun, dia sendiri adalah atasan, siapa yang akan berani menegurnya atas hal itu?
Aku meraih kertas telanjang itu dan membaca isinya. Oh, kuharap dia tidak sedang main-main dengan ini. Sesekali aku menggulirkan bola mataku hanya untuk melihat ekspresinya, mungkin akan kutemukan bahwa dia sedang mengerjaiku. Ini masih bulan April, meski bukan tanggal satu, tetapi dia masih sah mengerjaiku dan menyebutnya sebagai April Fools.
Namun, wajah itu tak tampak bergurau, dia menunggu reaksiku dengan tampang serius yang selama ini selalu dia tunjukkan saat sedang rapat.
"Belum terlambat kalau kau mau merayakan April Fools," ketusku seraya membanting kertas itu kembali ke atas mejanya. Apa yang tertulis di sana membuatku kesal sekarang.
"Ya, aku tahu." Dia lalu berdiri dan berjalan memutari meja hingga ia berada di hadapanku sekarang. Aku spontan berjalan mundur untuk memberi jarak lebih jauh di antara kami. "Tapi kau tahu aku tidak suka merayakan sesuatu dengan sangat terlambat."
Aku mendengkus, menahan diri untuk tidak menertawakan situasi ini. "So, you fired me. Bisa beri alasan yang dapat menutupi kinerja baikku selama ini?"
"Untuk itu, tidak ada. Tapi aku punya alasan lain yang mengharuskanku untuk memberhentikanmu."
"Spill."
Jeff mengulur waktu dengan kembali memutari meja dan duduk di singgasananya. Jari-jari besarnya saling tertaut di atas meja, lalu mengusap dagunya yang ditumbuhi janggut pendek. Tidak ada sedikit pun keraguan di matanya atas keputusan untuk memberhentikanku.
"Jeff, kau membuang waktuku," ujarku geram. Dia memecatku dan aku tidak punya alasan untuk tetap memanggilnya 'bos'.
"Kau ingat bulan ini Claudia jadi model utama majalah kita. Section produk kecantikan yang memakai hampir tiga puluh persen halaman majalah."
"Aku tau betul tanpa perlu kauingatkan." Termasuk bagian di mana majalahnya hanya dipenuhi oleh iklan, bukan artikel tentang informasi terkini para selebritas. He needs more money. "Lalu apa hubungannya denganku?"
"Aku mengkhawatirkan kinerjamu sebagai layouter. Kita baru berakhir, bisa saja itu membuatmu patah hati. Melihat foto Claudia hanya akan membuatmu kesal. Kau mungkin akan memasang foto terjeleknya demi balas dendam."
What?
Bisa-bisanya dia berpikir serendah itu tentangku. Embusan napasku menghangat, bukan karena sakit, tetapi karena emosiku sudah naik ke ubun-ubun. Aku bisa terima dia mengakhiri hubungan kami, sayangnya tidak jika dia memberhentikanku dengan alasan yang sepele begitu.
"Tak ada yang berubah darimu, Jeff. Kau masih sangat kekanakan. Aku tidak seidiot itu sampai mencampurkan masalah pribadi dengan pekerjaan."
"Kau boleh bilang begitu, tapi ada banyak hal tak terduga yang akan terjadi. Katakan saja ini sebagai bentuk antisipasi."
Jeff tersenyum puas. Sangat puas, di atas penderitaanku. Ia tampak seperti menginginkan hal ini sejak lama. Tak masalah buatku, mungkin akan lebih baik jika tak hanya mengakhiri hubungan, tetapi juga mengakhiri semua hal yang berkaitan dengannya.
"Fine."
"Oke. Jadi kira-kira kapan waktu yang cukup untuk berkemas? Satu minggu?"
Aku menyunggingkan senyum remeh kepadanya. "Terlalu lama. Kubereskan semuanya hari ini. Don't worry, Dude."
"Permisi."
Seorang Office Boy datang untuk mengantarkan minuman untuk Jeff. Aku hanya berdecih, karena meski dibayar berapa pun, aku tidak akan sudi melakukan itu untuknya.
"Hei, apa itu panas?" tanyaku pada si pemuda pembawa nampan berisi segelas kopi untuk Jeff.
Pemuda itu berhenti dan mengarahkan nampannya kepadaku. "Dengan air yang baru mendidih, Nona."
Aku mengulum senyum, tetapi juga menggeram dalam kerongkongan, lalu memberi isyarat dengan dagu agar pemuda itu meneruskan tugasnya. Kedua tanganku terkepal di sisi tubuh karena aku harus mengurungkan niatku untuk menyiramnya lagi. Aku tentu memikirkan risiko kalau wajahnya sampai melepuh karena perbuatanku.
"One last word for you, Jeff. Perusahaan kecil ini tidak akan maju dengan pola pikirmu yang seperti ini. I wish you well."
Setelah mengatakan itu, aku pergi dari sana dan tidak akan pernah kembali lagi. Kemudian menutup pintu dengan agak membantingnya. Biar dia tahu bahwa aku sama sekali tidak merasa sedih atas keputusan konyolnya itu, bahkan aku akan merayakannya malam ini. Untuk itulah aku mengeluarkan ponselku.
AvaClair - Guys, meet at regular bar. 7 PM.
***
Happy Tuesday, fellas!
So ... this is the first chapter for ya. Gimana gimana? Drop keluh dan kesan kalian di kolom komentar, ya. Penulis ini perlu banyak masukan.
By the way, kalian udah tambahkan lagu ini ke playlist kalian belum? Cek intro deh buat liat judul-judulnya.
Harus banget nambahkan playlist kami ke perpustakaan kalian, biar bisa meluncur kalau dapat notifikasi update. Tenang, kami bakal nemenin kalian tiap hari, kecuali Minggu, ya. Kami perlu beberes, dan aku yakin kalian juga. Hoho.
Terus apa lagi? Udah, sih, itu aja. See you on next chapter~
Oh, iya, bagi bintangnya kalau menurut kalian cerita ini pantas menerimanya, ya.
Lots of love,
Tuteyoo
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro