Chapter 6
.
.
.
CHAPter 6
.
.
.
.
Tangan Gongju terhenti di tengah udara.
“Apa?!” Ia menurunkan suara ketika menyadari bahwa suaranya terlampau melengking. Pasien yang lututnya tengah dijahit sementara nyaris melonjak dari tempat tidurnya. Gongju menegakkan diri, memandangi perawat yang baru saja menyibak tirai bed sembilan, area khusus tindakan, seolah-olah perawat itu sudah gila.
“Gue back-up ICU hari ini? Tapi harusnya gue pulang….” Rasanya ingin menangis…. Sejak kemarin ia bahkan belum merasakan pulang ke rumah, karena hasil tukar-tukaran agak ‘gila’ supaya dapat libur tiga hari dua minggu mendatang, mendobel klinik umum-IGD siang-ruangan malam-IGD pagi (sekarang), dan kabar mengenai ia diminta menambal jadwal ICU yang kekurangan dokter bagai petir di siang bolong.
Perawat itu nampak salah tingkah.
“Dr Heechul ke manaaaaa?” sembari bertanya, tangannya menginstruksikan asisten jahitnya untuk mengelola pendarahan yang masih rembes. Seniornya ini sedang main kucing-kucingan apa bagaimana?! “Setahu saya, ICU hari Kamis dipegang dr Heechul dari siang sampai besok pagi.”
“Jadwalnya bentrok sama klinik umum sore, katanya dok.” Wajah perawat itu seperti akan muntah. Hijau-hijau sedikit. Tidak enak hati, mungkin, karena melihat kantung mata Hwang Gongju sudah melebihi standar SNI.
Di balik masker bedahnya, bibir Gongju ceper melebihi ubin di bawah kakinya. Tahan, tahan, jangan mengumpat. Tarik napas. Hitung dari satu sampai sepuluh. Hembuskan.
“Klinik umum, yaaaa.” Senyum tidak ikhlas. KLINIK UMUM GIMANAAAA, ALAMANDA??? JADWAL TETAP ANDA JAGA ICU HARI SENIN DAN KAMIS. Suka ngadi-ngadi memang senior satu ini.
Aih. Sabar. Anak sabar berjodoh sama konglomerat. Gongju nyengir masam di balik maskernya. Baru saja hendak lanjut menjahit lutut pasien, bom lainnya dijatuhkan. Kali ini tepat di kepala, sampai jarumnya hampir meleset dari sasaran. Untung tidak menancap ke kepala dr Heechul di tempat.
“Anuuuu, soalnya kata dr Heechul, per awal minggu ini, jadwal ICU hari Kamis sudah diganti oleh dr Gongju.”
Teriakan menggema di area tindakan, dua kali. Teriakan pertama adalah mekanisme pertahanan diri Gongju yang pecah karena berita buruk. Teriakan kedua menyusul sesaat setelah yang pertama, karena pasiennya terlonjak dan area lukanya kembali on steril beserta peralatan hecting terguling semua ke lantai.
.
.
.
.
“Lo jaga ICU hari ini? Sumpah?!”
Kalau ada manusia yang desibel suaranya menyaingi Gongju, itu adalah Seowoo. Bahkan di balik tahu isi berukuran raksasa, suaranya tetap stereo. Sepotong toge keluar dari mulut Seowoo mewakili keterkejutannya akan berita barusan. Semacam, bahkan toge aja loncat karena kaget, apalagi gue—yang sesungguhnya garing. Di sampingnya, Yoongi mengernyit pada potongan toge, menjadikan selembar tisu sebagai korban yang harus membersihkan toge tersebut dari lapang pandang.
“Maunya juga bohong!” jawab Gongju bete. Sepenuh jiwa raga, ditusuknya telur balado pakai sendok, untuk menyalurkan kekesalannya yang tiba-tiba ini. “Lo percaya nggak, gue 48 jam di siniiii. Dosa apa gue di kehidupan yang lampau?!”
“Dosa PHP anak orang,” jawab Yoongi menyebalkan. “Kayak yang lo lakuin sekarang ini.”
Gongju melirik musuh-slash-temannya itu. Lo mau nemenin telor balado ini hancur berkeping-keping?—kira-kira begitu maksudnya.
Saat itulah, Taehyung datang menghampiri meja mereka. Pemuda itu mengambil kursi di sebelah Gongju, dan gadis itu langsung terdiam tidak mengemukakan apa yang sempat terbersit di benaknya. Dalam diam, Gongju melanjutkan makan siangnya, hasil menawar dengan dr Leeteuk supaya berkenan memberikan waktu lima belas menit sebelum operan ICU untuk dua shift berikutnya.
“Hei,” sapa Taehyung, berbau aroma pelembut pakaian. Baru dari laundry deh dia. Gongju berpura-pura sibuk memotong telurnya dengan hati-hati, tidak ingin terlibat banyak percakapan dengan Taehyung. “Sori telat. Gue habis antar pasien ke ICU.”
Seowoo dan Yoongi otomatis memandang Gongju.
Gongju hampir tersedak telur balado.
Krik.
Krik.
Krik.
“Pasien apa?” Ugh. Semesta pintar sekali mengacak-ngacak hidup seseorang. Gongju merasakan wajahnya menghijau dan seluruh suapan makanan yang telah berpindah ke lambung mendadak saling mendorong ingin kembali memanjat kerongkongannya. “Terintubasi?”
Taehyung sedari tadi sudah memandangi Gongju. Pernah lihat jalanan panjang bertajuk pepohonan di tengah siang bolong? Seteduh itu tatapannya. Hoek. Gombal. Gongju merasa udara berhenti mengalir ke paru-parunya.
“Nggak usah terpesona kali, Taehyung juga bau kalau pegang HP ruangan,” komentar Yoongi. “Tapi gila, sih. Baru hari ini pegang ICU, lo dapat PB sebelom mulai shift.”
Yoongi minta dikepret, memang. Kalau nggak ada Seowoo, oknum bernama Min Yoongi ini bakal habis di bawah sendok Gongju. Atas nama pertemanan sejak masa ospek, Gongju menarik hidungnya ke atas membentuk hidung babi. Itu pun sudah mendapatkan tatapan penuh tanda tanya (dan defensif) dari Seowoo.
“Lo jaga ICU?” tanya Taehyung, sedikit terkejut. “Siang ini?”
“Hiang hampe halemh.” Siang sampe malem. Kunyah, kunyah, telan. “Dikasih tahunya barusan, pas lagi hecting. Katanya dr Heechul ada jadwal klinik umum sore.” Gongju menggaruk bagian belakang kepalanya, merusak kerapian kuncir kuda yang sedikit turun dari posisi tadi pagi. “Aneh banget, sejak kapan ada klinik umum sore....”
“Sejak gue usulin begitu.” MIN YOONGI MEMANG MUSUH BERSAMA. Yang bersangkutan memegang teguh prinsip ‘all hail muka lempeng’, melanjutkan penuh ketenangan di tengah badai bergemuruh pada rapat dadakan penghuni SMF Umum kasta junior, “Biar IGD nggak penuh pasien false emergency. Lo-lo semua protes kenapa pasien demam dua jam aja langsung masuk IGD dan bikin rusuh.”
Cih. Bawa-bawa nama SMF Umum.
“Tapi,” jeda sejenak sebelum Yoongi melanjutkan, “yang jaga klinik umum sore cuma GP senior kok. Dr Heechul, dr Leeteuk, dr Siwon, dr Yesung....”
“Itu semua penjaga ICU, Bapak Ketua.”
“Makanya beberapa dari kita naik jaga ICU juga.”
Seowoo membentuk mulut bebek. “Gue nggak suka jaga ICU.”
“Gue juga,” sambung Gongju, mengepalkan tangan menahan diri untuk tidak menghancurkan telur balado lebih dari serpihan-serpihan di piringnya. “Jaga ICU sama kayak jaga kuburan, sepi bener.”
“Mulut lo!” tegur Seowoo, mengingatkan temannya perihal mitos separuh fakta penuh evidence base mengenai dilarang ngomong jorok sebelum mulai kloter jaga.
Tangan Gongju menempeleng kepalanya sendiri. “Alamak.”
Taehyung menyikut lengan Gongju di atas meja, “Yang jaga ruangan siang, kan, Seowoo. Harusnya wangi, sih. Emergency-nya udah beres.”
Diingetin lagi, kan....
“Pasien yang tadi kenapa emangnya?”
Rapat mendadak SMF Umum kasta sofa di ruangan SMF berhenti total, berganti menjadi operan antara dokter ruangan pagi pada dokter ICU siang-malam. Penuh detail Kim Taehyung menjelaskan semua yang ia ketahui mengenai pasien laki-laki berumur akhir tujuh puluhan di bangsal kelas tiga; awal mula ia dilaporkan keadaan pasien tersebut, ringkasan catatan selama masa rawat selama empat hari, dan bagaimana istri sang pasien yang renta menangis minta pertolongan Taehyung karena tidak ingin kehilangan suaminya dalam waktu secepat ini.
“Couple goals yaaa,” komentar Seowoo.
Yoongi memutar bola mata mendengar kata-kata pacarnya.
“Bisa aja suaminya belum lunas cicilan rumah,” tanggapan Yoongi sesuai dugaan Gongju. Pedas dan penuh suudzon.
“Umur tujuh puluh? Yang bener aja.”
“Nggak semua orang setajir dr Siwon.”
Gongju membuat chop di antara dua kepala yang siap mulai membahas kerandoman ala Seowooland. “Minta dr Siwon jadi donatur, lah. Bukannya dr Siwon suka beramal? Katanya ‘banyak amal banyak rezeki’.”
“Banyak anak banyak rezeki,” ralat Yoongi, kesal karena common sense orang awam diubah-ubah seenak jidat Gongju yang berminyak.
“Di sini nggak ada kerja sama dengan donatur?” tanya Taehyung yang diam-diam iba setiap mengingat wajah pilu istri pasiennya ketika ia menjelaskan kondisi bapak itu pasca pemasangan alat bantu napas.
Yoongi, selaku ketua SMF yang pastinya sudah memahami seluk-beluk jalan tikus di dalam rumah sakit ini, terlihat berpikir sejenak sebelum menjawab, “A ... da sih.”
Kedua mata Taehyung membulat. Kilatan semangat tampak di sana. “Daftarin pasien gue dong, Yoon!”
Yoongi mendorong kepala Taehyung yang mendadak maju. “Lo kira segampang daftar lomba makan kerupuk.”
.
.
.
.
Dua belas jam lagi.
Gongju menggigil ketika memasuki area ICU untuk kelima kalinya selama tujuh belas jam total shift-nya di ICU. Pantas saja semua senior selalu membandingkan jaga ICU dengan bagian lain. Jadwal jaga siang-malam selalu dirapel satu orang agar hemat tenaga. Iyalah, siapa yang mau lama-lama berada di sini?! AC-nya bersifat sentral, dingin mampus selesai jam besuk sore!
Jumlah pasien lima, total tempat tidur tersedia bila penuh terisi adalah empat belas. Kapasitas yang besar untuk rumah sakit swasta, itu pun di luar hitungan bed untuk NICU dan PICU. Dalam keadaan ruang intensif penuh (minus HCU), seorang dokter ICU akan bertanggung jawab atas 28 orang pasien. Untungnya dalam sejarah panjang RS Big Hit berdiri, pasien terbanyak di ruangan intensif berjumlah lima belas.
Gongju tidak berniat memecahkan rekor di hari pertama.
Dia sedang memikirkan mau makan malam apa setelah mengecek ulang IVC pada pasien kiriman Taehyung di awal shift ketika pintu ICU mendadak terbuka.
Kim Seokjin melangkah masuk seolah karpet merah digelar di bawah sandal karetnya.
Sandal karet.
Dunia pasti sudah kiamat.
Mata dr Jin berhenti pada Gongju yang sedang mendorong mesin USG milik ICU.
“Nggak jaga IGD?” tanyanya, sedetik kemudian menambahkan, “Nggak usah terpesona sama saya, Gongju. Saya ke sini mau ngecek pasien post-op tadi pagi. Jangan sering-sering kasih pasien cito yang operasinya makan empat jam, dong.”
Sepasang mata Gongju menyipit.
“Itu...,” tangannya menunjuk ke kaki dr Jin, “... nggak bisa apa visite ke ICU pakai sepatu dokter yang baru dan mahal?” Dalam hati, Gongju mencibir, susah ya, mau pamer sama pasien ICU? Semua terintubasi dan tersedasi, ha to the ha.
Dr Jin menunduk memandang kakinya yang ditunjuk. “Oh.”
“Hmmm...?” Gongju menunggu pembelaan diri dari konsulen yang ajaib ini.
“Hai Gongju, lihat deh sandal baru saya.”
Krik.
Krik.
Krik.
Gongju bersyukur hari ini dia terlampau lelah karena menuju 48 jam terjebak di rumah sakit. Gongju bersyukur hari ini dia tidak latah ikut-ikutan dr Heechul yang suka mondar-mandir di ICU pakai sandal jepit swallow sehingga dia juga nggak latah pamer sandal sebagai balasan dr Jin yang sedang menggerak-gerakkan kakinya seolah-olah memperkenalkan diri. Gongju bersyukur! Bersyukur dr Jin adalah konsulennya, bukan koas bimbingannya, karena ia ingin menjadikan dr Jin sebagai botol jeli USG yang disangkutkan di pinggiran mesin canggih itu.
Gongju yang capek hanya tersenyum, lelah dan getir. Meratapi nasib kenapa selalu berurusan dengan konsulen yang tengil semacam dr Seokjin, bukannya konsulen bedah lain yang tinggi dan bertingkah kalem seperti dr Namjoon. Saat konsul dari IGD pun, ia selalu mendapatkan jadwal dr Jin sebagai bagian bedah on call. Kenapa, semesta, KENAPAAAAAA???
“Sepatu yang kemaren ke mana, Dok? Dijual buat beli patung alpaca lagi?” sindir Gongju, melewati dr Jin untuk mengamankan mesin USG kalau-kalau ia khilaf dan memutuskan meng-USG kepala konsulennya dengan dalih mencari otaknya.
Raut muka dr Jin terlihat bete mengingat-ingat penyebab kedua kakinya hanya beralas sandal warna hitam.
“Tadi kena pus waktu insisi abses di poliklinik. Jadi saya cuci, sekarang lagi dijemur di depan SMF Bedah.”
Gongju tertawa mendengar kemalangan dr Jin selama sedetik, kemudian menyamarkannya jadi batuk-batuk. Takut konsulennya tersinggung dan memutuskan untuk menagih uang pembelian kopi kaleng kemarin itu.
“Nanti dicuri koas kere yang perlu uang buat sajen ujian, lho, Dok.”
“Koas yang nyolong bakal saya kutuk kena her terus di tiap stasenya,” dr Jin berkacak pinggang, memunggungi Gongju karena pria itu sedang mengamati pasiennya dari luar kubikel ICU. Dr Jin memompa hand sanitizer dari botol, kemudian masuk ke dalam untuk melakukan beberapa pemeriksaan terhadap pasiennya. Salah seorang perawat yang sedari tadi menjadi saksi bisu percakapan abnormal kedua dokter itu mengekor sambil cengar-cengir.
Tidak lama, dr Jin keluar dan mulai menuliskan hasil pemeriksaan di aplikasi rekam medis, disampaikannya beberapa instruksi pada perawat ICU yang mendampinginya barusan. Gongju menyimak apa saja yang ingin dilanjutkan konsulennya sebagai terapi lanjutan dan bagian mana saja yang harus diperhatikan dan dihentikan.
“Catat urin, ya. Jangan kelewatan,” dr Jin menunjuk kolom bagian output di flow chart ICU.
“Siap, Dokter. Nanti tinggal saya lapor lewat telepon.” Si perawat mengacungkan jempol.
Dr Jin menggelengkan kepala, “Nggak usah, biar dr Gongju aja yang lapor. Tuh liat, dari tadi dia nganggur banget sampai komen terus soal sandal saya.”
Gongju terkesiap karena disebut ‘nganggur’. Pantang hukumannya bilang ngang—
Tiba-tiba, ponselnya berbunyi sesaat sebelum mulutnya menggumamkan protes. Ia memberikan gestur permisi, kemudian menepi agak jauh dari dr Jin dan perawat yang masih berdiskusi soal pasien itu.
“Ye? Ape nelepon gue jam segini?” jawab Gongju pada Seowoo yang meneleponnya.
“Lagi apa, Ju? Bantuin gue dong!”
Amat tidak jelas. Bantuan apa!? “Intubasinya susah?” tanyanya (mencoba) kalem, karena tadi ia sudah mewanti-wanti agar Seowoo tidak aneh-aneh selama jaga ruangan. Peringkat kebauan mereka berempat selama jaga adalah Gongju, Taehyung, Yoongi, kemudian Seowoo yang lebih sering emergency di dekat pergantian shift.
Bisa ditebak dari nada suaranya, Seowoo sedang semaput di ujung sana. “Bukan lah! Ini IGD rusuh! Gue ditarik dari jaga bangsal. Taehyung sama Yoongi juga dipanggil dari kosan buat datang lebih awal.”
IGD? Wah, seru.
“Kenapa, sih?”
“Ada KLL satu bus terguling di jalan tol dalam kota, ada tabrakan beruntun di belakangnya. Total, hmmm ... hampir tiga puluh pasien.”
Watdefak.
“Dr Heechul udah ngomel-ngomel nih, cepetan yaaaa!”
Tuut... tuuut... tuut....
Wajah dr Seokjin mendadak muncul di depan Gongju yang masih mematung berusaha mencerna isi telepon barusan. “Oi.” Dr Jin menggoyangkan tangannya di depan wajah Gongju. “Saya udah beres visite, nih, beli kop—”
“Dokter sih, ngomong saya nganggur. Sekarang saya dipanggil ke IGD diminta bantu karena ada kecelakaan massal!” Gongju menahan diri dari refleks menginjak sandal dr Jin karena jengkel. “Gara-gara dokter bilang saya nganggur, padahal saya nggak nganggur.”
Dr Seokjin mengangkat bahu.
“Nanti pulang saya traktir makan lagi deh, di Mang A—”
“Saya nggak mau Mang Ade,” Gongju mulai merapikan rambut menjadi satu cepol di belakang kepala, berantakan karena buru-buru.
“Banyak nawar. Saya mau traktir aja udah bagus,” omel dr Jin. “Benerin rambut kamu.” Karet rambut Gongju ditarik lagi, kemudian—dunia bakal runtuh—tangan-tangan berjari panjang dr Jin merapikan rambut Gongju sebelum membentuknya menjadi kunciran yang lebih rapi.
Hampir saja ia protes karena dr Jin seenaknya memegang rambutnya, tapi ponselnya sudah berdering lagi. Maka, tanpa berkata apa-apa lagi, Gongju berlari meninggalkan ICU—dan dr Jin yang mengacaukan isi kepalanya.
.
.
.
.
“Hachiiiiii, badan gue rasanya copot semuaaaa!”
Pagi harinya, ketika semesta pada akhirnya merasa iba dengan manusia yang mulai berlumut akibat kelamaan mengendap di balik dinding rumah sakit, Gongju membuka pagar rumahnya. Ojol yang barusan ditumpanginya sudah menjauh dari rumah, sempat berpesan ‘jangan lupa bintang limanya, Kak’, padahal Gongju teler sepanjang perjalanan. Mana dia ingat apakah pengemudi ojol itu berjalan sesuai rambu lalu lintas atau malah menantang nyawa seperti main MotoGP.
Bintang limanya nanti aja, lah!
Gadis itu berjongkok di depan Hachi yang mengibas-ngibaskan ekornya ceria. Bagi Hachi, peran Gongju adalah si ‘pembuka kandang’. Ada Gongju, berarti kandang Hachi dibuka sampai gadis itu pergi lagi ke rumah sakit. ALIAS, selama 48 jam ke belakang, Hachi harus puas mengendus debu di luar kandangnya sambil menunggu kapan tuannya pulang.
Pintu kandang Hachi langsung didorong oleh hewan berkaki empat itu. Hachi menggonggong jenaka, mengajak Gongju bermain.
“Hachi udah makan belom? Gue belommmm.” Nanya sendiri, jawab sendiri.
“Guk! Guk!” —bohong ae lu, majikan rasa tamu!
“Menu makanannya bihun goreng! Gue nggak suka bihun! Udah jaganya heboh banget kayak Grey’s Anatomy, sarapannya bihun. Sedih banget, nggak....”
“Guk!” —nggak.
Gongju ingin menyambit Hachi memakai bungkusan lontong yang tadinya ingin dibagi ke Yunseong, namun Hachi mengedipkan mata, dan Gongju luluh akan kegemasan anjing pom kesayangannya itu.
Di saat yang bersamaan, nada dering Spongebob terdengar dari ponselnya, pertanda ada yang menelepon. Sebelah tangan Gongju menepuk-nepuk kepala Hachi, menyuruh anjingnya bermain-main di halaman rumah sementara ia menerima telepon.
Di layar, tampak nama Taehyung yang belakangan disimpan sebagai Telepon Kalo Butuh Ojol. Dibuat lawak supaya dia nggak berdebar-debar setiap ditelepon Taehyung. Padahal, ditelepon Taehyung adalah hal lumrah semenjak mereka berada di kelompok internsip yang sama dua tahun lalu. Belakangan, Gongju harus meditasi terlebih dahulu supaya tidak panik setiap nama Taehyung muncul di sana.
“Halo?”
“Lo di mana?” pertanyaan Taehyung menusuk telinga Gongju, bukan dalam artian menyakitkan. Agak menggelitik, malah. Suara Taehyung terdengar hangat dan ... cemas.
“Ummm, di rumah...?”
“Pantes gue cariin nggak ada di ruangan SMF.”
“Hehe.” Malah ‘hehe’. “Gue kan habis jaga total 48 jam.... Ikut bantuin dr Heechul yang bisa-bisanya ngeiyain dr Siwon buat dobel IGD sama klinik umum, terus marah-marah dan nyuruh semua GP turun bantuin dia.”
“Kacau sih, emang. Kecelakaan massal kayak film aja ya, Ju.” Gongju ikut tertawa saat mendengar kekehan Taehyung. Boleh nggak sih, gue rekam suara ketawanya Taehyung?! Biar bisa didengerin setiap kali dr Jin mulai aneh-aneh. Taehyung berhenti tertawa, “PB lo nambah berapa?”
Diingatkan lagi soal pemecahan rekor ICU semalam. “Dua belas. Diem lo. Gue observasi tujuh belas pasien dalam semalam. Tiga gue yang intubasi.”
Peraturan pertama: dilarang ngomong jorok saat jaga.
“Dua lagi Seowoo.”
Peraturan kedua: bila lupa, ingat lagi peraturan pertama.
Pelan, Gongju mengembuskan napas. Sinar matahari terasa hangat di kulitnya. Matanya mulai berat karena perlu istirahat. “Lo nggak telepon gue karena mau ngegosip soal kecelakaan semalam, kan.”
Berani sumpah, Taehyung terdiam agak lama sampai-sampai Gongju menyangka telepon mereka terputus. Hampir dia mengomel soal sinyal operator yang jelek, ketika tiba-tiba Taehyung menyuarakan sebuah tanya:
“Ju, lusa abis jaga malem nonton, yuk? Berdua aja.”
Wow.
Gongju lupa ia sedang berada di fase kurang-tidur-sampai-halusinasi ketika selesai mendengar pertanyaan Taehyung. Matanya mengerjap pelan, kemudian ia menusuk-nusuk telinganya pakai jari telunjuk, memastikan telinganya tidak salah dengar. Barusan ... Kim Taehyung ngajak dia nonton?
“Guk! Guk!” Hachi menjawab dari kesibukannya di ujung teras, bangun dong, majikan, jangan tidur di teras!
Sebentar, dunia, sebentar.
Diulang: KIM TAEHYUNG NGAJAK DIA NONTON???????
“Oke,” sebelum ia benar-benar bisa mencerna apa yang terjadi, Hachi terlihat sedang mengunyah sesuatu sambil menggonggong gembira. Tunggu. ITU SEPATUNYA! Astaga. SEPATU KEDS PERTAMA HASIL GAJI PERDANANYA TAHUN LALU. Dobel astaga. “—udah dulu ya, Tae. Si Hachi mulai ngerusuh, nih.”
“Oke.”
“HACHIIII! KENAPA LO MAKAN SEPATU GUE!!?”
Untuk sesaat, Gongju disibukkan Hachi. Upayanya menyelamatkan sepatu berakhir sia-sia karena ujung sepatu kanannya berlubang akibat kegigihan Hachi menanamkan gigi-gigi kecilnya di sana.
Capcay. Dia jadi harus beli sepatu baru, kan.
Di saat berpikir kapan dia punya kesempatan untuk pergi ke mall dan mencari sepatu baru, teringatlah Gongju akan ajakan nonton dari Taehyung barusan. Garisbawahi ini: nonton berdua. B e r d u a.
Apakah sebaiknya selesai nonton mereka pergi ke Sports Station?
Tunggu.
Bukankah nonton bareng (jangan lupa, berdua) diikuti belanja bareng dan kemungkinan makan bareng (jangan lupa, masih berdua) identik dengan kencan?
“Capcaaaayyyyyy!”
“Guk, guk!”
“Kakkkk, jangan berisik di depan rumah!!”
.
.
.
.
tbc.
.
.
.
.
Keterangan:
1. Hecting: menjahit luka terbuka, terutama untuk mengontrol perdarahan
2. On steril: tidak steril.
3. False emergency: keadaan di mana sebenarnya tidak ada kegawatdaruratan, tidak dalam keadaan yang mengancam nyawa. Bisa dialihkan ke rawat jalan/poliklinik.
4. PICU/Pediatric Intensive Care Unit: ICU untuk bayi >28 hari dan anak-anak.
5. NICU/Neonatal Intensive Care Unit: ICU untuk bayi baru lahir sampai berusia 28 hari. PICU dan NICU sering ditempatkan dalam satu segmen yang sama.
6. IVC/Inferior Vena Cava: salah satu pembuluh darah vena besar di tubuh. Umumnya diperiksa menggunakan bantuan USG untuk menentukan apakah pasien berada dalam keadaan yang masih memerlukan cairan.
7. Post-op: pasca operasi
8. Flow chart: kertas besar untuk mencatat pemantauan selama berada di ruang intensif, umumnya berisi grafik tanda vital, pemberian obat dan jenis cairan, jumlah cairan masuk dan cairan keluar.
9. Output: jumlah cairan keluar.
10. Sedasi: obat tidur
11. Pus: nanah
12. Insisi abses: teknik mengeluarkan nanah dari benjolan abses (contoh: bisul)
13. Her: sistem ‘remedial’ di koas, yang berarti mengulang bagian tersebut selama periode tertentu dan mengikuti ujian ulang
14. KLL: kecelakaan lalu lintas
15. PB: singkatan dari ‘pasien baru’
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro