CHAPter 3
.
.
.
"... masuk dengan penurunan kesadaran sejak dua jam sebelum masuk rumah sakit. Sempat ada muntah-muntah sampai delapan kali. Sakit kepala disangkal, kelemahan tubuh satu sisi—"
"Pst!"
Min Yoongi menoleh begitu merasakan kakinya diinjak dari sebelah kiri, menemukan Seowoo mendesis-desis, telunjuk gadis itu menunjuk ke pangkuannya sendiri, pada layer ponsel yang sedari tadi tidak Yoongi perhatikan karena fokus memperhatikan laporan pagi alias morning repot—bukan typo, pada dasarnya memang merepotkan—yang dibawakan oleh Gongju dan dr Siwon selaku penjaga gawang malam tadi.
Apa, sih, yang mau disampaikan Seowoo sampai tidak bisa menunggu selesai laporan pagi ini?
Mencuri pandang sekilas pada jajaran direksi, jajaran manajemen, dan beberapa dokter yang hadir (hoo, Yoongi baru menyadari ada dr Seokjin juga di barisan belakang direksi, sedang terkantuk-kantuk tapi memperhatikan. Hmm, dedikasi), usai memastikan semua tatapan tertuju pada Gongju yang tengah membacakan pemeriksaan fisik abnormal pada pasiennya, ia menunduk mengaktifkan ponselnya yang sedari tadi terabaikan.
Pesan baru dari Seowoo di aplikasi chat. Bukan di grup BUTUH GP.
Lihat siapa yang terpesona :D
Ingin benar Yoongi mengabaikan pesan itu. Choi Seowoo memang terkadang serandom tukang nasi uduk di depan rumah sakit. Kadang-kadang jualan nasi uduk dengan telur iris, kadang dengan telur balado, kadang tempe bacem, kadang seenaknya ganti menu jadi nasi kuning. Beda dengan Mang Ade; sudah konsisten, makanannya porsi kuli pula.
Yoongi baru saja mengaktifkan kembali kunci ponselnya ketika Seowoo menginjak sepatunya lagi.
Layar ponselnya kembali terang. Ada chat baru.
Masa ga ngerti!
Yoongi tersenyum pada layar ponselnya. Senyum lelah. Seowoo memang satu geng dengan penjual nasi uduk di depan rumah sakit.
Siapa?
Jeda sejenak.
Jangan bilang direktur lagi terpesona sama dr Siwon.
Senior mereka, yang memang super senior itu, punya kharismanya sendiri. Selain otak yang tidak main-main encernya (maka dari itu dipekerjakan di RS Big Hit, kan!), wajah yang menurut orang-orang sangat di atas kata 'lumayan', kekayaannya juga berada di tingkat yang membuat langit saja kekurangan lapisan untuk menyainginya. Direktur medis rumah sakit mereka, yang saat ini seorang wanita, selalu berusaha hadir ketika dr Siwon harus laporan jaga.
Tebakan ngawur yang sangat ngawur. Hari ini, direktur medis mereka bahkan tidak ada di rumah sakit karena harus meeting dengan bagian blahblah membahas blahblah. Urusan akreditasi, Yoongi kurang paham.
Hadiah dari jawaban itu adalah cubitan di siku Yoongi. Seowoo melipat bibir, kelihatan gemas karena pacarnya sedang main pura-pura bodoh. Pura-pura, karena Min Yoongi tidak bodoh betulan.
"Taehyung, maksud gue," desis cewek itu galak. Mungkin capek bolak-balik memberikan kode pada Yoongi, namun yang diajak berdiskusi (kalau bisa disebut diskusi) nampaknya lebih tertarik menyimak bagaimana pasien Gongju tiba-tiba muntah dan aspirasi, sehingga harus diintubasi ... dan begitulah akhirnya. Pemilik rumah sakit ini harus mempertimbangkan membuka tambahan lima puluh tempat tidur di ICU bila Gongju masih dijadikan dokter jaga.
Mendengar nama kawannya disebut, Yoongi segera pura-pura menggaruk bagian belakang telinganya, dengan tidak kentara menoleh ke sisi lain ruangan. Menemukan Kim Taehyung di sana, beberapa kursi jauhnya dari dr Jin, sedang memperhatikan ke depan, ke arah laporan yang diproyeksikan dari OHP di atas sana.
Bukan, ke arah sang presenter.
Getaran dari ponsel di pangkuannya mengalihkan perhatian Yoongi dari Taehyung—Seowoo mengirim chat lainnya.
Taetae kenapa ga mau nembak Gongju aja sih
Kasian liatnya gini terus :(
Yoongi hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban.
.
.
.
.
Laporan jaga ditutup dengan sejumlah wejangan untuk meningkatkan kerja di IGD menyusul pemberitahuan bahwa perangkat USG di IGD akan diganti dengan yang portabel—bisa dicolok langsung ke ponsel para dokter jaga. Mengutip ucapan direktur utama mereka, ada sponsor. Semua orang langsung mencurigai dr Siwon sebagai pelaku yang bersembunyi di balik identitas samar 'sponsor'. Tidak ada konglomerat yang segitu murah hati sebagai penanam saham di rumah sakit ini.
Pilihannya hanya dua: dr Siwon, atau dr Hoseok yang dalam dua tahun lagi akan kembali menjadi kardiologis di sini.
Taehyung baru saja selesai menyerahkan berkas absen dan buku laporan pagi ke bagian komite medik. Langkahnya sengaja dipercepat ketika melihat sosok Gongju di depan lift. Namun, sebelum mencapai Gongju, dilihatnya seseorang keburu mendekati gadis itu duluan, bercakap-cakap dengannya. Gongju tampak berpikir sejenak sebelum mengangguk. Melihat anggukan Gongju, dr Seokjin terlihat menyeringai, kemudian keduanya berpisah. Dr Seokjin berbalik ke arah komite medik—ke arah Taehyung semula—sedangkan Gongju melangkah memasuki pintu lift yang terbuka.
"Dokter," sapa Taehyung sembari mengangguk. Kakinya mengejar lift yang akan segera menutup. Sebelum pintu-pintu besi itu benar-benar terkatup, tangan Kim Taehyung berhasil mencegahnya menyatu.
Gongju yang sedang menatap lantai terkejut.
"Oh, Taehyung...," ia sedikit bergeser, memberikan spasi untuk Taehyung. Gongju bersandar ke dinding, menatap langit-langit lift yang dikelilingi lampu. Selama beberapa waktu ia terdiam, kemudian menyadari sesuatu. "Kok lift-nya nggak gerak, ya...?"
Taehyung mencondongkan badan melewati Gongju, tangannya menekan angka satu di deretan tombol. "Belum lo pencet lantai tujuannya."
Gongju meringis, "Sori.... Banyak pikiran."
"Maklum." Taehyung mengangguk. "IGD kayaknya jadi rame setelah dr Jin datang kemarin."
Semalam, Taehyung beberapa saat berada di IGD karena meminjam telepon. Menjabarkan satu demi satu perkataan dr Jin sebelumnya mengenai pasien yang harus operasi dadakan tengah malam di ruang operasi, hingga ia mulai menyaksikan arus IGD yang tidak setenang sebelumnya.
"Gara-gara dr Jin mulutnya nggak dijaga," dan hal itu dibenarkan Taehyung. Haram hukumnya bicara yang tidak-tidak di ruang IGD, seolah tidak menyadari ada manusia bau busuk bernama Hwang Gongju di daftar on duty malam ini.
Gongju lanjut menggerutu lagi, "Apa sih masalah hidupnya dr Seokjin? Jadi orang iseng banget...."
"Dia tadi ngapain lo lagi?" Taehyung tak kuasa menahan rasa ingin tahunya.
Tatapan mata Gongju menemukan Taehyung tengah bersandar di dinding lift sisi seberangnya. Taehyung bisa saja berpura-pura tidak melihat kejadian barusan, namun ada sesuatu yang mengganggunya melihat bagaimana keadaan Gongju usai mengobrol dengan konsulen iseng satu itu.
"Ah...," gadis itu seolah teringat sesuatu. "Dr Jin ngajak gue makan siang bareng." Sebelum Taehyung menanggapi apa pun, gadis itu buru-buru menambahkan, "katanya berdua aja, jangan kayak ... waktu itu."
Sepasang alis Taehyung terangkat, "Dan lo setuju?"
"He-eh."
Mereka berdua terdiam sepanjang sisa perjalanan ke lantai satu.
.
.
.
.
Pintu kantor MCU terbuka lebar disusul kemunculan dua orang secara tiba-tiba.
"Taetaeeee! Ayo makan siang!" Seowoo melambaikan tangan, wajahnya kegirangan walau rambutnya acak-acakan. Di belakangnya, Yoongi bersandar di pintu, kehilangan kata-kata karena Seowoo terlihat antusias untuk suatu hal yang tidak biasanya.
"Semangat amat, Seowoo-ya," komentar Taehyung seraya mematikan layar komputer yang sedari tadi menganggur. Pasien MCU terakhir selesai diperiksa kira-kira setengah jam yang lalu. Selama kurun waktu tersebut, Taehyung merenung memandangi layar ponselnya yang terbuka pada ruang percakapan pribadi bersama Gongju, namun tak kunjung mengetikkan sesuatu di sana.
"Yang pasti bukan karena menu makan siangnya enak." Yoongi menimpali, membuat Seowoo berbalik dan menyikut pacarnya. Yoongi mengaduh pelan, menggumamkan sesuatu semacam 'tenaga babon' yang tentunya tidak berani dilantangkan di dekat telinga Seowoo.
"Menu makan siangnya apa?" Taehyung mendekati keduanya seraya merapikan jas, tangannya menjangkau saklar lampu di sisi pintu, lalu mengikuti sepasang manusia yang mood-nya tengah bertolak belakang itu.
"Nasi liwet."
"Nonton Gongju maksi sama dr Jin."
Seowoo dan Yoongi menjawab bersamaan, dan Seowoo langsung memelototi pacarnya jengkel.
"Udah gue bilang jangan disebut-sebut." Gadis itu melirik Taehyung cemas, "Taetae, lo nggak mau pesen makan dari luar aja? Kayaknya makan kwetiau siram enak ju—"
"Gue tahu, kok." Ditepuknya bahu Seowoo pelan, berusaha meyakinkan bahwa fakta Gongju akan makan siang bersama dr Jin (dan berdua saja, kalau mengutip kata-kata gadis itu saat di lift tadi) sama sekali tidak mengganggunya. "Gue pengen nasi liwet, udah lama nggak makan yang begitu," ujarnya, tampak tidak terganggu dengan perkataan Yoongi yang terus terang. Taehyung berjalan mendahului keduanya, bernyanyi-nyanyi kecil menyenandungkan sepotong lirik lagu yang populer belakangan.
Seowoo menatap Yoongi. Yang di sebelahnya hanya mengangkat bahu. Tidak tahu mau berkomentar apa.
.
.
.
.
Tiga penguntit itu, dengan kata lain Seowoo, Yoongi, dan Taehyung, selesai mengambil jatah makan siang mereka dan memutuskan mengambil meja yang berada di jarak 'aman'. Posisi dua meja di belakang Gongju dirasa pas. Tidak terlalu jauh untuk menguping obrolan keduanya, namun tidak terlalu dekat sampai teman mereka yang kadang-kadang 'sadar kamera' menyadari keberadaan tiga orang tukang gossip itu.
Taehyung sengaja mengambil kursi yang memunggungi (dan dipunggungi) Gongju, agar konsulen mereka yang paling istimewa sedunia tidak menyadari keberadaannya. Yoongi duduk di sebelah kiri Taehyung, Seowoo di seberang Taehyung—menjadikan Choi Seowoo sebagai pengamat utama.
"Nggak usah nguping mereka, Seowoo-ya," kata Taehyung, kedua tangannya sibuk mengelap sendok dan garpu menggunakan tisu. "Habis ini lo jaga IGD siang, waktu lo sedikit."
Tatapan Seowoo masih tidak lepas dari dua orang di meja target; Seowoo pura-pura mengalihkan pandangan ke televisi jauh di belakang dr Seokjin ketika sang konsulen mengangkat wajah dari piring makanannya. "Yoongi bisa duluan ke IGD," katanya cuek. "Duh, mereka ngobrolin apa, sih? Berisik banget kafetaria, gue susah dengerin!"
Sementara itu, di meja Jin-Gongju, suasananya tidak semenyenangkan (atau setegang) yang dibayangkan. Ketimbang membuka obrolan dengan konsulennya, Gongju memilih menyibukkan diri dengan irisan mentimun yang diambilnya sebanyak mungkin dari wadah sayuran. Bak melakukan hobi yang tidak berguna, diaturnya irisan mentimun itu hingga mengelilingi piringnya, dengan formasi dan jarak yang kira-kira sama.
Siapa tahu dr Jin akan bosan melihatnya bertingkah freak seperti ini dan memilih memajukan jadwal operasinya agar mereka tidak perlu makan bersama seperti ini. Ya kan??? Sudah beberapa orang lewat dan menyapa Kim Seokjin, kemudian beralih memandangi Gongju dengan seribu pertanyaan yang meluncur seperti anak panah ke kepalanya.
Dr Jin makan bareng GP?
Mereka ada hubungan apa, ya?
Jangan-jangan dr Gongju lagi cari-cari rekomendasi sekolah?
Mereka pacaran?!
"Sambal terasinya enak."
Ini lagi, tiba-tiba ngomentarin sambal terasi! Gongju mengangkat wajah, memasang ekspresi tidak percaya karena percakapan mereka, yang sedari tadi nol semenjak duduk berhadapan dihalangi meja kayu berbentuk kotak ini, dimulai dengan subyek sambal terasi. Tunggu, tunggu. Ini dr Kim Seokjin yang sedang dibicarakan, bukan Kim Taehyung temannya yang memang agak random kalau memilih topik. Gongju jadi curiga, jangan-jangan semua orang yang bernama Kim memang punya karakteristik nyeleneh.
Tapi, sahabatnya Seowoo bermarga Choi, sama-sama random juga orangnya.
"Hmmm." Sendoknya menyodok sedikit sambal, kemudian dimasukkan ke mulut. Mencicipi, karena pada dasarnya Gongju tidak pandai memindai rasa. Baginya, makanan hanya ada 'enak', 'enak banget', dan 'biasa saja'. "Lumayan, Dok." Please, jangan jadikan acara makan siang ini sebagai acara komentar kuliner. Gue nggak pahaaaammm.
"Kamu suka banget timun, ya?" tanya dr Jin, lagi-lagi random dan masih berpusar di topik makanan.
"Y ... a...?" Kedua matanya mengerjap, pandangannya tertuju pada irisan mentimun yang tadi sengaja disusun mengitari makanannya sendiri. "Dokter nggak suka?"
"Biasa aja," di luar dugaan, tiba-tiba dr Jin menurunkan formalitasnya, "Saya lebih suka selada, sih. Kesannya lebih elit."
Tahan Gongju, tahan. Jangan putar bola mata di sini! "Sepatu baru yang mahal, karpet merah, dan selada yang terkesan elit," Gongju semacam merekap semua omongan konsulennya. "Apa lagi yang Dokter suka?"
"Kamu." Sendok dr Jin teracung ke arahnya.
Gongju hampir tersedak ludahnya sendiri.
"Haha, bercanda." Yaelah, bercandaannya kagak lucu. "Saya suka Kim Taehyung."
"APA?!" Seseorang berteriak, dan detik berikutnya Hwang Gongju menyadari bahwa dirinyalah yang berteriak. "Jadi sebenarnya Dokter g—"
"Bercanda lagi." Dr Jin mengedipkan sebelah matanya. "Kaget, ya?"
Kalau saja nggak ingat mereka sedang ada di tengah-tengah kafetaria, dan kalau saja dr Seokjin bukanlah konsulen yang jelas-jelas merupakan seniornya dalam dunia persilatan bernama kedokteran ini, mungkin Gongju sudah melempari dr Jin dengan seluruh timun yang ada di kafetaria.
Gongju manyun. Lelah menghadapi absurdnya seorang Kim Seokjin. Diam-diam dia mulai menyesali mengapa tadi mengiyakan makan siang berdua saja dengan orang ini. Orang ini, ya, orang ini. Yang sedang memasang wajah polos seolah-olah tadi baru saja bilang 'saya mau pindah ke planet Mars' ketika seluruh GP jelas-jelas mendoakan hal tersebut jadi kenyataan.
"Saya kira dokter memang aneh, tapi saya nggak menyangka dokter seaneh ini." Gongju menyuarakan isi hatinya tanpa memedulikan tatapan bertanya dari dr Jin. "Ngajak saya makan siang berdua aja udah cukup aneh buat saya, apalagi barusan dokter bilang dokter suka sama Taehyung."
Laki-laki di depannya mengangkat bahu, "Saya nggak nanya pendapat kamu."
Sialan. Gongju memaksa dirinya tersenyum manis. "Oke," jawabnya, lalu mulai makan suapan pertamanya.
"Daripada kamu ngomentarin saya, lebih baik kamu cerita soal kamu." Kata-kata dr Jin menghentikan kunyahan Gongju. "Habis itu saya cerita soal saya, biar adil."
Hampir saja Gongju mendengus, saya nggak perlu dengar soal dokter, tapi ide itu nggak buruk. Ketimbang dikerjai lagi seperti barusan. Mungkin saja nanti dr Seokjin akan menceritakan hal-hal yang bisa dipakai bergibah bersama teman-temannya di grup BUTUH GP. Apa pun, demi bahan julid, akan Gongju jabani, termasuk mengobrol dengan konsulennya.
"Saya anak pertama dari dua bersaudara," ujarnya, memulai kisah mengenai dirinya dengan sebuah fakta klasik: jumlah saudara.
"Adik laki-laki? Perempuan?" Pertanyaan basa-basi ala Kim Seokjin.
"Laki-laki, baru selesai kuliah," jawab Gongju enteng. "Kalau dokter?"
"Saya juga dua bersaudara; saya anak bungsu."
Pantes kelakuannya kayak begini. Diam-diam, Gongju mulai nge-judge konsulennya di dalam hati. Dalam hati saja, sekarang, habis ini semua omongan dr Seokjin akan ia masukkan ke grup chat supaya tiga orang lainnya tahu.
"Saya masuk kuliah kedokteran karena nggak tahu mau masuk jurusan apa." Gongju yang di luar tersenyum, berbeda dengan yang di dalam. Inner-Gongju sedang menyeringai menyebalkan, punya tanduk pula. "Sempat mau masuk ke jurusan desain, tapi di detik-detik terakhir saya ngerasa saya nggak berbakat, jadi ... yah," bahunya mengedik, "entah kenapa kepikirannya masuk ke sini."
Dr Seokjin sedang sibuk memotong-motong ayam goreng menggunakan sendok dan garpu selama ia bercerita.
Jiahh, dikacangin. "Kalau dokter?"
"Kayaknya keren kalau jadi dokter." Gongju melirik sirik pada ayam goreng di piring dr Jin. Wuih, bagian dada, tuh. Dia sendiri salah ambil, paha bawah. Hiks. "Dulu Namjoon mau jadi dokter, jadi saya ikut supaya nggak kalah keren."
Lagi-lagi alasan absurd. Mana alasannya cetek benar.
"Herannya, saat saya pilih spesialisasi bedah, Namjoon juga mau ambil bedah." Dr Seokjin selesai mengurusi ayam gorengnya. "Namjoon itu ikut-ikutan saya."
Capcay. Goreng. Rebus. Tanpa kuah. Ada, ya, orang sepede ini? Gongju menarik sudut bibirnya, seperti orang twitching saat kejang fokal. Gatal sekali tangannya ingin mencoba melempar satu saja mentimun ke dahi konsulennya. Satuuuu saja, ya, ya, ya? Pretty pretty please with cherry on top?
"Dokter ada masalah apa, sih, sama dr Namjoon?" tanya Gongju penasaran. Mereka seperti kucing dan anjing, bersaing dalam segala hal yang menurutnya tidak perlu.
"Nggak ada," jawab dr Jin cuek. "Saya senang aja jadi orang yang lebih baik dibanding Namjoon."
Capcay. Goreng. Rebus. Tanpa kuah. Tanpa capcay.
Lebih baik? LEBIH BAIK KATANYA???
Gongju yang speechless memutuskan untuk mengambil sesendok besar nasi, ayam, dan mentimun (dan sambal terasi kesukaan dr Jin) dan menelannya bulat-bulat sampai pipinya penuh. Dengan begini, dia ada alasan untuk tidak mengomentari APA PUN yang diucapkan dr Seokjin, bahkan untuk setiap kata yang sepatutnya mendapatkan lemparan mentimun ke tengah dahi.
"Saya sebetulnya introvert." Tanpa diminta, konsulen yang satu ini calmly menjelaskan.
Mulut Gongju yang masih penuh mencegahnya menyindir macam-macam, padahal otaknya sibuk mencatat hal-hal semacam ini supaya tiga temannya tidak kelewatan informasi ini. Ingin iseng bertanya, dokter introvertnya saingan sama dr Namjoon juga?, tapi takut keselek timun. Bisa-bisa dia jadi headline di rumah sakit selama seminggu karena malu-maluin didorong ke IGD, padahal biasanya bikin IGD ramai.
"Namjoon esktrovert." Tanpa diminta (lagi), dr Seokjin melanjutkan, seolah membaca isi pikiran Gongju.
Akhirnya, gadis itu mengangguk pelan-pelan, sambil tetap mengunyah makanannya.
Kenapa jadi bahas dr Namjoon sedari tadi? Jangan-jangan—
Dering ponsel memecah obrolan satu arah yang tengah berlangsung. Gongju mengeluarkan ponselnya dari saku—gelap—dan dr Seokjin juga mengeluarkan ponselnya yang menyala. Sebuah panggilan diangkat oleh sang konsulen, ada jawaban-jawaban singkat yang diberikan sebelum panggilan berakhir. Merasa mereka sudah banyak menghabiskan waktu untuk makan di sini, Gongju mempercepat tempo makannya.
Kemudian, ia teringat belum menceritakan jatahnya.
"Apa lagi ya...." Gongju menatap langit-langit kafetaria, seolah-olah seseorang menuliskan apa yang terdaftar di laci-laci kepalanya di sana. "Ehm, sebenarnya saya itu ambi—"
"Ambisius? Ambidextrous?" dr Jin terlihat semangat menanggapi setelah beberapa menit tidak bicara. "Kapan-kapan saya ingin lihat kamu hecting pakai tangan kanan dan kiri bergantian."
Gongju melipat bibir, agak ragu untuk melanjutkan.
"Needle holder emang dirancang untuk tangan kanan, kalau mau nanti pesan yang buat orang kid—"
"Hmm, anu...," suara Gongju merendah, "... maksudnya ambivert."
Krik.
Krik.
Krik.
.
.
.
.
tbc.
.
.
.
.
Keterangan:
1. Aspirasi: masuknya benda asing ke paru-paru, misalnya cairan muntahan.
2. Laporan jaga/laporan pagi/morning report: kegiatan yang melibatkan sejumlah dokter umum yang bertugas di shift siang/malam hari sebelumnya (di luar jam kerja) untuk melaporkan kejadian-kejadian yang dianggap penting selama durasi jaga mereka. Semisal, pasien-pasien istimewa, baik yang kondisi medisnya buruk maupun menciptakan keributan di IGD atau bangsal.
3. Akreditasi: semacam peninjauan ulang sistem rumah sakit dan berbagai hal yang menunjang untuk berjalannya sebuah rumah sakit. Dengan kata lain, masa-masa sibuk dan penuh dokumen.
4. Needle holder: alat semacam klem dari logam untuk menjepit jarum yang dipakai menjahit jaringan tubuh.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro