4. Desakan Pamungkas
[5 Tahun Lalu]
"Far, cowok yang kemarin dateng lagi tuh," kata Bu Desy -- General Assistant sekaligus rekan kantor yang paling perhatian pada Fara -- dengan gaya rumpi.
"Siapa sih?" Fara mengintip ke arah lobi kantornya dan mendapati sosok jangkung berambut tebal setengkuk sedang berdiri dan mengobrol dengan Bia, si resepsionis kantor.
"Tsk, ngapain sih??" keluh Fara.
"Kakak ketemu gede ya, Far? Rajin banget sekarang nganter jemput..." tanya Bu Desy penasaran.
"Seumuran aku itu Bu... temen lama, jaman aku sama Raihan kuliah..." jelas Fara sopan.
"Oh, teman Rai juga toh??" ucap Bu Desy takjub. Fara mengangguk sambil tersenyum.
"Aku temuin dia dulu ya, Bu..." kata Fara.
"Semoga baik-baik ya kamu sama dia... syukur-syukur, ehem, jodoh," ucap Bu Desy dengan wajah sungkan tapi tak tahan.
Fara maklum. Begitulah memang nasib perempuan kalau kehilangan suami. Selalu diburu-buru cari pengganti. Tak perlulah ia masukkan ke hati, apalagi bersusah payah menjelaskan bahwa ia masih jauh dari siap untuk membahas topik itu.
Baru enam bulan sejak Rai tiada. Sang istri masih merasa tak akan siap menggantikan Rai dengan siapapun.
Fara bergegas menghampiri Dewa yang terlihat sumringah saat menyadari kehadirannya.
"Wa, nggak perlu jemput ya," ucap Fara cepat dan tanpa basa-basi.
"Lo udah balik?" tanya Dewa, tidak mempedulikan ucapan Fara barusan.
"Bentar lagi, tapi gue balik sendiri aja," jawab Fara sambil menekankan lagi maksudnya.
"Oke gue tungguin," jawab Dewa, sangat berkebalikan dengan apa yang Fara sampaikan. Fara sudah sangat emosi menghadapi Dewa menahan dirinya. Ia tidak ingin bertengkar di kantornya. Perempuan itu pun berbalik sambil mengatur nafas.
Tidak berubah. Setelah 10 tahun, Dewa masih sangat menyebalkan...
***
[4 Tahun Lalu]
"Eh, udah ya, aku duluan..." kata Fara di acara makan-makan perusahaannya. Saat itu sudah pukul setengah sembilan malam dan makanan yang tersedia sudah dicicipi semua.
"Dijemput suaminya ya, Mbak?" tanya seorang karyawan junior yang cukup sering berkumpul dengan Fara.
Perempuan yang ditanya itu pun tertawa, "Bukan, itu temen aku..."
"Loh, Mbak Fara bukannya udah nikah? Udah punya anak kan?" tanya sang junior perempuan yang baru lulus kuliah beberapa bulan lalu itu. Kali ini Fara tersenyum.
"Suamiku meninggal setahun lalu say," kata Fara. Karyawan itu tampak terkejut.
"Oh, ehm... maaf Mbak... aku nggak tahu," ucap karyawan muda itu dengan nada lemah.
"It's okay," kata Fara.
"Tapi masa cuma temen, Mbak? Dia jemput tiap hari loh..." Bia, resepsionis yang juga sering berkumpul dan makan siang dengan Fara, kali ini angkat suara.
"Iya itu temen lama kok, udah kayak saudara sendiri," jawab Fara.
"Temen rasa pacar kali, Mbak..." goda Bia.
"Hus!"si karyawan junior menegur sang resepsionis.
"Habis Mas-nya so sweet banget. Nggak pernah absen jemput loh!" kata Bia.
Senyum Fara semakin kaku dan dia buru-buru pamit. Di dekat lift, Bu Desy menghampirinya.
"Cie, yang udah dijemput," kata Bu Desy dengan wajah menahan senyum. Fara menengok malas. Bu Desy sudah ia anggap seperti kakak sekaligus ibunya sendiri di kantor, tapi kalau sudah mode bergosip begini tak beda tingkahnya dengan anak SMA.
"Bu, please deh..." kata Fara yang sudah malas.
"Kenapa nggak diresmiin aja sih, Far? Kan udah pada tahu ini orang kantor. Kalo ditutup-tutupin malah jadi gosip loh..." ucap Bu Desy. Bertepatan dengan itu, pintu lift terbuka.
"Nggak ada yang harus diresmiin. Dia temen aku, itu aja. Duluan ya, Bu," kata Fara buru-buru.
Ia segera berjalan melewati lobi gedung kantor dan menunggu di depan drop-off gedung sampai akhirnya sebuah mobil yang familiar melaju pelan di depannya. Fara langsung masuk dengan wajah gusar.
"Bukannya habis acara makan-makan? Muka kok kayak habis dapat kerjaan??" tanya Dewa yang kebingungan melihat ekspresi sahabatnya itu.
"Wa, anter jemput nggak usah tiap hari bisa kan?" tanya Fara.
"I thought we already talked about this," kata Dewa dengan gaya tak acuhnya yang khas.
"Talked apaan?! Tiap gue minta nggak dianter lo maksa anter, minta nggak dijemput lo maksa jemput, gue marah lo cuekin, gue nggak suka dicuekin!" seru Fara.
"Lo lagi kenapa? Kenapa tiba-tiba nggak mau dianter jemput sama pemuda tampan dan kaya sejagat raya kayak gue?" Dewa masih tenang dan menghadapi Fara yang meletup-letup dengan candaannya.
"Iyuh! Udah tua udah bau tanah lo sama gue, nggak usah bikin geli deh ngomongnya. Gue kesel beneran! Bisa nggak serius sekali aja, Wa?!" bukannya ikut tenang, Fara malah makin meledak.
Dewa terdiam. Emosi Fara memang tidak biasa malam ini, tidak bisa begitu saja dihindari. Pria itu pun mendesah panjang.
"Sepuluh tahun gue pergi dari hidup lo, Far. Gue nggak takut sama sekali ninggalin lo karena ada Rai di sisi lo," ucap Dewa cepat, seolah-olah ingin percakapan ini berakhir.
Fara termangu melihat usahanya berhasil. Kali ini Dewa bisa diajak bicara serius. Tapi justru di saat seperti ini lidahnya malah kelu. Jantungnya bergedup terlalu kencang melihat sosok yang biasanya menyebalkan ini mengutarakan pendapatnya.
"Setahun lalu pas kita akhirnya ketemu lagi di depan makam Rai, gue janji nggak bakal pergi lagi dari hidup lo. Gue bakal nemenin lo ngelaluin ini semua." tambah Dewa.
"... Gue akan baik-baik aja, Wa. I'm a grown woman," Fara tak tahu harus berkata apa untuk menghadapi perlakuan Dewa yang ia anggap manis itu.
Ia teringat ketika pertahanan dirinya runtuh di hadapan sahabat yang tak ada kabar selama 10 tahun itu. Ia pun ingat bagaimana ia mengaku tak sanggup menjalani satu hari lagi dan sang sahabat berjanji di depan makam suaminya untuk mendukung dan menjaganya, serta berkata tidak akan meninggalkannya lagi.
"Ya tapi gue nggak bisa, Far. Gue butuh ini untuk bikin diri gue tenang. Gue butuh, okay?" tegas Dewa.
Fara tidak tahu sebesar ini tekad Dewa untuk menjalankan janjinya. Ada sedikit penyesalan ketika mengingat betapa hancurnya ia di hadapan sahabatnya waktu itu. Seandainya Fara dapat sedikit lebih tegar...
"Dasar tukang maksa..." Fara tak berkutik. Lagipula hati kecilnya tahu bahwa ia masih sangat membutuhkan keberadaan Dewa.
"Makasih pengertiannya..." kata Dewa sambil tersenyum.
Bagaimana mungkin ada orang yang tak absen menolong lalu mengucapkan terima kasih kepada seseorang yang ditolongnya?
Fara benar-benar gagal paham kepada Dewa.
***
[2 Tahun Lalu]
"Sudah tiga tahun kalian dekat, apa kamu nggak mau memikirkan menikah dengan Dewa?" ucap Bu Farida di suatu siang ketika Dewa baru saja pulang setelah seharian mengajak Nara dan Fara bermain ke taman safari.
"Apaan sih, Bu?! Nggak mau ah! Aneh banget..." Fara yang masih lelah menjawab sesuai isi hati.
"Aneh apanya?? Toh kalian itu sekarang sudah kemana-mana berdua, dia juga sudah akrab dengan Nara... dia single, kamu single."
"Dewa itu sahabat aku, Bu... udah ah, jangan aneh-aneh gitu mikirnya. Aku serem!"
Fara bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sekaligus menghindari pertanyaan ibunya.
Semakin dewasa, semakin sulit rasanya berteman dengan lawan jenis. Sedikit-sedikit ditanya soal menikah. Ia lelah...
***
[Setahun Lalu]
"Wa, lo nggak risih apa?"
Dewa menatap Fara malas. Belum juga mesin ia nyalakan, Fara sudah mencecarnya dengan pertanyaan yang membingungkan.
"Risih apaan sih? Kenapa sih tiap lo naik mobil gue adaaa aja pertanyaan-pertanyaan yang nggak jelas konteksnya?" keluh Dewa sambil menyalakan mobilnya.
"Lo digodain terus tau nggak di kantor gue. Nggak lihat Bia suka ngasih kode ke elo??"
Dewa tertawa dengan wajah bangga, membuat Fara heran.
"Ya mau gimana lagi? Orang keren kayak gue mah susah kalo risih dikodein doang."
Jawaban itu membuat Fara gemas, ia menepuk bahu Dewa.
"Iih... dia tuh ngegodain gue sama lo! Sebel ah gue ngomong sama lo emosi mulu!!" kata Fara.
"Lah gue mana tauuuu... lo ngomongnya seolah-olah dia naksir gue, lagian emang enak dimarahin lo mulu?!" Dewa pun akhirnya sewot karena dimarahi tanpa sebab.
"Nara juga makiiiinnn sering ngomong tentang lo. Kenapa sih gue mau temenan ama lo aja yang repot bejibun?!" keluh Fara.
Dewa mendesah dan menepuk kepala Farah, "Hubungan kan kita yang punya. Orang mau bilang apa ya cuek aja, yang penting lo sama gue sama-sama tahu."
"Gue nggak tahu sesusah ini rasanya punya sahabat kalau kita udah dewasa. Gue ngerasa nggak normal karena didesak buat mikirin nikah sama lo..." kata Fara. Air matanya sudah tergenang.
Tentu saja dia tidak normal bukan? Dengan Dewa yang selalu berada di sisinya, menguatkannya hari demi hari dan membuat keluarganya tetap bahagia... belum lagi status lajang Dewa dan penampilannya yang terbilang menarik, ia malah terus menyimpan laki-laki itu sebagai sahabatnya. Tidak lebih.
Apakah Fara egois? Atau tidak peka dengan situasi yang ada? Apakah Fara salah jika hatinya masih penuh dengan Rai??
"Nggak ada yang nggak normal. Kalo lo nggak suka jangan dipaksa. Nantinya kan lo juga yang ngejalanin, bukan orang-orang di sekitar lo. Udah nggak udah dipikirin, okay?" ucap Dewa sambil mengusap pipi Fara dengan ibu jarinya.
Fara menatap pria yang meskipun kadang sangat menyebalkan, tapi begitu mampu menyentuh hatinya dengan kesabaran seluas samudera itu.
Fara mengangguk. Ia tak tahu sampai kapan bisa tak peduli dengan kata orang, tapi ia percaya Dewa akan selalu dapat menenangkannya.
***
[5 Menit Lalu]
"Ya Om Dewa nikah aja sama ibu. Biar jadi ayahnya Nara. Gimana?" tanya Nara di hadapan Fara dan Dewa saat makan malam.
Keduanya terdiam selama beberapa saat. Fara menatap Dewa dengan tidak enak hati, ia harus berkata sesuatu.
"Boleh, kalo ibunya Nara mau," jawab Dewa.
Bibir Fara pun kaku lagi. Ia hanya bisa menganga sambil menatap sahabatnya baik-baik. Tatapannya seolah meneriakkan sesuatu,
"Dewa pembelooott!!!"
***
Halooo... sudah up part baru~
Cepet juga yah nulis cerita ini, padahal awalnya sempet bingung karena bikin bab awalnya gloomy banget. Hehehe...
Semoga suka dan mau terus mengikuti cerita ini yaa..
Ngomong-ngomong, jangan lupa cek ig-ku di @sacchan_sasa. Di sana banyak update-update ceritaku, thought dan banyak lagi.
See you on the next chapter ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro