Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18. Pasangan Dalam Gazebo

[15 Tahun Lalu]

"Far."

Rai menggenggam tangan Fara ketika mereka sedang duduk berdampingan di gazebo rumahnya yang menghadap ke arah kolam renang.

Udara malam itu sangat sejuk sehingga mereka berdua memutuskan untuk mengobrol di sana ketimbang di dalam rumah.

Fara dan Rai sering berkencan ke luar; entah itu ke mall, taman bermain, ataupun pantai tepi kota. Tapi hari itu mereka ingin berkencan dengan santai, tanpa harus berdandan dan bisa mengenakan kaus dan celana yang nyaman saja.

Fara sendiri sudah sering sekali mendatangi rumah Rai. Orang tua Rai selalu menyambutnya ramah. Sebelum ini saja mereka makan malam bersama.

"Aku perhatiin, kamu tuh deket banget sama Dewa ya?"

Saat ini, di gazebo yang terang dan nyaman, saat Fara berada di sisinya Rai mencoba bicara pada sang kekasih tentang hal yang mengganjalnya.

"Kenapa? Jealous ya?" tanya Fara jahil. Ia menyenderkan dagunya ke lengan kekasihnya sambil menatap manja.

"Lumayan," jawab Rai yang berusaha tenang. Dalam hati ia sudah sangat ingin mencecar Fara dan menyuruh perempuan itu agar memutuskan persahabatannya dengan Dewa.

Toh teman Fara banyak, kenapa harus dekat-dekat dengan Dewa?!

Tapi tidak, Rai tidak bisa melakukan itu. Fara sendiri sudah sangat pengertian kepadanya yang sering berinteraksi dengan banyak orang, baik laki-laki maupun perempuan. Kekasihnya itu juga memaklumi jika Rai harus berinteraksi dengan perempuan yang jelas-jelas memberi kode kepadanya dalam rangka urusan organisasinya.

Rai ingin hubungannya berlandaskan pengertian. Saat ini ia ingin mengerti keinginan Fara untuk bersahabat dengan Dewa dan berusaha membuat perempuan itu mengerti perasaannya terhadap persahabatan itu.

Fara terkikik, membuat Rai cemberut. Perempuan itu tidak tahu saja kalau dada kekasihnya sudah panas tak keruan.

"Kita sih deket di kampus aja. Aku seangkatan emang deket kan?" Kata Fara.

Ucapan perempuan itu tidak salah. Jurusan antropologi memang cukup guyub, meskipun tidak sedekat Sosiologi. Fara dan teman-temn seangkatannya cukup sering menongkrong di kampus baik itu di gedung jurusan, di kantin, ataupun di perpustakaan.

Kerasnya kehidupan perkuliahan membuat mereka semua semakin solid.

"Tapi aku nggak pernah liat kamu ngasih kado ke temen seangkatan kamu yang ultah," ucap Rai lembut. Mata Fara membesar.

"Kamu jealous karena aku kasih Dewa kado??" tanya Fara.

"Hmm... agak grand gesture aja sih buatku. Sampe ngajak-ngajak aku milih gitar..." jawab Rai berusaha melunakkan segala kata yang meledak-ledak di kepalanya.

Ternyata cemburu itu menyiksa juga ya...

Fara menegakkan tubuhnya. Selama mereka bersama, tak pernah ada ceritanya Rai cemburu. Rai itu sosok yang lebih sering dicemburuinya daripada sebaliknya. Pergaulan Fara cukup sempit, jauh dibanding anak gaul seperti kekasihnya. Teman-teman Fara juga sudah ia kenalkan semua pada Rai.

Terang saja Fara kaget melihat tingkah Rai saat ini. Ia nyaris tak percaya bahwa Rai serius sedang cemburu pada Dewa.

"Ya ampun Rai... kamu kalo ada yang ganjel bilang dong," ujar Fara khawatir. Jangan-jangan selama ini Rai sering cemburu tapi manahan-nahan rasanya itu. Tidak seperti Fara yang kalau tidak nyaman kepada teman perempuan Rai, ia pasti langsung mengatakan sesuatu.

"Aku... takut," kata Rai ragu.

"Takut?"

"Takut nggak siap denger jawabannya."

Fara menyentil dahi Rai, "Mikirnya jangan yang aneh-aneh makanyaaa..."

Rai tertawa sementara Fara langsung mendekap kekasihnya itu. Kasihan, sejak tadi Rai pasti merasa gugup sekali. Fara harusnya sadar bahwa perlakuannya pada Dewa memang tak wajar.

"Jadi?" tanya Rai, meminta penjelasan pada kekasihnya tentang Dewa yang bisa mendapatkan perlakuan cukup spesial darinya.

"Jadi... inget kan kalo semester lalu aku nyaris nggak lulus dua mata kuliah karena UTS-ku jelek? Nah, berkat bantuan Dewa yang mau aku ajak diskusi dan belajar tiap hari, aku jadi bisa ngejar nilaiku di tugas-tugas dan UAS..." jelas Fara.

"Iya sih... kalian kayaknya mulai akrab semester lalu ya?"

Fara mengangguk dan mendesah.

"Dewa tuh kasian, Rai," kata perempuan itu sendu.

"Kasian?" Rai mengernyit.

"Dia tuh yatim piatu. Ternyata anak beasiswa loh, masih sempet-sempetnya ngurusin aku pula semester lalu. Dia pinter tapi pendiem, karena tumbuh jarang interaksi gitu sih... dia tiga kali pindah panti asuhan, Rai."

"Hah?! Serius kamu?! Segitunya??" Rai membelalakkan matanya dan menatap mata Fara untuk mencari bukti bahwa perempuan itu tidak berbohong. Fara menyambut tatapannya dengan anggukan mantap.

"Iya... sejak SMP dia udah mandiri. Modal beasiswa dia tuh dari dulu sampe sekarang ini. Makanya orangnya kesannya suka risih sama orang lain, sebenernya itu karena seumur hidupnya dia sering ditolakin. Makanya dia kayak nolak orang-orang yang penasaran sama dia..."

"Dia cerita-cerita gitu?"

"Aku tanyain lah. Dia jawabnya santai banget, akunya yang mau nangis," kata Fara. Bahkan saat itu matanya sudah berkaca-kaca.

Ada rasa haru dan terenyuh setelah Rai mendengar kisah Dewa.

"Sedih sih emang... sendirian dari kecil loh," kata Rai. Ia sendiri tidak menyangka bahwa seseorang dengan nasib semalang itu berada dekat sekali dengannya.

"Makanya aku beliin gitar. Dia pernah nyeletuk sekali kalo dia nggak pernah dapet kado. Abis aku kadoin, dia ngucap terima kasihnya datar banget. Tapi tiap hari gitar aku dibawa dan dimainin di kampus. Hihihiii..."

"Lah, kocak banget ya??" Rai tertawa mengikuti kekehan Fara. Ia membayangkan anak kecil yang murung diberikan hadiah yang disukai oleh seseorang kerabat jauh.

"Iya, dia nggak biasa ngasih liat ekspresi seneng. Aku tuh nebak dia suka apa nggaknya ya dari petunjuk-petunjuk kayak gitu..."

"Seru juga ya si Dewa," ucap Rai. Cemburunya kini berganti dengan rasa penasaran yang semakin menjadi.

"Seru kok. Coba aja kamu ajak ngobrol. Nggak se-gloomy dan se-awkward keliatannya kok. Anaknya asyik diajak join bareng," jawab Fara.

Jawaban itu membuat Rai yakin bahwa Fara tidak memiliki perasaan apa-apa terhadap Dewa. Tapi belum tentu sebaliknya

Meskipun ia masih mewaspadai Dewa, kini pendapatnya tentang laki-laki itu mengalami pergeseran.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Sejak Fara pulang empat jam lalu, Rai sudah asyik berbaring di atas kasurnya. Tapi ia tidak bisa tidur.

Laki-laki itu memikirkan bagaimana ia akan menentukan sikapnya pada Dewa.

Di satu sisi Rai menyimpan simpati pada Dewa. Dirinya hang memiliki orang tua lengkap dan hidup berkecukupan tidak akan mungkin dapat membayangkan bagaimana kerasnya hidup laki-laki itu. Di tengah semua tragedinya, Rai bahkan menyimpan kagum pada Dewa yang tetap bersemangat mengejar pendidikan.

Di sisi lain, rasa simpatinya terhadap Dewa telah ia dapatkan lewat Fara. Perempuan itulah yang menumbuhkan perasaan bahwa Dewa itu penting. Dewa itu berbeda.

Di gazebo beberapa waktu lalu, dirinya dan Fara berdua sebagai sepasang kekasih, tapi sepanjang waktu hanya Dewa yang mereka bicarakan.

Itu adalah tanda bahaya. Rai tidak bisa diam saja, ia harus berbuat sesuatu.

***

Gimana bab hari ini? Ada yang kesel sama Rai nggak?

Jangan kesel dulu ya... kasian, anak baik dia tuu (ya mana pada tau, thor? 🤣)

Ditunggu aja yaa next chapternya.

Btw, ku nulis sesuai keberadaan waktu luang. Kalo waktunya ada, aku bisa nulis banyak dan cepat up. Kalo nggak mohon bersabar ya. Bersiap-siap aja harimu akan dicerahkan cerita ini.

Meanwhile, ku minta tolong bisa? Kalau ada yang menemukan typo2 gengges, boleh laporin dong lol kadang suka nggak sempet review.

Semoga berkenan, makasiihh..

Sampai jumpa di bab berikutnya ❤

PS: nanya dong. Kalo aku ngasih liat visualisasi karakter Fara, Dewa, dan Rai versi aku pada tertarik nggak?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro