Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8. Redo-1

Catatan penulis:
Art di multimedia saya pesan dari commision Ryan_kazekaze (IG) '-')~

Baca pelan-pelan karena di akhir bakal muncul kejutan \'-'/.

Cheez~!

###

Biru tidak ada.

Sayup-sayup celik, mata masih terlayang. Pemandangan di luar terekam terang-terang laras melalui jendela ayun. Saat pikiran kembali dari awang-awang, Redo sadar bahwa dirinya kesiangan.

Tersentak di kasur, pemuda itu menyibak selimut dan langsung turun. Telapak memijak, dingin seketika menjalar. Redo berusaha bangkit meski kelelahan menguasai. Kantung mata berat, berkunang-kunang, napas sengal-sengal, punggung basah. Wajar peluh membanjir akibat perubahan lingkungan.

Tiba-tiba, matanya melebar, daun telinga bereaksi. Tertangkap suara berirama lagi harmonis yang cukup dekat. Redo yakin itu bersumber dari dalam ruangan. Maka perhatiannya menyapu seisi kamar, tetapi ketika bunyi klik terdengar, petunjuk pun habis. Namun, tak masalah, sebab Redo sudah mengetahuinya.

Di atas meja dekat jendela, kotak musik seukuran telapak tangan tergeletak. Warna cokelat gelap mengilap, terbuat dari kayu berkualitas lapis pernis. Ada kesan nostalgia ketika tuas di sisi perlahan melambat, lalu akhirnya berhenti.

Redo yang penasaran pun terdorong untuk mendekat. Pemuda itu berjalan, merasa lebih leluasa pergerakannya, tetapi memilih tak hirau karena kotak musik jauh lebih menarik.

Dia terpaku mengamati, lama masa berlalu. Benak tak peduli sekitar, tak peduli waktu, semata-mata tak ada kepentingan selain memandangi. Lagi pula, kesan misterius kotak musik terlalu memesonakan.

Saat sadar, Redo balik kanan. Sepasang mata cokelat hazel itu menampak benda panjang yang tersandar di tembok seberang.

Tongkat bantu jalan milik ayah Biru.

Awalnya tak kentara karena terletak di belakang pintu, hanya sebagian terekspos, jadi tidak segera tahu. Lantas sekarang permasalahannya, ketika tongkat tersebut hanya sendirian, ke mana sang pengguna saat ini?

Redo mencoba berpikir rasional. Tangan kanan dia tempelkan ke bibir bawah, lengan satunya menyilang siku. Berdeham panjang, memejam mata erat, alis menukik, mulut melengkung ke bawah, laksana pencarian jawaban dilaksanakan amat mendalam.

Ah, kamar kecil!

Benar juga. Mungkin saja tadi Biru bangun dahulu, pergi ke kamar kecil tak memakai tongkat karena tidak menemukannya.

Pencerahan itu memberikan ketenangan bagi hati Redo. Si pemuda duduk di depan meja, melipat kedua kaki ke belakang dan ditindih pantat, lalu telapak tangan menepuk lutut. Karpet halus merah marun yang natural terasa nyaman baginya. Redo seperti meraba yang tak biasa, tetapi tak tahu apa itu. Sambil bersenandung kecil, manik matanya bergulir, dahi berkerut. Hanya detak jarum jam dinding yang menemani.

Menunggu lama pun tak kunjung datang kepastian. Redo yang penasaran kemudian berdiri, beralih keluar kamar, berlari kecil. Lorong pun ramai sesaat oleh derap.

Selepas masa yang cepat, Redo kembali masuk kamar lagi, balik pada posisi bertelut di depan meja. Dia ketuk lutut berulang-ulang, kepala angguk-angguk, ganti patah kanan-kiri, mata kerling kanan-kiri. Badan menjulur, jendela dibuka, seketika angin semilir menyapa. Lonceng kaca yang menggantung pun berbunyi, karena pemukul terus mengenai dinding cangkir.

Namun, itu tak mengusir rasa bosan Redo. Si pemuda bangkit, jalan keliling kamar, keluar-masuk lorong, memutari ruangan berulang, keluar lagi.

Sampai akhirnya capai menunggu, dia menyerah. Dia buka pintu kamar kecil, dan alangkah tercengangnya tak dijumpai seorang pun di dalam.

Lantas Redo yang mulai gelisah kalang kabut mencari ke seluruh isi rumah, kamar per kamar, ruangan demi ruangan, dapur, serta teras luar.

Cahaya matahari tanpa permisi masuk melalui jendela, dan seketika Redo paham situasi kala ini. Ketika tak ada kehadiran lain, berarti dia sendirian di rumah orang.

Oke. Saatnya panik.

Kelopak terbuka lebar, mulut melongo. Tubuhnya terkesiap, napas memburu. Celingukan, tak berkutik. Bibirnya bergetar. Bulu kuduk meremang dan kedua lutut tak bisa diam. Bola matanya berputar-putar tak beraturan.

Tingkah langkah yang bak kemasukan pun memuncak, erang keras menyebar ke penjuru rumah.

Masa itulah Daisy muncul di ambang pintu. Redo tahu-tahu berada di kamar Biru, tergeming seraya perlahan menurunkan jari-jemari dari kulit wajah beraut lesu.

Pemudi itu masuk, menenteng tas keranjang dengan gaya feminin. Kesan terheran menghiasi baik ekspresi maupun sikapnya.

"Redo ... ? Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja bersama Biru kecil?" tanyanya, bernada menenangkan.

Baru dikatakan begitu, impuls di saraf otak Redo lancar berpindah melalui sinapsis dari satu neuron ke neuron lain. Matanya mengamati sekeliling.

Di kamar Biru, kasur, meja belajar, nakas, lemari, itu semua terbilang sedikit bagi ruangan yang luas ini. Ada lagi meja belajar, peti besar, juga ... ranjang kecil berpagar? Benda-benda asing, tetapi dapat dikenali tertata, beberapa tersebar di atas karpet lebar.

Ada kehadiran lain juga. Dari ranjang berpagar, tangan mungil menyembul, berpegangan pada tepi. Pagar yang berkisi samar-samar menunjukkan penampakannya. Seorang bayi dengan pakaian tidur biru langit, kaus kaki putih, penutup kepala yang lucu. Rambut anak itu senada iris matanya, cokelat madu. Anak surai lebat dan bermodel duri. Gigi yang baru tumbuh dia pamerkan bersama gelak khas, seraya memukul-mukul pagar.

Redo entah harus berkata apa atas hal yang disaksikannya.

Daisy melangkah masuk. Rambut cokelat madunya yang panjang diikat membentuk dua lingkaran, sedangkan sisanya dibiarkan tergerai. Pakaian kasual putih senada dengan suasana hati yang cerah. Pemudi itu menghampiri ranjang, lalu mengangkat si bayi yang tertawa ke gendongannya.

"Seperti biasa, untuk hari ini, tolong bantuannya, ya, Redo onii-chan*!" Senyum riang terlukis dibersamai gelak khas nan ekspresif.

(onii-chan= panggilan untuk kakak laki-laki)

Apa-apaan yang terjadi?

Tatkala menghadap cermin di kamar mandi, Redo melihat pantulan dirinya yang berbeda. Sepasang mata cokelat hazel dan rambut hitam pendek masih sama. Dia mengalami regresi usia: remaja laki-laki yang lebih pendek, lebih kurus-walau terbilang berisi, dan lebih cerah. Pakaian yang dikenakan berupa kaus hitam berbalut jaket merah tanpa lengan, dan celana jin biru. Itulah alasan ketika bangun tadi benaknya merasa aneh.

Terkejut pun tidak cukup mengekspresikan apa yang dialaminya. Dia lebih muda, ya, entah harus senang karena itu, atau ngeri karena hal lain. Maka Redo hanya bisa berlama-lama mematung di depan cermin.

Sesudah korsleting usai dan impuls kembali mengalir, Redo baru bisa berpikir.

Biru jadi bayi?

Redo jadi bocah?

Mungkin terkesan biasa saja tanpa masalah, tetapi jangan salah paham, jujur perasaannya kini amat campur aduk hingga tak dapat dijelaskan dalam satu kalimat.

Apa jangan-jangan ini mimpi belaka?

Tidak, tidak. Redo yakin kakinya menapak, napas terasa, detak jantung ada. Kedua pipi ditepuk pun nyeri.

Lalu apa? Jika bukan mimpi, mengapa hal yang jelas-jelas tidak masuk akal ini terasa begitu nyata? Bila ini ulah seseorang yang bereksperimen acak, sungguh keisengannya benar-benar melebihi batas toleransi.

Redo diliputi awan-awan ketidakjelasan.

Kembali dari kamar kecil, lagi-lagi perhatiannya tercuri oleh benda di kamar Biru-yang sekarang statusnya membingungkan.

Ternyata bukan lagi kotak musik, melainkan yang di atas meja belajar ialah sebuah benda hitam ganjil. Bukan wujud kotak, melainkan bangun ruang yang sisinya berbentuk segi lima, berjumlah banyak, dan tiap sisi tersebut memiliki pola bintang terbagi menjadi keping-keping. Yang lebih pelik lagi, ialah warna hitam pekat bak menyatu kegelapan, bahkan rusuknya pun hampir tidak terlihat. Intinya, Redo tidak tahu benda apa gerangan.

Daripada itu, ada hal terpenting yang perlu dimintai kejelasan. Redo buru-buru menemui Daisy yang sudah memasang sepatu di ujung lorong ruang tamu. Dialah satu-satunya informan yang bisa menerangi kepala Redo barang secercah cahaya harapan.

Daisy menoleh. "Huh? Kamu ingin tahu soal hubunganmu dengan si imut Biru? Ngomong apa kamu ini?"

Sudut bibirnya tertarik halus, mata menyipit manis, lalu jemari lentik pun memainkan kial.

"Sederhananya, aku, kamu, dan Biru. Kita semua bersaudara. Mudah, bukan?" Daisy berlagak centil, ciri khas yang tak pernah hilang.

Memang tak semudah kedengarannya. Bagaimana mungkin hal serumit itu bisa dipermudah? Apalagi saat Daisy memberi tahu bahwa wanita paruh baya tetangga belum punya anak.

Apa-apaan yang terjadi pada dunia?
Redo pikir ini semacam keusilan, membayangkan Biru yang asli sedang mentertawakannya di luar sana. Sesudah Daisy pamit untuk keluar sampai hari petang, pemuda itu-remaja itu-memutuskan untuk ikut naik perahu, pura-pura bermain peran.

Merawat bayi bukanlah pekerjaan yang sulit. Sekadar menjelma pramusiwa sehari pun tak masalah. Lagi pula Redo tidak ingat hari-hari kemarin seburuk apa.

Kegiatan mengajak bermain, memandikan, mengganti baju, menggendong bayi, menyuapi makan dan air susu. Redo seolah sudah terbiasa dengannya.

Merekalah remaja gadungan dan batita yang masih belajar jalan. Ah, tampak serasi. Saat keduanya menyusun bongkar pasang hingga hampir mewujud sebuah kastel satu menara, mendadak kamar Biru dirasuki atmosfer asing.

Lonceng angin bergema tidak semestinya.

Di atas meja belajar, benda hitam pelik tampak bergetar, gerak dengan sendirinya. Seluruh sisi segi lima memancarkan cahaya hitam pekat, menyembur dari celah-celah keping.

Redo panik bukan kepalang, melindungi si bayi yang ikut kebingungan, menatap sambil isap jempol. Kelopak melebar, iris mata perlahan beralih rona. Sorot cokelat hazel detik demi detik tercemari kemerah-merahan. Sepasang manik itu memproyeksikan merah darah terang.

Dari benda hitam, garis-garis patah warna indigo menyebar ke segala arah laksana akar-akar agresif, terus melebarkan garis patah ke meja, ke lantai, dinding, langit-langit, dibarengi bising yang memekakkan. Sinar indigo pun suara keras menerangi seisi kamar kala siang itu.

Di permukaan benda hitam, tampak foto bayi berwajah familier dengan tulisan 'Bayi Biru' di bawahnya serta gambar-gambar kecil tak terbaca.

Redo menatap lekat-lekat benda tersebut. Gemetarnya sekujur raga mendeteksi kemunculan sesuatu yang dashyat.

Munculnya 'Heal Order'.

###

KKKlaten, 1 Januari 2022

Pojokan Story
"Mettabar"

Jer: Mettabar, everibadeh. Supp~

Biru: Supp.

Redo: (ikut angkat sebelah tangan)

Jer: Jadi ... ummm ....

/buruan💢/.

Oke, oke.

Aku hanya ingin mengucapkan, terima kasih kepada pembaca yang sudah mengikuti Heal Order sampai sini. Apresiasi besar atas dukungan kalian ('-')b.
Aku yakin kalian bukannya tidak sengaja terdampar (ngarang :'v), tapi memang mengikuti sampai sini uwu (~'-')~

Terima kasih juga kepada Bang Raka RakaTrafagar dan Kak Whale (wuwu sesama nak WWG /sumpil aing lupa siapa T~T)//sungkem HK_Whales. Thank you very much untuk vote dan dukungannya~

Biru: Lihat dia menangis.

Redo: (lempar tisu)

Jer: /tangkap tisu/.
Aku sangat terharu Heal Order (HO) ini udah dapat banyak bab, gak nyangka ternyata saiya rajin hehe. Meskipun di bab-bab awal HO narasinya lumayan berantakan. Yes, I know, sorry all. Sepertinya POV 1 yang kupakai agak- ... - Mungkin aku kurang memahami bagaimana kepribadian Blue :(

Biru: Itu karena kamu payah.

Redo: ....

Jer: Woy Biru sejak kapan kamu ngomongnya kayak gitu?! Contohlah Redo. Diem, putih, pendiem /kayak magic jar/.

Redo: (menacing eyes >:( )

/ampun.

Jer: Anyway! Kisah Redo dan Biru baru saja dimulai 🎉. Ini baru tahap awal guys '-') Mereka belum kusiksa eh masuk konflik.

'-')9 4('-' geludlah kalian

Biru: ... (bawa tali tambang)
Redo: ... (bawa lakban)

(((Bubar)))

Jer: See you guys! Sampai jumpa di bab depan~!

((((Bubar ver. 2))))
Porygon-Z.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro