第十四章 Bab 14
Now playing: 最美情侶 by 白小白
Siang itu, Chen Ai segera turun ke lobi setelah Zhao Nan mengabarinya sudah sampai di depan BeLook. Chen Ai pun langsung masuk ke mobil warna abu-abu milik Zhao Nan begitu pria itu menonjolkan kepalanya melalui jendela mobil.
"OK. Jadi, kita mau makan di mana?" tanya Chen Ai sambil memakai sabuk pengaman.
"Kau ada budget berapa?" canda Zhao Nan.
Chen Ai memutar bola mata sebal. "Cih ... kau ini mau memeras, ya?" Chen Ai membuka handphone dan mengecek saldo WeChat Pay-nya. "400 RMB," jawabnya singkat.
"Yah, sedikit sekali," ujar Zhao Nan sambil cemberut.
Chen Ai memelotot kesal. "Kalau begitu kita tidak jadi makan siang." Wanita itu mulai melepas sabuknya.
"Aiya ... jangan mudah marah, dong," sahut Zhao Nan cepat. Pria itu segera membuka hand rem dan menginjak pedal gas sehingga mobil pun menjauh meninggalkan BeLook. "Nah, sekarang pakai kembali sabukmu."
Chen Ai memutar bola mata dan memasang sabuk kembali sembari membiarkan Zhao Nan membawanya ke tempat yang tidak ia ketahui.
Beberapa saat kemudian, Zhao Nan memarkirkan mobilnya di parking area Restoran Din Tai Fung di Shanghai Centre. Chen Ai melepas sabuknya, lalu bertanya, "Kau suka makanan di sini, ya?"
"Iya. Menunya banyak. Di sini juga menyediakan mie dari Wuhan. Orang perantauan seperti kita harus sering-sering makan makanan dari kampung halaman supaya tidak rindu rumah," jawab Zhao Nan.
Chen Ai mengangguk setuju sambil tersenyum. Ia sudah lama sekali tidak merasakan sesuatu yang berkaitan dengan kampung halaman. Profesi dan kesibukannya selama ini membuatnya meninggalkan banyak hal yang berkaitan dengan Wuhan, seperti dialek, kebiasaan, dan cara makannya. Ia terbiasa menyesuaikan diri dengan kebiasaan orang Shanghai. Namun, pertemuannya dengan Zhao Nan mengingatkannya kembali pada masa remajanya sebelum ia berangkat kuliah ke Shanghai.
Chen Ai dan Zhao Nan turun dari mobil dan berjalan memasuki ruang restoran. Zhao Nan pun menghampiri meja di pinggir ruangan, lalu menarik kursi dan mempersilakan Chen Ai untuk duduk.
"Terima kasih," ujar Chen Ai sambil tersenyum.
Zhao Nan berdecak pelan sambil menarik kursi untuknya sendiri. "Kau jangan terlalu formal seperti itu. Anggap saja aku teman SMA lamamu. Jangan anggap aku sebagai rekan kerja, itu kaku sekali."
Chen Ai tertawa pelan. "Baiklah."
Setelah itu, seorang pelayan datang sambil membawakan menu. Chen Ai dan Zhao Nan pun membuka buku menu masing-masing.
"Kau biasanya makan apa di sini?" tanya Chen Ai.
"Macam-macam. Kadang makanan China, kadang makanan Barat."
"Menu favoritmu apa?"
Zhao Nan tersenyum mendengar pertanyaan itu. "Kau yang membayar, kau yang memilih saja."
Chen Ai membolak-balik buku menu sambil mengerucutkan bibir. "Aku belum pernah makan di sini, jadi tidak tahu menu yang enak. Kau makan apa, aku pun makan itu saja."
"Baiklah. Budget 400 RMB, ya?" tanya Zhao Nan usil.
Chen Ai menyipitkan mata sebal. Mengapa pria itu menyebutkan hal itu di hadapan pelayan restoran. Akhirnya, Chen Ai menjawab, "Iya. Tidak boleh lebih."
Zhao Nan mengangguk mengerti. "Tidak ada pantangan, kan?"
Chen Ai menggeleng singkat.
"Baiklah. Harus ada daging supaya meriah sedikit," gumam Zhao Nan sambil membalik buku menu. "Fuwuyuan, Din Tai Fung special rice dua porsi, spicy beef hotpot satu porsi, mie Wuhan dua porsi. Susu cokelat hangat segelas, lalu ...."
"Jus jambu segelas," sambung Chen Ai.
Pelayan restoran itu mencatat pesanan mereka berdua dengan cepat, lalu mengulang pesanan mereka untuk mengonfirmasi. "Oh, ya. Ada kartu member untuk mendapatkan diskon setiap kali makan di sini dan mendapat souvenir spesial saat anniversary. Jika Tuan dan Nona adalah pasangan yang ingin—"
"Kami tidak berpacaran," tukas Chen Ai datar.
Pelayan itu membungkuk singkat. "Baiklah. Maaf. Silakan tunggu hidangannya lima belas menit lagi." Setelah itu, pelayan itu pun meninggalkan Chen Ai dan Zhao Nan berdua.
"Zhao Nan, omong-omong, bahasa Inggrismu sekarang lancar sekali. Seingatku kau tidak sepintar itu saat SMA," ujar Chen Ai ringan untuk mencairkan suasana.
"Mana ada?" tanggap Zhao Nan merendah, khas orang Timur sekali.
Chen Ai sedikit terkejut mendengar tanggapan itu. Sembilan tahun lalu, mungkin Zhao Nan akan menjawab, "Hahaha ... tentu saja. Zhao Lao Shi akan membagikan ilmu padamu nanti."
Chen Ai mengembuskan napas ketika kenangan masa lalu berkelebat dalam ingatannya. Ia pun menanggapi, "Benar, lho. Setelah lulus SMA kau kuliah di mana?"
"Mengapa kau jadi menanyakan latar belakangku seperti itu? Kita ini bukan kencan buta."
Chen Ai tersenyum masam. "Bukan begitu. Aku hanya penasaran saja, kok. Kalau kau tidak mau menjawab, ya sudah. Lagi pula aku sudah mengenalmu sejak kau masih menggunakan jaket biru SMA."
"Iya, iya. Kau memang sering sensitif seperti ini, ya?"
"Tidak. Hanya denganmu, karena kau sangat menyebalkan."
"Aish ... baiklah. Maaf. Aku masih kuliah di Wuhan setelah lulus SMA. Selama aku kuliah, papaku sering sakit, lalu pada akhirnya meninggal. Sejak itu, aku belajar lebih sungguh-sungguh. Jadi, setelah wisuda S1, aku mendapat beasiswa partial untuk belajar di Amerika selama dua tahun. Mamaku mendukungku sepenuhnya. Di sana aku baru memperdalam ilmu programming dan coding."
Chen Ai tidak berharap mendapatkan cerita yang selengkap itu. Namun, ia mengangguk dan tidak berkomentar apa pun. Ia memikirkan bagaimana hidup orang bisa berubah kapan saja. Zhao Nan yang merupakan murid eksis dan suka menjahili teman di SMA, tiba-tiba menjadi mahasiswa cum laude di universitas dan mendapatkan beasiswa karena ayahnya meninggal dunia. Perubahan itu kadang terasa terlalu berat. Namun, itulah yang membuat pribadi seseorang terbentuk menjadi lebih baik.
Chen Ai menatap sosok baru Zhao Nan di hadapannya sambil menghela napas. Sembilan tahun lebih dari cukup untuk mengubah banyak hal. Namun, mengapa masih ada lubang hitam kebencian yang tertanam di hati Chen Ai? Wanita itu berpikir ini sudah saatnya untuk melupakan masa lalu dan memandang apa yang di depan mata.
Melihat Chen Ai sedang banyak berpikir, Zhao Nan pun bertanya, "Kau kenapa?"
Chen Ai menghela napas sambil menoleh, lalu menjawab, "Tidak apa-apa."
Zhao Nan tidak terlalu memusingkan jawaban 'tidak apa-apa' Chen Ai, karena berdasarkan pengamatannya dan cerita orang-orang, wanita memang sangat suka mengatakan hal itu. Ia hanya menyipitkan mata dan berkata, "Setiap kali kau menghela napas, hidupmu berkurang tiga detik."
Pria itu masih memercayai omong kosong seperti itu. Chen Ai teringat ketika ia pertama kali bertemu Zhao Nan, pria itu bimbang mengenai pelatihan militer. Satu sisi, ia belum siap menjalani pelatihan. Namun, di sisi lain, ia juga takut menghadapi kiamat di 2012. Mengingat masa itu membuat perasaan Chen Ai semakin rumit. Ia menghela napas lagi. "Hidupku sudah berkurang tiga detik lagi."
Beberapa saat kemudian, seorang pelayan datang sambil membawakan makanan-makanan beruap pesanan mereka.
***
Chen Ai dan Zhao Nan membicarakan banyak hal sambil menikmati makanan khas Wuhan di restoran itu. Dari situ, Chen Ai mulai memandang Zhao Nan dari sudut pandang yang lain—bukan sudut pandang remaja umur 16 tahun lagi. Chen Ai terkadang heran. Ia merasa dirinya adalah orang yang dewasa dan berpikiran luas. Namun, begitu ia bertemu dengan pria yang menolaknya secara terang-terangan dari sembilan tahun lalu, ia berubah menjadi orang yang kekanak-kanakan dan berpikiran sempit. Perasaan manusia memang tidak mudah dipahami.
Seusai makan, Chen Ai membayar makanannya—sesuai janjinya, karena ia adalah orang yang konsisten—dan mengikuti Zhao Nan masuk ke mobil. Pria itu berkata ingin sekalian mengantarnya kembali ke kantor. Memandang dari sisi praktis, Chen Ai pun menyetujui tawaran itu.
Sesampainya di mobil, Zhao Nan segera memasukkan kunci dan menyalakan mesin mobil. Kemudian, ia menyalakan tape. "Saat siang hari di musim panas begini enaknya menyetel musik-musik Jay Chou sambil—"
"Jangan menyetel musik!" cegah Chen Ai. Ia berusaha meminimalisir kemungkinan tersindir lagu akhir-akhir ini. Ia tidak ingin perasaan seperti ketika ia menumpang di mobil Zhao Nan terakhir kali muncul lagi.
Zhao Nan menghentikan gerakannya dan melengkungkan alis heran. Menurutnya, reaksi Chen Ai tadi agak berlebihan. Ketika Chen Ai menumpang di mobilnya terakhir kali, wanita itu tidak terlihat seperti memiliki phobia terhadap musik. Namun, Zhao Nan memutuskan untuk tidak menanyakan apa pun dan menjawab, "Baiklah." Ia pun mematikan tape-nya.
***
Luo Wang bersama tim marketingnya baru saja keluar dari lift di lantai dasar karena mereka hendak memprospek klien baru. Sesampainya di teras BeLook, Luo Wang segera mencari taksi yang melewati jalanan itu. Tiba-tiba, ia melihat mobil abu-abu yang jendelanya tidak dilapisi kaca film, sehingga orang luar bisa melihat isi dalam mobil itu. Baiklah. Bukan itu masalahnya. Yang paling penting adalah Luo Wang baru saja melihat Chen Ai bercakap-cakap santai bersama seorang pria di mobil itu, dan mereka hanya berdua. Luo Wang sepertinya tidak asing dengan pria itu. Namun, ia tidak sempat berpikir lebih panjang karena mobil itu sudah berhenti di dekat pintu masuk.
"Rekan-rekan, kita jalan ke sana sedikit untuk mencari taksi," ujar Luo Wang sambil menunjuk ke arah yang berjauhan dengan mobil abu-abu itu. Semua orang tahu ia menyukai Chen Ai. Jadi, jika sampai ada orang yang mengetahui Chen Ai ternyata sudah berjalan bersama pria lain ... ia tidak tahu lagi bagaimana orang akan memandangnya. Pria itu sengaja mengimbau rekannya menjauhi mobil itu terlebih dahulu demi menyelamatkan harga diri.
💐💐💐
Footnote:
Fúwùyuán 服务员= [Bahasa Mandarin] Pelayan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro