Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12). Next Trouble

Cerita masih berlanjut? Woya jelas, yang kemarin kan cuma prank.

Muehehehe....

Bukan Baskara namanya kalau nggak nyebelin sekaligus ngangenin. Ibarat telapak kaki lo digigit sama nyamuk; geli banget pas digaruk, tapi gatelnya nggak nahan kalo dibiarin.

Nah, begitulah kira-kira analoginya.

Intinya, apa pun itu, gue cuma mau bilang kalau sampai kapan pun Baskara Anthony selalu mempunyai caranya sendiri untuk bertahan hidup; entah berdamai dengan luka atau belajar memahami diri sendiri.

Menurut gue, kedua hal tersebut jauh lebih efektif dibandingkan metode lain karena nggak akan ada seorang pun yang bisa menolong selain diri lo sendiri.

Perlu bukti konkret? Mungkin Aiyana Maulana bisa jadi contoh nyata.

Gue dan Aiyana mempunyai kasus mental yang serupa. Meski berbeda situasi, gue berani menyatakan kalau kasus gue lebih ringan daripada Aiyana.

Ada sesuatu dalam diri gue yang menolak untuk mengingat peristiwa traumatis di masa lalu, sehingga melupakan adalah solusi gue bertahan hidup.

Itulah sebabnya, gue bisa menjalani hari-hari seolah tanpa beban. Gue benar-benar mirip cecak, yang memilih untuk memutuskan ekor alih-alih mati konyol.

Sedangkan Aiyana, dia membawa-bawa luka hingga enam tahun lamanya.

See? Lo bisa lihat sebesar apa rentang perbedaan antara gue dengan Aiyana, padahal kami sama-sama berubah drastis hingga nggak ada yang bisa mengenal wujud kami yang dulu.

Gue memilih melupakan. Kesimpulannya, gue memilih untuk berdamai dengan luka alih-alih membiarkannya menjadi momok mentalitas.

Lagi pula, meski sebagian insiden dipicu oleh Aiyana dan papanya, tetap aja gue turut andil dalam peristiwa itu.

Ibarat kata, Aiyana mengerjakan setengah proyek dan gue yang menyelesaikan sisanya.

Teknisnya, Aiyana nggak membunuh papa gue. Teknisnya, Aiyana hanya bocah yang belum tahu bagaimana cara berinteraksi dengan teman seusianya. Teknisnya, Aiyana hanya anak manja yang terbiasa dituruti keinginannya.

Dia juga sama polosnya kayak gue.

Bahkan hingga sekarang pun, usia kami masih belia.

"Maaf... sa-saya minta maaf...."

Tiga kata--ralat, empat kata dari 'maaf, saya minta maaf' begitu sulit diucapkan di antara tangisannya yang sulit dikendalikan. Kayak... kalian pasti pernah nangis sampai ingusan, kan?

Kenapa gue bilang ingusan? Ya, gitu deh. Soalnya pas mau ngomong, lo kudu nyedot tuh lendir sambil ngomong biar cairannya nggak meluber ke mana-mana.

Gue nggak lagi ngelawak, plis deh. Gue cuman berusaha supaya... supaya....

Sialan, pandangan gue udah mulai kabur.

Gue mengalihkan fokus ke jendela. Nggak ada hal indah di luar sana, tapi itu cuma pengalihan biar tangisan gue nggak makin parah.

Gengsi dong sama pembawaan gue yang udah gue bangun sedari awal.

Gue nggak suka eksistensi awan menyelimuti matahari. Gue harus terus bersinar.

Gue, Baskara sang mentari.

"Udahan nangisnya." Gue masih memandang keluar jendela selagi mengucapkan kata-kata penghiburan buat Aiyana. "Gue baik-baik aja, jadi lo udah gue izinkan untuk lepasin penyesalan itu."

Gue benar-benar serius soal ini. Tadinya di awal-awal, gue memang bertekad mau membuat Aiyana kapok sekapok-kapoknya, tapi setelah semuanya terjadi, semua kekesalan dan niatan untuk balas dendam udah raib entah ke mana.

Lagi pula, mau Aiyana nangis darah sekali pun, toh nggak akan bisa menghidupkan papa gue kembali.

Pun pada situasi keluarga baru gue yang sekarang.

Nggak lucu kan kalo gue nyuruh Mama bercerai?

Gimana kalau malah nambah masalah baru? Mama nikah lagi, misalnya?

Canda, deng. Santai aja, elah. Lagian tokoh utamanya gue, jadi nggak usah fokusin ke yang lain.

"Gue pernah baca ini di suatu tempat." Gue mulai bersikap sok bijak padahal gue yakin daya tampung di pelupuk mata gue udah di ambang batas maksimal, bersiap untuk tumpah. "'luka nggak akan pernah bisa dihilangkan, tapi seenggaknya ada satu hal yang bisa lo lakuin yaitu menerima dan mengakui luka tersebut'.

"'Saat lo mengakui luka, pengobatan lo udah dimulai'." Kini suara gue terdengar bergetar, entah kenapa gue jadi baper sendiri padahal kata-kata penghiburan itu ditujukan buat Aiyana.

Berasa jadi gimana, ya? Kayak ada sesuatu yang tercekat di dalam tenggorokan, seperti ada pisau kecil yang tersangkut. Menelan saliva saja begitu sulit untuk dilakukan. "Kita sama-sama punya luka, jadi udah saatnya kita...."

"Baskara... kamu... ka-kamu baik... baik-baik aja, kan?" Suara Aiyana makin terisak.

Plis deh, Aiyana. Tangisan lo udah cukup bikin gue--

"Saya... saya benar-benar... benar-benar...."

"Udah, Yana. Udah." Gue memaksakan diri untuk melawan rasa sakit yang kini merambah ke dada hingga terasa sesak.

Pemandangan di luar jendela kini tak lagi membantu.

Plis, gue nggak mau nangis. Gue ini Baskara--

"Baskara...."

Oke, gue nyerah. "Gue nggak baik-baik aja, puas?"

Gue malu banget, sumpah, karena pertahanan gue akhirnya jebol tapi gue malah bertanya dengan nada seakan mengajak tawuran.

Pengecut, emang.

Baskara Anthony akhirnya kalah. Mana gue nangisnya kencang, kayak bocah umur lima tahun yang kehilangan kesempatan main di Timezone gegara habis saldo.

Ralat, kayaknya lebih dari itu.

Sejujurnya, tangisan yang 'meledak' sekarang belum pernah gue keluarkan selama enam tahun terakhir.

Nggak pernah selama eksistensi hidup gue.

Gue menundukkan kepala ke dalam gundukan lutut. Pokoknya udah malu banget karena nangis di depan cewek.

Gue masih bisa mendengar tangisan Aiyana di antara tangisan gue. Ahhh... ternyata begini rasanya menangis bersama. Kami seolah-olah beradu siapa yang menangis lebih kencang.

Di satu sisi gue merasa agak konyol. Gimana ya, seperti yang gue bilang tadi, malu rasanya nangis di depan cewek.

Namun di sisi lainnya, gue juga merasa plong. You know, kayak beban di pundak lo berasa terangkat. Apalagi, Aiyana melengkapi semua itu dengan menepuk-nepuk pundak gue selayaknya pendengar yang baik padahal tangisannya sendiri belum kunjung mereda.

Ahhh... ternyata begini rasanya kalau mencurahkan isi hati ke orang lain. Saking nyamannya, kepala gue berayun ke pundak Aiyana secara otomatis.

Trus nggak lama, gue denger ada sosok lain yang mendekati brankar. Sejujurnya tanpa gue lirik pun, gue udah tahu mereka pastilah Mama sama Dave.

Ck, untung aje ye, tangan gue belum mengudara sepenuhnya. Gengsi dong kalau ketahuan mau meluk Aiyana.

Bukan, gue bukan mencari kesempatan, tapi gue benar-benar membutuhkan pelukan sekarang. Itulah sebabnya sewaktu Mama menyebut nama gue, tangan gue beralih memeluknya.

Suara Mama terdengar sengau. "Baskara...."

Lebih tepatnya, gue kayak memeluk bagian perut Nyonya Anthony karena beliau dalam posisi berdiri. Lantas, gue mendapat elusan pada bagian belakang kepala sebagai hadiahnya.

Ingar bingar tangisan kami terdengar heboh dalam satu ruangan. Bisa saja terdengar sampai ke bilik lain, tapi nggak ada yang berniat memelankan suara.

Lagi-lagi, kami seolah beradu siapa yang menangis lebih kencang.

Dave diam saja. Walau gue nggak sempat lihat wajahnya, gue tahu dia juga menitikkan air mata.

Karena nggak akan ada yang bisa menahan perasaan tanpa ikut menangis jika mendengar bagaimana cara kami meluapkan perasaan.

Sekali lagi, ternyata begini rasanya mencurahkan isi hati yang menumpuk selama enam tahun.

*****

"Morning."

"Hm... pagi, Baskara."

Aiyana sempat terhenyak kaget sebelum menunjukkan senyuman uwu dengan menutup bibirnya sekilas.

Ciri khas cewek yang tersipu malu. Ah, gemesin banget.

Ini udah hari ketiga sejak gue opname di rumah sakit. Walau teknisnya gue kayak membutuhkan perawatan intensif, secara ajaib gue sehat lahir batin setelah meluapkan semua yang menumpuk dalam hati gue.

Eh, ngomong-ngomong... ini perasaan apa bukan, ya? Kok Aiyana makin cantik, sih?

Apa ini karena pantulan sinar matahari? Kebetulan posisi gue membelakangi mentari, menghadap Aiyana yang teknisnya jadi berhadapan dengan cahaya pagi yang memantul ke area sebagian koridor.

Entahlah, gue nggak tau. Yang jelas, gue jadi suka sama senyuman Aiyana.

Kok bikin candu, sih?

"Aiyana."

"Ya, Baskara?" Aiyana menarik senyuman manis.

Kayak dewi yang nyasar di bumi nggak, sih? Gue jadi suka model rambutnya juga, dikepang gitu kan?

Ck, gimana ya? Berkesan klasik, tapi jatuhnya jadi estetik.

"Lo cantik juga, ya."

Aiyana terbengong-bengong sampai mulutnya terbuka setengah. Mungkin nggak nyangka gue bisa mengeluarkan pujian seperti itu.

"Senyum lagi, dong."

"..."

"Yana?" Gue memanggil saat sadar fokus Aiyana mengarah ke satu titik yang lain.

Gue mengikuti arah pandangnya. Ternyata Aiyana melongo bukan karena pujian gue, melainkan netranya menangkap sesuatu yang nggak biasa.

Wajar saja jika atensinya beralih dan kata-kata gue tidak diindahkan.

Di sana, di dalam ruang kelas, ada tumpukan sampah yang memenuhi bangku Aiyana, termasuk mejanya.

Lantas sebelum gue memutuskan sesuatu, ada seseorang yang melewati gue dan dia masuk ke dalam kelas.

Dave. Dia jadi kayak tukang bersih-bersih karena tangannya menggenggam sapu dan ada kantong besar di tangannya yang lain.

Apa lagi tujuannya kalau bukan membereskan sampah di meja Aiyana?

Alih-alih membantu, gue lebih curiga dengan sesuatu yang lebih mendesak. Gue menarik tangan Aiyana supaya berhadapan dengan gue.

"Yana, jawab gue sejujur-jujurnya. Apa mereka udah buli lo sejak gue masuk rumah sakit?"

Gue menanti jawaban langsung dari Aiyana, tetapi lagi-lagi Dave yang mendominasi.

Gue jadi berasa kayak pemeran pendukung.

"Mulainya baru kemaren karena Carol ungkapin masa lalu Aiyana ke semua orang."

"Carol?" Siapa sih dia?

"Cewek yang nggak sengaja kamu dorong jatuh ke tangga. Untungnya pas jatuh, benturannya nggak terlalu mengenai kepala, jadi dia baik-baik aja."

Oke, ini masih belum berakhir, gaes. Sepertinya nggak akan segampang itu.

Gue jadi kepo sama nih Carol. Yang jelas, dia bukan batu estetik yang biasa lo temui di laut.

(1.466 words)

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro