Prolog
HE'S ALGA
PROLOG
.
.
Sosok laki-laki itu meringkuk dikursi perhentian bus, ia tak bersuara maupun bergerak. Entah sudah berapa lama ia disana, mungkin dua jam telah berlalu sejak remaja bersurai hitam kecoklatan itu duduk manis di halte. Beberapa bus sudah sempat berhenti disana, tapi tak satupun ia naiki. Tak sedikitpun iia menggerakkan kedua tungkainya untuk meninggalkan halte.
Tangan kecilnya memegang ponsel lipat dengan erat, buku-buku tangannya terlihat dan rasa perih mulai menjalari telapak tangannya. Awan kelabu yang sudah menahan buliran air sejak sore itu, kinipun melampiaskannya pada bumi, menerjang tanah dengan begitu kuat. Deras.
Remaja itu mengeratkan jaket coklat yang terpasang ditubuhnya, sekujur badannya mulai bergetar, menggigil kedinginan sendirian. Ia membuka ponsel lipatnya, jam sudah menunjukan pukul 10 malam dan ia masih disini seperti orang bodoh. Ia berharap ada notifikasi disana, namun nihil. Kosong.
Remaja itu perlahan memandang jalanan tanpa ekspresi. Tak ada satupun mobil ataupun motor yang lewat disekitar sana. Jalanan didepannya lenggang, dengan aspal yang basah dan licin oleh air hujan. Ia memejamkan matanya untuk sebentar, menikmati alunan melodi dari rintik hujan yang menemaninya.
'Pipp!! Pip! Pipp!!!...'
Bunyi klakson mobil membangunkan dirinya dari lamunan gilanya. Bola mata coklat terangnya menatap tepat pada mobil dengan warna Prussian Blue yang berhenti didepan halte. Senyum simpul yang nyaris tak terlihat terukir diwajahnya.
Ia langsung saja melangkahkan kedua tungkainya menuju mobil itu dengan tergesa-gesa. Dibukanya pintu depan mobil itu dengan sedikit kasar karena hujan semakin lebat mengguyur tubuh mungilnya. Remaja lainnya yang berada di kursi supir itu melempar handuk kering dan selimut miliknya. Ia masih memakai baju sekolah karena baru saja menyelesaikan les malamnya. terpampang jelas nametag didadanya yang bertuliskan 'Alga Carlos Hartigan'.
Alga melajukan kembali mobilnya ke arah yang berlawanan setelah remaja tadi memakai selimut dan menyandarkan kepalanya ke kaca.
"Makanya jangan ngambek! Kalau udah demam gini, kan, gue yang susah." Tangan Alga menyusup ke kening adiknya yang kini sedang terbaring kedinginan di kasur kamar dengan selimut yang melilit tubuh. Temperatur tubuh sang adik yang panas terasa oleh telapak tangannya. ang adik dengan kasar menepis tangan Alga dari keningnya yang hanya diberi respon dengan decakan sebal Alga.
Alga mengambil obat pereda demam di atas nakas. Menyuruh adiknya untuk bangun dan meminum obat dulu sebelum terlelap agar demamnya bisa sedikit turun. "Nggak mau. Ada yang kapsul, ngga?" Remaja itu sedikit terbatuk, menolak obat yang disodorkan oleh Alga. Matanya sudah sayu dan tenggorokannya terasa sangat panas.
"Algun, minum aja apa susahnya, sih?" Bentak Alga yang semakin jengah dengan sikap adiknya. Sang adik, Algun Carlos Hartigan, hanya bisa memutar bola matanya jengkel. Dengan berat hati, Algun mengambil obat itu dari tangan Alga dan menelannya ke kerongkongan secara cepat. Ia sesegera mungkin meminum air agar pahit tak terasa dilidah, lalu menghela napas lega.
Melihat Algun telah meminum obat pereda demam, Alga akhirnya bisa membuang napas lega. Tidak, lebih tepatnya membuang napas lelah, Sungguh, ia lelah. Ia terpaksa menyelesaikan ulangan sejarah pada les malamnya dengan buru-buru mendapat kabar dari sang Bibi bahwa Algun bersikeras tidak mau pulang. Ia bahkan tak tahu menahu lagi dengan nilainya, ia hanya bisa pasrah. Ia juga harus mengemudi dengan laju yang cepat karena rasa takut sang adik diculik atau terkena hal yang berbahaya menggerogoti isi kepalanya.
"Istirahat aja dulu, besok pergi bareng kesekolah," Suruh Alga. Ia mengambil gelas itu dari tangan Algun. Bentakan tak mau lalu terdengar meluncur keluar dari mulut Algun setelahnya.
"Ngga, gue ngga mau! Lo pikir gue anak kecil, gue bisa pergi sendiri." Algun menarik selimut hijau tua miliknya, menggulung diri diatas kasur dan membenamkan kepalanya. Alga menggelengkan kepalanya penat seraya jari tangannya memijit pelipis.
"Bunda yang suruh," jawab Alga dengan suara sedikit serak. Ia segera melangkahkan kakinya keluar dari kamar Algun, tak peduli lagi apakah sang adik membutuhkan sesuatu atau lainnya. Ia hanya ingin kembali ke dalam kamar dan tertidur di atas kasur kesayangannya. Alga turun dari lantai dua menuju dapur. Kamarnya dan Algun yang berada di lantai dua memaksa Alga untuk menuruni tangga lebar dirumahnya itu menuju dapur.
Keluarga Hartigan. Tak bisa dibilang keluarga sederhana. Kepala rumah tangga dari keluarga Hartigan 'Andreas Carlos Hartigan' adalah pemilik perusahaan koran terbesar di Batam, memiliki 3 Rumah Sakit, 2 perpustakaan, 'Gathering Cafe' yang terkenal dan udah memiliki banyak cabangnya diseluruh Indonesia . Rumahnya juga tidak bisa dibilang rumah yang kecil. Rumah yang dibangun dengan harga miliaran juta itu memiliki kolam renang outdoor dan indoor, ruang gym bawah tanah, ruang billiard, taman yang besarnya seluas lapangan basket, rooftop yang tidak kalah besar, kebun, lapangan parkir yang berisi belasan mobil dari merk-merk terkenal serta banyak hal lainnya.
Ada sekitar 20 pegawai yang dipekerjakan untuk rumah besar itu. Rumah sebesar itu tak mungkin bisa dirawat oleh 'Athena Carlos Hartigan' sendirian. Ditambah dengan pekerjaannya yang menjadi dokter dan penulis handal serta model sebagai kerja sampingan itu membuatnya tak leluasa untuk merawat rumah.
Alga mengambil air dari cerek yang selalu disediakan setiap hari. Menyisir pandangan keseluruh penjuru rumah, ia memeriksa jam tangan hitam yang terpasang rapi ditangan kanan. Sudah pukul 11 malam, tetapi Ayah dan Ibunya belum pulang juga ke rumah. Yah, Alga tak peduli juga, palingan kedua orang tuanya itu lembur lagi seperti hari-hari biasanya.
"Eh, Kakak?" Seorang wanita berumur sekitar 40-an itu sedikit terkejut melihat Alga yang sedang minum sambil berdiri pada tengah malam. Wanita itu menaruh beberapa sayur diatas bakul dan berjalan mendekati Alga. Alga hanya melambaikan tangannya, memeragakan kata 'Yo' pada wanita itu sambil terus meneguk air minum hingga habis.
Bibi Elena namanya, dia wanita yang menjaga dan mengurus rumah. Bisa dibilang sebagai kepala pembantu di rumah besar ini. Sejak umur 5 tahun, Alga dan Algun mulai diasuh oleh Elena karena pekerjaan Athena dan Andreas terlalu banyak dan membuat keduanya jarang berada di urmah menjaga kedua anaknya. Bagi Algun, saat-saat dimana sebelum ia diasuh Elena adalah masa yang paling membahagiakannya. Bukan berarti ia tak menyukai atau membenci Elena sebagai pengasuhnya. Hanya saja, saat-saat dimana ibunya sering menyisir rambutnya, menyanyikannya lagu pengantar tidur, bermain dan belajar bersama ayahnya, serta menonton film horor sekali setiap bulan begitu membahagiakan. Terukir dengan tinta permanen dilubuk hatinya
"Bunda sama Ayah dimana, Bi?" Tanya Alga, sebenarnya ia tak penasaran. Hanya ingin berbicara dengan Elena karena tak ada topik.
"Nyonya Athena ada di taman, mungkin lagi nyari udara segar. Kalau Tuan Andreas lagi dikamar Kakak." Alga sejak dulu menyuruh Elena untuk memanggilnya dengan sebutan 'Kakak' dan Algun adik karena ia tak suka dipanggil Tuan muda. Mendengar jawaban Elena membuat Alga tercekat dan merinding seketika. Andreas sedang berada di kamarnya? Peluh kini mulai membasahi area pelipis dan keningnya. Apa yang dilakukan sang Ayah dikamarnya?
Ia lalu teringat sesuatu. "Shit!" Arga berlari menaiki tangga melingkar dirumahnya itu dengan tergesa-gesa. Secepat yang ia bisa.
Brakk!!
Alga membuka pintu kamarnya dengan kasar. Pemandangan yang pertama kali ia lihat adalah ayahnya yang sedang duduk dikursi meja belajar sembari memegang sebuah kertas ditangan. Pandangan sang Ayah sangat tajam, menusuk langsung ke ulu hatinya. tulangnya melemas seketika, ia kesulitan berdiri dengan tegap. Sial. Alga meneguk ludah dengan kasar. Kertas itu, secarik kertas ulangan sejarah yang ia kerjakan tadi. Bagaimana bisa secepat itu berada di tangan Andreas? Ia bahkan tidak mengambil kertas itu tadi karena sudah terburu-buru untuk mencari Algun. Alga berjalan ragu menuju Andreas yang memandangnya datar dan tajam.
"Ayah-!'
Bughh..!!
Hening.
Telinganya berdenging.
Pandangannya kabur.
Ia jatuh tersimpuh di lantai, tangannya bergerak pelan menyentuh rahang yang kini tak terasa apa-apa. Cairan kental berwarna merah mulai mengalir perlahan dari ujung bibirnya yang robek. Ia menatap keramik lantai, tak punya keberanian untuk sekedar mendongak menatap wajah sang Ayah.
"SUdah berani banget kamu sekarang, Alga!" Suara Andreas yang besar menggema di kamar Alga. "Papa ngga pernah ngajarin kamu berbohong seperti ini!" Alga menggertakkan giginya dalam diam, menahan rasa marah yang kini bergejolak dalam dadanya setelah bentakan barusan.
Andreas melihat lembar ulangan Alga dengan wajah yang dingin, terlihat kecewa. Kepalanya terasa ingin pecah melihat nilai Alga. Alga mendapat nilai 82 di ulangan sejarah dan itu membuat pikirannya kalang kabut. Bagi Andreas, Nilai itu sangat penting dan nilai itu harus dipamerkan. Ia tak mau memamerkan nilai jelek seperti ini ke orang-orang. Ia akan mencari tahu semua nilai dan sikap Ala disekkolah ataupun dalam tempat les dan kursus. Ia juga menjadi lebih mudah mencari informasi karena memiliki banyak koneksi di sekolah dan lingkungan sosial. Dan jika hasil yang diberikan Alga tak memuaskan baginya, kekerasan fisik maupun emosional sering sekali dilakukan oleh Andreas pada Alga. Pada Alga.
"Kapan kamu ulangan lagi?" Tanya Andreas. Alga masih diam, tak menjawab pertanyaan Andreas untuk beberapa detik sebelum ia menjawab dengan suara yang serak.
"Minggu depan," cicit Alga.
"Kalau nilai kamu seperti ini lagi ...!" Andreas menggantung kalimatnya. Ia sedikit berjongkok, menyamakan tinggi dengan Alga yang terduduk di lantai. Ia menarik rambut hitam Alga agar mau berkontak mata. "Alga, Ayah ngga main-main," ancam Andreas, ia melempar kertas itu kedepan wajah Alga dan berjalan meninggalkan Alga.
Alga menghela napas berat. Selalu saja seperti ini.
Hai PrenGenk, saya sebagai Pren menjelaskan pada semua pembaca HE'S ALGA bahwa cerita ini bukanlah plagiat. Pren terinspirasi dari video-video tiktok kak Gugun dan berpikir, "Oh, Aku harus bikin cerita dengan latar belakang tokoh dari karakter Kak Gugun!" Dan, terbitlah book ini kepermukaan.
Pren juga udah bilang, kok, ke kak Gugun, jadi jangan khawatir.
Pren ngambil nama karakter Alga dan Algun, menambahkan inti cerita dan konflik yang Pren buat sendiri tanpa mencuri maupun plagiat karya orang lain.
So, see you next time PrenGenk 😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro