Chapter 1 - Di mana Aku?
"Hoam..." Sylvia menguap menutup mulutnya dengan tangan kanan. Rambut hitam panjangnya terlihat berantakan. Tangan kanannya membersihkan kotoran di ujung matanya.
"Kenapa rasanya keras sekali, ya? Padahal aku sudah melapisinya dengan matras," ucapnya dengan nada heran. Namun, gadis cantik itu masih menutup kelopak matanya.
Sylvia membuka kelopak matanya. "Apa aku masih di alam mimpi?" Kedua alisnya saling bertaut bingung.
Puluhan pohon-pohon setinggi tiga meter berjejer rapi. Daun berwarna hijau dihiasi buah-buah apel merah ranum memenuhi pemandangannya. Beberapa ekor burung kecil berbulu indah bertengger di dahan pohon bernyanyi. Sedangkan di tanah berumput hijau seekor kupu-kupu bersayap putih biru sedang menghisap nektar bunga berkelopak kuning. Bunga-bunga indah berbagai macam warna sedang mekar.
Dia menutup matanya lagi, berharap apa yang dia lihat itu tidaklah nyata tapi itu bukanlah mimpi.
"Di mana aku?" ucapnya panik matanya bergerak liar, berdiri dari posisi duduknya.
"Aku tidak melihat Anisa. Ke mana dia?" ujarnya memandang ke sekeliling mencari sosok Anisa tanpa berpindah tempat. Namun, sahabatnya itu tidak ia ditemukan.
Dug.
"Aduh, kepalaku?" Keluh Sylvia kesakitan mengusap kepalanya yang sedikit sakit ketika ada apel yang ranum terlepas dari tangkainya jatuh tepat menimpa kepalanya. Hingga akhirnya menggelinding jatuh di samping tubuhnya.
Tanpa perlu diperintah perutnya berbunyi nyaring memerintahkan agar segera diisi dengan makanan yang enak dan lezat. Udara pagi ini terasa sejuk.
"Perutku lapar." Gadis cantik itu mengusap perutnya.
Dibutakan oleh rasa lapar, dia tanpa pikir panjang mengambil apel tersebut meletakkan di dalam keranjang rotan yang ditemukan di dekat pohon tersebut. Ia memanjat pohon apel tersebut dengan hati-hati takut tergelincir memetik empat apel ranum merah dari tangkainya melemparkannya ke dalam keranjang rotan tersebut. Kemudian ia melompat turun dengan mulus tanpa lecet.
Mata cokelatnya menatap apel-apel merah tersebut berbinar. Ia mencari sesuatu yang dapat mengupas apelnya. Ia melihat tasnya berada di dekatnya membuka tasnya mengambil pisau kecil yang dibungkus plastik khusus pisau mengupas apel dengan hati-hati agar jari tangannya tidak terluka. Selesai dikupas ia memakan apel-apel tersebut dengan lahap.
"Ayah, apa ingat?" tanya seorang gadis kecil berusia sepuluh tahun dengan suara khas anak kecil.
Hanfu sederhana berwarna kuning cerah polos terlihat pas dengan tubuh kecil gemuknya. Tangan kecilnya digenggam sang ayah. Tubuhnya hanya setinggi perut sang ayah.
Rambutnya berwarna cokelat tua. Di kepala anak perempuan itu ada hiasan rambut berbentuk bunga berwarna kuning cerah senada dengan gaun yang dipakainya. Mereka berjalan perlahan di jalan setapak kebun apel. Di tangan kiri laki-laki itu memegang keranjang rotan.
"Tidak, Ayah tidak ingat," balas sang ayah.
Anak pempuan itu mencubit perut ayahnya. "Ayah 'kan sudah berjanji hari ini membelikan hanfu baru untukku," kata anak perempuan itu merajuk, ia menggembungkan pipi gempalnya.
"Ah, iya Ayah ingat maklum ayahmu ini sudah tua." Laki-laki berusia empat puluh tahun itu menunduk mencubit gemas pipi putrinya itu.
"Aduh, sakit Ayah." Keluh anak perempuan itu melepas cubitan di pipi chubbynya itu.
"Iya, Ayah akan mengajakmu ke pasar Sanfyera setelah menjual apel, bagaimana?" tawar sang ayah.
Beberapa saat anak perempuan itu terdiam hingga akhirnya. "Baiklah, awas Ayah lupa."
"Hey, apa yang kau lakukan pada kebunku?" tanya Ayah anak itu marah.
Ketika melihat Sylvia dengan sibuk memakan apel-apel ranumnya. Parahnya sisa-sisa kulit apelnya berantakan begitu saja di sekitarnya. Laki-laki itu mendekat ke arah Sylvia. Sekarang ia tepat berada di depan gadis itu. Mata hijau laki-laki itu menatap Sylvia marah.
Sylvia kaget, menjatuhkan apel ranum yang baru ia makan separuh sambil tertawa cengengesan. "Maafkan saya tuan saya tadi benar-benar lapar ja-jadi saya memakannya."
Guo Zi Fan menghitung berapa banyak apel yang telah dimakan oleh gadis itu. Kalau begini terus bisa-bisa ia bangkrut karena ada saja anak-anak nakal yang mencuri apelnya. Padahal apel-apel itu sumber pendapatannya. Sementara, anak perempuannya itu memilih menyimak interaksi antara ayah dan gadis asing yang baru ia lihat itu.
"Lima apel kamu harus membayarnya, tiga puluh koin perunggu," ucap Guo Zi Fan berusaha tenang.
Sylvia mengambil uang dari dalam tasnya dan menyerahkannya. "Ini Pak."
"Apa ini?" tanya Bapak itu bingung mengambil uang itu. Dia tidak pernah melihat benda yang berwarna biru berbentuk persegi panjang kecil pipih dengan gambar seorang pahlawan. Dengan nominal 20.000 yarpa di kedua sisinya.
"Uanglah Bapak."
"Kamu mau menipu saya yah, mana ada uang seperti ini." Bentak Bapak tersebut. Sylvia sedikit kaget.
"Tidak Pak, tapi itu benar-benar uang apa bapak tidak lihat ada segelnya? dan ini asli," balasnya dengan nada yakin sambil mengangkat uang kertas tersebut menerawang menunjukkan bayangan pahlawan.
"Bapak lihat, ini ada bayangan yang berarti asli," balas Sylvia menunjuk bayangan di uang 20.000 itu tidak terima.
"Sudahlah jangan menipu saya anak kecil, sekarang bayar." Bapak itu berkacak pinggang, telapak tangan besar dan kasarnya itu menengadah meminta uang. Sylvia mengerjap bingung dia terdiam kaku. Bagaimana mungkin Bapak ini tidak menerima uangnya?
"Atau kamu akan saya bawa ke kantor pengadilan Dep Yow karena kamu tidak membayar saya."
"Bapak ini kenapa tidak percaya sih?" kesalnya.
"Mei Li kamu kembalilah ke rumah nanti ayah akan segera kembali," ucap Guo Zi Fan yang dituruti oleh anak perempuan itu yang berdiri mematung.
"Baik Ayah." Mei Li melangkah pergi meninggalkan mereka berdua.
Sylvia menggantungkan tas di pundaknya. Sylvia hanya pasrah tangannya ditarik dengan kasar oleh laki-laki itu keluar dari kebun apel melewati pasar.
Di perjalanan hendak menuju kantor Dep Yow tak sengaja berpapasan langsung dengan dua orang gadis berhanfu sederhana.
Gadis berhanfu hijau polos--Ah Cy-- menatap kasihan kepada Sylvia yang diseret layaknya anak kucing. Nona Ah Cy saat itu sedang menyamar menjadi rakyat biasa.
"Ada apa ini?" tanya nona Ah Cy menilik pria yang berusia empat puluh tahun yang menyeret Sylvia dengan beringas.
Guo Zi Fan segera menjawab karena tidak mengetahui siapa gadis yang sedang berbicara dengannya saat ini. "Nona gadis ini telah memakan apel di kebunku tanpa membayarnya."
Nona Ah Cy menatap lembut mata cokelat Sylvia yang ketakutan.
"Aku ingin membayarnya tapi dia tidak mau menerimanya." Bela Sylvia dengan nada bergetar menunduk.
"Mana ada uang yang kamu berikan tadi," balas Bapak itu marah.
"Berapa banyak yang dia makan?" ucap nona Ah Cy lembut melirik sebentar ke arah Sylvia.
"Aku melihat auranya berwarna ungu cerah yang berarti dia gadis yang baik," batin Ah Cy.
"Tiga puluh keping koin perunggu," sahut Guo Zi Fan.
"Biyu, ambilkan sekeping uang perak dan berikan padanya." Nona Ah Cy memerintahkan pelayan pribadinya yang berdiri tepat di sebelahnya.
"Baik."
Biyu mengambil kantong kecil kain berwarna emas mengambil sekeping uang perak dan memberikan kepada Bapak tersebut.
"Ambil saja kelebihannya dan lepaskan gadis itu." Tegas Ah Cy.
Guo Zi Fan melepaskan tarikan tangan di lengan Sylvia sehingga terlepas. Terlihat rona kemerah-merahan di tangannya. Sylvia mengusap pergelangan tangannya yang terasa sakit.
"Saya permisi Nona," ucap Guo Zi Fan berlalu.
Sylvia mendekat ke Ah Cy ."Terima kasih karena telah menolongku," ucapnya tulus.
Ah Cy tersenyum ramah. "Sama-sama."
"Tapi aku masih heran kenapa Bapak tadi tidak mau menerima uangku?" batin Sylvia.
Tangan lembut Putri Ah Cy menyentuh tangan Sylvia sehingga mengembalikan ke alam sadar. "Kau tak apa?" Tatapan mata bersahabat membuat Sylvia menggeleng pelan.
Mereka bertiga berjalan beriringan dengan Sylvia berada di sisi kanan Putri Ah Cy.
Sylvia sibuk melihat ke sekelilingnya. Banyak orang-orang yang berjualan, ada seorang wanita memeluk anak kucing. Orang-orang yang berjualan sibuk menawarkan barang dagangannya. Semuanya berpakaian kuno seperti film kolosal yang pernah ditontonnya.
"Sepertinya ini pasar," ucap Sylvia pelan.
Seakan tersadar ada sesuatu yang berbeda. "Tunggu, sepertinya ada yang salah dengan pakaian mereka," gumamnya pelan. Dia menilik pakaian yang dia kenakan sekarang kemudian beralih ke pakaian yang dikenakan oleh gadis yang menolongnya tadi serta gadis di sampingnya.
"Apa aku ada di zaman dahulu?" batinnya menduga.
"Kita berada di mana?" tanya Sylvia memastikan.
"Ini wilayah Kekaisaran Yun Zhi," sahut Ah Cy.
"Kekaisaran Yun Zhi?" Ulang gadis berambut hitam tersebut.
"Ada apa?" tanya Ah Cy khawatir menoleh ke Sylvia yang berada tepat di sisi kanannya.
"Aduh, bagaimana bisa aku kemaren tidur di sekolah dan sekarang sudah berada di sini?" batin Sylvia.
"Ada apa?" ucap Ah Cy lebih keras.
Sylvia tersadar kembali ke dunia nyata dengan cepat menggeleng.
"Baiklah, kalau tidak ada apa-apa," sahut Ah Cy tersenyum yang juga ikut tersenyum.
"Tapi aku di sini akan tinggal di mana?" batin Sylvia.
"Di mana tempat tinggalmu?" tanya Ah Cy ramah.
"Aku tidak memiliki tinggal," ucap Sylvia jujur.
"Apa kamu mau tinggal bersamaku? Itupun jika kamu tidak keberatan." Tawar Ah Cy.
🌈🌈🌈🌈🌈🌈🌈🌈🌈🌈🌈🌈🌈🌈🌈
Halo! Semoga suka
Catatan :
-Yarpa itu mata uang di negaranya Sylvia.
-Dep Yow = pengadilan atau kalau di Indonesia namanya kantor polisi.
See you next chapter😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro