Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 9 : Hate

Author's PoV

Begitu pintu kelas Hitam itu telah benar-benar ditutup rapat oleh Angelo, keheningan sesaat tercipta alami di dalam kelas tersebut.

Aya menatap lurus pintu itu. Dia tahu dan mengerti, Angelo tidak suka dengan kelas Hitam karena hanya satu alasan yang menurutnya terlalu dilebih-lebihkan oleh Angelo.

Dari dulu sampai sekarang, bangsa vampir dapat hidup berdampingan dengan manusia, meskipun manusia tidak menyadari kalau di sekitar mereka tidak semuanya yang mereka kenal itu adalah manusia juga. Tidak ada kekacauan yang membuat persaudaraan itu terpecah belah. Menurut Aya, seharusnya Angelo tidak bersikap menghindar terhadapnya.

Menghindar, ya.

Entah kenapa dengan dadanya, ada rasa sakit menyerang begitu saja. Dia yakin tak ada darah membekas di sana. Kalau ada darah, seharusnya dia sudah mencium bau darahnya sendiri.

Kolera sangat membenci laki-laki, apalagi kalau laki-laki itu adalah manusia. Contohnya orang baru yang dia benci saat ini adalah Angelo. Di samping rasa benci, ada keinginan tersendiri yang sengaja dia pendam pada bonekanya. Dia mengakui sendiri aroma darah milik Angelo itu menggiurkan. Dibandingkan kebanyakan manusia yang dia temui, dia lebih dapat menghirup darah Angelo melalui keberadaan Angelo di dekatnya. Berkat keharuman Angelo, dia semakin membenci Angelo dengan suka cita.

Kolera tersenyum lebih lebar dari sebelumnya setelah Angelo melenyapkan diri dari kelas Hitam. Dia menari-nari riang dengan boneka kesayangannya seperti layaknya anak-anak yang suka bermain di taman. Yang harus orang lain tahu sebelum menilai Kolera, dia sudah tidak menginjak umur anak-anak. Tidak seperti yang orang lain gambarkan dari luar, Kolera adalah siswi SMA semester 3. Tapi, dari semua siswi yang ada di kelas Hitam, dialah yang paling muda.

"Teddy, kamu tau kan, aku gak suka sama Angelo. Dia itu sok akrab dengan ketua. Ditambah lagi, dia membuatku kehausan saat berada di dekatnya. Mengerikan sekali, bukan? Benci jugalah padanya, Teddy! Kamu, kan, sudah bersahabat denganku sejak kecil. Kita akan selalu berpendapat sama dan memiliki kesukaan yang sama! Kamu mau, kan, Teddy?" ucap Kolera lalu memeluk boneka beruang kesayangannya itu.

"Kolera Teenfix."

Suara Aya memanggil Kolera sedikit menyentakkan Kolera yang asyik berbincang dengan bonekanya. Kolera menoleh, mendapati Aya telah ada di depannya begitu saja.

"Hm?" sahut Kolera malas tapi tetap mengembangkan senyumnya.

Aya menatap datar dan nada bicaranya begitu dingin seperti es. Tapi, Kolera tidak pernah memedulikan sedingin apa Aya Angelica bicara dan seterhormat apa seorang vampir mulia. Dia adalah vampir. Aya juga vampir. Berarti sama-sama pengonsumsi darah. Tidak ada yang perlu dibeda-bedakan. Akhirnya, sama-sama suka darah juga.

"Lo gak inget pelajaran dari Mrs. Fiska?" Dari awal, Aya sudah menajamkan matanya seperti telah diasah penuh emosi yang sengaja ditenggelamkan.

"Ingat, kok! Kita harus tersenyum kepada siapa pun, termasuk kepada mangsa kita sekali pun," jawab Kolera, lalu menoleh ke arah bonekanya. "Benar, kan, Teddy?"

"Ada satu yang lo lupa," Aya meraih sehelai rambut merah bergelombang indah milik Kolera, menghirup aroma rambut itu sesaat, "jangan pernah lo membenci siapa pun."

Kolera langsung memudarkan senyumannya. Tangannya tiba-tiba menampik tangan Aya yang masih memegang rambutnya. Tidak suka, dia melangkah menjaga jarak dari Aya. Dia bisa merasakan aura vampir Aya begitu mencekam dirinya. Ketakutan melanda dirinya tepat mata coklatnya menatap manik mata abu-abu milik Aya. Meski Aya sama vampir dengannya, kekuatan Aya jauh lebih kuat dibandingkan kekuatannya sekarang.

Dia terduduk di lantai. Langsung menangis begitu saja, seperti anak kecil yang kehilangan kedua orang tuanya atau bisa dibilang dialah yang menghilang atas ketidakadaan orang tua di sampingnya. Tanpa mau mengusap air mata, dia menangis sejadi-jadinya. Apa yang dia tangisi adalah Aya. Daftar koleksi orang yang dibencinya pun bertambah lagi.

Mrs. Fiska sudah biasa melihat pemandangan keadaan kelas Hitam yang terasa jauh berbeda dibandingkan dengan kelas yang lain. Wajah datar itu menandakan dia sudah lama berada di sini sejak dia diarahkan menjadi pengajar kelas berisikan makhluk vampir berhati dingin.

Seperti biasa, Mrs. Fiska tahu bagaimana cara membuat suasana kelas tetap menghangat, meski vampir-vampir di sini selalu saja membuat api tetap menyala-nyala. Dia berdiri dari kursinya menuju Aya berdiri yang masih sibuk menatap Kolera tanpa ekspresi yang tengah menangis tanpa mau lagi menyentuh seujung helai rambut Kolera. Aya juga sudah menyesal menyentuh Kolera. Tangan kanannya mengusap pelan ke jas putihnya, seolah sedang membersihkan tangannya yang dikuasai oleh bakteri.

Mrs. Fiska mempertemukan telapak tangannya dengan pundak Aya, membuat Aya harus menoleh ke orang yang menyentuh pundaknya. Begitu Aya tahu siapa, dia mengubah tatapan enggannya menjadi bersahabat. Mrs. Fiska tersenyum lembut seraya mengelus rambut panjang lurus hitam Aya.

"Saya dengar dari wali kelasmu, ketua kelas di sini adalah dirimu. Kamu memang cocok menjadi pemimpin untuk keenam vampir temanmu. Tapi, menjaga emosi juga penting. Kamu sudah ahli menahan amarahmu. Tapi, tidak sepenuhnya. Saya bisa tahu kenapa Kolera bisa menangis sampai seperti itu tanpa harus bertanya padanya," ucap Mrs. Fiska dengan lembut dan tenang agar Aya mau mendengarkannya.

Aya terdiam sebentar. Merasakan kelembutan Mrs. Fiska mengelus rambutnya. Kepalanya yang terasa panas kini telah didinginkan oleh kehadiran Mrs. Fiska yang menyejukkan. Mrs. Fiska mirip seperti sosok seorang Ibu yang menyayangi anaknya. Aya pernah mendengar tentang Mrs. Fiska kehilangan anaknya karena tewas secara misterius dengan tanda luka pada leher. Aya tahu vampir berlevel berbahayalah yang telah membunuh anak Mrs. Fiska yang masih bersekolah tingkat SMP tersebut. Aneh sekali, tak pernah dia bertemu dengan vampir ganas itu. Dia sering tidak berminat tidur dan memilih melihat bulan sepanjang malam di balkon kamarnya, tidak merasakan tanda-tanda adanya vampir lain berkeliaran di luar.

Aya tersenyum tipis, masih betah dengan elusan kepala dari Mrs. Fiska. Dari kecil, dia sangat suka kepalanya diperlakukan lembut kepada siapa pun. Sejak dia pertama kali merasakan kehangatan tangan dari Ibunya, dia pun jadi tahu apa itu kasih sayang yang berarti. Aya melunturkan senyumannya, menyadari kalau dia mengingat sosok Ibunya, artinya dia juga mengingat sosok Ayahnya.

Kebencian juga bisa berada pada Aya. Kebencian yang tidak bisa dihilangkan dengan mudah. Kebencian yang tidak pernah dia inginkan betapa dia harus membencinya. Kebenciannya itu telah membakar kebahagiaannya, keluarga tersayangnya.

Pada hari kematian tragis penuh darah itu juga, dia adalah penyerangan vampir yang terakhir di rumahnya sendiri. Saat itu, dia masih menginjak angka 7 tahun. Tangisannya sama sekali tidak berarti untuk apa pun. Sekencang dan sebanyak air mata tertumpah, takkan ada kesempatan yang kedua untuk mengembalikan keadaan dalam ke bentuk semula. Semua telah dirancang. Diakhir serangan vampir, dia menjadi korban terakhir.

Mengubah dirinya yang manusia sebagai peminum darah.

Dan yang menemukan dirinya di tengah jalan adalah seorang wanita yang baru saja kehilangan anak semata wayangnya telah selesai dari pemakaman. Wanita itu menghentikan mobilnya dan keluar menghampiri seorang gadis kecil yang berdiri di hadapan mobilnya. Seluruh leher gadis itu bermandikan darah kering. Wanita itu lantas membawa gadis pendiam itu pulang ke rumahnya.

Aya benar-benar berhutang begitu berlimpah kepada Mrs. Fiska. Dia sudah menganggap Mrs. Fiska sebagai Ibunya sendiri. Menyayangi Mrs. Fiska seperti dia pernah menyayangi Ibu kandungnya. Mrs. Fiska selalu berbicara formal kepada siapa pun. Aya sangat suka gaya bicara Mrs. Fiska yang sopan dan ramah.

"Saya tahu menjaga emosi itu penting. Semampu mungkin saya menahan amarah. Tapi, kekuatan vampir saya akhir-akhir ini sering meningkat. Kadang saya tak sengaja memecahkan lampu atap dan benda kaca lain di sekitar saya jika saya sedang marah," ucap Aya pelan dan lembut.

Mrs. Fiska memegang sebelah wajah Aya, bermaksud menggagalkan mata Aya beralih ke arah lain.

"Itu artinya, kamu sudah besar."

Aya tertawa standar mendengar itu.

"Kenapa balasan Mrs. Fiska seperti itu?" Aya masih tertawa kecil.

Mrs. Fiska mengedikkan bahu. "Setidaknya itu dapat membuatmu kembali tenang."

Muncul Alvina Rasenol di samping Kolera yang masih saja menangis tak berarti. Dia berjongkok menengok wajah Kolera yang dibuliri air mata. Tangannya merongoh sesuatu di dalam kantung jasnya. Sebuah permen kenyal bertabur gula berbungkus kertas merah.

"Mau?" tawar Alvina dengan usaha simpelnya untuk menenangkan Kolera.

Kolera membuka wajah dari kedua tangannya.

"GAK MAU! AKU BENCI PERMEN! PERGI SANA!!"

Teriakan itu sudah jelas kalau Kolera sama sekali tidak mau diganggu oleh siapa-siapa. Alvina tersenyum lebar dan dia memakan permen yang dia tawari tadi dengan nikmat.

"Ya ampun, masa permen seenak ini ditolak?" Alvina menghayati setiap kunyahan dan indra perasanya terhadap permen di dalam mulutnya.

"Berisik!" Olysinan Qyinaxia mendadak sudah berada terbaring di atas salah satu sofa panjang. "Gue mau tidur aja susah amat, sih! Gue serasa ada di pasar ngadain negosiasi!"

Mata ungu Alvina mengarah ke mata biru milik cewek yang tidak menyukai suara berisik sedikit saja. Dia beranjak dari jongkokkan berjalan menghampiri cewek itu.

"Oly, sih, terlalu kebo!"

Wah, kayaknya Alvian mau cari gara-gara dengan Oly, tuh. Oly langsung beranjak dari rebahan mendudukkan dirinya di sofa. Menatap Alvina lurus tanpa mau berurusan dengan gadis maniak permen itu. Dia hanya memberikan acungan jari tengah dan membalas perkataan Alvina.

"Your shit."

Alvina menanggapi Oly dengan tawa yang cukup mengisi ruang kelas Hitam yang super luas.

Oly merengut luar biasa. Dia benar-benar tidak menyukai orang yang suka membuat keributan. Dia menutup kedua telinganya dengan telapak tangan. Sampai pada akhirnya, Alvina tak sengaja menelan permen yang masih belum lenyap di dalam mulutnya. Dia memegang bagian tenggorokannya, merasa ada yang mengganjal di tenggorokannya. Oly luar biasa menahan tawa. Ekspresi Alvina tersangkut permen di tenggorokan menjadi hiburan terbarunya pagi ini.

"Mampos." Begitu yang Oly katakan untuk Alvina.

Melihat Alvina berhasil memuntahkan permen itu ke lantai, membuat Oly merasa jijik luar biasa. Seumur hidup tidak pernah dia melihat vampir semenjijikan ini. Di tambah lagi, Alvina memungut permen itu dan memakannya kembali. Oly langsung menabok Alvina membuat permen itu tidak jadi dikonsumsi dua kali. Alvina menangis dalam diam sambil memandang permen itu terlempar jauh dan terinjak oleh seseorang yang baru datang ke kelas. Seharusnya dia berterima kasih kepada Oly.

"Hm?" Cewek yang baru datang itu merasakan sepatu sekolahnya menginjak sesuatu. Tapi, dia langsung menepis pikiran itu begitu saja melihat Mrs. Fiska sudah ada di kelas. Dia berjalan ke arah Mrs. Fiska dan memberi salam pagi.

"Cho kejaaaaam!!!" Alvina merengek di atas duka permen terakhirnya yang telah tewas mengenaskan.

Cho Pelhany menoleh ke arah Alvina tanpa niat. "Menjijikan. Usahakan jangan sentuh gue. Mata gue bisa liat banyak bakteri di sekitar lo. Pasti lo pegang-pegang lantai."

Cho itu misofobia. Ditambah lagi matanya dapat melihat bakteri sekecil apa pun. Intinya, dia suka sekali bersih dan membenci kotor.

Aya melirik buku yang Cho pegang.

Cho menyadari Aya tengah menatap bukunya. Lantas Cho memeluk bukunya itu, takut jika bukunya tersentuh bakteri.

"Apa, hah?"

Cho tidak membenci Aya karena Aya selalu terlihat menjaga kebersihan. Tapi, dia benci bukunya dipandang tanpa sebab oleh orang lain.

"Novel baru?" tanya Aya, walaupun sebenarnya dia tidak terlalu ingin tahu. Dia hanya ingin mengakrabkan diri.

Cho melihat bukunya sekilas, lalu kembali menatap Aya. Mrs. Fiska yang melihat suasana kelas Hitam mulai membaik, kembali duduk di kursi memainkan gadget-nya dengan santai.

"Iya. Emang napa? Mau? Beli, dong! Punya banyak duit jangan disimpen-simpen! Jangan terlalu berhemat juga! Habisin aja buat beli sesuatu!" Cho terdengar seperti membentak, tapi Aya tetap santai nan datar mengangguk mengerti.

"Tapi, gue gak tau mau beli apaan." Aya menggaruk kepalanya yang Cho yakini tidak gatal.

"Apa aja yang lo mau, lah! Pakaian, perhiasan, makanan, dan semua yang menarik, lah, pokoknya! Lo cewek, kan? Pasti ada yang pengen lo mau di dunia ini! Gak ingat apa yang pernah dikatakan Mrs. Fiska? Beradaptasi dengan manusia bisa dilakukan dengan cara berbelanja di toko-toko mereka!"

"Tapi, gue gak mau apa-apa."

"Tapi melulu! Terserah lo sih mau diapain semua duit lo. Selain buat diri sendiri, duitnya juga bisa dipake buat beli barang untuk seseorang."

Aya baru sadar, dia dan Cho sedang membicarakan uang. Bukan membicarakan tentang novel yang baru Cho beli dari toko buku di kota. Dan tidak biasanya Cho banyak bicara. Tidak seperti kemarin-kemarin yang suka berbicara pedas meski sekarang masih agak kasar.

Untuk seseorang, ya. Hm.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro