Chapter 8 : Class
Angelo's PoV
Pagi hari yang hangat dan sejuk membangunkanku dari tidur tanpa memimpikan sesuatu saat tidur. Untunglah, aku tidak memimpikan apa-apa setelah aku mengetahui tentang siswi kelas Hitam. Aku meregangkan otot-otot lengan dan badanku. Duduk sebentar di atas tempat tidur.
Gadget mana gadget?
Aku meraih gadget-ku di nakas dekat jam beker. Memeriksa Line jikalau ada pesan atau lebih utamanya aku penasaran dengan balasan Kak Aya untuk menjawab pertanyaanku kemarin. Kubuka obrolan antara aku dan Kak Aya.
Tidak ada balasan dari Kak Aya. Hanya dibaca. Baguslah kemarin malam aku memilih langsung tidur tanpa menunggu jawaban. Seperti waktu malam sebelumnya, aku tidak ingin itu terulang lagi. Terlalu sakit bagiku :)
Hari ini aku akan kembali ke sekolah dengan menggunakan pakaian olahraga sekolah. Hari ini kelas X-D ada pelajaran olahraga. Kelas X-D memakai pakaian olahraga sekolah dari rumah. Baju seragam sekolah dilipat rapi dan disimpan apik di dalam tas.
Aku penasaran. Kalau Kak Aya membaca pertanyaan ini, kenapa tidak dia jawab? Apa dia kebingungan dengan pertanyaanku? Lagi pula, kenapa juga aku menanyakan yang tidak penting, ya? Ah, sudahlah. Aku harus membersihkan diri lalu sarapan. Pelajaran olahraga akan mengembalikan rasa semangatku yang terhempas jatuh karena itu adalah pelajaran kesukaanku. Aku tidak boleh melewatkan pelajaran olahraga.
Aku meletakkan kembali gadget-ku dan mengambil handuk di dekat pintu kamar mandi. Segera aku menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Air dingin telah menjadi air favoritku mandi. Segar.
***
Dalam perjalanan menuju sekolah, aku menyibukkan diriku dengan bermain Candy Crush di gadget. Permainan ini sangat menghibur dan menghipnotis pemain untuk terus bermain tanpa berhenti. Levelku sudah lumayan jauh dan pernah terpikir kapan permainan ini tamat. Sungguh berliku-liku.
"Angelo, sudah sampai," sahut Papa menghentikan mobilnya di depan sekolah SMA Seretie.
"Oke, Pa," balasku menyahut seraya mem-pause permainan dan segera turun. "Makasih, Pa. Angelo sekolah dulu."
Papa tersenyum. "Belajarlah rajin-rajin. Kalo kamu nakal, setidaknya jangan bego tentang pelajaran maupun di luar pelajaran. Jadilah seorang yang genius."
Aku terkekeh. "Iya, Pa. Hati-hati di jalan, ya."
Aku melambaikan tangan untuk Papa yang akan segera pergi ke kantornya mencari nafkah. Papa menghidupkan kembali mobil sedan hitamnya dan segera berjalan mengikuti alat transportasi yang lain di jalan raya beraspal.
Aku melangkahkan kaki memasuki sekolah mencari kelasku berada. Suasana koridor yang ramai akan siswa-siswi yang berlalu-lalang sambil mengobrol maupun tidak berbicara lumayan menenangkan hatiku yang masih terselip rasa takut.
Siapa yang tahu, ada makhluk vampir di sekolah ini dan sepertinya itulah alasan kelas Hitam diadakan. Dari sekian manusia, mungkin hanya aku yang mengetahui rahasia dunia. Rahasia yang dilarang diketahui oleh semua orang. Rahasia yang tak sengaja kuketahui tanpa menginginkan rahasia itu mengawasi kehidupanku yang terancam.
Mereka belajar beradaptasi dan berdampingan dengan manusia. Begitulah kesimpulanku. Tapi, tetap saja vampir adalah vampir. Tidak tahu kejadian apa yang akan datang nanti, apa mereka dapat bersabar menahan nafsu minum mereka ataukah malah tidak dapat menahan lebih lama lagi. Aku berharap sekolah ini bisa menjinakkan makhluk vampir tersebut. Aku hanya bertugas menyimpan rahasia dan mempercayakan ketujuh vampir itu kepada sekolah ini. Semua pasti telah diatur dan tidak akan ada korban yang tergigit oleh vampir.
Satu lorong lagi aku akan sampai di kelas. Tiba-tiba ada seorang guru menghampiriku.
"Hei, bisa saya butuh bantuanmu? Kalau bisa, kamu ikutlah ke ruangan saya," kata guru paruh baya itu kepadaku dengan nada yang teramat ramah.
Guru itu berambut pendek seleher memakai baju kemeja hitam dengan jas putih dan bawahan rok sempit merah selutut. Mengajar apa beliau? Aku baru pertama kali melihat guru ini.
"Tentu saja saya bersedia membantu Anda," kataku menerima suruhan guru itu membantunya.
Aku mengekor di samping guru itu. Tidak jauh dari kelasku berada, guru itu membuka sebuah pintu dan masuk ke dalam. Kata beliau, aku disuruh menunggu di luar saja. Seingatku, beliau mengajakku ke ruangannya. Tapi, orang yang beliau ajak malah disuruh menunggu di luar. Baiklah, karena aku siswa yang baik-baik, aku pun menurut.
Guru itu kembali keluar membawa beberapa buku tulis di tangannya. Dia memberikan buku itu padaku, menyuruhku membawakan buku itu lalu mengikutinya lagi ke suatu tempat untuk membagi buku-buku tulis ini di sana. Dia juga membawa tasnya dan sebuah map berisikan kertas-kertas penting.
Sesuai yang guru itu suruh, aku mengikuti ke mana dia melangkah. Dia tidak menjelaskan akan pergi ke ruangan apa. Aku yang tidak mau bertanya, memilih keheningan mendengarkan langkah kaki kami yang beradu dengan lantai.
"Kamu Angelo, kan?" tanya guru itu langsung membuatku terkesiap. Dia tahu namaku. Guru yang hebat.
"Iya, saya sendiri. Kenapa, Bu?" jawabku kemudian memberi pertanyaan.
"Tidak apa. Saya cuma memastikan. Sepertinya jika saya ingin meminta bantuan lagi, saya bisa menyuruhmu saja. Saya bisa menambahkan nilai pelajaran Sejarahmu."
Siapa yang tidak mau nilai tambahan? Hanya orang sok pintar saja yang tidak menginginkan itu. Aku mengangguk-angguk kuat menerima perkataan guru Sejarah itu.
"Laksanakan, Bu!" Aku memberikan hormat kepada guru itu.
"Kamu bisa panggil saya Mrs. Fiska. Senang sekali bisa bertemu dengan siswa aktif sepertimu." Mrs. Fiska tertawa melihatku menghormat padanya.
Aku berpikir Mrs. Fiska belum menikah, karena wajahnya terlihat masih muda dan bisa dikatakan sama mudanya dengan cewek remaja SMA.
Baru sadar, aku dan Mrs. Fiska sudah berada di luar gedung sekolah namun masih berada di lingkungan sekolah. Aku bingung di mana Mrs. Fiska akan menghentikan langkah kakinya. Tidak jauh dari gedung sekolah, aku terkejut melihat sebuah gedung lagi selain yang aku ketahui. Gedung itu sedikit berbeda dengan yang satunya. Berbedanya hanya pada warna yang kali ini putih pucat dan atapnya yang membentuk kerucut.
Tanpa berbasa-basi, Mrs. Fiska melangkah masuk ke dalam gedung diikuti oleh aku yang sudah mulai lelah. Tapi, rasa lelahku menghilang begitu saja melihat apa yang ada di dalam gedung kedua ini.
Tidak ada rasa dingin AC di sini. Dekorasi biasa-biasa saja tidak seperti gedung yang satunya. Terdapat banyak sekali jendela bertirai putih disepanjang koridor. Ada dua tangga utama untuk naik ke lantai dua dan turun ke lantai awal. Gedung ini seperti rumah mansion. Terdapat lampu gantung kristal di atas atap.
Tidak sampai disitu, aku mengikuti Mrs. Fiska lagi menaiki tangga sebelah kanan. Lalu kami masuk ke dalam lorong yang lebih luas dibandingkan lorong gedung sekolah yang satunya. Bukankah ini juga bagian dari gedung sekolah? Kenapa harus dipisah? Untuk apa gedung yang satu ini?
"Kita sampai. Kamu bisa bukakan pintunya, Angelo?" tanya Mrs.Fiska, pada akhirnya beliau menghentikan langkahnya. Aku pun juga.
Kedua tangan Mrs. Fiska memang penuh oleh barang-barangnya. Aku mengangguk dengan mengatakan 'iya' dan segera menyentuh kenop pintu. Memutar kenop pintu yang tidak terkunci itu dan terbuka lebarlah ruangan itu.
Lantas diriku terkejut luar biasa menyadari ruangan apa yang sedari tadi Mrs. Fiska cari. Ruangan ini pernah kumasuki tanpa keinginanku. Kenapa aku harus masuk ke ruangan ini lagi? Kenapa takdir mengarahkanku ke hal yang sulit seperti ini? Bahkan, kakiku tidak bisa berlari menjauhi masalah ini. Keberuntunganku benar-benar sudah habis.
Ini kelas Hitam.
"Mrs. Fiska, saya pikir Anda tidak akan mengajar karena sedang ada keperluan penting di luar." Suara seorang cewek yang sudah kukenal terdengar di dalam ruangan itu.
Cewek itu berjalan ke arah kami yang masih berada di luar. Sesekali dia meletakkan rambutnya yang menghalangi penglihatannya ke belakang daun telinganya. Lalu dia melipat kedua tangannya di depan dada.
Aya Angelica.
"Tidak mungkin, Aya. Saya harus mengajari kelas Hitam agar kalian bisa lebih memahami tentang dunia manusia dan dapat lebih akrab dengan manusia. Bisakah saya dan Angelo masuk? Ah, iya, Angelo ikut dengan saya karena dia membantu saya membawakan buku-buku tugas kalian," balas Mrs. Fiska membalas ramah.
Oh, Mrs. Fiska adalah guru pengajar kelas Hitam yang akan membimbing kelas Hitam untuk mengajarkan mereka hal yang berbeda selain materi pelajaran sekolah. Pastinya hal itu berkaitan soal vampir. Huh, vampir lagi.
Kak Aya tersenyum.
"Bahkan Anda lebih rajin mengajari kami dibandingkan dengan wali kelas kami sendiri. Ya, silakan masuk. Dan tentu saja--" Kak Aya menoleh ke arahku, "--Angelo boleh masuk dan letakkan buku-buku itu di sana. Terima kasih sudah mau membantu Mrs. Fiska."
Aku tidak membalas dengan ucapan. Hanya menganggukkan kepala bagiku sudah cukup. Tugasku di sini hanya membantu Mrs. Fiska membawakan buku-bukunya ke kelas Hitam dan selesai. Aku akan pergi ke kelasku secepatnya lalu bicara dengan Zezen agar otakku tidak terlalu jenuh seperti sekarang ini.
Aku masuk dengan langkah yang dipercepat. Mrs. Fiska duduk di kursi guru. Sementara aku yang berada di depan meja guru, meletakkan buku-buku ini di meja tersebut. Selesai itu, aku berpamitan dengan Mrs. Fiska yang dibalas dengan ucapan terima kasih.
"Hei, kamu!"
DEG!
Jantungku berdetak tidak enak begitu saja mendengar seorang cewek berkhas anak-anak seperti memanggil diriku untuk menoleh padanya.
Aku membalikkan badan dan melihat seorang gadis pembawa boneka beruang bermata satu sudah ada saja di depanku. Tatapan matanya tajam menusuk mataku, seolah dia tidak senang dengan keberadaanku di daerahnya.
Kolera Teenfix.
"Ya, Kak?" tanyaku berusaha sopan dan santai.
Kak Kolera mendadak tersenyum manis sembari mengatakan kata-katanya yang membuatku tak bisa bertahan bersantai berhadapan dengannya.
"Kamu bisa pergi dari hadapanku? Kamu terlalu harum untuk menjadi makananku. Sampai-sampai Teddy tergila-gila menginginkan dirimu. Dan sekarang aku dan Teddy sedang bertengkar. Ini semua gara-gara kamu! Pergi dari sini!!"
Wah, diusir nih? Aku memang ingin secepatnya pergi dari sini dari pada berlama-lama di kelas Hitam berisikan makhluk vampir yang membuatku bisa menjadi gila. Terima kasih atas ucapan manisnya, Kak Kolera.
"Sama-sama!" Kolera masih tersenyum manis padaku.
Hei, rupanya dia telah membaca pikiranku. Oke, aku pergi sekarang.
Aku berjalan menuju pintu kelas Hitam untuk segera keluar mengambil napas sepuas-puasnya. Tapi, keinginanku sekali lagi dijeda oleh seorang vampir yang sedari tadi terus berada di ambang pintu.
"Angelo Arshyomarthara."
Sepertinya dia mendapat hobi baru setelah dia mengetahui nama lengkapku yang terbilang mudah baginya disebutkan. Aku hanya menatapnya tanya tanpa ekspresi.
Dia mendekat ke hadapanku, menyentuh sebelah pundakku. Aku bisa merasakan diriku bergidik hanya karena sentuhan cewek ini.
"Lo masih marah? Atau masih takut sama gue dan yang lain?"
Pertanyaan di Line saja belum dijawab. Haruskah aku menjawab dua pertanyaannya sekaligus? Dunia kali ini tidak adil dalam hal berbagi.
"Iya, gue tau. Gue gak jawab pertanyaan lo kemarin karena gue belum tau apa jawaban yang pasti," tambahnya, pasti dia membaca pikiranku.
"Kak Aya, maaf gue mau ke kelas karena bentar lagi ada pelajaran olahraga. Gue gak mau datang telat," kataku segera mengangkat tangannya dari pundakku dan langsung berlenggang pergi. "Permisi."
Pintu kelas Hitam kututup penuh dengan rasa yang amat tak sabar. Selesai. Waktunya diriku pergi jauh dari sini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro