Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 25 : Bicycle

Angelo's PoV

"Hoaaamm ..."

Aku terbangun dari tidurku. Hari minggu pagi memang waktu yang paling nikmat untuk bermalas-malasan sejenak setelah membuka mata. Kemarin malam aku tidur nyenyak. Tidak ada yang mengganggu sama sekali. Sejenak aku kembali memejamkan mata.

".... Oh iya!"

Aku langsung bangkit begitu mengingat sesuatu.

Apa Aya sudah bangun? Ah, dia pasti belum sarapan. Aku harus menyiapkan sarapan untuknya. Sekalian aku juga mau makan.

Masak apa yah? Paling aku bisanya masak spagetti atau roti panggang isi telur mata sapi. Dua menu itu cocok untuk sarapan. Apa Aya suka spagetti? Mungkin aku akan tanyakan dia sukanya makan apa.

Aku berjalan keluar dari kamar dan menuruni tangga. Sampainya di dapur, aku melihat seseorang sedang memasak dengan tenang di dapur. Sebelum masuk, aku sudah lebih dulu mencium aroma roti panggang. Hmmm~

"Ka-Kak Aya?"

Aku terkejut ternyata yang memasak bukan Mama, melainkan Aya.

Dia memakai celemek berwarna pink yang sering dipakai Mama saat sedang memasak. Tangannya terlihat cekatan meletakkan roti dipiring dan mengoleskan selai stroberi.

Aya menoleh dan melihat ke arahku. Aku memalingkan pandangan. Entah kenapa aku merasa malu bertatapan dengannya. Celemek itu terlihat lucu dipakai padanya.

"Lo suka roti isi apa?" tanya Aya tiba-tiba.

"Eh? Emm, telur mata sapi," jawabku.

Aya mengangguk. Dia langsung menyiapkan alat penggorengan, memasukkan minyak dan memecahkan telur di dalamnya. Dengan cekatan dia menaburkan sedikit garam dan penambah rasa lainnya.

Aku tersenyum seraya menghampirinya. "Seharusnya Kak Aya jangan memasak untukku. Harusnya aku yang memasak untuk Kakak."

"Gak pa-pa," balas Aya tanpa melihat dan fokus pada telur yang dia masak. "Tidur lo nyenyak?"

"Tentu saja. Kalau kakak?"

Aya terdiam sejenak. Dia kemudian tersenyum tipis sambil mengangkat telur yang sudah masak dan meletakkannya ke atas roti.

"Gue gak tidur," jawab Aya tenang. Dia menutup telur itu dengan roti lagi dan memberikannya kepadaku. "Meski gak tidur pun, gue gak pernah merasa ngantuk. Tidur biasanya untuk menambah energi aja."

"Makasih." Malu-malu aku menerima masakan sederhana Aya. "Begitu, ya. Vampir memang berbeda dengan manusia. Apa itu gak mengganggu kesehatanmu?"

"Lo khawatir?" Aya balik bertanya, membuatku terdiam dan gugup. Menyadari reaksiku, Aya tersenyum lagi. "Ibu dan ayah lo pergi jongging. Lo gak jongging juga?"

Mendengar kata jongging, aku langsung bernapas malas. "Untuk apa aku jongging kalau tubuhku sudah kurus, ideal dan ganteng ini? Di hari libur kek gini baiknya di rumah aja," jawabku santai.

Soal hari minggu, aku jadi teringat sesuatu. Ah, David!

Dia sudah beberapa kali ini mengajakku datang ke rumahnya untuk nonton film. Meski kurasa filmnya itu basi, tapi aku merasa penasaran kalau Aya ikut menonton— bagaimana reaksi dia ya?

Aya mengambil roti berisi selai stroberinya dan duduk di kursi makan. Ia segera melahap sarapannya dengan tenang.

Aku degdegan. Kalau aku ajak, bagaimana jika Aya menolak? Aku tidak mau kalau Aya sendirian di rumah, sedangkan aku pergi jalan-jalan ke rumah teman.

"Bagaimana telurnya?" tanya Aya tiba-tiba membuyarkan pikiranku.

"Ah? Bentar." Hampir saja aku melupakan sarapanku. Aku juga ikut melahap roti panggang isi telur mata sapi buatan Aya. Aku tersenyum menikmati. "Enak. Makasih udah bikinin sarapan, Kak."

"Sama-sama," balas Aya tersenyum tipis. Dia kembali melahap rotinya.

"Em ... Kak, ada yang ingin aku tanyakan," ucapku mulai memberanikan diri.

Aya kembali menatapku. Diam melihatku yang sedang memandang reaksinya. Kurasa dia menunggu pertanyaanku.

"Temanku mengajakku nonton film di rumahnya. Apa Kakak ingin ikut?"

Aku mengatakannya dengan lancar. Fyuh.

Aya tampak berpikir. "Kalo gue gak mau?"

Ah, sudah kuduga Aya tidak akan mau ikut. Kurasa Aya kurang suka berinteraksi dengan orang baru, apalagi dengan orang gaje alay seperti David ataupun Zezen. Hmm, tapi sebenarnya aku juga kek gitu sih. Eh kenapa malah ngaku coba.

Aya tiba-tiba terkekeh pelan yang sukses membuatku kaget. "Lo kelihatan lesu. Apa lo mau gue juga ikut?"

Mungkin kedua pipiku sudah memerah. "A-anu, bukannya begitu. Cuma, kalo aku keluar jalan-jalan ke rumah teman dan Kakak di rumah aja sendirian, rasanya gak enak."

Aya menghabiskan sarapannya. "Beneran gue boleh ikut?" Giliran Aya yang bertanya.

"Boleh Kak! Siapa yang ngelarang? Temenku bahkan mau berteman juga dengan Kak Aya," jawabku cepat. "Aku juga akan mengajak satu temanku."

"Teman sekelas lo kan?" tebak Aya.

Aku mengangguk bersemangat. "Kita akan nonton film di rumah temanku, Kak. Dan mungkin selain nonton film, kita akan mengobrolkan banyak hal yang seru."

Aya terus tersenyum. "Kapan kita bakal berangkat?"

***

Awalnya aku berencana supir pribadiku yang mengantarkan kami. Tapi, karena mengingat rumah David cukup dekat, aku memutuskan untuk memakai ...

"Lo punya sepeda?" tanya Aya melihatku mengeluarkan sebuah alat transportasi dari dalam garasi yang sudah agak jarang digunakan orang-orang sekarang.

"Hehehe, iya Kak. Soalnya rumah temanku cukup dekat. Jadi menurutku gak perlu naik mobil segala. O-oh iya, apa Kak Aya keberatan?" tanyaku kemudian, karena lupa menanyakan pendapat Aya.

Aya tampak tak keberatan sama sekali. Ia tersenyum. "Lo bakal bonceng gue, kan?"

"Pastinya, Kak!" seruku bersemangat. "Kakak pernah naik sepeda sebelumnya?"

Aya terdiam. Dia menggeleng. Ekspresinya kelihatan berbeda. Melihat itu, aku langsung bergegas dan duduk di kursi kendara.

"Ayo Kak duduk di belakangku," ajakku.

Sepeda ini jarang digunakan, tapi setiap libur aku selalu merawatnya. Sepeda ini punya Mama. Untung sih warnanya biru tua, bukan warna pink. Jadi aku bisa pede saat menggunakannya jika aku malas naik mobil.

Aya mendatangiku. Dia duduk di belakangku dengan kaku. Aku ingin tertawa melihatnya. Aya kelihatan imut kalau bersikap seperti itu.

"Ah, tunggu sebentar Kak," ucapku seraya mengeluarkan gadget-ku. Aku lupa harus menelepon Zezen kalau aku tidak jalan-jalan bersama orang tuaku, melainkan pergi ke rumah teman lamaku. Dia juga harus datang.

Aku pun meneleponnya. Setelah menunggu beberapa saat, dia pun mengangkatnya.

"Ada apa, Angelo?" Suara yang sangat kukenal itu akhirnya menyahut teleponku.

"Halo teman gue yang paling best best! Hari ini kita ketemuan di rumah teman gue, ya! Alamat rumahnya gue kirim lewat pesan di Line. Harus datang sekarang, yah!"

"Anjir! Kok mendadak banget disuruh ke rumah temen lo? Bukannya lo bilang—"

"Gak jadi. Ayo! Gue dah di jalan, nih. Gue juga bawa oleh-oleh sama temen cewek gue dari sekolah kita. Gak dateng rugi lho!"

"Waduhhhh ... Apa ini bawa anak orang ke rumah cowo! Jangan-jangan lo mau—"

"Eh eh! Emang gue mau apa? Lo kali yang mau macem-macem. Kalo lo gitu, gue tampol lo."

Zezen minta dihajar nanti rupanya.

"Wkwkwk ngegas dia. Yaudah gue siap-siap nih. Alamatnya yang lengkap, ya. Awas kalo bikin gue kesasar. Tanggung jawab lo traktir gue nasi kecap."

"Yowes. Langsung kukasih sama botol-botol kecapnya sekalian. Hati-hati di jalan."

"Lo juga hati-hati. Di jaga tuh anak orang."

"Bacot!"

Telepon pun berakhir sampai disitu. Aku menengok ke belakang. Rupanya Aya tetap diam duduk di tempatnya sambil melihatku menelpon. Segera aku langsung mengetik alamat rumah David dan mengirimnya ke Zezen.

"Ah, maaf Kak menunggu lama. Ayo kita jalan sekarang," ucapku setelah menyimpan gadget ke dalam kantong celana.

"Gak pa-pa. Lo asyik banget bicara sama teman lo. Apa kalian akrab?" tanya Aya.

Aku mengangguk. "Iya. Saat hari pertama di sekolah, aku berteman dengannya dan kami pun jadi akrab, deh."

Setelah siap, aku pun segera mengayuh sepedaku meninggalkan halaman rumah.

Hup!

"Kak Aya?" Aku merasakan tangan Aya memegang erat bajuku di bagian punggung. Apa tadi Aya kaget saat aku sudah menjalankan sepeda? "Ah, kalau Kak Aya takut jatuh, Kakak bisa pegangan."

Aya tidak merespon. Ah, rasanya jadi canggung. Wajahku agak panas. Mungkin ini karena sinar matahari. Tapi entah kenapa aku merasa senang.

"Angelo," panggil Aya.

"I-iya, Kak?" sahutku.

".... Rasanya menyenangkan."

Aku tertegun mendengar ungkapan itu. Aya menikmati perjalanan kami naik sepeda. Angin berhembus lembut dan sejuk selama aku mengayuh. Aku yakin, Aya sedang tersenyum sekarang.

"Syukurlah."

Hi! He is Mine kembali :v

Waduhh dah berapa abad aku ninggalin ini ya cerita? Apalagi Wattpad dah jarang banget aku buka. Duhh maaf yah semuanya yang masih menunggu lanjutan cerita ini. Terima kasih banyaknyaknyak yang masih menunggu lanjutannya. Meski sibuk, aku bakal berusaha untuk melanjutkannya pelan-pelan.

Chapter kali ini tidak terlalu penting sebenarnya. Ini baru awal malah. Cerita ini sebenarnya kubikin pelan-pelan dan gak terburu-buru. Kuharap kalian tetap menikmatinya meski masih berantakan :''v

Kalo ada yang mau ditambahkan, bisa berkomentar aja yah. Ato kritik sarannya, karena dah lama banget aku gak nulis kek gini. Keknya udah kaku banget huhu (T^T)

Nantikan lanjutannya yah~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro