Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 3

“Puncak dari amarah dan kecewa adalah diam, maka bersyukurlah ketika orang terdekatmu masih menasihatimu.”
Anonim

"Aku tunggu di tempat biasa." Naura segera mematikan ponselnya.

Sejam kemudian, mobil Naura sudah terparkir rapi di Kafe Dandelion. Wanita itu segera memasuki salah satu ruang VIP. Di sana, seorang lelaki sudah menunggu kedatangannya. "

Ada apa?" tanyanya tanpa basa-basi. 

Naura melemparkan tasnya ke sofa dan menghela napas kasar. Ia duduk menyandarkan kepalanya di bahu lelaki itu dengan kedua kaki menyilang serta tangan bersedekap.
 
"Putraku belum pulang sampai sekarang," lirihnya. 

"Apa mungkin dia tahu soal hubungan kita?" tanyanya ragu.

Naura mengedikkan bahu, tanda juga tak tahu soal itu. Ia sendiri hanya menduga-duga berdasar pernyataan putranya kemarin. 

"Jika benar, dia tahu soal hubungan kita. Dia pasti sangat kecewa padaku hingga kemarin berani bicara kasar di hadapanku. Aku sangat khawatir karena enggak tahu dia pergi ke mana." Naura mendesah.

Lelaki itu mengangguk mengerti. Ia sebenarnya juga merasa bersalah, tetapi mau bagaimana lagi semua telah terlanjur terjadi. Meskipun tahu hubungan dengan Naura salah, tetapi itu sudah menjadi keputusannya. Diusapnya lembut rambut lurus sebahu milik wanita itu dengan jemari.

"Apa kamu enggak takut kalau putramu mengadu pada Nino soal kita?" tanya lelaki itu.

"Selagi kamu tak pernah meninggalkanku, tak ada satu pun yang kutakutkan. Biarkan saja kalaupun lelaki itu meminta cerai, bukankah kamu siap menjadi suami pengganti?" Naura terkekeh.

Lelaki itu turut terkekeh, tak menyangka Naura akan melontarkan pernyataan itu. Ia tersenyum ketika menyadari wanita itu telah sepenuhnya berhasil didapatkan. Tak peduli jika itu sama saja dengan menusuk Nino dari belakang, yang terpenting baginya adalah jalan di depannya tampak mulus tanpa hambatan berarti.

Ternyata tidak sulit untuk menjerat Naura, hanya dengan sedikit rayuan berhasil kutaklukkan, batinnya.
Di ruangan yang berbeda, Viqas terpaku menatap rekaman itu. Di sana Naura tampak bertemu dengan lelaki yang sama di salah satu ruang VIP Kafe Dandelion. Percakapan keduanya benar-benar membuat jantungnya seolah berhenti berdetak, kecurigaannya selama ini memang benar bahwa wanita itu mengkhianati sang ayah.

Ia mengayunkan langkah. Tangannya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Amarah menguasai jiwa dan siap untuk dilampiaskan. Di belakangnya, Abi mengejar dan berusaha menahan pemuda itu agar tidak bertindak gegabah.

"Viqas, jangan ke sana sekarang! Lebih baik kamu segera pulang dan menunjukkan rekaman itu sebagai bukti pada keluargamu yang lain. Bukankah tujuan awalmu untuk mencari bukti, bukan mencari keributan?" Abi mengingatkan.

Langkah Viqas terhenti. Ucapan Abi memang benar adanya. Kalau menemui Naura dan lelaki itu sekarang, yang ada masalah akan semakin runyam. Pastinya akan menimbulkan keributan dan mengundang perhatian banyak orang. Hal itu tentu justru akan mempermalukan keluarganya sendiri.

"Terima kasih, Bi atas bantuan dan tumpangannya selama tiga hari ini. Aku pulang dulu," pamit Viqas.

"Hati-hati, Qas!" seru Abi pada Viqas yang telah sampai di ambang pintu keluar.

Viqas hanya menjawab dengan mengangkat jempolnya tinggi-tinggi tanpa menoleh. Ia melangkah keluar, menunggu  pesanan taksinya tiba. Taksi itu belum datang ketika tubuhnya ditarik paksa oleh seorang lelaki yang tak dikenal dan dimasukkan ke dalam mobil sedan hitam.

"Kamu siapa?" Viqas berontak dan berhasil memukul wajah lelaki itu.

"Anda tenang saja, saya tidak bermaksud jahat. Saya hanya menjalankan perintah untuk mencari Anda dan mengantarkan pulang dengan selamat."

Jawaban lelaki itu berhasil membuat Viqas terperangah. Ia menghela napas. Ini pasti ulah kakak sulungnya. Hanya Fayyad yang akan punya ide menyewa orang untuk mencari keberadaannya.

Fayyad selalu mampu membuat Viqas berdecak kagum dengan caranya berpikir yang luar biasa. Menyewa orang ini, misalnya.
Butuh waktu satu jam bagi Viqas untuk pulang ke kediaman Arsenio karena jalanan yang padat merayap. Sesampainya di rumah, ia sudah ditunggu oleh Naufal serta kedua kakaknya di teras. Ketiganya tahu karena orang suruhan Fayyad yang memberi tahu bahwa pemuda itu sudah ditemukan dan sedang dalam perjalanan pulang. Fayyad segera menghampiri si bungsui, bahkan memeriksa setiap inci tubuhnya takut jika ada yang t
erluka.
"Aku baik-baik saja kali, Bang. Enggak perlu segitunya." Viqas memutar bola
mata malas.

"Kamu tuh ke mana saja? Dua hari enggak pulang, enggak ada ngasih kabar, ponsel juga mati. Bikin kita semua khawatir dan sekarang kamu pulang seolah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya? Boleh enggak, Abang gantung kamu di balkon atas?" Fayyad berdecak kesal. 

Viqas tertawa hingga kedua netranya menyipit serta lesung pipi tercetak jelas di kedua pipinya. Sementara Shaka dan Naufal menggeleng melihat tingkah kedua pemuda beda usia itu.

"Bang, lain kali enggak perlu nyewa dia lagi buat nyari aku. Kalau aku pergi lagi, carikan yang cantik aja. Viqas bakal langsung pulang tanpa perlawanan." Viqas melirik pipi kanan lelaki itu yang membiru hasil karya tangannya.

Fayyad turut menoleh ke arah Dana—orang suruhannya. Di wajah itu tampak luka lebam berwarna ungu kebiruan. Pemuda itu menghela napas, lupa bahwa si bungsu ini mantan atlet bela diri saat remaja.

"Dan, maafkan adik saya, ya. Gajimu aku naikkan dua kali lipat sebagai ganti biaya pengobatan lukamu." Fayyad merasa bersalah.

Dana tersenyum cerah, manik hitamnya tampak berbinar. Lelaki berwajah bulat iitu berulang kali mengucap terima kasih. Usai Dana pergi, keempatnya segera masuk dan duduk di ruang tengah.

"Ada yang ingin Viqas jelaskan tentang masalah kemarin, tapi sebelumnya kalian bisa melihat video ini." Viqas menunjukkan sebuah video dari ponselnya.

Fayyad dan Shaka tampak terkejut, mereka sama sekali tak menyangka tentang apa yang baru saja dilihat. Wanita yang selama ini dihormati dan dibanggakan, ternyata tega merusak kepercayaan mereka dengan berselingkuh bersama pria lain. 

"Tiga hari lalu, Viqas lihat Mama dan lelaki itu bermesraan di Kafe Dandelion. Alasan kenapa hari itu pulang lebih lambat dari biasanya karena aku tidak berniat pulang saat itu. Namun, Bang Shaka menelepon Naufal dan memintanya mengantarku pulang. Soal ucapanku malam itu, setelah melihat ini, kalian pasti tahu alasannya."

Fayyad dan Shaka saling pandang, tidak tahu harus berkomentar bagaimana. Keduanya kehabisan kata-kata. Mereka terdiam cukup lama bergelung dengan pikiran masing-masing. Suara mobil Naura yang memasuki halaman mengalihkan perhatian mereka. Fayyad dan Shaka sampai harus beristighfar berkali-kali untuk meredakan amarah yang bergejolak di dada.

"Viqas lelah. Jadi, terserah Bang Fayyad dan Bang Shaka mau bersikap bagaimana setelah ini pada wanita itu." Viqas menarik tangan Naufal untuk naik ke lantai dua tempat kamarnya berada karena tidak mau melibatkan Naufal dalam masalah keluarganya.

Sementara itu Fayyad dan Shaka tetap menunggu Naura di ruang tamu. Meraka harus mendapat penjelasan. Menyadari kedua putranya yang berada di rumah, membuat Naura merasa heran. Pasalnya, mereka pamit akan mencari Viqas.

"Kalian kok masih di rumah, bukannya mau nyari Viqas?"
"Viqas sudah pulang," jawab Fayyad dingin.

Naura semakin heran sekaligus merasa ada sesuatu yang janggal di sini. Namun, ia segera menyadari perubahan raut kedua putranya. Rahasianya mungkin sudah terbongkar. Wanita itu menatap putranya bergantian, kemudian duduk di sofa seberang.

"Kalian berdua kenapa? Kenapa menatap Mama seperti itu?"

"Mama enggak perlu terus bersandiwara, kita sudah tahu semuanya." Shaka turut buka suara.
Deg!

Jantung Naura seolah berhenti berdetak, tak menyangka semua akan berakhir secepat ini. Namun, dia tetap berusaha tenang agar tak menimbulkan kecurigaan.

"Ma-maksud kalian bersandiwara apa? Mama benar-benar tidak tahu." Naura mengepalkan sebelah tangannya.

"Mama sudah mengkhianati Papa, kan! Fayyad enggak menyangka wanita sebaik Mama akan melakukan ini!" Fayyad lepas kendali.

Plak!

Sebuah tamparan mendarat mulus di pipi kanan Fayyad, membuat empunya menatap nyalang ke arah Naura. Namun, ia sama sekali tak bicara. Cukup tahu jika ia berbicara, maka hanya akan ada kata-kata kasar yang keluar dari bibirnya.

"Cukup, Ma!" Suara bariton itu mengalihkan perhatian Naura, Fayyad dan Shaka.

Di ambang pintu tampak Nino yang baru saja pulang, menyaksikan sendiri bagaimana Naura menampar pipi si sulung. Lelaki itu pulang lebih cepat dari jadwal seharusnya karena Viqas memintanya segera pulang. 

"Papa," tutur ketiganya bersamaan.
Naura segera menghampiri sang suami, mengambil tas yang dibawa dan mencium punggung tangannya takzim. Namun, lelaki itu hanya diam tak berekspresi. Ia segera berlalu menghampiri kedua putranya.

"Jika ada masalah, bicarakan baik-baik. Enggak perlu main tangan seperti tadi, lagi pula anak-anak sudah dewasa," tutur Nino sembari duduk di sofa.

Wajah Naura berubah pucat. Tamat sudah riwayatnya hari ini. Putranya pasti akan memberitahu Nino soal pengkhianatan yang dilakukan. Ia turut duduk di samping sang suami dan meminta maaf.

"Ada masalah apa? Kenapa kamu sampai hati menampar Fayyad?" Nino  menatap manik cokelat istrinya.
Naura gelagapan, tak tahu harus menjawab apa. Tubuhnya menegang pun wajahnya  memucat. Keringat dingin tampak menyembul dari pori-pori wajah, menandakan ia tengah gugup.

"Enggak kok, Pa. Memang Abang yang salah di sini," timpal Fayyad.

"Lain kali jangan pernah menyelesaikan masalah dengan kekerasan, sebesar apa pun masalahnya. Lebih baik bicarakan dengan kepala dingin agar mendapatkan solusi terbaik."

Viqas yang mendengar suara sang ayah segera turun, disusul oleh Naufal di belakangnya. Keduanya menghampiri Nino dan mencium punggung tangannya takzim. Sementara Naufal memilih pamit karena tak ingin terlibat di dalam masalah keluarga sang sahabat. 

Usai kepergian Naufal, Viqas turut duduk di sebelah Fayyad.  Ia mengeluarkan ponsel dan menyodorkan pada Nino. Lelaki itu mengeryit bingung, tak mengerti maksud putranya. Setelah menonton  video  yang terputar  di sana, wajah oval itu berubah merah padam. 

Lelaki itu menatap sang istri yang terisak pelan dalam tunduk. Tangan kanannya terangkat ke udara siap menerjang pipi mulus Naura. Namun, perlahan tangan itu mengepal turun. Ia memejamkan mata, membaca taawuz serta istighfar berkali-kali agar amarahnya menguap. 

"Sejak kapan?" tanya Nino sembari mengatur napasnya yang memburu. 

Ruangan ber-AC itu tak lagi mampu memberi kesejukan bagi jiwa Nino. Kata yang terucap dari bibir tipis itu terkesan dingin dan tajam. Ketiga putranya tak ada yang berkomentar. Mereka diam di tempat masing-masing.

"Lima tahun yang lalu," lirih Naura. 

Cairan bening mengalir dari sudut mata Nino, tak menyangka Naura akan menyakiti sedemikian rupa. Ia sudah memberikan segala hal yang dimiliki untuk kebahagiaan wanita itu, tetapi apa balasannya? Pengkhianatan?

"Kenapa? Apa yang kurang dariku dibanding lelaki itu? Aku tahu kamu dekat dengannya sejak dulu, tetapi tidak pernah menyangka kamu akan mengingkari janjimu di hadapan-Nya, mengkhianati pernikahan kita!" bentak Nino. 

Naura bergeming, hanya isakan yang kian kentara. Namun, semua itu tak lagi ada artinya di mata Nino. Lima tahun, wanita itu menduakannya dengan pria lain. Siapa yang tak kecewa jika mengetahui sang istri bermain hati di belakang sejak lima tahun yang lalu?

“Kamu selalu sibuk dengan pekerjaan, sering pergi ke luar kota untuk urusan bisnis. Kita juga jarang ketemu. Aku kesepian, Pa. Selama ini Danu yang selalu menemani ketika kamu sibuk dengan bisnis di luar sana.”

“Aku pergi untuk mencari nafkah agar kalian tak merasa kekurangan. Aku kerja siang dan malam hingga ke luar kota berhari-hari untuk memenuhi kebutuhan kalian semua. Namun, apa balasanmu? Pengkhianatan?” Nino menangkup wajah dengan kedua tangan.

Lelaki itu merasa sangat bodoh karena tak pernah menyadari perubahan sikap Naura, sedangkan ketiga putranya terpaku di tempat masing-masing. Tidak menyangka sang ibu akan tega melakukan ini kepada mereka semua. Entah apa yang membuat sosok panutan mereka justru berubah menjadi seperti ini.

"Mulai detik ini kita tidak ada hubungan apa pun lagi. Silakan kamu bahagia bersama Danu, aku akan mengurus surat perceraian kita secepatnya. Soal anak-anak, mereka sudah dewasa dan bisa memilih akan tinggal bersama siapa." Nino melenggang pergi menuju kamar. 

"Puas? Mama sudah menghancurkan semuanya, kepercayaan, kebahagiaan dan rasa hormat kami sebagai anggota keluarga. Keluarga kita hancur karena pengkhianatan yang  Mama lakukan. Hal yang tak akan pernah bisa termaafkan. Silakan pergi bersama lelaki itu karena kami tidak akan menggangu. Satu lagi, Viqas tidak ingin bertemu lagi. Tidak hari ini ataupun esok hari!" Viqas pun berlalu ke kamarnya.

Fayyad dan Shaka saling pandang, kemudian turut berlalu tanpa kata meninggalkan Naura yang masih terisak di tempatnya. Mereka rasa ucapan si bungsu sudah mewakili perasaan keduanya. Jadi, tak perlu lagi bicara pada wanita itu. 

Fayyad serta Shaka sangat kecewa, marah dan terluka karena masalah ini. Namun, diam adalah pilihan dari keduanya. Semua rasa itu sudah mencapai puncak tertinggi hingga membuat mereka tak tahu lagi harus bagaimana. Apalagi keduanya sangat dekat dengan sosok sang ibu, tetapi dengan terbongkarnya masalah ini rasa hormat mereka lenyap begitu saja. 


One Day One Chapter
Day 4
Kulon Progo,  18 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro