Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2 : Hentikan!

"Nii-chan, ayo temani aku ke festival!" ajakku kepada kakakku yang tengah duduk di halaman rumah. Entah sedang merenung atau apa. Ini adalah suatu kejadian yang sangat langka, aku berbicara dengan kakakku tanpa nada sinis, membuatnya sedikit heran. Ia tidak tahu kalau ini hanya kepalsuan.

"Untuk apa kau mau ke festival, Nat-chan?"

"Aku cuma mau membeli permen apel Nii-chan," ucapku bohong. Sebenarnya aku sudah merencanakan sesuatu pada hari ini dan aku ingin semuanya berhasil.

"Janji ya cuma beli permen?"

"Tentu saja! Ayolah!" ucapku sambil menarik tangan kakakku agar ia mau berdiri dari tempatnya duduk.

Aki-nii berdiri dari tempatnya duduk. Aku berjalan bersamanya menuju festival di dekat Danau Biwa. Di sepanjang jalan aku mencoba untuk terlihat bahagia walau itu palsu.

Sesampainya di festival, aku langsung melihat situasi. Rupanya festival kembang api akan mulai sebentar lagi. Aku langsung membeli permen apel bersama kakakku.

"Nii-chan, festival kembang api akan dimulai sebentar lagi! Aku ingin melihatnya!" ucapku kepada kakakku sambil memakan permen apel yang ada di genggamanku.

"Apa?!" Kakakku nampaknya sedikit terkejut.

"Ayolah Nii-chan, sekali ini saja." Aku memohon kepada kakakku.

"Baiklah, tapi setelah itu kita langsung pulang ya?"

"Siap Nii-chan!"

Aku berdiri di tepi danau bersama kakakku, menunggu festival dimulai. Suara hiruk pikuk keramaian sangat membuatku risih. Wajah-wajah bahagia terpatri jelas di banyak orang. Mereka tertawa dalam bahagia, seakan menertawakan kehidupanku yang selalu jauh dari kata senang.

Sabar, ini hanya sebentar. Aku harus menahan perasaanku yang muak akan dunia. Sebuah pertunjukan kecil akan dimulai sebentar lagi. Lihatlah aku yang akan menari malam ini.

DOR!

Kembang api pertama diluncurkan. Orang-orang tampak terkesima. Ada yang terlihat senang, tapi ada pula yang mulai menunjukkan hal romantis pada pasangannya. Semua sibuk pada urusannya sendiri, tak ada yang peduli pada orang lain.

Kutatap kakakku yang ada di sebelahku. Ia tengah menutup telinganya dengan kedua tangannya. Ia juga menutup matanya. Ketidak peduliannya padaku sangat menguntungkanku. Ini adalah kesempatan yang bagus untukku untuk mengakhiri semuanya.

Aku mulai berlari dengan penuh keyakinan. Aku tidak peduli dengan kakakku, orang lain, kembang api, dan semuanya. Ini adalah saatnya untuk kabur dari hidup yang hampa.

Aku melompat dari tepi danau dengan penuh kepuasan, menenggelamkan diriku sendiri dalam keputus asaan. Selamat tinggal dunia yang hina! Aku akan melupakanmu untuk selamanya!

Aku diam dengan sengaja, membuat diriku ditelan habis oleh dinginnya air danau. Semakin lama, semakin dalam dan gelap. Napasku habis, paru-paruku terisi penuh dengan air. Rasanya sangat sakit. Tetapi, jika rasa sakit ini dapat membawaku kepada kematian, aku akan menerimanya dengan hati yang senang.

Kesadaranku hilang dengan perlahan, membuat semuanya menjadi buram. Mungkin sebentar lagi aku akan menutup kedua mataku untuk selamanya. Akhirnya aku dapat tenang.

Namun, dugaanku salah. Aku tidak akan mencapai ketenangan yang kuimpikan. Samar-samar aku melihat dua buah tangan berusaha menggapai tubuhku dengan keyakinan. Ia memelukku dan membawaku menuju permukaan. Ia akan dianggap sebagai pahlawan yang menyelamatkanku, tetapi aku membenci hal itu! Ia memang sudah menyelamatkanku dari maut, tetapi itu berarti aku gagal bersenang-senang di neraka. Terima kasih atas semua yang tidak kuinginkan, Nii-chan!

Ia membawaku ke tepi danau. Membuatku terbaring di atas tanah yang sebenarnya ingin kutinggalkan.

"Bertahanlah Nat-chan!" Bodoh, yang kuinginkan adalah kematian.

Aki-nii terus menekan dadaku, membuatku memuntahkan semua air yang sudah masuk ke paru-paru. Setelah semuanya keluar, aku duduk di atas tanah ini. Kakakku langsung memelukku ketika ia tahu aku tidak apa-apa, tetapi aku menepisnya.

"Syukurlah kau tidak apa-apa Nat-chan! Sekarang kita pulang sebelum baju yang basah ini membuat kita sakit!" Justru yang kuinginkan adalah ketika penyakit itu datang! Itu akan membuatku lebih cepat mati!

Aku mencoba untuk berdiri, namun kakiku menolaknya. Aku terjatuh dan kakakku menangkapku. Ia menggendongku di atas punggungnya dan pulang ke rumah. Jujur, kalau aku bisa berdiri, aku tidak akan sudi ada di gendongannya.

"Aki! Natsuki! Mengapa kalian pulang dengan basah kuyup seperti itu?!" tanya Ibu dengan nada tinggi ketika kami sampai di rumah.

Kakakku langsung menurunkanku dari punggungnya.

"Kita terpeleset dan jatuh di danau, Bu," jawab kakakku dengan sedikit berdusta.

"Apa?! Kenapa bisa begitu?!"

"Ini semua karena Nii-chan!" tuduhku kepada kakakku yang tak bersalah. Coba lihat bagaimana respon mereka. Apa mereka peduli atau tidak.

"Kau pasti berbohong Natsuki! Aki jelaskan semuanya!"

"Jangan menuduh kakakmu jika itu kesalahanmu Natsuki!"

Lihat, tidak ada yang percaya padaku. Semua perhatian mereka hanya tertuju pada kakakku. Sangat menyebalkan!

"Aku yang salah... aku-"

"Aki!"

Ucapan kakakku tidak dapat dilanjutkan. Ia tiba-tiba pingsan dan semakin menarik perhatian semua orang. Ayah langsung membawanya ke kamarnya. Aku benci ini! Saat aku berulang kali hampir mati, Ayah dan Ibu mana peduli padaku. Tapi, saat kakakku hanya pingsan, mereka langsung kalang kabut.

"Ini semua salahmu, Natsuki! Jika tidak ada kau, Aki tidak akan jadi seperti ini!" Lihatlah, ibuku sendiri mulai menyalahkanku! Ia sama sekali tidak peduli jika saat ini aku sedih, sakit, bahkan jika aku mati sekalipun.

"Jangan ulangi lagi perbuatanmu Natsuki. Aku tidak ingin kakakmu kenapa-napa," ucap ayahku yang keluar dari kamar kakakku.

"Nii-chan lagi, Nii-chan lagi. Seakan hidup kalian berdua hanya untuk Nii-chan! Kapan kalian peduli padaku?! Misal aku mati kalian tidak peduli 'kan?! Aku ini juga anak kalian!"

BRAK!

Aku kembali mengunci diri di kamarku. Aku tidak peduli aku basah, akan sakit, atau apa pun. Aku kembali menangis. Dunia ini memang sangat tidak adil kepada orang lemah sepertiku! Memang sudah sepantasnya aku mati!

Aku melanjutkan langkahku. Membuat semuanya tampak baik-baik saja ketika aku melewati tempat ini. Biarlah luka lama ini kupendam sendiri. Aku menyembunyikan hal ini dengan mencoba terus mengobrol dengan Satsuko.

Setelah kami berhasil melewatinya, aku merasa lega. Aku terus berjalan bersama Satsuko sampai kami tiba di sebuah pertigaan dan berpisah.

"Sampai jumpa besok Natsuki-chan!" Satsuko melambaikan tangannya padaku.

"Ya, hati-hati di jalan Satsuko-chan!" balasku.

Aku berjalan sendirian menuju rumahku. Saat aku sendiri, dengan tiba-tiba aku teringat kakakku. Mungkin itu karena aku telah melewati suatu tempat yang memendam luka yang pahit untuk kami berdua.

Sudah lama aku tidak datang untuk mengunjungi kakakku. Ini karena jadwal sekolahku yang semakin padat. Kuputuskan besok aku akan datang mengunjunginya. Pulang sekolah aku akan membeli bunga terlebih dahulu tentunya.

"Natsuki, Haruna-sensei memanggilmu. Silahkan pergi dari hadapanku!" ucap Ame sinis kepadaku sambil menatapku tajam seperti biasa.

"Ah, terima kasih Ame-chan."

Aku segera menuju ruang guru. Tidak biasanya Haruna-sensei memanggilku.

"Permisi...," ucapku saat berada di depan ruang guru.

"Masuklah Natsuki-chan!"

Aku memasuki ruangannya dan tampak sosok yang tidak asing. Laki-laki bak preman ini kembali muncul dalam hidupku setelah beberapa tahun menghilang. Bukan penampilannya, tetapi sifatnya.

"Yuki-nii!"

"Yo Natsu-chan!" balasnya sambil mengangkat tangannya seperti yang dulu ia lakukan.

"Ada apa Yuki-nii ke sini?"

"Mungkin hanya sekadar berkunjung saja. Sudah, sekarang bicaralah dengan senseimu itu. Ia sudah menunggumu dari tadi. Ya 'kan Haruna-sen-sei?" ucapnya sambil melirik Haruna-sensei dan mengeja kata sensei.

"Yuki-kun tidak pernah berubah. Baiklah Natsuki-chan, duduklah!"

Aku duduk di hadapan Haruna-sensei. Sepertinya ia akan bicara serius.

"Jadi Natsuki-chan, beberapa hari ini kau terlihat banyak pikiran. Kau memikirkan Ame?"

Haruna-sensei seakan dapat membaca apa yang sedang kupikirkan. Seakan ia tahu bebanku.

"Benar sensei, tolong nasehati dia. Aku ingin dia berhenti, sensei."

"Apa kalian membicarakan anak dengan kacamata yang sinis itu?" kata Yuki-nii tiba-tiba.

"Bagaimana kau tahu?"

"Ya, tadi aku bertemu dengannya. Ia mengingatkanku dengan orang-orang yang pernah melakukan hal yang sama."

Raut wajahku dan Haruna-sensei langsung menjadi datar. Aku tersindir oleh perkataannya dan sepertinya ia memang sengaja untuk menyindir. Ah, aku menjadi sangat terbayangi masa laluku.

"Sudahlah kalian berdua. Silahkan kalian lanjutkan pembicaraan."

Aku kembali fokus kepada Haruna sensei. Tampaknya sensei juga sama.

"Jadi, sampai di mana kita tadi?"

"Tolong nasehati Ame, sensei. Aku ingin ia berhenti menyakiti dirinya sendiri."

"Aku sudah mencobanya dan sepertinya tidak mempan. Ia berpikir aku hanya membual, Natsuki. Mungkin ia harus tahu bahwa kehidupan yang menurutnya sempurna tak selamanya indah."

"Kalau begini aku yang akan mencoba berbicara dengannya," ucapku yakin.

"Semoga kau berhasil, Natsuki."

"Ah, aku jadi teringat Aki," ucap Yuki-nii yang membuat luka ini semakin terbuka.

"Ah, oh ya! Haruna-sensei dan Yuki-nii semakin dekat saja." Aku mengalihkan pembicaraan agar mereka tidak mulai membahas tentang Nii-chan.

Pipi mereka berdua merah. Aku hanya tertawa kecil.

Memang pada faktanya Yuki-nii dan Haruna-sensei semakin dekat. Sebenarnya aku agak sulit menerima itu karena dulu Haruna-sensei dan Nii-chan sangat dekat dan mungkin saling menyukai. Tapi, mungkin Haruna-sensei akan bahagia dengan Yuki-nii sekarang mungkin juga salah satu keinginan Nii-chan karena ia tahu hidupnya tidak lama.

Hari ini aku sengaja tidak pulang bersama Satsuko. Aku sudah bertekad untuk mengunjungi rumah Ame. Aku tidak peduli jika ia tidak menginginkanku datang. Aku harus bicara dengannya.

Diam-diam aku mengikuti Ame, dan untungnya ia tidak menyadari kehadiranku. Aku melakukannya dengan hati-hati.

Jalan yang kulalui sangat tidak asing bagiku. Aku baru tahu rumah Ame searah dengan makam kakakku. Hal ini dapat dijadikan suatu alibi untukku jika ada yang bertanya mengapa aku bisa ada di sini.

Di depan sana, Ame memasuki rumahnya yang sederhana. Aku menunggu beberapa saat agar kesannya aku tidak mengikutinya.

Aku mulai memasuki halaman rumah Ame. Hawa suram langsung menyambutku, sama seperti rumahku di masa lalu. Kesedihan dan kebencian dapat kurasakan dengan jelas hanya dengan berada di sini. Ada yang salah dengan isi rumah ini.

"Permisi...," ucapku sambil mengetuk pintu rumahnya.

"Untuk apa kau datang ke sini?!" jawab Ame dengan nada sinis.

"Aku hanya berkunjung Ame-chan. Kebetulan aku akan ke tempat yang searah dengan rumahmu. Jadi, kuputuskan untuk mampir."

"Pergilah! Jangan pernah kembali!"

"Ame-chan, aku cuma ingin bicara denganmu!"

"Ini kita sudah bicara! Pergi sana!"

"Izinkan aku masuk Ame-chan! Sekali ini saja! Aku mohon!"

Pintu rumah terbuka. Tampak Ame sudah memegang pisau di tangannya. Luka-luka goresan lama dan baru tampak jelas di tangannya. Penampilannya acak-acakan. Ia bahkan masih memakai seragam sekolahnya. Keadaannya sangat buruk.

"Ame-chan, ada apa dengan dirimu?! Mengapa kau jadi seperti ini Ame-chan?! Berhentilah Ame-chan!"

"Kehadiranmu di dunia ini sudah cukup untuk menjelaskan semuanya, Natsuki! Aku tak akan berhenti, aku sangat menyukainya!"

Kata-kata itu menusukku. Kata-kata yang sama dengan yang pernah kuucapkan dengan kakakku dulu. Rasanya aku ingin menangis dalam hati ketika mendengarnya.

"A-apa? Ini tidak baik Ame-chan!"

"Apa pedulimu Natsuki?! Apa yang kau tahu tentang kehidupanku?! Orang yang selalu mendapatkan semuanya tidak akan pernah mengerti! Kau bagaikan panas yang didambakan semua orang, aku bagaikan hujan yang tak diharapkan!" ucapnya sambil mengangkat pisaunya. Hentikan ini Ame-chan!

Aku langsung merebut pisaunya. Tidak peduli tanganku akan terluka, ini tidak seberapa. Aku dapat mentoleransi rasa sakit ini karena pengalamanku dulu. Darahku mengalir perlahan. Pisaunya kulempar ke halaman rumahnya.

"Kenapa kau menghentikanku?!"

"Aku tidak mau kau terluka lebih jauh lagi! Jangan kabur dari masalah dengan cara seperti ini Ame-chan!"

"Cih! Jangan mengguruiku Natsuki! Kau pura-pura peduli padaku dan mengorbankan tanganmu sendiri?"

"Tidak, aku hanya tidak ingin-"

Kata-kataku tercekat. Aku tidak bisa mengatakannya. Lidahku kelu. Rasanya hatiku hancur. Aku mencoba menguatkan diriku untuk dapat bicara lebih jauh lagi.

"Tidak ingin apa? Tidak ingin melihatku ada di dunia lagi?!"

"Aku tidak ingin semua kegelapan itu kembali! Aku pernah berada di posisimu!"

"Dusta!"

Aku melepas gelang yang kugunakan selama ini, membuat bekas luka lamaku terlihat. Luka lama di dekat nadi hasil percobaan bunuh diri yang tidak akan pernah hilang.

"Ini luka yang terakhir kubuat. Aku hampir berhasil untuk mati tapi kakakku mencegahnya. Terserah kau mau percaya tidak."

Ame terdiam. Ia menatap bekas lukaku dengan tajam. Aku kembali menutupnya.

"Sekarang Ame, berikan tanganmu!" ucapku memecah keheningan. Aku mendapat suatu ide yang bagus.

"Untuk apa? Jangan berbuat hal yang aneh!"

"Serahkan saja!"

Ame mengulurkan tangannya yang dipenuhi luka goresan. Aku mengambil spidol yang ada di sakuku. Aku menggambar kupu-kupu di bagian tangannya yang tidak ada goresan luka.

"Sekarang tulislah nama orang yang kau sayangi di bawah kupu-kupu itu!" ucapku sambil memberikan spidolku ke Ame.

"Aku tidak punya."

"Kau pasti punya! Tulis saja! Jika kau bingung, kau bisa menulisnya lain waktu!"

Ame terdiam. Keadaan menjadi hening. Aku melihat jam tanganku.

"Ah, baiklah Ame-chan, terima kasih atas waktunya hari ini. Aku pamit dulu, aku harus mengunjungi makam kakakku. Selamat sore!"

"Hm."

Aku pergi meninggalkannya, berjalan ke luar dari halaman rumahnya. Semoga ia dapat berubah dan berhenti menyakiti dirinya sendiri. Jika hari ini ia masih tidak peduli pada semua ucapanku, aku tidak akan menyerah. Sekarang, membuatnya kembali ke jalan yang benar juga menjadi salah satu tugasku.

Terkadang ada seseorang yang datang untuk menghentikanmu melakukan sesuatu. Dengarkanlah karena mungkin ia tahu ada hal yang lebih baik.

Next to chapter 3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro