Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 3 : Your Smile And My Heartbeat

Bila tiap pertemuan butuh alasan, mungkin keinginanku untuk melihat senyummu sudah cukup kuat untuk mempertemukan kita.

Aku membawa Haruna ke klinik terdekat untuk penanganan pertama. Sambil menunggu Haruna yang diobati aku duduk diam di lobi, membersihkan darah yang menetes dari telapak tanganku dengan tisu. Pecahan kaca yang berusaha kurebut dari tangan Haruna menggores cukup dalam rupanya. Benar-benar perih, bagaimana bisa dia menahan luka seperti ini?

Saat perawat selesai mengobati Haruna, takut-takut aku mendekatinya. Haruna masih saja diam dengan tatapan kosong, sama sekali tidak bicara meski aku sudah seenaknya membawa dia ke klinik. Aku suka melihat netra keabuan Haruna yang begitu cantik, tapi kini netra itu telah kehilangan kilaunya, membuatku bersedih entah mengapa.

"Maaf..." Aku menunduk dihadapan Haruna, tidak tahu harus mengatakan apa lagi.

"Eh? Mori-san?" Dadaku begitu sesak saat Haruna sadar dari lamunan dan memanggil namaku. Bila tidak kutahan, mungkin aku sudah menangis sekarang.

"Syukurlah.... Syukurlah kau selamat.."

Haruna nampak kebingungan melihatku. Pandangannya pun beralih pada tangannya yang terbalut perban. Seketika tangisan Haruna pecah, mungkin beban yang sempat terlupakan, kembali secara bersamaan dalam pikirannya hingga dia tak bisa menahan lagi. "Kenapa.. Kenapa kau datang menolongku? Sudah kubilang.. Kau tidak tahu apapun soal hidupku!"

"Maaf.." Lagi-lagi hanya itu yang bisa kukatakan. Tidak, jika terus seperti ini Haruna akan terluka. "Aku sangat egois ya Haru-chan? Padahal aku sama sekali tidak mengerti dirimu, tapi terus saja memaksamu untuk tidak menyerah. Dan yang lebih parah, aku tak menyesali perbuatanku itu."

Perhatian Haruna mulai beralih kepadaku. Untuk pertama kali, aku merasa bahwa dia mau mendengarkanku atas keinginan sendiri. "Kau tahu, aku bukan lelaki yang tegar seperti kata orang. Aku tersenyum bukan karena bahagia, yang kulakukan hanya berusaha kuat." Aku menghela napas melihat Haruna yang tertegun seolah tak percaya. "Semua orang punya kehidupan yang sulit. Sepertinya kehidupan itu sendiri memang membenci kita. Tapi itulah mengapa aku merasa tidak mau kalah dari kehidupan, dan terus bertahan hidup meski sulit. Karena idealismeku itu, aku jadi mudah kesal tiap melihat orang yang ingin menyerah untuk hidup. Hingga aku membuatmu tak nyaman."

"Apa tujuanmu? Mengguruiku?" Haruna membuang muka, menyembunyikan air mata yang kembali mengalir. "Kau sudah lihat sendiri kan? Bagaimana keadaanku di rumah? Kau pikir aku ini sekuat apa hingga bisa bertahan sendirian?"

"Haru-chan itu kuat, aku tahu karena kau masih bertahan hingga sekarang." Aku mengulurkan tanganku kearah Haruna. Sepertinya dia terkejut melihat luka di tanganku yang belum sepenuhnya kering. "Maaf. Aku tidak panda bicara. Karena aku tidak bisa menyampaikan maksud ku dengan benar kau jadi makin terluka. Sebenernya aku, hanya ingin menjadi temanmu. Aku ingin tahu lebih banyak soalmu, mendengar keluh kesah yang biasa kau pendam hingga menjadi racun. Bolehkah?"

Kutatap lekat manik Haruka, berusaha menunjukan ketulusan lewat tatapan mata. Benar, aku hanya ingin menjadi temannya. Bukan untuk memaksanya setuju dengan idealismeku soal hidup, tapi untuk menunjukan bahwa dia salah tentang dirinya yang berjuang sendirian.

Ragu-ragu Haruna meraih uluran tanganku, dan aku langsung menggenggamnya erat begitu jari kami bersentuhan.

"Kau ini orang bodoh atau apa? Kenapa begitu peduli pada urusan orang lain?"

Aku tertawa kecil mendengar tanggapan Haruna. "Sudah kubilang kan aku ini hanya orang egois. Lagi pula Haru-chan bukanlah orang lain tapi temanku."


Yukio benar, aku hanya perlu memberi Haruna waktu dan mendukungnya. Sedikit demi sedikit Haruna mulai membuka diri. Dia bahkan sering datang ke ruang OSIS tanpa kuminta seperti sekarang. Melihat Haruna yang mulai berjuang, membuatku makin tidak ingin meninggalkan dunia, tidak sampai orang-orang yang kusayangi bisa tersenyum tanpa diriku.

"Haru-chan, berikan tanganmu." Aku menarik tangan kanan Haruna yang tidak terluka, lantas mengambil spidol berwarna dan menggambar kupu-kupu.

"Hei kau sedang apa Mori-san?!"

Mengabaikannya aku terus menggambar. Kutulis nama-nama orang yang dekat dengan Haruna di bawah gambar kupu-kupu. Mulai dari nama artis kesukaan Haruna hingga namaku. "Saat kau berpikir untuk melukai dirimu, anggaplah kau akan melukaiku dan orang-orang yang namanya kutulis." Aku tersenyum bangga melihat kupu-kupu yang ku gambar dengan cukup bagus. "Haru-chan mungkin bisa melukai diri sendiri, tapi kau bukan tipe orang yang bisa melukai orang lain kan?"

"Kau ini bocah ya?" Haruna tertawa begitu lepas. Ini yang pertama aku melihatnya. Sebelum dia sadar, kuambil ponselku dan memfoto senyumnya. Kelak bila dia lupa caranya terseyum, akan kutunjukan foto ini padanya.

"Mungkin kekanakan, tapi percayalah cara itu bisa membuatmu mengingat satu hal. Bila kau mengakhiri hidup, bukan dirimu saja yang mati, tapi hati orang disekitarmu juga akan ikut mati."

Kami kembali fokus menyusun data klub. Tugas OSIS benar-benar menumpuk karena anggota lain sibuk dengan kegiatan klub. Di musim panas yang terik ini aku ingin sekali tidur dihamparan rumput yang luas. Atau pergi ke pantai saat liburan nanti, bersama Yukio dan Haruna tentunya.

Ketika aku tengah berkhayal soal libur musim panas, Haruna sibuk melakukan tugasku menyusun data. Tangannya berhenti, sepertinya ada satu klub yang menarik perhatian Haruna. Aku mengintip kertas ditangan Haruna, tersenyum senang saat membacanya. "Kau tertarik masuk klub panah? Temanku Yukio ketua di klub itu loh!"

Haruna terlihat salah tingkah, cepat-cepat menggeleng menutupi pipinya yang bersemu merah. "Tidak, tidak! Aku malu, sejak kelas satu aku tidak ikut klub apapun. Aneh rasanya kalau baru ikut saat kelas dua."

"Aku yang urus!" Tanpa menunggu jawaban Haruna, aku mengirimkan email pada Yukio. "Besok kau sudah bisa mulai ikut."

"Apa yang kau lakukan Mori-san?!"

Aku mendekati Haruna memegang pundaknya agar dia berhenti panik. "Kalau tidak mau merasa disudutkan oleh kehidupan, maka yang harus kau lakukan adalah mulai menerimanya. Nikmati hidupmu, oke?"

"Apa dengan begitu aku bisa sebahagia dirimu?"

Aku tersenyum, melihat kilau cerah di manik Haruna. "Kau akan lebih bahagia dari pada diriku." Yang kukatakan bukan bualan, karena Haruna akan hidup lebih lama untuk melihat indahnya dunia yang belum dia sadari.


Hari ini aku memutuskan untuk melihat kegiatan Haruna di klub barunya. Memang akulah yang sudah memaksa agar Haruna ikut klub panahan bersama Yukio, tapi saat dia tidak pergi menemuiku di ruang osis, jujur aku sedikit kesepian.

Aku bersyukur, ternyata Haruna cepat berbaur dengan anak-anak klub panahan. Sepertinya keputusanku tidak salah, Haruna menyukai kegiatan panahan, dan sekarang dia memiliki tempat untuk melarikan diri. Aku sudah tidak perlu menghawatirkannya, lagi pula ada Yukio yang akan membantu.

Aku menatap lurus kearah Haruna yang tengah berusaha keras belajar memanah, didampingi Yukio yang telaten membantunya dari belakang. Haruna terlihat lelah, namun dia tersenyum.

Lagi, kuabadikan senyum manis itu dengan ponselku. Lihat, bahkan tanpa diriku pun kau akan tetap tersenyum.

Melihat dua tangan itu saling bertautan, satu sisi diriku merasa sakit. Perasaan apa ini? Padahal tangan-tangan itu adalah milik mereka yang kusayangi, sahabat dan orang yang istimewa bagiku. Harusnya aku senang, lalu tersenyum seperti biasa.

Kutatap hasil foto di ponselku. Sejenak, aku ingin menjadi Yukio. Berada di satu frame yang sama dengan Haruna. Tapi aku yang hanya melintas sesaat saja di hidupnya tidak punya hak untuk membuat kenangan terlalu banyak.

"Mori-san!"

Aku terperanjat melihat Haruna yang berlari kecil kearahku. Tanpa sadar kegiatan klub panah telah selesai. Aku sampai lupa waktu rupanya.

Di belakang Haruna, Yukio melangkah sambil menenteng ransel di pundaknya. "Aki, aku duluan ya."

"Tidak mau pulang bersama?"

Yukio melambaikan tangan sebagai tanda penolakan. Dasar bodoh, padahal aku menyuruhnya mengantar Haruna pulang seusai kegiatan klub.

"Mau minum dulu?" Aku tertawa canggung sambil menunjuk kearah mesin penjual minuman yang tidak terlalu jauh.

Kubeli satu kaleng jus jeruk, dan sebotol minuman isotonik untuk Haruna yang baru berolahraga. Kami duduk tak jauh dari mesin penjual minuman, bersandar di tembok tanpa alas. Haruna terlihat mengernyit saat meminum minuman isotonik dariku. "Kenapa?"

"Anu...sebenarnya... Aku baru pertama meminumnya, ternyata rasanya tidak cocok dengan lidahku."

Aku tak bisa menahan tawa saat melihat ekspresi lucu Haruna. "Berikan padaku, kau ambil saja jus jerukku. Masih utuh kok." Ku serahkan jus yang baru kubuka pada Haruna, lantas mengambil minumannya dan langsung kuminum. "Apa yang salah? Ini enak."

Saat kutatap Haruna langsung menyembunyikan wajahnya dibalik poni. Bingung, kuputuskan untuk diam dan menghabiskan minumanku.

"Mori-san.." Aku menoleh saat Haruna memanggil pelan namaku. Tangannya terlihat sibuk memainkan kaleng jus. "Apakah kau.." Kata-kata Haruna terhenti, membuatku bertanya-tanya.

"Apa?"

"Ah... Itu, apa kau tau soal bekas luka di punggung Ogawa-san? Aku tidak sengaja melihat saat dia ganti pakaian."

Hampir saja aku menyemburkan minuman di mulutku. Si kurang ajar itu, bisa-bisanya dia ganti baju sembarangan tanpa berpikir akan ada orang yang melihat. Mencoba untuk tetap tenang, aku menarik napas panjang. "Luka itu punya cerita tersendiri. Yang jelas, luka itu adalah bukti bahwa Yukio pernah melewati masa sulit dalam hidupnya." Senyum terukir di bibirku kala mengingat masa-masa yang telah jauh terbawa waktu. "Tapi kau lihat? Sekarang dia baik-baik saja dan bahagia. Haru-chan pasti juga bisa bangkit seperti Yukio. Apalagi sekarang kau lebih berani terbuka."

Bibir Haruna melengkung tipis, menciptakan senyuman yang samar. "Kurasa semua itu berkat Mori-san.. Yang sudah membuka mata Ogawa-san dan mataku."

"Aku tidak melakukan apapun selain menyampaikan pendapat. Keputusan akhir tetap berada di tangan kalian."

Haruna terlihat menunduk sesaat. Ragu-ragu mengangkat kepala dan menatapku. "Aku.. Ingin jujur.." Jeda beberapa saat, membuatku makin heran. "Sebenarnya... Tadi aku ingin mengajak Mori-san melihat festival kembang api nanti malam. Aku ingin berterimakasih dengan benar!"

"Eh?"

Bagaimana ini? Ada satu dua hal yang membuatku takut pada kembang api. Suara ledakan kembang api yang memekakan telinga, mengingatkanku pada tangisan Natsuki yang menyayat hati di malam festival. Tapi, melihat mata Haruna yang berbinar, aku tak kuasa menolak.

"Oke."


"Maaf membuatmu menunggu Mori-san."

Penampilan Haruna yang terbalut yukata ungu tua bermotif bunga, dan rambut tergulung rapi membuatku tersenyum. Jepitan rambut kupu-kupu yang kuberikan kemarin dia pasang rapi, menambahkan kesan manis. "Tidak apa, aku juga baru tiba."

Begitu memasuki area festival yang riuh, aku merasa gelisah. Tanganku bergerak sendiri, meremas ujung kaos hitam yang kukenakan. Sejak kecil aku tidak pernah diperbolehkan pergi ke festival kembang api. Suara ledakan kembang api yang cukup keras membuat orangtuaku khawatir, kalau-kalau jantungku tidak kuat. Namun bukan itu yang membuatku takut.

Pernah sekali aku pergi melihat festival kembang api dengan Natsuki, tanpa sepengetahuan orangtua kami tentunya. Dan yang terjadi adalah, Natsuki hampir mati. Karena aku sibuk menutup telinga ketika kembang api dinyalakan, aku tak menyadari Natsuki yang terjatuh ke danau hingga nyaris mati tenggelam.

"Mori-san? Apa yang kau pikirkan?"

Aku menoleh, mendapati Haruna yang terlihat kebingungan karena aku hanya diam melamun. "Maaf... Sebenarnya aku, agak takut dengan suara kembang api. Ta-tapi jangan khawatir, cepat atau lambat manusia harus menghadapi rasa takutnya kan?"

Haruna menarik tanganku tanpa aba-aba membuatku mengernyit bingung. "Kalau begitu, sekarang aku yang akan membantu Mori-san!"

Aku tertawa membalas senyum Haruna. Kuikuti kemanapun kakinya melangkah. Entah sihir apa yang menguasaiku sekarang, hingga debaran takut yang sempat kurasakan berubah menjadi debaran lain yang tidak ku mengerti. Semua terlihat berkilauan di mataku, rasa permen apel pun menjadi jauh lebih manis dari yang ku ingat. Bahkan, aku menikmati permainan menangkap ikan mas, tertawa lepas saat tidak berhasil menangkap seekor pun. Padahal dulu aku selalu kesal pada permainan ini karena tidak bisa menangkap ikan.

Saat tengah asik bersama Haruna, mataku menangkap keberadaan Yukio yang mengawasi kami dari jauh. Aku yakin dia mengikuti kami dari tadi, mengingat Yukio sangat tidak setuju dengan keputusan nekatku untuk pergi. Aku tahu dia khawatir, tapi yang benar saja, apa perlu dia sampai mengikutiku? Membawa Natsuki pula.

Kugenggam tangan Haruna cepat, membuatnya memekik heran. "Sssstt.... Ayo kita pergi diam-diam, ada yang mengikutiku."

"E-eh? Penguntit? Baiklah." Setelahnya Aku menarik Haruna masuk kedalam kerumunan, dengan begini si Yukio akan kehilangan jejak.

"Mori-san kita akan kemana sekarang?"

Aku menatap sekitar beberapa saat, memastikan Yukio sudah tidak ada. "Hm.. Terserah Haru-chan saja."

Haruna pun kembali menyeretku, terburu-buru melewati jejeran kios dalam festival, menuntunku menuju danau Biwa. "Jika melihat dari sini, kembang apinya akan terlihat sangat bagus, percayalah!"

Haruna benar, orang-orang sering mengelukan pantulan cahaya kembang api yang membuat permukaan gelap danau Biwa berkilauan penuh warna. Tempat ini mamang menjadi favorit untuk menikmati kembang api, tapi tidak bagiku. Aku belum pernah melihat kembang api dengan perasaan senang disini.

"Mori-san sini." Haruna melambaikan tangan, membuatku mendekatkan kepala kearahnya. Dua tangan Haruna menyentuh telingaku, memasang earphone putih di kedua sisi dengan lembut. "Dengan begini suara ledakannya tidak akan terdengar terlalu kencang." Suara musik mengalum lembut, melodi lincah yang anehnya menenangkan. Tak kusangkan aku menikmatinya, dan ini ampuh untuk menutup pendengaranku.

Bibir tipis Haruna nampak bergerak mengucap beberapa kata, namun aku tidak bisa mendengarnya. Mengerti akan hal itu, Haruna menyentuh pelan pipiku, memutar pandanganku tepat kearah danau Biwa.

Kembang api telah dinyalakan menerangi gelapnya langit malam, terpantul elok diatas permukaan danau. Dengan mata yang masih enggan berkedip, tanganku bergerak menyentuh dada. Aku tidak merasa takut, sebaliknya aku justru bahagia. Warna-warni indah kembang api memonopoli pandangan semua orang termasuk diriku. Hingga cahaya terakhir berpendar dilangit malam, perhatianku tak teralihkan.

Namun cahaya-cahaya indah itu, pada akhirnya menghilang seiring waktu, meninggalkan rasa sepi yang membuatku bersedih. Yang terjadi pada kembang api itu, akan terjadi pula padaku nanti. Aku akan menghilang setelah mewarnai hidup orang-orang, meski aku berusaha meninggalkan kenangan indah, tetap saja rasa kehilangan akan kutorehkan dihati banyak orang. Lalu untuk apa aku berusaha sejauh ini?

Merasakan satu sisi earphone terlepas, aku menoleh menatap Haruna yang telah melepasnya. "Aku juga mau mendengarkan lagu," ucap Haruna seraya memakaikan sebelah earphone ketelinganya.

"Dasar.. Terimakasih sudah meminjamkannya selama kembang api menyala."

Haruna menggeleng pelan. "Ini tidak sebanding dengan apa yang kau lakukan untukku." Pandangan kami bertemu, tatapan Haruna terlihat lain dari biasanya. "Terimakasih sudah datang dalam hidupku dan memaksa untuk menjadi temanku."

Aku tertegun cukup lama, mencari kata yang tepat untuk menyampaikan perasaan yang menumpuk dalam dada. "Haru-chan, terimakasih banyak. Karena sudah terlahir dan bertahan hidup hingga kita bertemu."

Dalam pertemuan kami, bukan dia saja yang telah terselamatkan, tapi aku juga. Saat melihat semangat hidup di mata Haruna, aku merasa tidak takut lagi meski aku tak memiliki hari esok sekalipun. Setidaknya sebelum aku pergi, aku bisa menolong satu kehidupan. Selama jantung ini masih berdetak, aku ingin melindungi orang-orang terkasihku. Aku ingin tersus tersenyum disisi mereka, agar aku tak mempunyai penyesalan bila waktuku telah tiba.

"Haru-chan, ayo kita berfoto."

"Eh? Kenapa tiba-tiba?"

Aku tidak menunggu persetujuan Haruna dan langsung mengeluarkan ponsel. Kami berfoto dengan senyum cerah seperti keinginanku. Maaf Haruna, lagi-lagi aku egois. Padahal akan lebih mudah bagimu jika tidak banyak mengenangku, tapi aku tidak rela bila kau melupakan hari ini, juga diriku yang pernah berada disisimu. Satu saja, aku ingin kita berada difoto yang sama. Hingga saat melihat foto itu, kau bisa mengenang kebersamaan kita, hartakarunku.

Mungkin aku tidak memiliki kuasa apapun untuk mengubah kehidupan, atau menghapuskan luka. Namun selama jantung ini berdetak, aku ingin terus mengulurkan tangan hingga kau bisa bangkit tanpa bantuanku lagi.

Next To Part 4 (Last Part)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro