HASRAT TERPENDAM SANG IPAR (6)
Hanum POV
Aku menatap diriku di cermin kecil dalam kamar. Wajahku terlihat lelah, tetapi ada sesuatu yang berbeda di mataku—seperti percikan api yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Aku tahu apa yang membuatku merasa seperti ini. Dia. Mas Devan.
Mas Devan, sebuah nama yang seharusnya membuatku merasa segan, bahkan takut, tetapi entah bagaimana, justru membawa sensasi yang tidak dapat kutolak. Semua ini berawal dari pertemuan-pertemuan singkat, percakapan ringan, dan perhatian kecil yang sepertinya selalu diarahkan padaku.
"Aunty, ini dari papa." Suara kecil Raja yang berusaha mendorong pintu kamar, membuatku bergegas membantunya.
"Apa ini?" tanyaku sambil menerima bungkusan dari Raja.
"Cokelat," jawab Raja singkat.
Aku tersenyum lalu menerima cokelat itu. "Terima kasih ya, Sayang."
"Sama-sama. Da! Aku pergi dulu!" Dengan langkah kecilnya, Raja berlari menjauh.
Dering pengingat pesan membuatku beranjak dari posisi jongkok. Buru-buru aku membukanya setelah tahu itu dari Mas Devan. senyumku seketika mengembang.
From : Mas Devan
Cokelat buat kamu, biar tambah semangat. Dari tadi aku lihat kamu lesu. Lagi capek ya?
Aku segera menggulirkan jemariku di layar ponsel dan membalas pesan Mas Devan. Bagi anak perempuan yang sama sekali tidak pernah merasakan kasih sayang seorang Ayah, perhatian kecil dari Mas Devan terasa sangat berarti.
Buru-buru aku menghentakkan jemari di layar ponsel untuk membalasnya.
To : Mas Devan
Nggak capek tapi kesel sama Mas Devan. Kemarin baru tinggi-tingginya malah mati videonya. Habis itu nggak bisa dihubungi lagi.
Aku mendengus kesal. Kemarin saat kami vcs, Mas Devan tiba-tiba menghentikannya. Padahal aku sedang menikmati imajinasi liar.
From : Mas Devan
Maaf, Dek. Kemarin Mbakmu minta bantuan Mas. Gimana nih cara Mas buat menebus kesalahan kemarin.
Aku memilih mendiamkan Mas Devan agar dia mengejarku. Biar saja sementara dia merasa aku abaikan.
***
Hari ini adalah pembukaan toko baju Mbak Ajeng di Solo. Toko itu berdiri di atas tanah keluarga kami, sebuah mimpi yang akhirnya terwujud. Semua orang terlihat sibuk. Mbak Ajeng dengan senyum lebarnya, ibu yang terus mengatur segala hal, dan aku yang lebih sering menghilang untuk menghindari keramaian.
Aku sedang berdiri di sudut halaman ketika suara berat yang sangat kukenal memanggilku.
“Dek, ngapain di sini sendirian?”
Aku menoleh dan melihat Mas Devan mendekat, senyum hangatnya seolah menyapu dinginnya sore itu.
“Cuma cari udara segar, Mas,” jawabku singkat, berusaha terlihat biasa saja meski detak jantungku memacu cepat.
Dia tertawa kecil dan berdiri di sampingku, pandangannya menatap ke arah toko. “Kamu nggak bangga sama Mbak Ajeng? Dia berhasil, loh.”
Aku mengangguk pelan. “Banggalah, Mas. Tapi... aku nggak terlalu suka keramaian.”
“Pantesan dari tadi aku nggak lihat kamu di dalam.” Mas Devan mengelus puncak kepalaku. "Kamu cantik pakai outer ini."
"Ini salah satu koleksi di toko Mbak Ajeng," jawabku.
Mas Devan mendekat sambiI menarik daguku. "Iya, cantik. Kelihatan seksi, Mas suka," ucapnya sambiI mencium bibirku.
"Mas! Kalau sampai ada yang lihat gimana?" Aku mendorong tubuh Mas Devan.
"Nggak ada. Dikit aja." Mas Devan sekarang mencium leherku.
"Udah ah, Mas," elakku yang sulit menolak kenikmatan ini.
"Habisnya, kamu bikin Mas ngaceng terus sih." Mas Devan menjilat belakang telingaku. Bulu kudukku langsung meremang seketika. “Maafin Mas ya.”
“Nggak ah,” jawabku sambil menikmati setiap jilatan Mas Devan di belakang telingaku.
“Ayolah, Dek.” Mas Devan semakin merasuki dengan menciumi wajahku. Kening, pipi, hidung dan terakhir bibir.
Dia meraih pinggangku dan menempel pada tubuhnya. Aku bisa merasakan penis Mas Devan menonjol di balik celana.
Tangan Mas Devan perlahan masuk ke dalam bajuku dan meraba ke dalam. Jari-jarinya seperti memiliki mata untuk mencari kaitan braku dan melepaskannya.
“Ah, Mas.” Aku melenguh ketika basah bibir Mas Devan mengecup putingku dan menghisapnya.
“Oh, Mas!” Desahanku semakin meninggi ketika hisapannya semakin kuat. Pun jarinya meraba celana dalamku.
Dia beruntung karena hari ini aku mengenakan rok yang mempermudah gerakan tangannya.
“Udah becek gini,” ucap Mas Devan sambil mendongak. Dia melihatku dari bawah sambil tersenyum miring. “Pengennya,” godanya.
Aku hanya tersenyum penuh arti. Sepertinya Mas Devan tahu artinya.
Lalu tangannya menyodok vaginku. Membuat gerakan keluar masuk. Sementara bibirnya tidak berhenti memanjakan putingku dengan jilatan dan hisapan.
Astaga ini rasanya sangat nikmat. Bagian atas dan bawah tubuhku digempur habis-habisan oleh Mas Devan. Hisapannya, permainan tangannya sungguh membuatku gila.
Aku tidak bisa menahan diri lagi. Aku ingin melepaskan semua bajuku dan memainkan penis besar Mas Devan di mulut serta vaginaku. Aku benar-benar ketagihan.
“Ah, Mas. Terus,” pintaku saat jari Mas Devan dengan lihai mengocok vaginaku.
"Hanum!"
Percumbuan kami tidak berlanjut jauh, karena Mbak Ajeng tiba-tiba memanggilku. Terpaksa aku mendorong tubuh Mas Devan dan merapikan bajuku. Namun, Mas Devan Menarikku masuk ke dalam garasi mobil.
“Sebentar saja,” ucapnya yang lantas berlutut dan kembali memainkan jarinya di vaginaku.
“Mas, Oh! Nan…ti Mbak Ajeng tahu.” Antara nikmat dan takut bergulat di dalam hatiku. Aku tidak ingin melewatkan kenikmatan ini. Namun, di sisi lain aku sangat takut ketahuan.
“Nggak, sebentar saja,” kata Mas Devan yang sekarang kocokannya semakin cepat.
“Oh Mas!” Desahanku tertahan sebentar.
“Hanum!”
Suara Mbak Ajeng yang semakin dekat membuat Mas Devan membungkam mulutku. Sepertinya Mbak Ajeng ada di depan pintu garasi. Karena suaranya terdengar sangat dekat.
“Hanum!”
Aku benar-benar menahan desahanku saat Mas Devan mengocok klitorisku dengan gerakan memutar dan memainkannya dengan semena-mena.
“Hanum! Kemana sih dia!”
Aku memejamkan mata sambil meremas ujung rok yang terangkat ke atas. Kedua pahaku bergetar hebat. Rasa nikmat seolah mengumpul di vagina. Sarafku seolah sulit dikoordinasikan. Mas Devan semakin memainkannya dengan ritme yang cepat.
“Eumphhhhh.”
Aku tidak tahan lagi dan cairanku keluar. Mas Devan tersenyum miring. Dia menjilati tangannya yang dipenuhi cairanku sambil menggodaku dengan tatapan erotis.
“Hanum!” Teriakan Mbak Ajeng semakin keras.
“Sssst,” peringat Mas Devan lalu berbisik, “sembunyi di balik mobil. Biar Mas yang keluar dulu. Kamu enak banget.”
Aku hanya terdiam sambil menurut. Lalu Mas Devan membuka pintu garasi dan menutupnya dengan cepat.
“Sayang, cari siapa?”
“Cari Hanum. Mas lihat?”
“Nggak, mungkin di sana.”
Suara percakapan Mas Devan dan Mbak Ajeng perlahan menjauh. Lalu sambil mengendap-endap, aku keluar dari garasi. Dari kejauhan aku melihat Mas Devan mengelus puncak kepala Mbak Ajeng dan sesekali merapikan jilbabnya.
Aku mendengus kesal dan merasa kalau aku juga berhak bahagia. Maksudku, aku berhak bahagia bersama Mas Devan.
***
Acara pembukaan itu berlangsung sukses. Malamnya, semua orang berkumpul di rumah keluarga besar untuk makan malam. Tapi aku tahu, pikiranku tidak sepenuhnya hadir di sana. Saat yang kutunggu-tunggu adalah esok pagi, ketika aku dan Mas Devan akan kembali ke Semarang bersama.
Keesokan harinya, kami berangkat lebih awal. Mbak Ajeng semakin sibuk mengawasi toko barunya. Sementara Mas Devan masih ada urusan di kampus.
Perjalanan itu terasa aneh sekaligus menyenangkan. Kami berbicara banyak hal, dari hal-hal kecil yang remeh hingga pembicaraan serius tentang hidup. Aku tahu ini salah, tetapi ada kenyamanan yang kurasakan ketika bersamanya.
Di tengah perjalanan, Mas Devan menoleh padaku sambil tersenyum. “Dek, Mas punya sesuatu buat kamu.”
Aku mengernyit. “Apa itu, Mas?”
“Nanti aja, tunggu sampai kita di Semarang,” jawabnya dengan nada misterius.
"Apaan?" Aku penasaran.
"Nanti aja." Mas Devan bersikeras merahasiakannya.
"Ish, apa!" Aku mendesak Mas Devan.
"Nanti aja. Sayang," jawab Mas Devan sambil mengusap puncak kepalaku.
Aku lemah mendapatkan perlakuan seperti itu dan menurut begitu saja.
Sampai di Semarang, aku tidak langsung pulang ke kos. Sebaliknya, mobil Mas Devan ke arah berlawanan yang membawaku ke sebuah apartemen di pusat kota.
“Ini apa, Mas?” tanyaku heran ketika kami berhenti di depan bangunan megah itu.
Dia hanya tersenyum dan mengajakku masuk. Setelah beberapa menit naik lift, kami tiba di sebuah unit di lantai atas. Mas Devan membuka pintu dan mempersilakanku masuk.
“Ini apartemenmu sekarang, Dek.”
Aku membelalak kaget. “Apa maksudnya, Mas? Ini apartemen siapa?”
“Untuk kamu. Mas beli ini supaya kamu punya tempat yang nyaman. Mas nggak mau kamu terus tinggal di kos yang kecil itu.”
Hatiku berdesir. Aku tahu seharusnya aku menolak, tetapi kata-kata itu tidak keluar dari mulutku. Sebaliknya, aku hanya berdiri mematung, tidak tahu harus berkata apa.
“Mas nggak main-main, kan?” tanyaku pelan.
“Hanum, kamu pikir Mas bercanda?” Dia menatapku serius. "Mas ingin kamu bahagia.” Mas Devan mencium leherku. "Emang kamu nggak mau mas lebih leluasa nemuin kamu di apartemen ini?”
"Maulah Mas,” jawabku spontan.
TO BE CONTINUED….
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro