18. Menyendiri
Sebenarnya cerita bang Isaac ga ada niat untuk diebookin karena di Karyakarsa sudah ada paketannya. Tetapi karena dm beberapa pembaca yang mau diebookin dan rupanya pembaca author tidak hanya ada di Indonesia, jadi ya akhirnya diputuskan untuk dibuat ebooknya. Penggemar ebook, harap merapat langsung ke playbook, ya. Mulai hari ini sudah tersedia di sana. Linknya tercantum di beranda. Tinggal diklik
Part 18 Menyendiri
“Aku ingin ke rumah mamaku.”
Isaac berhenti menuangkan air putih di gelas. Tangannya bergetar menahan emosi dan meletakkan teko tersebut ke meja nakas. Begitu keras hingga airnya tumpah.
Naya mengambil gelas yang sudah sangat penuh dan mengambil beberapa tegukan untuk membasahi tenggorokannya. “Tampaknya kau butuh waktu untuk dirimu sendiri. Tanpa gangguan dari kami.”
“Apa?”
“Kau tak punya alasan untuk melarangku, Isaac. Apa pun itu yang ada di pikiranmu saat ini. Dengan semua keraguan yang memenuhi kepalamu.”
“Sekarang kau melarikan diri dariku?”
“Kau boleh menganggap apa pun yang kau pikirkan tentang aku.”
Isaac menggeram.
“Dan aku tahu kau akan membiarkanku pergi.”
“Seolah kau lebih tahu tentang diriku, hah?”
“Kau akan membiarkanku pergi karena kau lebih peduli dengan anak ini jika anak dalam kandunganku adalah milikmu, dan kau juga tak berhak melarangku pergi karena anak ini bukan milikmu.”
Belum pernah Isaac merasa terjepit seperti saat ini. Dua pilihan yang membuatnya tak berkutik.
Naya menahan perih yang teramat. Sejauh ini, ia bertahan dengan semua kata-kata dingin Isaac, untuk setidaknya pernikahan yang pria itu inginkan. Karena pria itu -mungkin- masih menginginkannya. Pun hanya tubuhnya. Pun untuk mengandung anak pria itu. Pun jika pria itu menghamilinya karena mertuanya yang begitu mengharapkan cucu darinya. Naya bisa bertahan dengan semua itu.
Tapi … dengan keraguan Isaac pada dirinya. Pada anak dalam kandungannya. Naya merasa telah kehilangan alasan untuk bertahan.
“Satu minggu cukup?” Isaac menekan kuat-kuat amarah yang siap meledak. Mempertahankan kesabarannya yang sudah ada di ujung. Dan entah bagaimana, kesabarannya menunggu Naya seolah tak ada habisnya.
Satu anggukan pelan Naya dan Isaac berjalan keluar kamar. Naya menghabiskan semua air putih yang ada di gelasnya dan berbaring. Ia butuh mengumpulkan udara untuk perjalanan ke rumahnya besok. Perutnya sudah terasa lebih nyaman begitu pembicaraannya dan Isaac yang memanas berakhir dengan cepat.
‘Kandunganmu …’
‘Apa pedulimu dengan kandunganku?!’ Naya menyentakkan tangan Isaac dari perutnya. Merangkak naik ke tempat tidur dan berbaring.
Naya menatap tempat sampah di samping ranjang. Sekali lagi melihat lembaran-lembaran foto tersebut dengan perasaan yang janggal. Ada banyak gambar dirinya dan Aariz yang duduk berdua. Lebih sedikit ketika bersama Aaron dan lebih sedikit lagi yang menampilkan ketiganya bersama. Tampak seperti keluarga kecil yang tengah berbahagia, di taman dan juga di area bermain anak. Tergantung di mana Aariz ingin menghabiskan waktu dengan Aaron.
Naya mengamati lebih lekat. Foto itu diambil dari jarak yang tak begitu jauh. Beberapa gambar diambil di halaman belakang rumah Aariz. Ada juga yang saat mereka berada di ruang tengah dan ruang keluarga kediaman Ravindra. Tidak berlebihan jika Naya berpikir gambar itu diambil oleh Aatma ataupun Livia.
***
Esok paginya, Isaac sendiri yang mengantar Naya dan Aaron ke luar kota. Tempat mama Naya tinggal. Setelah menempuh dua jam perjalanan, dengan dibantu salah satu pengasuh untuk membawa Aaron turun, Naya membuka pintu bagasi.
“Papa?” Suara Aaron yang lirih memanggil Isaac. Kedua lengan mungil bocah itu terulur dan Isaac meletakkan dua tas yang baru diambilnya dari bagasi sebelum menggendong anak tirinya tersebut.
Naya menunggu sejenak, sampai Aaron mau diturunkan dan melewati pagar setinggi dada bersama si pengasuh.
“Hai, cucu nenek.” Rosa berjalan keluar dari dalam rumah. Melebarkan lengan dan segera memeluk Aaron yang tertawa senang. Gelak tawa keduanya segera menyelimuti area depan rumah Rosa.
Isaac mengulurkan tangan untuk menjabat tangan sang mertua yang raut wajahnya tiba-tiba berubah datar. Membawa masuk dua tas berisi barang-barang Naya dan Aaron ke dalam rumah dan tak lama kemudian keluar. Berpamit dengan memberikan satu anggukan pada Rosa lalu masuk ke dalam mobil.
Bibir Naya sudah bergerak untuk bertanya apakah pria itu akan langsung pulang? Kenapa tidak istirahat sebentar setelah menyetir dua jam lebih? Kecemasan menyelinap ke dalam dadanya menatap bagian belakang mobil Isaac yang menghilang di ujung jalan. Pria itu bahkan tidak membawa sopir untuk bergantian menyetir.
“Ck, dia bahkan tak sudi menginap di gubuk mama, kan? Orang kaya selalu seperti …”
“Ma?” Naya segera menghentikan ketidak sukaan sang mama yang mulai mengembang menjadi kebencian terhadap Isaac.
Rosa mendengus pelan dan berjalan masuk lebih dulu, meninggalkan Naya yang masih digeluti kecemasan pada Isaac.
Dua jam kemudian, Naya baru merasa lega setelah menghubungi salah satu pelayan di rumah yang mengatakan kalau Isaac baru saja sampai. Tetapi kemudian tersadar kemarahan dan sakit hati yang masih mengendap di dadanya oleh pria itu.
***
“Kalian sedang bertengkar, bukan?” celetuk Rosa di suatu siang ketika melihat Naya yang kembali meletakkan ponselnya di meja. Beberapa kali dengan keraguan di raut wajahnya yang tak bisa disembunyikan. “Kau tak pernah berkunjung selama ini. Dia sudah membuangmu, kan? Berapa kali mama memperingatkanmu?”
“Tidak seperti yang mama pikirkan.”
“Apa dia berselingkuh?”
Keraguan itu kembali menyelimuti perasaan Naya. Leela adalah kekasih Isaac, dan masih menjadi kekasih Isaac di tengah pernikahan mereka. Wanita itu masih berada di sekeliling Isaac, selalu menemani Isaac di setiap acara dan makan malam bisnis. Juga di pesta-pesta penting lainnya. Tak banyak yang tahu tentang pernikahannya dan Isaac selain teman-teman mertuanya yang sering mengadakan pesta dengan membawa Aaron dan dirinya.
“Ck, wanita itu berada di lingkungan yang sama dengannya, kan? Tak ada keuntungan apa pun dia menikahimu, Naya. Kenapa kau masih saja naif? Kau pikir semua kemewahan yang diberikannya padamu adalah sesuatu yang gratis?”
“Ini tidak ada hubungannya dengan semua itu, Ma. Kami menikah karena ….”
“Saling mencintai?” sambar Rosa dengan emosi yang mulai mengambang naik. “Kau bercerai dengan Aariz karena masih saling mencintai. Setidaknya Aariz sedikit lebih rendah diri dan memiliki hati yang tulus.”
“Mama tidak benar-benar mencoba mengenal Isaac.”
“Mama mengenalnya. Pria kaya yang sombong dan arogan. Manipulatif dan picik.”
“Mama melihat apa yang ingin mama lihat dari Isaac. Begitu pun pada Aariz.”
“Mereka memang orang yang berbeda.”
“Dan sama-sama berasal dari keluarga yang mapan.”
Bibir Rosa menipis kesal. “Bahkan setelah dia mencampakkanmu, kau masih membelanya?”
Naya beranjak dari duduknya. Lagi dan lagi pembicaraannya dan sang mama tidak berakhir baik. Ia benar-benar merasa jengah setiap kali harus dipaksa mengikuti opini sang mama tentang Isaac. Pun mungkin Isaac memang seperti itu. Entah kenapa pembelaannya terhadap Isaac keluar begitu saja. Atau ia hanya ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa pilihannya benar. Bahwa mendatangi Isaac untuk meminta bantuan pada pria itu adalah keputusan yang benar. Keraguan itu kembali menyelinap ke dalam hatinya.
Sudah seminggu. Tepat seminggu ia berada di rumah mamanya. Tetapi Isaac tidak menghubunginya. Sama sekali sepanjang minggu itu. Bahkan sekedar bertanya apakah ia akan kembali hari ini atau besok. Atau mungkin pria itu tidak mengharapkan kepulangannya.
Ya, dengan keraguan pria itu tentang anak dalam kandungannya, Isaac tak mungkin sudi melihatnya lagi, kan?
Jadi, seperti inikah cara pernikahannya kali ini harus berakhir?
Air matanya meleleh. Telapak tangannya menempel di perut, mengusap tonjolan di sana dengan lembut.
‘Kenapa kau selalu berpikir aku lebih mencemaskan Aaron dibandingkan anak dalam kandunganku saat ini?’
‘Memang, kan?’
‘Mereka sama-sama anakku.’
‘Bedanya, kau mencintai ayah kandung Aaron, sudah tentu dia yang paling ada di hatimu.’
Kata-kata Isaac berputar memenuhi benaknya. Pria itu masih berpikir dirinya mencintai Aariz. Naya seketika tersadar. Ya, dengan semua pemikiran semacam itu di kepala Isaac, yang kemudian dibuktikan dengan semua foto-foto itu. Naya pun akan meragukan dirinya sendiri.
Naya mengambil ponselnya, kali ini dengan kemantapan, ia menghubungi nomor Isaac. Tapi terpaksa menelan kekecewaan karena nomor pria itu yang tidak aktif. Tak biasanya nomor pria itu tidak aktif. Dan dada Naya terasa seperti dicubit oleh tangan tak kasat mata membayangkan kemungkinan pria itu sedang sibuk dengan Leela.
***
Naya menarik tertutup gorden di jendela kamar tamu. Satu-sartunya kamar tamu yang ada di rumah mamanya. Aaron sudah terlelap di boks bayi tua miliknya yang masih terawat. Putranya itu tidak bisa diam, bahkan saat tidur. Jadi tak mungkin dibiarkan tidur di ranjang rumahnya yang cukup tinggi. Berbeda dengan kamar tidur Aaron di rumah Isaac yang lebih rendah dan dilengkapi pagar di sekeliling sebagai pengaman. Lagi-lagi semua itu mengingatkan dirinya akan perhatian kecil Isaac pada putranya.
“Sepertinya akan turun hujan, Nyonya,” senyum Serin. Membawa tumpukan kecil pakaian Aaron yang sudah dilipat di atas keranjang mainan putranya.
“Ya, sepertinya.”
“Apa kita akan berkemas malam ini?”
Naya mengernyit. “Besok pagi saja.”
“Baik, Nyonya.”
Naya mendekati boks bayi. Mendaratkan ciuman sangat pelan di kening Aaron dan keluar. Pintu kamar mamanya sudah tertutup dan kemungkinan sang mama sudah bersiap tertidur. Ia pun naik ke atas, satu-satunya kamar yang ada di lantai dua.
Dan benar saja, suara gemuruh terdengar dari kejauhan dan tak menunggu lama hujan mengguyur. Naya berbaring miring, menatap jendela kamar yang gordennya dibiarkan terbuka setengah. Menatap rintik hujan yang mulai membasahi kaca jendela, perlahan rasa kantuk mulai membawanya tidur.
Rasanya Naya baru saja terlelap ketika dikejutkan suara petir yang keras mengejutkannya. Turun dari ranjang, Naya berniat melihat sang putra. Dan baru saja menginjakkan kakinya di lantai satu ketika tiba-tiba cahaya dari pagar rumah menghentikan langkahnya.
Naya berjalan ke pintu, suara hujan yang deras terdengar lebih keras saat pintunya terbuka. Wanita itu melangkah ke teras dan pandangannya menerobos hujan yang lebat. Mengarah pada mobil yang diparkir di depan pagar dan lampunya dimatikan. Matanya memicing untuk memastikan pandangannya. Seseorang melompat turun dan membuka pagar rumahnya. Dan wanita itu tercengang menemukan sang suami yang basah kuyup menerobos hujan yang deras mendekatinya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro