15. Sudah Muak
Kalau babnya bisa dibuka, komen ya. Kemarin kayakmya wattpad lagi eror. Up berkali-kali ga bisa, posting diberanda juga ga bisa. Draft semuanya ilang. Untung ini pagi sudah balik, jadi tinggal diup
Selamat membaca...
***
Part 15 Sudah Muak
Naya turun dari mobil taksi yang ditumpanginya. Mengabaikan panggilan dari sang mama yang tak akan berhenti sampai ia mengangkatnya, tetapi mungkin dengan mematikannya, itu akan berhenti membuatnya merasa gusar pada ibu kandungnya sendiri.
Jam 10 lebih 13 menit dan tentu saja mobil Isaac sudah terparkir di carport. Ia bergegas masuk ke dalam rumah dan sepertinya akan lebih cepat jika ia menaiki anak tangga untuk naik ke atas. Pintu kamarnya tertutup rapat, begitu pun dengan ruang kerja Isaac yang lampunya sudah mati. Ya, sepertinya pria itu sudah menyelesaikan lemburnya 13 menit yang lalu. Atau tidak, lanjutnya dalam hati saat masuk ke dalam kamar yang lampu yang diketahuinya sudah mati. Dan sedetik kemudian menyala dengan terang saat Naya menutup pintu di belakangnya.
Wanita itu berdiri membeku, dengan tangan masih memegang gagang pintu. Melihat Isaac duduk di tengah sofa panjang. Jas, dasi, dan sepatu pria itu berserakan di sekitar meja. Sementara dompet, ponsel, dan kunci mobil tergeletak berantakan di meja dengan botol anggur dan gelas yang sudah kosong. Tampaknya botolnya juga sudah kosong.
Kedua lengan Isaac terbuka di punggung sofa, salah satunya memegang remot lampu dan tangan yang lain memegang botol anggur. Kepala pria itu terdongak, menatap langit-langit di atas.
“Isaac?” Naya menurunkan tas dari pundaknya dan berjalan perlahan. Tak hanya meja dan barang-barang Isaac yang berantakan di sekitar pria itu. Beberapa kancing teratas pria itu tidak dikancing, ujung kemejanya sudah keluar dari sabuk di pinggang. Pun rambut di kepala pria itu. Beberapa helai menutupi sebagian mata pria itu yang terpejam, tetapi Naya tahu Isaac tidak sedang tidur tidur.
Mata Isaac terbuka dan kepalanya menoleh dengan seringai di ujung bibir. “Baru pulang?”
Naya menelan ludahnya. Ketakutan mendadak merebak di dadanya. “Maaf, aku tak sempat memberitahumu.”
Isaac terkekeh, melempar remot di tangannya ke jendela balkon dan percahan kaca berhamburan dari balik gorden. Yang kemudian bergerak-gerak tertiup angin malam dari arah luar.
Naya tersentak dan langkahnya membeku. Ya, seharusnya ia memberitahu Isaac akan mengunjungi mamanya. “Aku pergi …”
“Menemui Aariz?” penggal Isaac dalam dengusan kasar. “Sepertinya sangat sibuk hingga tak sempat mengabariku.”
“A-aku …”
Tangan Isaac terangkat, mencegah alasan-alasan omong kosong yang sama sekali tak dibutuhkannya. Dadanya sudah bergemuruh oleh kecemburuan. “Ah, aku lupa. Aku tak akan ikut campur semua urusan kalian berdua tentang Aaron. Tapi … sepertinya pertemuan kalian begitu penting hingga kau juga lupa kalau aku suamimu, ya?”
Naya menggigit bibir bagian dalamnya. Wajah Isaac memerah. Tampaknya pengaruh alkohol dan amarah yang meluap-luap. Kedua mata pria itu tampak dipenuhi badai, siap menerjang dirinya.
Isaac menegakkan punggungnya. Meletakkan botol di tangannya ke meja dan menggunakannya sebagai tumpuan saat bangun berdiri. Berjalan perlahan dengan langkah yang sedikit terhunyung ke arah Naya. Kedua tangannya melepaskan sisa kancing yang masih terkait, melepaskan sabuk di pinggangnya dan berhenti tepat di depan tubuh Naya yang menahan gemetar ketakutan.
“Kau sudah makan?” Naya berusaha bersuara. Pandangannya tak berani menatap langsung pada mata Isaac. Dan melihat pria itu yang masih mengenakan pakaian kerja, kemungkinan besar pria itu belum makan malam.
Tangan Isaac menangkap ujung dagu Naya, membawa wajah pria itu mendekat ke wajahnya yang tertunduk dalam. Mata wanita itu terpejam, dan ia bisa merasakan gemetar di bibir Naya yang menipis. “Sekarang aku lapar.”
Napas Naya tertahan, aroma alkohol yang pekat menusuk hidungnya dengan keras, memancing rasa mual di perutnya. “A-aku akan menyiapkan makan malammu,” cicitnya berusaha melepaskan pegangan Isaac di wajahnya.
“Tidak perlu.” Isaac melepaskan pegangannya di wajah Naya, beralih pada pinggang wanita itu dan membawanya ke tempat tidur. Tubuh keduanya jatuh di tengah ranjang, setengah menindih tubuh Naya dan berbisik tepat di atas wajah sang istri. “Makanannya ada di sini.”
Naya merasa kepalanya mulai pusing dengan ciuman kasar Isaac, juga merasa tak nyaman dengan sentuhan pria itu yang disengaja untuk menyakitinya. Namun ia menyadari kesalahannya terhadap pria itu dan tak bisa -sekaligus tak dibiarkan- menolak keinginan pria itu terhadap tubuhnya.
Malam itu, Isaac benar-benar tak membiarkannya begitu saja. Pria itu melampiaskan hasrat yang seolah tak ada habisnya hingga lewat tengah malam. Membuat Naya kehabisan tenaga dan tertidur karena kelelahan. Paginya, ia dibangunkan oleh lonjakan keras di dalam perut.
Muntah kali ini lebih berat dari sebelumnya. Menguras habis seluruh tenaganya yang bahkan belum pulih seutuhnya. Juga pusing yang semakin menusuk kepala. Beruntung pagi itu Isaac sudah berangkat ke kantor pagi-pagi sekali. Sehingga ia tak mengusik tidur pria itu.
Keluar dari kamar mandi, pelayan membersihkan meja dan pecahan kaca di jendela. Sementara dirinya kembali berbaring karena mendadak tubuhnya terasa menggigil. Mata Naya kembali terpejam dengan cepat.
***
“Ke mana istriku?”
“Beliau ada di kamar …”
“Aaron?” desis Isaac tajam.
“Tidak, Tuan.” Pelayan itu menggeleng. “Sejak pagi …”
Isaac tak perlu mendengar alasan itu selesai. Ia hanya butuh mengetahui keberadaan Naya, yang lagi-lagi tak menyambut kepulangannya. Seolah pelajaran tadi malam masih belum membuat wanita itu sadar. Menyulut amarahnya dengan mudah dan membawa tubuhnya melintasi ruang tamu dengan cepat. Naik ke lantai dua menggunakan anak tangga dua-dua sekaligus, bersama gemuruh amarah yang semakin menjadi di dadanya.
Kernyitan menumpuk di keningnya menemukan Naya yang duduk di tepi ranjang. Baru saja meletakkan ponsel di nakas. Ck, amarahnya yang mendidih naik ke ubun-ubun. Tangannya terkepal ingin membanting benda sialan itu. “Kau tidak turun?”
Naya tersentak, kepalanya berputar dan terkejut dengan keberadaan Isaac. Saat itulah ia menengok jam di nakas. Jam enam lewat. Wanita itu lekas berdiri dan berjalan mendekat. “Kau sudah pulang?”
Isaac melemparkas jas ke arah Naya saat melonggarkan ikatan dasinya. Menariknya dengan kasar dan melemparnya pada wanita itu lagi. “Apakah begitu sulit melakukan sedikit tugas yang kuminta darimu sebagai seorang suami?”
Naya tertunduk, lagi-lagi tak akan membantah kekesalan Isaac. Ia baru saja bangun jam enam kurang sepuluh menit. Cepat-cepat mengganti pakaiannya dan hendak turun ke bawah ketika ponselnya berdering. Lagi-lagi pembicaraannya dengan sang mama tak berakhir baik dan mengulur waktunya. Saat kemudian tersadar, Isaac sudah naik ke atas dengan kesal.
“Apakah sesulit itu aku ingin pulang kerja dan disambut oleh istri dan calon anakku?” ulang Isaac, dengan dengusan yang lebih tajam.
“M-ma …”
Naya tak pernah menyelesaikan kata maafnya, Isaac menyambar sikunya dan menyeretnya ke dalam kamar mandi. Membawa wanita itu di bawah guyuran air. Naya tersentak menggigil dengan air dingin yang tiba-tiba mengguyur kepalanya. Ditambah pusing yang semakin menusuk. “I-isaac, kepalaku pusing.”
“Lagi-lagi kau menolakku,” desis Isaac, menghimpit tubuh Naya ke dinding kamar mandi yang dingin.
Naya menggeleng. “T-tidak. Bukan seperti itu.”
“Baguslah.” Isaac menyambar bibir Naya. Yang tak lagi meronta, dan menolak keinginannya tentu saja.
***
“Di mana istriku?” Lagi-lagi Isaac dibuat mencari keberadaan Naya yang tidak ada di ruang makan.
Pelayan tersebut tampak kesulitan menyembunyikan ketakutannya akan wajah sang tuan yang segera menegang. “Setelah menyuruh kami menyiapkan meja makan, kepala beliau pusing dan hendak istirahat, Tuan.”
“Pusing?”
Pelayan itu mengangguk. “Sejak pagi beliau demam dan …”
“Demam?” Isaac yang sudah mengambil satu langkah untuk keluar dari ruang makan, tiba-tiba berhenti. “Siapa yang bilang?”
Pelayan itu tersentak dengan suara Isaac yang setengah membentak, lalu menjawab dengan lirih, “S-saya.”
“Apa?!”
“T-tadi pagi, saat saya mengantar sarapan ke atas, beliau menggigil dan tubuhnya panas. Tapi nyonya tidak mau diperiksa oleh dokter atau pergi ke rumah sakit.”
Isaac terpaku sejenak. “Lalu kenapa kau tidak memberitahuku, hah?”
“S-saya sudah memberitahu Tuan saat …”
Pria itu berbalik, bergegas ke lantai dua. Ya, ia menyadari wajah Naya yang pucat dan tubuh wanita itu yang lebih hangat dari biasanya. Naya juga sudah mengatakan kalau kepalanya pusing, tetapi ia sudah terbutakan oleh kecemburuannya dan menganggap semua itu hanya alasan.
Begitu keduanya selesai mandi, ia meninggalkan wanita itu di kamar mandi, mengenakan pakaiannya denga nasal dan pergi ke ruang kerjanya untuk menyendiri. Sampai pelayan memberitahunya kalau meja makan sudah siap.
Begitu sampai di kamar, wanita itu sudah berbaring dengan selimuti setinggi pundak. Sementara rambut wanita itu yang masih lembab, bertebaran di Sekitar bantal. Tangan Isaac terulur, menempelkan telapak tangan di kening Naya. Yang kemudian matanya terbuka.
“I-isaac?” Naya terkejut, mengedipkan mata beberapa kali untuk menyakinkan pandangannya. Tubuh Isaac membungkuk di sampingnya dengan kernyitan yang dalam di kening.
“Kau sakit?”
Naya berusaha bangun terduduk sambil menyingkirkan tangan Isaac di keningnya. “Hanya pusing. Kau sudah makan?”
“Dan demam,” sinis Isaac. Pandangannya mengikuti tangan Naya yang mendorong tangannya menjauh. Seolah wanita itu tak tahan disentuh olehnya.
“Sedikit.”
Tangan Isaac kemudian menyentakkan selimut dari tubuh Naya. “Kita ke rumah sakit sekarang.”
“Tidak perlu.”
Bibir Isaac menipis. Lagi-lagi penolakan Naya sukses menyulut kekesalannya.
“Aku hanya ingin istirahat. Besok pagi ….”
“Terserah kau,” bentak Isaac. “Aku sudah muak dengan semua penolakanmu.”
Naya sempat terperangah dengan bentakan tersebut. “A-aku tak bermaksud menolakmu, Isaac. Tapi ini hanya …”
“Pastikan saja penyakitmu ini tidak sampai membuat anakku terpengaruh,” sambar Isaac lebih kasar.
Hati Naya mencelos, menahan air matanya tak sampai tumpah saat pria itu membanting pintu kamar tertutup. Beberapa kali menghela napas demi meredakan sesak yang begitu mencengkeram dadanya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro