Bab 4
Sejauh ini, Leo cukup merasa puas hanya dengan mendengar kabarnya saja. Atau sesekali ia melihatnya dari jauh. Seperti kali ini, secara tak sengaja ia kembali bertemu dengan gadis itu setelah satu bulan dari ia menurunkannya tengah malam di underpass itu.
Matanya nyaris tak berkedip ketika gadis itu memasuki restoran dengan seorang laki-laki. Sial! Leo mengakui laki-laki berkulit sawo matang itu sempurna. Ia terdiam dengan sesak napas yang tiba-tiba melanda. Gadis itu membiarkan rambut ikal gantung alaminya tergerai, menyempurnakan riasan tipis di wajahnya.
Itu pacar baru Gina? Batinnya. Diakui atau tidak, perasaannya kini menjadi campur aduk. Ia ingin angkat kaki, menyeret gadis itu menjauh. Tapi sayang, ia hanya bisa duduk diam dengan tangan menggenggam kuat sendok dan garpu.
"Ada apa?" tanya seorang perempuan di hadapan Leo. Rupanya seseorang di hadapannya itu menyadari perubahan sikapnya.
"Nggak. Mendadak ingat ada kerjaan yang harus diselesaikan segera," jawab Leo berbohong.
Perempuan di hadapannya itu mengulum senyum. Ia menyendok makanannya tanpa suara dan gerakan yang teratur. "Sibuk banget, ya, kamu. Wajar sih rasanya kalau akhirnya kamu bisa sesukses ini. Tante Bela pasti bangga sama kamu."
Laki-laki itu hanya tertawa lirih. Ia sama sekali tidak berminat menanggapi obrolan itu. Fokusnya saat ini hanya pada gadis yang baru datang. Di matanya, saat ini gadis itu seolah tidak peduli. Seolah-olah tidak melihat dirinya. Padahal jelas, Leo melihat gadis itu melirik kepadanya saat melintasi mejanya.
"Pasti beruntung banget cewek yang jadi istri kamu nanti. Oh ya, btw, kamu ada semacam kriteria khusus nggak sih?"
Ia kembali hanya mengangguk-angguk. "Nggak ada. Eh, gimana?"
Leo kembali memfokuskan tatapannya pada lawan bicara ketika menyadari ada yang berisiko menimbulkan salah paham. Gadis itu kembali mengulang pertanyaannya.
"Kriteria. Ada nggak?"
"Belum tahu. Belum kepikiran juga ke arah sana. Maybe next kalau udah kepikiran, baru ada kriteria. Kenapa?"
"Nggak. Nanya aja. Masa belum ada ketertarikan? Satu kali pun?"
Leo mengedikkan bahu. Tatapannya kembali tertuju pada satu sudut. Ia kembali menahan napas ketika mendapati gadis itu terlihat asyik mengobrol dengan seorang laki-laki. Bahkan, senyumnya selalu terkembang saat berbicara. Dulu, ia pernah ada di posisi itu. Miris! Batin Leo kembali berdecih.
"Sella, sorry, aku nggak bisa lama-lama. Bilang sama Tante, aku udah pulang duluan."
Ia beranjak tanpa menunggu persetujuan dari gadis itu. Makanan yang sudah datang tidak disentuhnya sama sekali. Laki-laki itu hanya menggenggam peralatan makan. Entah apa yang menganggunya, ketika Sella mengedarkan tatapannya ke penjuru restoran, ia tidak mendapati apapun. Sella hanya bisa menahan sesak sambil menatap kepergian laki-laki yang sedang dikenalkan dengannya itu.
"Lho, Leo kemana, Sell?" tanya seorang wanita dengan blouse tunik warna biru ketika datang tidak ada anak laki-lakinya di tempat.
"Barusan pergi, Tante. Katanya ada kerjaan mendadak," jawab Sella berbohong. Padahal ia tahu, Leo tidak tertarik untuk duduk sedikit lebih lama lagi dengannya.
"Oh," jawab Tante Bella tercekat. Bibir merahnya lantas memaksakan sebuah senyum, "Maafin, ya, Sella. Leo kayaknya lagi banyak kerjaan. Nanti kalau ada waktu luang, Leo pasti bisa."
"Nggak apa-apa, Tan. Jangan dipaksa. Aku ngerti, kok." Pun sama dengan gadis itu. Meskipun kecewa, ia tetap memaksakan sebuah senyuman untuk Tante Bela.
***
Dari tempat duduknya, Regina melihat laki-laki itu tidak sendirian. Cantik. Itu kata pertama yang keluar begitu melihat perempuan yang duduk di depan Leo. Meski ada sesak yang menghampiri, ia mencoba untuk tetap baik-baik saja. Tahu kabarnya saja rasanya sudah cukup. Kalau ditanya ikhlas, rela atau tidak Regina pasti memilih menjawab apapun itu yang terbaik untuk Leo. Bagaimanapun semua masa lalu itu mungkin memang seharusnya dianggap sudah berakhir.
"Serius, aku tinggal kamu nggak apa-apa? Kenapa nggak ikut aja?" tanya laki-laki di hadapannya, membuyarkan lamunan Regina.
Gadis itu tertawa kecil. Kepalanya menggeleng, "nggak apa-apa. Sebentar lagi teman-teman aku datang, kok. Kalau nanti kamu butuh bantuan, anytime telfon aja. Jangan sungkan."
"Makasih banyak, lho. Jarang banget aku bisa ketemu rekan bisnis yang asyik kayak gini. Mungkin nanti weekend kalau ada waktu, aku traktir kamu."
"Iya, nanti berkabar aja," jawab Regina dengan ramah, "Nah, tuh, teman-teman aku datang."
Gadis itu menunjuk ke arah pintu. Ada tiga perempuan masuk langsung melambaikan tangan ke arahnya tanpa memperhatikan keadaan sekitar.
"Panjang umur, ya. Ya udah, kalau gitu, aku pamit dulu, ya. Sampai ketemu lagi nanti."
Ia melambaikan tangan dengan senyum lebar melepas kepergian Samudra. Kerja sama bisnis Batik membuatnya jadi sering bertemu dan berkomunikasi dengan laki-laki berdarah jawa itu. Tidak berapa lama, teman-teman sejak SMPnya duduk mengisi kursi-kursi yang kosong.
"Siapa?" tanya seorang gadis berambut lurus sambil memperbaiki posisi duduknya.
"Kenapa? Ganteng ya?" ledek Regina dengan kerlingan matanya, "teman bisnis, Sya."
"Tapi bisa kan jadi teman yang lain?" goda gadis berhijab abu-abu.
"Btw, di parkiran, gue ketemu sama Leo. Inget nggak? Udah lama banget kan nggak ketemu," ucap Beauty vlogger bernama Mariska sambil membuka buku menu. Semua mendadak diam, termasuk Regina. Gadis itu memberikan tatapan tajamnya agar Mariska segera menutup obrolannya. Gadis ini adalah satu-satunya orang yang tahu kisah tersembunyi dari Regina dan Leo.
"Leo?" Sasya dan Dinda membeo dengan raut wajah penuh tanya.
"Iya. Temennya Mas Mark. Masa kalian lupa. Oh ya, gimana kabar kalian, guys? Susah ya, sekarang cari waktu buat ngumpul lagi." ucap Mariska sambil mulai membelokkan topik pembicaraan.
Dalam diam, Regina mulai bernapas lega. Mereka tidak lagi membicarakan laki-laki yang rupanya kini sudah menemukan yang lain. Ah, mengingat kembali hal yang tadi, mendadak seperti ada lubang hitam tercipta di hatinya. Namun, gadis itu terlihat mampu menyembunyikannya dengan baik.
"Dia masih sendiri tau, Na," ucap Mariska tiba-tiba begitu dua temannya sedang ke toilet. Gadis itu informan handal dan terpercaya tanpa harus diperintah.
"Kita udah masing-masing, kok, Ris," sahut Regina lirih. Bibirnya tersenyum. Namun gadis berambut coklat tahu apa yang Regina coba sembunyikan.
"Mau sampai kapan membohongi diri?" tanyanya sembari mengaduk minumannya dengan sedotan.
Gadis itu tidak segera menjawab. Ia mengedikkan bahu lalu tertawa lirih. Helaan napas panjang terdengar meskipun tidak terlalu keras. Tatapannya kini menerawang jauh.
"Gue nggak sedang membohongi diri. Cuma mungkin, butuh waktu lebih lama untuk memaafkan."
Mariska berdecih, "terlalu lama dipendam masalahnya. Coba lo luapin aja. Ada orangnya kan?"
"Nggak tahu, ya," Regina bersandar pada sandaran kursi dengan tangan terlipat di dada, "Kayaknya nggak bisa aja marah di depan dia. Pengen gitu sekali-kali gue tumpahin semua ke dia. But at the end, ketika gue ada kesempatannya, gue nggak bisa ngomong apa-apa. Even dia bikin kesalahan baru, ya ampun, Ris. Mana bisa gue marah kayak lo di depan orangnya."
"Mungkin belum waktunya aja kali," ledek Mariska. Ia tahu benar, Regina bukan tipikal perempuan dengan segudang kesabaran. Tapi ketika berhadapan dengan Leo, yang sama-sama minim kesabaran, mendadak gadis itu menjadi ibu peri.
"Oh ya, gue sempat teguran sama Leo tadi. Doi sempat nanya kabar lo. Ya, gue bilang aja lo baik-baik aja meskipun masih sendiri."
"Hei! Mariska! Nggak gitu juga jawabnya. Bilang aja udah bahagia. Nggak perlu ditambahin apa-apa."
"Lho, emang beneran udah nutup celah buat dia? Yang barusan beneran cowok baru lo?"
Regina tertunduk, "ya, nggak juga. Cuma nggak penting aja lo bilang ke dia kalo masih sendiri. Ketawalah dia. Mana dia udah punya gandengan. Ah, lo mah."
"Masa sih? Masih sendiri tau, Na. Dih, lo nggak percayaan."
"Gue lihat sendiri, Ris. Sama perempuan dia."
"Mau gue tanyain? Gue tadi sempat save nomor dia."
"Hah? Gimana?"
Mariska seketika terdiam. Gadis itu lantas beranjak dengan alasan ke toilet. Sementara Regina termenung. Saat ini, hatinya kembali mencibir, memangnya kenapa kalau Leo masih sendiri?
***
Tbc
28 Agustus 2024
Salam,
S. Andi
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro