Part 69 : Hellevator
" Surga dan neraka itu ada sama halnya dengan dunia yang dipijak sekarang ini. Hidup bagaikan neraka adalah penderitaan dan hidup bahagia bagaikan surga."
(Author**** POV)
Wajah itu babak belur tapi Yoongi tak akan memberi ampun, dia membawa orang itu pada sebuah gudang bekas tak jauh dari tempatnya hanya saja disini sepi. Saking sakit dan tak bisa menahan pria malang itu meringis dan pada akhirnya menyerah meminta ampun.
Dengan keras Yoongi menarik rambut itu dan menatap wajah bengkaknya dengan sadis. "Katakan atau aku akan membuat bekas itu semakin melebar." Membuang acuh wajah itu dia tak peduli jikapun pria itu harus mati. Kenyataannya dia sudah lama sekali tidak melakukan kekerasan pada orang sembarangan.
Terbatuk, pria malang itu mengeluarkan sedikit darah dengan ludahnya. Kedua matanya buram tak bisa melihat dengan jelas.
Dilihatnya galeri penyimpanan foto itu dia melihat tiga orang disana termasuk Jungkook kebetulan lebih banyak dari dua orang lainnya. Yoongi memperhatikan galeri lainnya dan mendapati foto si pemilik ponsel bersama ibunya. Sedetik kemudian dia terdiam dan memperhatikan pria makan itu lagi. "Kau punya ibu yang renta tapi kenapa kelakuanmu seperti bajingan! Siapa yang membayar mu."
Yoongi memang tak akan bisa membunuhnya karena dia tahu batas kemampuannya akan tetapi wajah tegasnya seakan mengatakan bahwa dia manusia kejam. Pria malang itu sempat menolak bicara tapi dia juga tak ingin mati muda. "Kalau aku katakan kau akan membunuhku kan hikkkss... hikkss...." Dia jatuh menangis dengan wajah penuh memohon.
Dengan hembusan nafas pelannya Yoongi mendekati pria itu dan menatap agak lelah. Dia menghadapi orang begitu bodoh rupanya. "Justru aku tidak akan membunuhmu jika kau mengatakan sebenarnya. Siapa yang menyuruh mu? Jika kau lakukan apa ku minta kau akan aman dan aku akan lupakan masalah ini tanpa lapro ke polisi." Ucapnya dengan sebuah kesepakatan janji.
Sebegitu gelapnya mata elang Yoongi hingga pria itu nampak ragu akan tetapi dia akhirnya menyerah dan menganggukkan kepala dengan wajah pasrah nya. Yoongi menepuk pundak pria itu agar meyakinkan pria itu juga.
"Maafkan aku, aku hanya disuruh oleh seorang wanita. Dia, dia akan beri aku uang banyak. Percayalah aku hanya melakukan perintahnya jika aku tidak lakukan aku tidak akan dapat uang untuk pengobatan nenekku. Tolong jangan bunuh aku hikksss... hikkksss...." Tumpah juga air mata itu bukan hanya itu saja, bahkan dia membungkuk di hadapan Yoongi walaupun namja sipit itu enggan. Persepsi bahwa dia bukan Tuhan.
"Lepaskan aku bodoh! Jangan buat aku marah padamu sialan!" Dia mengatakan hal itu dengan keras bahkan tak satupun ada daya perlawanan darinya. Sementara itu pria itu meminta agar Yoongi segera melepaskannya karena tak sanggup lagi melawan. "Lepaskan aku kumohon, aku tidak akan melakukan ini lagi." Bukan hanya itu saja dia juga hampir mencium kaki Yoongi jika saja si pemilik kulit pucat itu tidak menarik bahunya dan mendorong nya begitu saja untuk menyingkir.
"Menjauh lah, aku tidak sudi kau cium kaki. Sebaiknya kau lakukan satu hal untukku. Kau harus menunjukkan siapa penyuruh mu." Sepertinya ini ide baik untuk mendapatkan bukti, setelahnya dia akan melaporkannya. Demi apapun, ibunya adalah orang yang paling dia sayangi dari sekian juta umat.
"Tapi, aku akan dimarahi jika melakukannya." Wajah itu ketakutan dan tubuhnya bergetar karena takut membayangkan. Pada akhirnya Yoongi mendecih dan memukul salah satu balok di atas seng dekat dengan gudang bekas itu. Suara benturan antara besi dan kayu itu terdengar hingga pria itu meringkuk, dia seperti dihadapkan oleh psikopat.
Yoongi terlalu antusias hingga dia tersenyum bangga, "oh jadi kau takut dimarahi. Baiklah ikut aku ke penjara dan biarkan kau mendekam disana." Menarik dengan keras tangan itu hingga pria itu menggeleng tak mau dan meminta agar Yoongi tak melakukannya lagi. "Aku akan tunjukkan jangan kumohon! Jangan hikkkss... Ampun...." Tangannya bergerak meminta ampun dengan wajah memelas. Dia juga tak bisa mengatakan dengan lancar lantaran suara sesak itu beradu dalam tangisannya.
"Kalau begitu cepat!" semakin panas dan jengkel hingga dia menarik kerah baju pria itu dengan kuat. Giginya bergemelutuk dan membuat seseorang hampir kehilangan nyawa karena nafasnya. "Nan-nanti malam aku, aku akan bertemu dengannya di cafe Sanchol dengan memakai topi dan jaket kulit hitam. Ak-aku akan membawa hasil kerjaku padanya dia akan memberikan uang dan-"
"Pukul berapa kalian bertemu!" Bentak Yoongi karena dia kesal dengan ucapan bertele-tele. "Ah, ap-apa??" Sedikit takut dan ragu bercampur menjadi satu membuat Yoongi menghentakkan tubuh itu di belakang dengan satu tangan kanannya. "Ya, ya... Pukul delapan malam KAMI BERTEMU DI MEJA NOMOR DELAPAN!" tangannya bergetar dia juga memejamkan matanya karena mata elang Yoongi begitu mencekik lehernya. Jika dibandingkan dengan ibunya, dia lebih memilih mendapatkan Angkara murka seharian dari ibunya.
Terlalu malas dan tak diperlukan lagi Yoongi menjatuhkan cengkraman pada leher itu begitu saja, dia juga mendengus lelah dan menatap pria itu dengan wajah disayangkan. "Pergilah aku akan memaafkan mu, seharusnya kau bekerja dengan baik dan cari sana. Jika kau bertemu orang lain lebih kejam dari aku, kau bisa saja dihabisi. Jangan menerima pekerjaan seperti tadi, atau kau akan jadi perkedel daging."
Dengan cepat namja pucat itu melempar ponselnya dan langsung ditangkap oleh pemuda itu gugup. Yoongi memasukkan permen lolipop di mulutnya dan dia juga menatap acuh dan segera melenggang pergi dengan membuang balok yang sudah tak berguna lagi. "Sepertinya malam ini aku harus menunda keinginanku untuk bekerja di kantor, maafkan aku proposal aku menunda mu."
Dia sendiri juga heran kenapa dan kenapa dia harus melakukan hal aneh seperti orang bodoh. Jika dia cuek maka ini kebalikannya, apa benar jika semua ini berkait dengan Jungkook adiknya. Yoongi juga menepis bahwa dia marah karena melihat wajah adiknya diambil begitu saja sebagai tindak kejahatan.
Pada akhirnya dia mengulas senyum palsunya ketika sampai di lapak penjualan.
"Kenapa Jin hyung, kau rindu padaku-"
,
Hoseok membuka catatan sejarah antara dirinya dengan seseorang yang sudah tiada. Dia memusatkan salah satu foto dengan keluarga besar bahagia. Masih usang tapi tidak terlalu dan Hoseok menjaga dengan baik di dalam kotak pemberiannya. Seseorang yang sudah Hoseok kagumi sebagai seorang adik.
"Kau membuat ku kagum sampai sekarang, apakah kau masih ingat aku meski kau ada di surga?" tak peduli jika ada orang menganggap dia bodoh, dia tinggal di sini sendirian. Kedua orang tuanya terlalu sibuk dengan pekerjaan dan dia sukses dengan keahliannya.
Pada akhirnya dia melihat wajah Jimin yang bahagia, tapi bahagia dalam hal berbeda. Tak sadar dia ingat akan sebuah masa lalu....
(Flashback **** ON)
"Kau yakin tidak menemukan adikmu Yoon, kenapa kau malah memarahinya kau kan tahu kalau Jimin..."
"Jangan menggurui ku jika kau tidak mau bantu aku jangan bantu! Temukan Jimin baru berkomentar!" Dia mengatakan dengan nada keras, wajahnya panik luar biasa begitu juga dengan Hoseok membersihkan peluh keringat di dahinya. "Aku sudah menyangka kau akan gila karena mencari Jimin."
Sahabatnya itu tak menyahut dia melangkah ke sisi lain sekedar mencari Jimin yang bisa saja kesana. Hoseok pun juga melawan arah masuk Yoongi dan berteriak memanggil adik sahabatnya itu. Dia cukup tersenggal hingga batuk.
Saat dia melewati sebuah lorong rumah sakit di sisi barat dia melihat seseorang duduk disana dengan pucat dan menatap jendela. Dia adalah Jimin orang yang mereka cari sedang melamun karena suatu hal. Hoseok bersyukur dia bisa menemukan namja muda itu, jika tidak dia pasti akan mendapati Yoongi semakin gila.
"Jimin..."
Karena seseorang menepuk bahunya membuat Jimin terkejut. Dia menoleh ke belakang dengan wajah kagetnya dan dia menemukan Hoseok tengah mengulas senyum ke arahnya. Apakah dia kesini karena kakaknya.
"Kau kemana saja, aku dan kakakmu mencari mu." Begitu lembut dia bertanya seperti seorang kakak kandung saja. "Kenapa?" Jimin merengut tak suka ketika dia mendengar nama kakak disebut, dia merasa bahwa masih belum dan masih belum. Hingga dia memutuskan untuk menenangkan diri di depan jendela di bandingkan berdebat dengan kakaknya. Seorang adik sedang mengalami hubungan tak baik itu wajar di semua kalangan.
Namja bermarga Jung itu seakan bisa membaca pikiran Jimin, dia tidak marah akan sesuatu dia tebak dalam manik matanya. Akan tetapi dia melihat bagaimana sedihnya Jimin akan suatu hal membuat dia sakit. "Jimin, jika kau merasa sesak katakan saja karena aku bisa membantu mu. Anggap saja aku sebagai kakakmu."
Jimin seperti mendapatkan sebuah kesempatan untuk mendapatkan solusi masalahnya secara kuasa. Hoseok bahkan duduk manis di sampingnya dengan melihat ke arah jendela jua. "Wah pantas sekali kau sangat betah disini. Ternyata jika dari atas sini sangat cantik ya padahal ini rumah sakit." Seperti matahari dia mencairkan suasana sendu Jimin hingga namja berpipi chubby ini tersenyum manis. Melirik Hoseok dan mengatakan kata singkat yang berarti.
"Nah apa kau sudah meminum obatmu?" tak ingin lebih sakit, Hoseok mengatakan itu dengan penuh perhatian hingga Jimin mampu merasakan dengan sangat, dia sendiri diam dalam senyuman tipis. "Aku ingin jauh dari Yoongi hyung sementara." Ucap lirih sang adik dengan nada penuh keyakinan dia bahkan tak peduli jika ada kakaknya di belakang.
"Kalian bertengkar lagi ya?" sungguh dia mengatakan hal itu dengan hati-hati. Melihat wajah Jimin sendu sekaligus kecewa membuat dirinya yakin bahwa Yoongi melakukan kesalahan besar pastinya. "Dia tidak memberiku pilihan dan kesempatan, sebentar lagi aku akan ikut study tour dan Hyung kekeh melarang ku hingga mengatakan bahwa aku lemah. Dia tak berfikir bahwa ucapannya telah menghancurkan semangatku." Guratan kecewa itu ada dengan dia membasahi bibir keringnya dengan lidah.
Ya, Hoseok sudah menduga akan seperti ini jika keinginan Jimin di batasi. Dia tahu bahwa masa muda haus akan keingintahuan juga bagaimana Jimin menginginkan sebuah prioritas kebebasan di balik semua kebimbangan dalam hati. "Aku tak bermaksud membela Yoongi, aku tahu kau kesepian dan terkekang. Tapi sekarang kakak akan melakukan apapun pada adiknya yang sakit. Yoongi keras padamu karena kau akan dalam bahaya. Bisakah kau percaya pada kakakmu?" Hoseok mengangkat sebelah alisnya dia berharap jika Jimin mampu mengerti dan mengangguk percaya.
Jimin paham tapi hatinya menolak, dia tertawa sebentar dengan menatap di balik kaca. Seperti dirinya di dalam penjara kaca dan tak bisa bergerak keluar walau sejengkal. Sejak sakit ini menambah luas dan memakan anti bodinya. "Aku juga tak ingin sekarat agar bisa menjadi manusia biasa normal. Ingin bisa merasakan bagaimana pahitnya minuman keras." Jimin tak tahu kenapa dia mengatakan hal itu, tapi dia sungguh frontal mengatakannya. Beruntung seseorang disampingnya menganggap itu maklum.
"Kau memang seperti kakakmu, memiliki pemikiran luar biasa tak bisa ditebak. Hanya saja kau spesial Min Jimin." Hoseok menyandarkan kepala belakang ke pembatas kursi di belakang dan melihat sisi atas sana. Dia sedikit bersenandung agar tak bosan. Jimin melirik hal itu dan mengatakan dengan jelas bahwa, "Aku kecewa dengan kakakku sendiri. Lebih memilih sahabat ketimbang kakak."
Menohok dan sakit, deskripsi bagus untuk menjatuhkan mental seseorang terutama dia yang langsung lari menjauh ke belakang. Tak ingin melihat Jimin dan entah dia bahkan tak menyangka jika dua orang disana tak sadar keberadaannya.
"Kau tak serius mengatakannya bukan?" Hoseok tersenyum dan menggerakkan tangan seolah Jimin bercanda. Hanya saja adik manis itu terlampau serius mengatakan rasa sakit hatinya. "Kau akan tahu bagaimana aku saat bertengkar dengannya. Dia tak ingin mendengar alasanku dan penjelasan tanpa mau memberi kesempatan."
Jimin menepuk dadanya ngilu, dia ingin meredakan sakit itu juga tak ingin kalau dia pingsan tak sadarkan diri karena sakitnya. "Ya, aku memang tak tahu tapi aku jamin kakakmu itu memiliki alasan logis." Sedikit ragu walau dia sempat yakin bahwa otaknya benar untuk mengatakan hal itu. "Alasan logis untuk menahan ku, selama aku hidup aku setidaknya sudah mencoba aku kehilangan teman masa kecil karena dia. Aku yakin dia tidak akan menemui ku lagi karena sudah banyak kali aku tidak berjanji."
Jimin menangis dia justru mengusap air bening itu dengan cepat. Dadanya sangat sesak saat dia ingat kejelekan itu hingga dia tak bisa berkata mungkin. Namja di sampingnya merasa bersalah karena sudah mengingatkan Jimin pada satu hal akan tetapi dia juga penasaran siapa yang dimaksud Jimin sahabatnya itu.
"Kalau boleh tahu siapa dia? Kau sangat dekat dan peduli." Hoseok mencerahkan senyuman miliknya dia akan menjadi manusia matahari sesuai titlenya. Tak ingin melihat orang kesakitan lagi. Sadar atau tidak Jimin berganti ceria dengan senyum manis juga mata sipit seperti bulan sabit. Tangannya menjadi semangat dengan menyebut nama sahabatnya itu. Menoleh dan mengumbar euphoria dalam dirinya dia juga tak akan lupa mengatakan satu hal nama selalu dalam hatinya. "Namanya Jungkook, dia aku panggil Kookie. Manis seperti coklat dan baik seperti susu vanilla."
Satu nama bisa membuat Jimin bahagia, apalagi jika sudah bertemu. Jutaan euphoria pasti mewarnai sisa hidupnya.
"Jungkook, bagaimana rupanya?"
(Flashback ***** OFF)
Masih ingat dengan sangat jelas percakapan itu bagaimana Jimin sangat mengagumi sosok Jungkook dalam hidupnya yang dia anggap kelabu. Sekarat membuat dia seakan menyerah dengan semua bahkan hidup. Kakaknya saja kalah dengan nama namja muda yang kini dia tahu sebagai adik angkat sahabatnya itu.
Dunia serasa sempit memang, saat dia mengingat pertemuan tak terduga dengan orang bernama Jungkook. Dulu dia sempat menepis bagaimana Jimin terlalu besar mendiskripsikan Jungkook dalam hal besar dan luas. Hingga dia berspekulasi bahwa Jimin itu naif karena dia tahu bahwa dia hanya butuh teman. Pemikiran jahat bukan untuk seseorang yang menderita sakit parah baginya.
Lalu sekarang dia menyesal karena sudah menganggap Jimin naif. Kenyataan yang pasti ialah bahwa Jungkook memang spesial dan membuat hal tak mungkin menjadi bisa. Dengan perlahan dia menaruh benda figura itu dan menatap nya penuh tenang. Senang melihat senyum Jimin yang tak lagi dia bisa ditampakkan secara langsung. Hingga Hoseok sadar bahwa ternyata kehilangan itu lebih berat.
"Aku sudah tahu kenapa kau sangat mendambakan Jungkook sebagai saudara." Kedua matanya menatap mentari pagi dia juga menikmati secangkir susu coklat favoritnya. Tak suka kopi karena dia tak akan bisa tidur setiap malam. Dengan membawa sebuah novel favoritnya Hoseok menatap penuh kagum rangkaian kata dari sang penulis. Pena dengan tinta hitam, aksara latin mendamba.
"Lord Conelis, meyakini bahwa hubungan teman bisa menjadi kerabat. Ketika dia kehilangan kekasihnya dia bahkan tidak sedih. Itu karena cinta terbesarnya bukan hanya untuk pujaan hati, akan tetapi separuh untuk keluarga dan separuh lagi untuk sahabatnya. Dia adalah lawyer pertama yang berhasil menciptakan kewarasan dalam hatinya."
Ketika lisan dalam hati maka hasrat untuk terus mengomentari kisah ini akan berlanjut. Katakanlah jika Hoseok adalah penggila novel keluarga dibandingkan romansa. Bukan romansa picisan yang dijual di toko atau pasar bekas sepanjang jalan.
Membaca kalimat ini mengingatkan dia akan seseorang yang benar nyata adanya. "Jeon Jungkook, apakah kau adalah salah satu seperti tokoh favorit dalam novel ini?" tersenyum seperti manusia absud antah berantah. Hanya saja beberapa pasti menganggap itu adalah hal lucu. Ketika dia mendengar suara ketukan pintu maka dia memberi jeda waktu istirahatnya.
Demi apapun tukang pos hanya melakukan pekerjaan dan dia menerima suratnya.
"Apakah aku perlu tanda tangan?"
,
Jungkook duduk dengan anteng sembari menikmati apel di tangannya. Ini adalah waktu istirahat paling epic setelah dia berhasil menjual beberapa barang bekas dagangannya. Sedikit bangga karena dia jauh lebih cepat meraup untung dari lainnya. Bahkan kedua Kim disana masih banyak barang dan mereka juga sedikit malas meskipun Seokjin masih mendapatkan semangat besar.
Sesekali Jungkook terkekeh hingga dia mengatakan kata Daebak, luar biasa dan jangan pergi. Seperti seorang wanita saja yang suka heboh membaca romansa picisan atau sebuah cerita terbesar di segala sejarah Romeo Juliet. "Aku tidak ingin dia mendapatkan kejahatan dari orangtuanya, oh sial!" Jungkook menendang angin dalam duduknya.
Dia juga tak bisa menahan ekspresi kesalnya, ini buku terlalu bagus untuk dianggap sebagai barang bekas karena dia sudah tahu isinya. Jika dia punya buku seperti ini lebih banyak dia tak akan menjualnya karena dia sangat suka membaca. Apel ditangannya hampir habis dan Jungkook semakin asyik saja hingga dia tak menyadari sesuatu.
"Eh?!" terkejut saat dia melihat apel ditangannya menjadi bulat dan utuh, hanya berkurang sedikit itupun karena gigitan nya. "Apa yang kau baca hingga seperti orang gila?" Yoongi duduk disana dan ikut berdamai dengan suasana dan waktu istirahatnya. Dia juga membawa apel hijau di tangannya, berbeda dengan apel milik Jungkook yang berwarna merah.
"Yoongi hyung kenapa kesini?" pertanyaan begitu polosnya hingga membuat Yoongi berteriak cempreng dan mengejutkan adiknya. "Apa kau melarang ku datang kemari huh!"
Jungkook tentu saja tidak bermaksud melakukan hal itu, saking takutnya dia menggelengkan kepalanya cepat dan mengatakan bahwa dia hanya salah bicara. "Bodoh sekali seharusnya kau menjawab pertanyaanku sialan!"
Dari kejauhan Seokjin mendesis pedas karena dia tak sengaja mendengar kata yang mendekat makian. Apa yang terjadi pada Yoongi hingga dia seperti remaja labil kurang laku. Bahkan Taehyung juga ibu Shi Hye merasa bahwa Yoongi mungkin terbentur kepalanya pada dasbor mobil. "Aku hanya takut jika Yoongi kecelakaan tadi." Diusapnya tangan itu gelisah dan Taehyung adalah anak baik dari planet Pluto yang mengatakan hal bijak.
"Kun fayakun jika memang terjadi maka terjadilah." Lagaknya seperti seorang pemuka agama terkenal. Seokjin heran dengan tingkah adiknya yang sebelas dua belas tampannya dengan dia. Sembari datang cepat saat pelanggan datang ketiganya bubar layaknya anak sekolah dasar.
"Kenapa Yoongi hyung memberikan ini?" dengan sedikit ragu Jungkook mengangkat buah apel itu agar nampak pada kakaknya meski wajahnya masih melihat cover novel itu sebagai pelampiasan gugupnya. Yoongi mendecih remeh dan menatap novel di pangkuan Jungkook itu, Menjaga Jodoh Orang. Yoongi hampir terbatuk dengan sebuah apel yang mungkin saja menyembur saat dia kunyah.
"Yaaaakkkk!! Judul macam apa itu?!" Yoongi terbatuk dia merasa tertohok, walaupun realita dia belum punya pacar ataupun pengalaman dalam pacaran. Hanya saja judul itu dia anggap sangat sensitif hingga masuk dalam ubun-ubun dan otak.
Jungkook menyadari bahwa kakaknya seperti menunjuk pada bukunya. Dia membaca dengan pelan. "Aku tidak mengerti apakah terlihat aneh?" Kedua mata polos itu seakan mengatakan bahwa kakak buku ini bagus menurutku. Jujur saja Yoongi ingin muntah karena cover merah muda dengan simbol cinta disana.
Oh astaga siksaan bagi kaum pecinta cerita criminal dan adventure. Yoongi menahan muntah dia bahkan tidak jadi duduk disana dalam waktu lama, melihat tingkah aneh sang kakak membuat Jungkook penasaran sekaligus takut. "Hyung baik saja? Kenapa kelihatan mual sekali. Apakah hyung sakit?" sang adik hendak berdiri dia ingin menyentuh kening sang kakak untuk mengecek suhu. Akan tetapi dengan cepat Yoongi menahan tangan adiknya dan menahan wajah anehnya.
"Ini gila! Kenapa aku bisa menjadi jijik dengan judul picisan. Oh astaga aku tidak suka dengan romansa menyedihkan! Menyedihkan!" Saking paniknya dia tidak bisa mengatakan dengan gamblang dan kakinya juga menahan tubuh mulai ambruk dengan pose kuda-kuda.
"Aku rasa kau tidak baik." Oke Jungkook ingin merangkul sang kakak akan tetapi dia menahannya dan membuat Jungkook tak jadi membantu. "Kau yakin kalau kau baik?" tanyanya dengan mimik khawatir. Sedikit takut jika seandainya sang kakak keracunan. Tapi tidak justru kakaknya sudah berlari hingga batang hidungnya tak nampak pergi kesana untuk bersembunyi. Sementara tak sadar jika tangannya melepaskan apel hijau dari tangannya.
Jungkook mengambil dan dia melihat tak ada satupun bekas gigitan disana. Dia tersenyum kemudian saat menyadari sesuatu. Kakaknya mulai memperhatikannya.
Apakah dia bisa pergi ke tempat ibadah dan memanjatkan puji syukur karena sudah mendapatkan sedikit demi sedikit dia miliknya dikabulkan.
Hellevator...
Sepertinya akan berganti menjadi Heaven untuk takdir hidupnya.
,
20.25 KST.
Sudah cukup lama dia menunggu disana, beberapa kali dia memperhatikan arloji di tangannya. Memainkan kaki itu dengan malas, ini sudah hampir setengah sembilan dan ini di luar waktu seperti dia dapatkan informasinya. Apakah pria itu baru saja berbohong?
"Awas saja jika dia berbohong aku akan menghajarnya habis." Lirihnya dengan menyesap kopi hitam pahit, sengaja melakukannya agar bisa bergadang. Jarum jam sudah menunjukkan angka setengah sembilan tepat, dia hampir saja ingin minggat dari sana ketika seorang wanita datang menghampiri. Yoongi menyadarinya dan membenarkan masker juga kacamata digunakan olehnya.
Penyamaran yang tentu saja sudah oke.
"Maafkan aku Chung Shik, aku terlambat karena urusan." Wanita itu nampak sangat kerepotan dengan menaruh tas penuh beberapa kertas juga beberapa benda yang diketahui Yoongi lainnya. Dengan anggukan Yoongi menjawab dan menundukkan kepala serta sedikit menurunkan topinya agar wajahnya tak nampak.
"Bagaimana dengan hasilnya, apakah kau sudah mendapatkan yang aku minta. Bagaimana dengan anak saya, kuharap wanita itu bisa mendapatkan balasan setimpal." Myeong Han dia tak sadar tengah berbicara pada siapa, dia juga tak menyadari perbedaan antara pria itu dengan sekarang. Hanya saja dia melihat tangan itu lebih putih. Yoongi terbatuk dia juga menyeruput kopi pahitnya, dia akan diam agar wanita itu mengatakan hal lainnya lagi.
Ini seperti permainan detektif.
"Aku tak ingin Shi Hye mendapatkan kemenangannya karena aku sangat benci padanya dasar wanita iblis dia akan mendapatkan karma, karena sudah membuatku terpaksa membuang Jungkook. Oh iya apakah kau mendapatkan fotonya. Aku ingin melihat anakku." Wanita itu tersenyum lebar dia tidak tahu bahwa Yoongi menahan kekesalan luar biasa hingga kepalan tangan itu memutih.
Beruntung sekali bahwa disini adalah tempat ramai jadi Yoongi tak akan melakukan kekerasan apalagi seseorang di depannya itu adalah wanita. Bukankah hal itu akan sama melawan ibunya?
Wanita itu memesan makanan dan minuman bukan itu saja dia juga mentraktir Yoongi yang dia kira adalah pemuda bayarannya. "Aku tidak akan lupa membayar mu." Dia merogoh tas usang miliknya dan mengambil sebuah amplop cukup tebal. Memberikannya dan menaruhnya diatas meja.
Saat itu Yoongi melihatnya dan tersenyum mendecih. "Kau sangat memuakkan hingga melakukan hal ini hanya demi seorang anak." Mendorong amplop itu agar menjauhinya dan sekarang berada di tepat wanita di depannya tengah menatap keheranan.
"Jangan menjelekkan ibuku jika kau sendiri sangat buruk membuang seorang bayi."
Wanita itu membulatkan matanya ketika dia mendengar perbedaan suara dari seseorang. Bukan sama seperti kemarin akan tetapi dia melihat seorang namja menatapnya dengan tajam. "Siapa kau?"
Rasanya ini adalah waktu yang tepat untuk menuruti keingintahuannya. Bahkan dia menjatuhkan topi dan melepaskan maskernya, menunjukkan dirinya sendiri di depan wanita tersebut.
"Terkejut?" nampak sangat tampan dengan smirk miliknya.
"Kau.... Min Yoongi." Tergagap dengan tangan gemetar, dia melihat bagaimana wajah itu ketika masih kecil. Seorang bocah yang,
"Kau siapa? Apakah aku mengenalmu?"
PLAKKKK
"Ayahmu adalah bajingan!"
Dia pernah menamparnya dengan sangat keras.
.........
TBC....
Akhirnya mendekati chapter 80. Sudah lama aku ngetik ya dan bagaimana dengan chapter ini, apakah sudah cukup bagus bagi kalian?
Oh iya jangan lupa dukungan ya...
Jaga kesehatan selalu dan juga banyak bahagia agar awet muda hehehe...
Salam cinta dan bahagia...
Gomawo and saranghae...
#ell
16/08/2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro