Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 68 : Your Eyes Tell

"Jangan mengelak dan munafik kalau tidak ingin menyesal pada akhir demikian."

(Author **** POV)

Acara makan malam berlangsung tidak semestinya ketika Yoongi sama sekali tak menjawab segala pertanyaan ibunya. Jungkook yang terdiam karena suasana canggung dan itu disebabkan oleh pertanyaan yang berkaitan dengan dirinya.

"Apa kau tak apa sayang? Maafkan eomma yang tak tahu menahu masalah ini dan soal jantung Jimin." Sedikit sedih dengan dia menatap manik mata anaknya dengan segala harapan baik yang selalu dia ucapkan dalam doa. Jungkook tak mengapa dia hanya bisa mengangguk tersenyum akan tetapi hatinya seakan sakit sepanjang hari dan waktu. "Aku tidak apa eomma hanya saja aku tahu bagaimana Yoongi Hyung begitu sayang dengan adiknya. Mungkin benar aku saja terlaku berharap lebih tanpa tahu bahwa itu semua mustahil."

Jungkook dia sendiri menundukkan kepalanya dia paham bagaimana posisi ibunya yang kini sakit karena begitu banyak beban pikiran termasuk membuat dirinya dan Yoongi damai. "Aku tidak akan menyerah nak, untuk membuat kalian akur." Pinta sang ibu dan berharap tidak putus asa.

"Aku ingin kembali ke panti jika ini tidak membuat nyaman Yoongi hyung." Menggigit kecil bibir bawahnya dan pergi begitu saja tanpa peduli panggilan sang ibu sedikit ketakutan ketika dia mengatakan ingin kembali. "Jungkook, jangan katakan hal itu nak. Apakah kau tidak sayang eomma?" berusaha mengejar anaknya yang kini masuk ke dalam kamar.

Situasi semakin runyam ketika dia melihat kedua anaknya semakin menjauh, kembali ke meja makan dan menatap makanan yang masih banyak dan utuh. "Apakah tidak ada kesempatan untuk kedua anakku Tuhan? Apa yang harus aku lakukan, kalau semua tidak berhasil?" Dia menjatuhkan keningnya di atas meja dan memejamkan matanya sebentar.

Hening dan diam....

Suasana yang sama dan tak ada kebahagiaan semestinya. Di masa tuanya dia merasa kesedihan mendalam hingga kini, "Jimin... "
Dengungan tangisan dengan memanggil si bungsu. Dia cukup lelah dengan hidungnya meski dia sadar tak pantas kalau harus mengeluh.

Di balik pintu kamar atas sana seseorang tengah terbaring menyamping tanpa selimut dan hanya membiarkan hawa dingin menyelimuti tubuhnya. Apakah dia lelap? Tidak... Dia hanya mencoba memejamkan matanya. "Aku benci dengan semua ini. Apakah kau senang sekarang membuat diriku menderita lama." Otak Yoongi semakin berfikir baik mengenal suatu hal dia hanya bisa menatap langit dengan segala kemelut kebencian itu.

"KENAPA KAU MENYIKSA KU JIMIN HUH, KENAPA!!" kedua lututnya jatuh ambruk dengan kepala yang dia pukul memakai kedua tangannya keras. Kepalan demi kepalan rasa sakit itu tercipta seakan Yoongi tak peduli lagi dengan keambangan dirinya. Jatuh tergeletak begitu saja saat dia memukul bagian bekas lukanya dahulu, hingga kunang menjadi buram dan buram menjadi gelap. Tubuh dingin tergeletak begitu saja dengan setitik air mata yang jatuh dari sudut matanya. Hembusan nafas berat dan juga tak berarti.

Suara malaikat membisikinya bagaikan sebuah kicauan mematikan dari rasa penyesalan dalam dirinya. Rasanya sangat lelah hingga akhirnya Yoongi menyerah, ya... Dia menyerah untuk menetapkan kedua matanya agar terbuka. Satu hal yang pasti adalah...

Apakah dia akan bangun besok?

"Jimin..." Bahkan kelima jemari itu seakan meremat di atas dinginnya lantai.

,

Membuka mata...

Dia melihat sebuah kamar kosong, kamar dimana dia bisa melihat kesunyian yang nyata. Hanya melihat dirinya sebuah bayangan bangun tidur. "Sepertinya aku berada di akhirat." Kedua matanya menatap sendu, dia juga tidak bisa mengutarakan hal lebih bagi. Apa peduli dia mengenai sebuah estetika?

"Yoongi Hyung..." Lirihnya dengan ucapan yang datang sembari pintu terbuka menampilkan seseorang yang menatapnya jauh lebih sembuh. "Aku tahu kau pasti akan menemui ku dalam keadaan begini."

Acuh tak acuh, prinsip lama yang dimilikinya. Yoongi memunggungi dia sedikit tak bersemangat bertemu dengan adiknya. Selama ini dia merindukan adiknya bahkan masih memiliki rasa sayang yang sama.

Jimin disana dia duduk bersejajar dengan kakaknya dan memahami seluruh isi dalam otaknya. "Apa kau marah hanya karena aku meninggal. Kau bahkan terlihat sangat buruk dibandingkan aku ketika sakit." Jimin menyandarkan kepalanya ke pundak sang kakak, menerawang kesana dengan segala intensitas cahaya dan bayangan dia lihat. Hanya saja dia tak memiliki bayangan, karena dia sudah meninggal.

"Kau tahu, lagi-lagi mengecewakanku." Kedua tangan itu saling menaut dan Yoongi tak ingin melihat wajah adiknya atau dia akan menangis dan meloloskan kelemahan yang dia pendam. Anggap saja jika Yoongi gengsi.

"Aku tahu dan aku minta maaf tapi kau juga harus akui kesalahanmu. Kau mengabaikan sahabatku dan juga adik kita." Kedua mata itu menutup sebentar, kedua pipi gembul nya melengkung senyum dan Jimin berhasil membobol sesuatu yang meragu dalam diri kakaknya. "Kenapa bisa kau bertemu dengan Jeon itu." Sedikit tegas karena menyimpan sedikit kebencian tak beralaskan.

"Bagaimana aku bisa bercerita jika kau saja seakan marah padanya. Apakah kau akan mendengarkan ku dan percaya sementara kau orang keras kepala." Dia tak bernafas lelah dia hanya menikmati momen bergargal yang tak dia dapatkan setelah tiada. Dunia memang kejam sama halnya dengan sakit. "Entah aku juga meragu dengan jawabanku, pada akhirnya Jeon itu selalu ada meski aku menolak. Kau terlalu naif memberikan jantung padanya."

Jimin terkekeh dia menganggap hal itu lucu. Kata-kata naif sudah dia dengarkan dari berbagai pihak sampai dia sendiri mengeluarkan suara pasrah. Sepertinya memang dia yang harus mengetuk hati si keras kepala ini. Jika pada akhirnya Jungkook yang tersakiti dan eomma yang akan merasa bersalah.

"Kau terlalu fokus dengan kebencian mu dan tidak takut jika pada akhirnya hal sama terulang." Jimin duduk dengan tegap dia mengangkat kedua kakinya dan menekuk, masih sama seperti seorang bocah melihat bulan di lapangan luas. "Kau mencoba menakuti ku." Tatapan tajam dengan ekspresi datar. Si manusia es penuh kepalan kebencian dan egois. Jimin rasa dia tidak akan membuat kakaknya menjadi berbeda jauh hanya mencoba menyadarkan dia dari kenyataan dan takdir.

"Karma itu ada, jangan sampai kau menyesal kedua kalinya hanya karena kau merasa benar. Yoongi hyung, kenapa kau merasa bersalah dan menyalahkan dirimu hanya karena aku tiada. Lalu kenapa kau anggap Jungkook serendah itu, kau membuat kematian ku tidak tenang serasa sia-sia."

Untuk pertama kalinya bagi Yoongi saat dia mendengar adiknya mengeluh. Jimin dia pasti jengkel dengannya hingga dia memutuskan membiarkan tubuhnya jatuh ke belakang dengan sadar. Air mata itu jatuh dan dia tak bohong jika dia sedang menangis. "Kau membuatku merasa sedih lagi saeng."

Ini menyesakkan.

Jimin semakin tahu bahwa dia akan memutuskan ini semua. Baginya kakaknya jauh lebih baik hidup dengan yang ada. "Memangnya kenapa aku juga tidak masalah aku sudah mati dan kau tolong hargai Jungkook sebagai adikmu!"

Haruskah dia tercengang, ketika mendengar Jimin sedikit menegas.

"Kau melakukannya lagi."

Jimin menganggap ucapan kakaknya sebagai ungkapan bodoh. Yoongi memang bodoh dan tidak punya hati.

,

Menatap ponsel itu dengan diam, mendapatkan sebuah pesan dalam diam. Jeon Jungkook dia tak tahu siapa yang mengirimkannya akan tetapi dia seakan tercekat dengan semua.

"Eomma...."

Pesan singkat dari ibunya, Jungkook merasa bahwa takdir mengatakan hal lain saat ini. Dia bahkan meremat ponselnya dengan kuat. Benar-benar menyebalkan....

"Eomma..." Dia menoleh dan menemukan ibunya masuk ke dalam kamar, wanita itu langsung jatuh memeluk nya dan dia menangis. Mengatakan pada sang anak agar tidak pergi meninggalkan rumah. Bahkan Jungkook sendiri juga membalas pelukan wanita yang dia sayangi itu. Demi apapun dia ingin tetap disini meskipun dia mempunya seorang ibu kandung.

Jika menurut kalian Jungkook durhaka, memang iya akan tetapi faktanya sejak awal ibunya sudah mendustakan pemberian Tuhan. "Aku tidak kemanapun eomma, kumohon jangan menangis." Begitu eratnya sampai dia meminta agar isakan itu tak dia dengar lantaran hatinya merasa ngilu.

"Aku hanya tak ingin kau pergi, aku menyayangimu Jungkook kau bukan Jimin tapi kau Jungkook anakku. Sampai kapanpun eomma akan membelamu dan kau jangan pernah pergi." Menekan kedua pipi anaknya dengan lembut dan menatapnya begitu dalam.

"Eomma, aku tak ingin meninggalkan mu juga. Disini eomma kandungku mengirim pesan, jujur aku merasa takut." Dia memberikan ponsel miliknya meminta ibunya untuk membaca pesan itu. Ibunya membuka laman pesan dan melihat setiap bait kata.

Bedebah!

Dia merasa ngilu dan anaknya harus menerima pesan seperti ini. "Jika kau merasa ada yang mengikuti mu hubungi aku dan lagi setiap hari kemanapun kau pergi aku akan mengantar dan pak supir juga." Ibunya bahkan memberikan ponsel baru pada Jungkook, dia sudah menyiapkan hal ini untuk kemungkinan buruk lainnya.

Yang menjadi pertanyaannya adalah kenapa bisa wanita itu tahu nomor pribadi putranya. "Jungkook jangan lengah nak, eomma tidak akan membiarkanmu di bawa. Kau harus bahagia apapun terjadi, dan aku jamin Yoongi juga akan membantumu secara tak sadar saat kau bahaya."

Jungkook seakan tercekat mendengar nama kakaknya. Menatap ibunya dan mengatakan isyarat lewat kedua matanya. "Eomma tahu tanpa harus kau katakan, Yoongi dia kakak yang tanggung jawab dan baik. Kumohon bertahanlah..." Apakah dia mencoba mempertahankan Jungkook demi putra pertamanya?

Ya....

"Aku tidak akan meninggalkan kalian, eomma dan Hyung baik. Aku tidak kemanapun tolong jangan menangis." Dia paham akan ketakutan ibunya dia tahu bagaimana wanita itu begitu kekeh meyakinkannya. Anak kesayangan adalah anggapan ibunya sehingga Jungkook merasa dia dibutuhkan dan dianggap.

Sampai pada akhirnya Jungkook kelelahan menangis dan membuat dia tidur dalam pangkuan ibunya.

Begitu sayang dia mengusap rambut Jungkook dan senyuman tulus namun berkelopak sembab itu ada. Dia masih cantik karena memiliki kecantikan dari dalam. "Apakah aku harus mengatakan secara jujur padamu bahwa ayahmu adalah ayah Yoongi juga." Meski kenyataannya dia mencoba menahan air mata tapi rasanya ini sangat menyulitkan hingga dia mengusapnya dengan sedikit perlahan.

"Jungkook, jika kau tahu bagaimana ibumu apa kau akan membencinya atau mengikuti nya karena kasihan? Memang suamiku melakukan keburukan dengan ibumu dan membuatmu lahir ke dunia. Aku berpura tidak tahu dengan Yoongi yang selalu bertanya kapan ayahnya pulang. Aku tidak ingin kakakmu mengetahui keburukan ayahmu dan berimbas pada dirimu."

Menangis...

Memang dia melakukannya karena sudah tak bisa menahan, beruntung hatinya hanya benci pada wanita itu bukan anaknya. Dan beruntung dia membencinya mendiang suaminya dan bukan anaknya. Tapi apakah Yoongi akan menerima seperti dirinya? Meski dalam awal dia sulit ketika mengetahui kebenaran akan tetapi pengalaman hidup telah mengajarkannya.

Dia mengusap rambut itu dengan tangan bergetar melampiaskan semua perasaan sakit hatinya yang menusuk dalam. Dia ingin semua ini berakhir dengan dirinya menjadi ibu dari dua anak. Seperti dulu ketika mereka bahagia saat melihat Yoongi tumbuh dewasa dan menjadi kakak yang baik bagi si bungsu.

"Aku menyayangimu nak, meskipun kau anak dari perebut suami ku dan kau secara tak langsung adalah adik kakakmu. Kau punya hak sayang... Kau punya hak mendapat pengakuan Yoongi hiksss.... hiksss..."

Dalam diam, salah satu atensi mata sipitnya menangkap hal itu. Sedikit kebenaran bahwa ibunya membuka kedok mengenai siapa anak angkat itu. Hingga Yoongi tak bisa bergerak maju atau mundur, terkesiap dengan rahasia dia dengar. Setelah jantung Jimin dia mendengar bahwa Jungkook punya ibu kandung lalu ibunya melarang dia pergi. Apakah ini adalah takdir yang kejam lantaran ibunya memilih dirinya. Meniti tanpa sebab dalam sebuah kiasan. Kenyataan pasti Yoongi tidak tahu apapun.

Ini nyata dan bukan mimpi, kedatangan Jimin dalam mimpinya membuat Yoongi yakin bahwa dia seperti memilih keputusan sendiri tanpa jelas. Hingga dia memutuskan untuk turun dan pergi dengan segala pemikiran gelap, mencoba mencerahkan diri. Akan tetapi saat kedua manik matanya melihat wajah Jimin dia ingat akan satu hal.

"Kenapa kau mencoba lari dari kenyataan, Jungkook adikmu jangan kecewakan dia karena kau akan mengecewakanku."  Sedetik kemudian dia menunjukkan wajah kesalnya dan memejamkan mata sebentar. Dilema... Ini benar-benar gila.

"Kalau kau melakukan hal buruk pada Jungkook kau akan menuai apa yang kau lakukan jangan lakukan hal sama. Apa kau tidak ingat kesalahan appa, mungkin kau tidak tahu tapi... Eomma tahu dan kau akan paham kenapa aku tidak mau kau seperti appa."

Sedikit tercengang dia tak tahu apa yang dimaksud Jimin mengenai kakaknya akan tetapi dia melihat wajah sedih adiknya seolah dia tahu. Apakah dia memang orang bodoh tak tahu apapun?

Derap langkah kaki itu berjalan dengan gontai menaiki tangga, dia juga tak bisa melakukannya dengan benar karena berat sebelah kepalanya. Apakah dia merasa mati? Ya... Raganya mati seakan dia tak ada kesempatan untuk hidup dengan benar. "Apa yang kalian sembunyikan sehingga aku seperti orang bodoh?!" Tangannya menyentuh dinding dan menahan linglung badannya. Dia melihat kamar di atas sana seperti sebuah gambar abstrak memburam.

"Appa bahkan tidak tenang setelah kematiannya karena kesalahan pada eomma. Kuharap kau bisa menerima Jungkook dengan tulus dan membuatku tenang. Kau tidak akan sendiri jika suatu hari nanti takdir buruk menimpa. Aku mengatakan ini karena aku peduli padamu." Jimin tersenyum, di wajah cerah bercahayanya. Hingga dia melihat bahwa telapak tangan adiknya seperti memberikan dorongan untuk percaya.

Tes....

Tes....

Yoongi menangis dia menepuk dadanya yang sakit, terasa berat dan sesak untuk sekedar bernafas. Dia bahkan tak bisa berpikir jernih beberapa detik setelah dia mengingat mimpinya, seakan Tuhan menunjukkan hal mustahil yang belum tentu semua manusia dapatkan.

"Aku tidak ingin kehilangan lagi dalam hal yang sama. Kau membuatku sedih berkepanjangan dan membuatku sesak. Apakah itu terjadi lagi, jika aku menjatuhkan kepercayaan ku pada bocah itu?" Jujur saja Yoongi bisa mengatakan secara gamblang. Dia menangis dan Jimin mengusap air matanya. Dia seperti sebuah cahaya yang akan hilang.

Yoongi mengingatnya dia bahkan menangis terisak tak peduli jika Jungkook atau ibunya tahu, hanya saja dia menjatuhkan pantatnya pada sebuah tangga. Dia tak kuasa untuk naik keatas sana dengan kepala yang mendadak pusing. "Aku bodoh hikkss... Sial aku bodoh, kau bodoh Min Yoongi!" Memukul kepala sendiri tak peduli bagaimana sakitnya dan bagaimana kacaunya dia.

"Percayalah jika suatu hari nanti kau akan memahami bahwa.... Jungkook adalah orang yang kau percaya menjadi adikmu. Jangan tinggalkan dia dan dia tidak akan mengabaikan mu. Aku akan tetap hidup dalam diri Jungkook tapi kau jangan berpandangan adik barumu adalah aku tapi melihat sisi Jungkook, tak ada salahnya. Aku tidak ingin kau menjadi seperti appa yang melakukan kesalahan, ku tunggu kau di surga begitu juga lainnya. Jangan sakit Yoongi hyung...."

Benar....

Seperti inikah tangisan kesedihannya, dilakukan berulang kali dan rasanya semakin menyakitkan. Dia tahu bahwa dia mengetahui kesalahan ayahnya dan ini adalah salah satu rasa sakit di kepalanya hingga rasanya kepalanya mau pecah.

Mati... Mau mati....

Tolong beri kesempatan pada Yoongi untuk berbicara kasar dengan keras. Berbicara buruk untuk melampiaskan rasa sesaknya karena demi apapun ayahnya adalah....

Bajingan sejati!

"Jimin, kau benar... Semua bajingan bahkan dunia ini juga. Hahahaha... Sangat menjengkelkan beruntung kau mati jadi-" Yoongi memejamkan matanya dia meringis senyum dan mengatakan dalam hati kecilnya. 'kau tidak perlu merasakan sakit yang sama denganku.'

Dilihatnya pigura wajah sang ayah menebarkan senyuman, bagi Yoongi itu adalah senyuman manusia munafik. Berani menyakiti ibunya sama saja berani menyakitinya. Akankah dia menerima Jungkook? Sementara dia anak jadi zina. Meski begitu apa daya bahwa mereka masih...

Masih dalam marga yang sama. Suara malam menggelayuti kedua telinganya remang, dia mencoba membuat tubuhnya tenang seakan udara yang keluar masuk dari hidungnya. Kepalanya mendongak dengan bagian belakang bersandar pada tembok.

"Jungkook akan selalu menjadi adikmu selamanya..." Pada akhirnya Yoongi sendiripun terdiam seolah dia menerima takdir itu. Berkesinambungan membawa segala jawaban dalam kemelut emosinya. Jungkook dia menjadi salah satu bagian dari tanggung jawabnya, sesuai permintaan Jimin.

Tatapan itu kosong, berisi dengan setiap adegan terjadi. Bagaimana dan mengapa lalu esoknya, seolah Tuhan membuka ingatannya dengan sengaja. Renungan, dan jalur menepi yang jelas.

Sepertinya dia menyukai sosok dirinya.....

,

Bar, tempat penuh dosa dengan banyak musik merusak gendang telinga. Sebuah tempat dimana bau alkohol segala jenis dan merk disana, dia merupakan seorang pelanggan setia terpaksa menangis dengan pria mengancam di depannya. "Kim Seokjin, apa mau mu!" tangan itu meremat pecahan botol dengan tangan menahan pergerakannya.

"Aku yang harusnya bertanya begitu, apa mau mu. Kau dan ambisi bodoh mu, akan aku laporkan pada pihak berwajib." Serius, dia bahkan pertama kali melakukan ancaman seperti ini. Hanya saja dia berhadapan dengan wanita sekelas ular. "Kau melakukan ini karena Yoongi, aku mencintainya-"

"Tapi dia tidak peduli padamu, keegoisan mu membahayakan sahabatku. Kau ingin menculik Jungkook dan menggunakannya untuk menyeret Yoongi dalam dekapanmu bukan?" tebalnya dengan akurat bahkan dia menatap mata ketakutan itu dengan jelas, aturan mengejek akan dia lakukan.

"Kau tidak tahu apapun dan aku masih akan berusaha. Jangan ganggu aku-"

"Jika itu menyangkut orang dekatku akan akan maju dan kau Hera wanita ular sejak dulu. Kau pikir Yoongi mau, bahkan kau bisa menjadi neraka jahanam. Menyerah saja dan jangan ganggu orang lain untuk kepentingan mu. Kau tahu bahwa Yoongi lebih butuh saudaranya saat ini."

Dengan gampangnya Seokjin membuang botol itu hingga pecah diatas lantai. Beberapa orang yang sempat menari gila menatap keduanya dengan heran. Hera nampak semakin takut ketika melihat ancaman demi ancaman datang dari visual mata namja di depannya. Meneguk air liur kesusahan dan cengkraman tangan itu semakin membuat dia sakit.

Lepas!

Dengan segera pria berbahu lebar itu menjauh dia tak ingin setan menghasutnya untuk melakukan dosa di tempat laknat itu. Hingga pada akhirnya dia bisa melihat bahwa Hera bukan ancaman besar tapi tidak bisa disepelekan. "Kau harus berterima kasih padaku Min Yoongi." Ucapnya dengan membenarkan kerah bajunya yang berantakan. Ah, dia lupa harus membawa makanan kesukaan Taehyung karena dia yakin bocah manja itu lapar.

Sadar atau tidak gadis itu menangis dengan mata penuh dendam. Ada isyarat dalam tatapan itu dengan kata 'awas saja kau akan hancur!'

Tanda bahaya.

,

Jungkook tak akan langsung bangun ketika dua matanya melihat seseorang mengejutkan dirinya dari lelap. Apakah ini sebuah mimpi indah karena dia tulus berdoa atau hanya sebuah halusinasi saja ketika melihat orang itu tidur dengan pulas disampingnya. Apalagi Yoongi seakan tidak keberatan jika dia merasa sempit di tempat tidurnya yang kecil.

"Kenapa bisa?" bergumam dengan kebingungan yang ada. Yoongi membuka matanya dan melihat wajah itu sebagai sebuah ekspresi kebodohan. "Apakah kau tidak ikhlas?" secara harfiah ucapannya berkesan dingin dan menusuk. Lebih menyakitkan memang, hanya saja kali ini semua terasa beda ketika kakaknya ada di sampingnya.

"Hanya saja merasa tumben, bahkan ini pertama kalinya. Lagi pula kenapa dengan kamarmu?" Jungkook antusias dia lebih merasa ini adalah sesuatu yang nyata. Kakaknya tidak menatapnya judes. "Terkunci." dusta Yoongi dengan memejamkan mata juga memunggungi sang adik. Dia merasa bahwa kasur ini nyaman dan bau lavender datang dari perawatan si pemilik. Beda sekali dengan kamarnya yang berantakan dengan sedikit bau miras.

Adiknya hanya percaya dia tak senang dengan keberadaan kakaknya. Berharap bahwa ini tidak berlangsung cepat sementara subuh masih ada dan tentu saja hal itu akan menjadi waktu berharga.

"Hei Jeon, apakah aku bisa memanggil namamu?" Yoongi membuka matanya meski bibirnya terasa sedikit aneh, tatapan lelah menatap lantai yang jauh lebih menarik dengan kisah hidupnya. Jungkook membasahi bibirnya dengan lidah, tak lagi kering dan gugup. "Apakah kau sudah mengakui keberadaan ku?" Seperti paham dengan jalan pikirannya, Jungkook merasa bahwa kakaknya sangat ingin bebas dari masalah dalamnya.

"Entah, aku bahkan masih tidak menyukaimu." Elak Yoongi dengan wajah datarnya. "Tak apa setidaknya kau tidak membenci atau membunuhku." Senyumnya begitu tulus, beruntung sekali Yoongi tak menoleh hanya untuk menjaga harga dirinya tinggi. Sedikit aneh saat dia mengulas senyum entah karena apa, apakah dia kagum dengan pikiran Jungkook atau dia bangga dengan dirinya sendiri.

"Yoongi hyung maukah bantu aku ke suatu tempat? Eomma juga ada disana sejak pagi aku yakin itu." Dia mengatakan dengan lirih seakan takut membangunkan orang lain saja. Sementara kakaknya nampak tenang dengan melirik sedikit Jungkook di belakang.

"Dimana?"

Jungkook merasa senang, pertama kali dia mendengar ujaran tanpa penolakan. "Pasar kota pekan, dan kau akan senang." Mengatakannya secara yakin karena dia tahu bagaimana rasanya terlebih ada banyak kawan. "Jika itu membosankan aku akan pulang tanpa peduli." Yoongi seakan menantang dia tidak pernah mau tahu bagaimana awalnya ingin yang simpel tapi memuaskan.

"Kau akan tahu dan jangan sampai kau menyesal karena pulang duluan." Jungkook tersenyum tipis dia memeluk guling kesayangannya dan menepuk bagian atas seperti memeluk anak anjing. Masih mengantuk, kelopak panda nya akan hilang berkat kebahagiaan dibuat. "Aku tidak akan yakin, jika kau bisa melakukannya Jungkook..." Sempat meragu namun pada akhirnya dia bisa mengatakannya meskipun itu lirih.

Akan lelap setelah dia mendengar namanya disebut. Kakaknya memang baik, tak akan sanggup pergi dan tinggal dengan orang lain. Hanya saja... Tangan kanannya memegang ponsel barunya, berharap bahwa ibunya tak mendapat kan pesan darinya.

Ibu kandung....

Disisi lain Yoongi diam, dia mengingat apa yang dia temukan di atas nakas meja makan. Ponsel sang adik tanpa diberi sandi dan dia buka dengan mudah. Apapun disana ada sebuah pesan yang mengatakan ancaman kecil.

Sedikit kesal dan menggertak giginya bagai seekor singa galak. Ayahnya yang salah tapi ibu juga dia sebagai anak kena dampak. Meski apatis tapi dalam diri Yoongi menolak dengan namanya pengkhianat.

"Ayah, aku kecewa padamu." mengatakan dalam hati dan tidur dan langsung tenggelam dalam selimut tebal tanpa perlu repot memikirkan Jungkook yang kembali lelap.

Ibunya tersenyum saat melihat kedua anaknya akur, perubahan pada Yoongi dia lihat dengan jelas ketika Yoongi tertidur dia atas lantai tangga. Kedua matanya terbangun dan meminta agar bisa tidur satu kamar dengan sang adik. Meski dia sempat tak percaya pada kenyataannya Yoongi benar-benar melakukannya.

"Kalian sudah memahami satu sama lain, aku semakin bersemangat memperjuangkan mu Jungkook."

Beruntung dia punya bukti kuat, dia menelfon seseorang disana. Apakah dia menyerah? Tentu saja tidak... Adakalanya dia jatuh tapi mencoba bangkit lagi. "Apakah kau sudah menyiapkan semua berkas. Aku ingin melakukannya meski itu tidak mungkin."

"Ah, iya aku baru selesai menyalinnya dan mengatur jadwal pertemuan." Seseorang dari seberang sana mengatakan dengan nada mengantuk.
"Baiklah aku akan mengikuti sesuai prosedur, jika kau meminta lebih aku bisa atasi. Aku akan mencarinya, bagaimana."

"Baiklah, aku akan mengurusnya."

Pip!

Sebaiknya dia segera pergi agar tidak mengundang kecurigaan pada kedua anaknya. Karena dia sedikit berbohong pada Jungkook mengenai keberangkatan ke pasar kota pekan. Ingin melindungi Jungkook... Hanya ini yang bisa dia lakukan berharap wanita iblis itu tidak menganggap dia remeh.

,

Pasar kota pekan itulah sebutan bagi beberapa orang datang sekedar membeli barang obralan. Nampak ramai dan banyak pilihan, kebanyakan yang dijual adalah barang telah dipakai. Taehyung datang membawa setumpuk buku novel koleksinya sejak SD. Sebenarnya dia sayang untuk menjualnya akan tetapi dia lebih sayang uang tabungannya dulu.

Saking beratnya kakinya bergerak sempoyongan hingga menyenggol salah satu meja yang tertata epic.

"Goblok, kau menghancurkan tatanan ku alien!" Yoongi terlampau frontal pada namja itu. Dengan wajah sebal bin ajaibnya Taehyung mendorong jidat namja sipit itu dia tak suka dikatai goblok walau kapasitas otaknya mendekati demikian.

"Hei, aku kan hanya tidak sengaja UPS... Sepertinya kau harus menata ulang."

Taehyung melengos pergi dia berusaha untuk mengangkat kardus dalam kotak itu. Ketika dia sudah hampir seperti binaragawan mengangkat besi seseorang menggerakkan pantatnya dan...

Duargghh!

Taehyung jatuh terjerembab dengan kepala tenggelam dalam tumpukkan komiknya. Rambutnya juga berantakan dengan wajah kusutnya. "UPS maafkan aku, aku tidak sengaja kau paham disini sempit." Dusta Yoongi dengan sedikit penekanan dalam setiap katanya, dia juga menepuk pantat hebatnya yang sudah menjatuhkan korban. Oalah... Bokong Min Yoongi sungguh laknat!

"Sialan aku akan membunuhmu yakkkk! Kau sudah menghancurkan harga diriku sebagai wibu!" teriaknya dengan menunjukkan rambut berantakan nya. Jungkook serta Seokjin tertawa terpingkal, jujur perubahan Yoongi yang sedikit berubah membuat suasana menjadi berwarna. Hanya saja Jungkook masih merasa kakaknya sama karena tatapannya sedikit menceritakan aku membencimu Jeon!

Seokjin menyikut namja di samping dan berbisik ke arahnya. "Aku heran dengan Yoongi dia berubah dan membuatku heran. Apa dia amnesia?"

Jungkook menggeleng dia juga tidak tahu hanya saja sekarang Yoongi tidak kasar dan selalu menyalahkan dirinya walaupun sikapnya masih dingin. Terkadang juga Yoongi memanggilnya dengan kata kasar seperti anak sialan dan anak pungut ketika dia membawa barang dagangan kesini.

Seokjin mengangguk akan tetapi dia masih memperhatikan sahabatnya itu, "yang aku tahu jika Yoongi seperti ini dia pasti mendapatkan sebuah pesan.'' seperti orang tua yang mengangguk paham kepalanya. "Apakah Yoongi hyung semakin sakit? Aku takut jika dia menganggap aku Jimin hyung kau tahu sakitnya Hyung membuatku tak enak." Jungkook menundukkan kepalanya dia tak ingin Seokjin melihat wajah sedihnya.

"Jangan khawatir mungkin saja dia sudah sadar apalagi tingkah nya menunjukkan hal berbeda, bukankah itu bagus. Artinya kau harus lebih semangat lagi. Sedikit lagi Yoongi akan memperhatikan mu." Tangan itu bergerak seperti melakukan fighting.

"Iya kau benar hyung, seharusnya aku tidak bingung mungkin saja ini hasil kerja kerasku. Oh iya lalu bagaimana keadaan Taehyung apakah ada kabar dari orang tuanya?"

Jungkook hampir lupa dengan perkembangan media orang tua sahabatnya itu, dengan melihat Seokjin menggelengkan kepalanya sudah menunjukkan reaksi jelas. "Aku sudah mencoba bertanya dan mereka belum menemukan keduanya. Jika lima hari tidak ditemukan mereka anggap sebagai hilang." Ada mimik sedih disana dia tak tahu harus mengatakan apalagi jika tiba waktunya Taehyung menanyakan akhir dari menunggunya.

"Aku akan mencoba membantu Taehyung hyung, tak aku biarkan dia sendiri. Dia orang baik dan aku sangat peduli padanya seperti kakakku sendiri." Jungkook tahu apa dikhawatirkan Seokjin, dia paham bagaimana perasaan namja itu ketika harus dalam posisi antara bingung dan kacau.

Seokjin seakan beruntung dia tak tahu kenapa hati seseorang disampingnya begitu membuat euphoria dalam dirinya. Jatuh memeluk pemuda kelinci itu dan menepuk punggungnya dengan semangat serta mengatakan terimakasih begitu besar. "Kau seperti seseorang yang aku kenal Kook, terimakasih berkat dirimu aku tenang. Ayo, kita buat Taehyung bahagia dan tidak sedih kau mau?"

"Kenapa tidak aku akan bantu." Dengan semangat kepala itu mengangguk hingga rambut hitam stangnya tegak berdiri. Disana sang ibu datang dengan sangat kerepotan mendorong kardusnya hingga suara gesekan kertas karton mengalihkan perhatian mereka. "Eomma, aku akan membantumu." Perginya terlebih dahulu. "Aku juga aku ikut!" Menyusul dan berlari dengan semangat.

Jungkook dan Seokjin mereka tertawa bersama ibunya. Seseorang memperhatikan ketiganya setelah dia selesai mengejar seseorang dengan kesal. "Aku masih belum paham dengan majemuk mu Jimin..." Mengatakan hal itu dan menyentuh kayu di samping pohonnya. Dia melihat pergerakan pohon itu karena angin berhembus.

Saat dia hendak pergi salah seorang melakukan sesuatu.

"Bagus! Aku akan mendapatkan uang banyak kkkk..." Dia fokus dengan layar ponselnya dia juga terkekeh dengan senyum di wajahnya. Hanya saja dia tak sadar dengan apa yang terjadi. Hingga....

Bruaaakkk!!!

"Siapa kau bajingan kunyuk!"

Punggung itu diinjak dan wajah itu mendelik dengan lebar saat melihat seseorang diatas sana dengan permen di mulutnya.

"Kau.. kau- aakhhh!" tekanan hebat dengan kaki sengaja menginjak juga sakit. Pada dasarnya dia tidak bisa bergerak dan wajah ketakutan itu ada.

"Siapa kau yang berani menguntit orang!"

Pahlawan atau seorang musuh?

.........

TBC...

Hai semua kembali lagi dengan chap terbaru yang baru aku selesai ketik. Maaf kalau lama aku berusaha agar jalan ceritanya ngefeel dan bagus apalagi sudah mau end.

Jangan lupa jaga kesehatan dan semoga terhibur. Salam sayang dan cinta untuk kalian...

Gomawo and Saranghae...

#ell

15/08/2020



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro