Part 62 : Dream Glow
" Aku butuh mimpi jika kenyataan jauh lebih menyakitkan daripada sebuah pisau mengiris kulit."
(Author **** POV)
Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa begitu sulit untuk mendapatkan sebuah kebahagiaan dimana dia ingin merasakannya dengan kemudahan. Hanya sehari saja jika dia bisa akan tetapi ketidakmampuan itu selalu gagal untuknya.
"Aku benci dengan ini!" Jungkook mengusap air matanya dengan cepat dia berlari di koridor sekolah, berlari begitu saja hingga tak sengaja menabrak beberapa murid disana. Tak terkecuali si ketua kelas yang hendak menengok Jungkook di ruang bimbingan. "Jungkook, dia ke-kenapa?" rasa penasaran timbul lantaran dia tak sengaja melihat kesedihan itu.
Ingin tahu dengan menyusul langkah larinya mengabaikan ruang bimbingan yang berisikan ketegangan dari dua orang wanita yang menatap dingin satu sama lain. Bahkan disana seorang guru seakan ikut gugup dengan aura aneh menyelimuti ruangan itu.
"Ternyata kau, aku kira kau sudah pergi jauh setelah kejadian itu." Wanita cantik yang merupakan cinta pertama suaminya itu menatap dingin dengan manik mata nyalang disana. Sepintas dia mirip dengan Yoongi ketika marah, karakter sifatnya juga hingga dia yang biasanya hangat dan lembut kini mendadak menjadi apatis dan dingin. Myeong Han datang dengan membawa kejutan terlebih kata-katanya membuat Jungkook memilih lari agar dia tidak terjebak dalam kebingungan yang menyesatkan.
"Aku datang kesini karena aku menjemput anakku." Dia juga tak kalah berani dengan menatap sangat dingin, tak ada kecocokan dan tak ada keramahtamahan diantara mereka. Bisa saja jika keduanya adalah pemerintahan suatu negara keduanya bisa melakukan perang besar. "Sampai kapan kau ingin menghancurkan hidupku, yang kau katakan anakmu adalah anakku." Dia meletakkan tasnya dengan keras di atas meja, membuat guru pembimbing disana berjengit tanpa suara.
Sedikit tak enak hati karena dia harus tahu permasalah pribadi keduanya, tapi bisa saja keberadaannya menjadi pemisah jika situasi buruk. "Aku tidak melakukannya tapi aku ingin menjemput anakku, dia membutuhkanku karena akulah ibunya." Dia mengatakan hal itu penuh percaya diri setelah dia melakukan semua hal yang membuat Jungkook berada di panti asuhan.
"Menjemput, anakmu?" Dengan sebelah alis mengangkat juga senyum yang terkesan meremehkan.
Shi Hye tidak tuli, pendengarannya masih bagus ketika dia mendengar bagaimana argumen itu diucapkan. Seolah-olah bahwa wanita itu paling menderita ingin mendapatkan anak juga tak ingat bagaimana kesalahan di masa lampau. Haruskah dia mengingatkan? Begitu jelas bagaimana dosa dia lakukan dengan suaminya. Hanya saja dalam lubuk hatinya dia tak akan menyangka jika Jungkook adalah putra dari wanita itu dan...
Tangan kanannya meremat baju yang dia kenakan. Bagian bawah itu menjadi lecek setelahnya, begitu banyak energi terkumpul dalam kepalannya. Dalam otaknya dia merasa bahwa apa yang dia jalankan seperti permainan Tuhan dengan segala skenarionya. Mencoba tetap tenang dengan menarik nafas atau menetralkan darahnya dengan memejamkan matanya sebentar seperti yang diajarkan guru Yoganya. Tempramental, penyakit menyebalkan dan membuat dia kalah di depan manusia yang mencoba menjatuhkannya.
"Kenapa? Kulihat kau sangat terkejut saat tahu bahwa Jungkook anakku. Apa kau lihat dia tampan seperti siapa?" Dia mendekat beberapa meter dari Shi Hye yang semakin dingin dengan mata elangnya. Kedua wanita ini seakan ingin menghabisi satu sama lain dengan aura gelap dalam diri mereka. "Kau hanya wanita parasit."
Lirih dengan suaranya dia merasa bahwa manik mata juga gigi kelinci itu mirip dengan putra kesayangannya. Jungkook yang dia jadikan seperti putra mahkota dalam istana rumahnya juga bagaimana memasukkan dia dalam bangku pendidikan begitu elit. Dendam dan kemarahan tak hilang begitu mudahnya ketika dia bertemu kembali dengan wanita di depannya itu.
"Kau tetap sama saja Shi Hye, kenapa kau tidak belajar dari pengalamanmu. Alasan Kwon Hang meninggalkanmu karena kau begitu mengekangnya." Meski wajahnya nampak berani mengatakan demikian akan tetapi kedua matanya seperti menahan air mata dengan raut tertahan. Dia juga merasa bahwa seluruh sendi dalam tubuhnya kaku dan lumpuh, kenapa wanita di depannya begitu menyebutkan nama sosok yang dia cintai selama ini.
Bahkan di kematiannya pun dia tidak bisa melupakan perasaan cinta itu. Hingga dia menjadi sosok istri setia meski suaminya pernah berselingkuh dan tidur bersama dengan pria jahanam di depannya. Jika kalian tanya bagaimana perasaannya, tentu saja hancur.
Hanya saja perasaannya tidak sehancur dimana dia melihat wanita itu sebagai kenangan lama yang buruk. "Beraninya kau menyebut nama suamiku. Kau tidak punya hak mengatakan hal itu."
"Tentu saja aku punya hak mengatakan ini karena aku juga wanita yang dia cintai, bahkan aku mempunyai putra dari hubungan kami." Dia mendorong bahu itu dengan jemari telunjuknya meski tak berarti hanya saja dorongan kecil itu seperti menggambarkan harga dirinya yang ditantang.
Melirik ke bawah dan melihat bagaimana tangan itu ada sebuah cincin yang bisa dikatakan cukup mahal. Digunakan pada jemari manisnya.
Dia menepis tangan seseorang di depannya dengan mudah. Mendekatkan jarak sekali lagi agar dia bisa menemukan guratan wajah ketakutan dari wanita yang pernah menjadi simpanan suaminya.
Jika dia katakan untuk saat ini dia akan menyebutnya sebagai wanita rendahan. Dia juga mencium aroma perebut suami orang dengan menyinggung status yang susah payah untuk ditutupi. Hingga Myeong Han melirik sebal ke arahnya.
Kedua nafas mereka beradu dalam emosi dan juga tak ada yang mau mengalah. "Apakah kau tidak sadar dengan ucapanmu, kau bilang kau punya putra. Lalu kenapa dia lari dan justru memintaku datang memanggilku dengan sebutan ibu. Lalu kapan kau dipanggil demikian karena kau tiba-tiba saja datang dan ingin merusak. Apakah kau tidak belajar dari pengalamanmu sebelumnya?" bibirnya berkata berbisik membuat wanita itu tertohok sebentar. Beruntung bibirnya tak bisa bicara sehingga ketakutannya tak begitu jelas.
Rasanya semakin tidak mengenakkan dan membuat guru pembimbing itu memilih keluar dari kantornya hingga sampai masalah dua orang itu selesai.
Dia juga tidak mengatakan pada siapapun dengan separuh di dengarnya hingga mengacuhkan beberapa guru lainnya yang bertanya.
"Aku mengatakan ini karena Jungkook anakku, aku ingin berjumpa dengannya karena aku rindu. Tapi aku tak menyangka jika kau menjadi ibu dari putraku, merupakan musuh lamamu." Menampilkan senyum sinis nya dia tak ingin kalah, sama sekali tak ingin lagi.
"Kau tidak tahu dengan apa yang aku pikirkan, jika Jungkook memang putramu dan kau merindukannya kenapa kau tidak menemuinya dan justru membuangnya." Apa yang dia katakan benar adanya tanpa dibuat ataupun kebohongan. Dia merasa menang dengan gagasan kuat ini.
Sepintas dia merasa bahwa kemenangannya berputar berbalik. Rupanya dia menghadapi wanita yang begitu kekeh dan kuat. Hingga dia juga tidak bisa mengatakan ungkapan lain dengan cepat, terdiam sesaat. "Aku datang kesini untuk menebus kesalahanku. Biarkan aku menjemput Jungkook dan tinggal bersamaku." Tak ingin membuang putranya kedua kali dia juga menyadari bahwa kesalahan dia lakukan dulu adalah salah. Akan tetapi dia juga punya hak sebagai seorang ibu.
Shi Hye sangat kesal dia bahkan tak akan melepaskan putranya begitu saja terlebih dengan seorang ibu seperti wanita di depannya. "Jika kau merasa kau punya hak untuk memperbaikinya kenapa kau tidak lakukan sejak dulu ketika dia mencari mu. Kau pikir kau siapa seenaknya mengambil Jungkook dariku, dia bahkan menyukaiku sebagai ibunya karena kau juga sudah membuangnya." Tak ingin terlalu dekat dengan wanita itu hingga dia mendorong sedikit tubuhnya hingga keduanya semakin mengeluarkan aura besar marahnya.
Shi Hye secara jujur jijik dengan wanita yang membuang darah dagingnya sendiri. "Jika kau berani mengambil Jungkook dariku aku tidak akan segan melaporkanmu pada pihak berwajib. Aku tidak ingin dia menderita karena hidup dengan ibu yang buruk sepertimu. Kau juga perebut suamiku kau tidak punya hak untuk mengambil warisan suamiku."
Mendadak semakin tegang ketika ibu dari dua anak ini membeberkan perihal yang membuat wanita di depannya menampilkan wajah terkejutnya. "Apa yang kau katakan kenapa bibir kotor mu mengatakan hal itu." Wajahnya seakan tak terima dengan segala tuduhan yang mengarah padanya. "Jangan mengelak sejak awal aku tahu kebusukkan mu." Mendorong wanita itu dengan kedua tangannya sengaja dia lakukan agar pelakor di depannya merasa takut. Ya, sampai kapanpun dia akan menganggap wanita di depannya sebagai pelakor.
Merasa tak terima dia menunjukkan sebuah surat bukti di depan wajahnya menunjukkan selembaran itu di udara. Tangannya bergetar untuk semakin keras menahan emosi.
"Kau mengatakan seolah diriku penjahat, aku kesini untuk mengambil Jungkook dan-"
"Anakku bukan barang dagangan yang seenaknya kau ambil lalu kau kendalikan. Aku tahu karena dia juga anak dari suamiku tapi kau tidak bisa melakukannya selama aku hidup. Jika kau ibunya kau tidak perlu mengatakan untuk mengambil, cukup membawa pulang anakku. Ucapan mu adalah cerminan dirimu dan kau menunjukkan padaku siapa kau. Jika kau ingin mengambil warisan suamiku karena atas nama Jungkook, maaf saja karena aku juga punya putra sulung."
Dengan cepat dia merebut kertas itu dan membuang nya serta meremat nya kuat. Melemparnya hingga mengenai wajahnya dia melampiaskan rasa kesalnya dengan sukses.
Dia tidak ingin kedua putranya dalam lingkungan bahaya meskipun dia tahu bahwa dia ibu kandung Jungkook. Akan tetapi dia merasa bahwa dia lebih pantas menjadi seorang ibu darinya. Jika Yoongi tahu ini bisa saja dia akan semakin membenci Jungkook karena statusnya juga masa lalu ayahnya yang buruk. Telah lama dia menyimpan masalah ini hingga pada akhirnya penjahat ini muncul.
"......." Terdiam tidak ada kata yang lolos di bibirnya lagi hanya tatapan tajam menantang tanpa suara. "Jika kau bermain denganku lihat dulu siapa lawan mu. Aku tidak akan memaafkan kesalahanmu dan untuk suamiku dia sudah tenang jangan membuat onar dengan membawa nama Jungkook, dia anakku dia Min Jungkook kau paham!"
Seperti permainan catur segala ucapannya dia buat mati di tempat. Wajah tegas persis seperti anaknya mengandung ketegasan absolut. Jeon Jungkook anaknya dan selamanya akan begitu. Mengambil hak dari orang tersesat dan keterlaluan. Dia melakukannya.
Shi Hye berjalan dengan angkuh menuju pintu keluar, semakin keras dia membenturkan sepatu hak tingginya maka semakin ciut juga nyali wanita penantang itu. Apakah dia puas? Tentu jika dia bisa melampiaskan emosinya ditahan beberapa tahun lamanya. Penyebab hampir keretakan rumah tangga dan masa kecil Yoongi yang kelam.
Sempat frustasi dan dia juga tersangkanya. Andai kata dia tidak datang sebagai pengganggu mungkin akan beda ceritanya. Mungkin saja Jungkook bisa lahir di keluarga lebih baik yang tak membuangnya.
"Kita sama-sama seorang ibu, hanya saja yang membedakan adalah pola pikir. Jika kau menyayangi anakmu seharusnya kau tidak membuangnya jangan salahkan aku jika suatu hari nanti dia sangat membencimu. Toleransi... Ingat kataku."
"....." Sialnya bibir itu membisu, ada seperti yang menahan dirinya.
Tersenyum miring dengan angkuh dan pergi meninggalkan ruangan itu. Ini sudah cukup panas dan untuk itu dia mencari Jungkook. Dia menahan rasa khawatir itu sendiri, hingga mengubungi seseorang dari balik ponselnya.
"Sampai kapanpun aku tidak memaafkan mu."
Ini bukan waktunya untuk dia menangis dia juga tak ingin menunjukkan kesediaan atau dia kalah. Jika ada pengganggu maka dia akan serius melawan.
Biar saja ada yang menangis karena demi apapun dia tetap tidak peduli.
,
"Appa..."
Gumaman lirih keluar dari bibirnya, suara Yoongi menubruk udara dalam kamarnya. Dia tidak pengap tapi kenapa dadanya begitu sesak untuk bernafas. Begitu juga peluh keringat keluar di dahinya.
"Appa, aku merindukanmu hikksss..."
Apakah dia sedang mimpi buruk, apalagi bibir itu kering pucat dengan Cahya wajah tak lagi segar. Di sana seseorang terdiam ketika melihat kawannya tak berdaya diatas tempat tidurnya.
"Yoongi..." Mengulum bibirnya sendu, dia merasa bahwa kawannya ini merasa penuh beban. Jung Hoseok dia datang ketika nyonya Min meminta bantuan padanya untuk menjaga Yoongi. Memberikan amanah pada yang ahli memang membuat siapapun akan lebih tenang.
"Andaikan kau mendengarkan ku mungkin kau tidak akan menyalahkan dirimu sendiri. Semua yang dikatakan Jimin akan aku katakan." Membenarkan selimut tebal itu dia harap bahwa Yoongi segera membaik. Skizofrenia penyakit siapapun tidak akan mau. Apakah Yoongi dihindari orang lain, entahlah hanya saja banyak yang takut dengan sikap kasarnya.
Hoseok memilih untuk keluar dari kamar itu dia ingin menghilangkan sedikit rasa jenuh dengan menonton televisi dibawah untuk lima belas menit. Tetapi ketika dia hendak turun seseorang datang hingga puncak tangga, keduanya menatap satu sama lain kaget. Pemuda yang masih menggunakan seragamnya dan Hoseok yang menggunakan jas putih dokternya.
"Siapa kau?" suara lirih itu dengan memandang kamar sang kakak yang seperempat di buka. Jungkook langsung lari masuk ke dalam kamar sebelum dia mendengarkan penjelasan seseorang itu. "Apa yang kau lakukan, kenapa Yoongi hyung ada apa dengannya?" dia sangat khawatir, bahkan dia menatap curiga takut jika namja di depannya adalah penjahat yang menyamar.
"Kakakmu tidak apa-apa dia tertidur dan masa pemulihan, apakah kau adiknya?"
Pemuda kelinci itu mengangguk dia memperhatikan sang kakak begitu pulas, dia percaya dan dengan cepat menghilangkan air matanya. Kenapa dia harus menangis dengan kejadian di sekolah padahal dia sudah ijin untuk pulang cepat.
"Apa kau lapar, kebetulan aku ingin membuat telur dadar." Menawarkan sesuatu yang bisa mengisi rasa lapar di perut mereka apalagi waktu menunjukkan pukul 12 siang, tentu saja sudah sampai seperti ini bunyinya.
"Emmm.... Sepertinya iya, karena perutku memberontak." Mengatakannya dengan sedikit malu hingga dia meringis sedikit manis dengan menampilkan dua gigi kelincinya dia membawa kebahagiaan hingga dokter itu juga tertular. "Baiklah ayo kita ke dapur, dan bantu aku memasak. Sepertinya kita tidak hanya membuat dadar gulung."
Jungkook mengiyakan dia mempersilahkan namja itu untuk turun terlebih dahulu, ada hal yang ingin dia lakukan saat ini.
"Yoongi hyung, apakah kau baik? Maafkan aku karena tidak bisa menjagamu. Kuharap kau segera sembuh dan aku bisa melihatmu tertawa, aku tidak ingin kau berakhir tragis dengan sakit mu. Bisakah kau berjanji untuk sembuh? Bukan untukku jika kau tidak mau, tapi untuk eomma. Karena kau anak kesayangan appa."
Dia duduk sebentar disana, kedua tangannya menggenggam erat tangan kanan sang kakak penuh sayang, dia sedikit mengatur emosi juga semua perasaan dalam lubuk hatinya agar tidak gila. Menaruh sebuah gelang bintang di tangan kakaknya dan menutup tangan itu rapat, Jungkook tersenyum dengan segala harapan di setiap doa di hatinya. Bukan hanya itu saja dia masih ingin melihat sang kakak melakukan kesenangannya agar tidak monoton.
Menjatuhkan kepalanya di atas kepalan tangan mengepal tangan kakaknya. Dia melepaskan semua rasa egoisnya agar bisa masuk dan menenangkan egois kakaknya. "Aku akan membantumu sebelum aku dibawa pergi, semakin aku bisa menyembuhkan mu maka semakin lega. Kumohon jangan membenciku jika kau menyadarinya karena aku adikmu Jeon Jungkook bukannya Jimin yang selalu kau ingat."
Dia tidak bisa menahan air matanya lebih lama lagi, terlalu banyak beban pikiran dalam otaknya. Dia juga tidak bisa berbohong dengan semua ucapannya, tak ada harapan jika itu nyata. Hanya saja Yoongi berada dalam kawasan seperti cobaan, seperti sebuah mesin yang di garansi dan diperbaiki. Yoongi akan membaik jika hatinya baik.
Bisakah dia berpusat pada kesehatan sang kakak dibandingkan harus memikirkan orang asing yang datang dan menyebut dirinya ibunya. Bisakah dia melupakan masalah tadi hingga dia bisa membuat kakaknya Min Yoongi kembali membaik. Dia memilih kakaknya yang tempramental ketimbang harus menghadapi hal tadi.
Jika seseorang melihat ini termasuk kakaknya yang bangun pasti dia akan dianggap lemah atau cengeng. Biarkan saja dia juga tak tahu melakukan apa jika kebenaran ini begitu menyakitkan.
Berharap bahwa ada sebuah mimpi yang tidak mengatakan kebenaran ini. Terlebih....
"Maafkan aku..." Saking tak terbendung lagi Jungkook menjatuhkan keningnya di pinggir tempat tidur sang kakak, dia tak kuasa dan dia lemah. Apakah ibu kandungnya akan membawanya? Tapi dia juga meragu apakah wanita itu ibunya, meski dia sempat berfikir bahwa wanita itu penipu akan tetapi...
Dia merasa naluri keibuan dan hatinya mengatakan ya itu ibu. "Aku tidak mau berpisah dengan keluarga ini Tuhan."
Tes ..
Tes...
Bohong jika Jungkook tak takut kehilangan keluarganya, bohong jika dia mau ikut ibunya. Entah kenapa dia seakan tak bisa menerima, apakah karena dia tahu bahwa sejak kecil dia dibuang hingga tanpa sadar rasa benci itu ada walau tidak sepenuhnya.
Jika bisa dia lebih memilih jatuh terjungkal di jurang ketimbang menerima kejujuran dengan segala rasa sakit yang ada. Yoongi disana membuka matanya dia tak tidur selelap perkiraan dia sudah sadar dan melihat puncak kepala Jungkook dengan getaran kecil karena menangis. Ini pertama kalinya dia melihat seseorang dia benci terpuruk sedekat ini.
"Kenapa aku tidak bahagia, dan kenapa aku justru sedih. Bukankah dulu aku menginginkan dia seperti ini. Apakah aku gila karena bius? Jika iya kenapa aku merasa bahwa... Dia kasihan."
"Kenapa kau menangis?" tangan itu bergerak menyentuh puncak kepala Jungkook, kedua mata Yoongi sedikit terpejam. Apakah kesadarannya masih kurang? Entahlah.... Jungkook terkejut dengan sikap kakaknya yang mendadak ini. Tangan halus begitu sayang mengusapnya kapan lagi dia akan merasakan hal seperti itu?
Yoongi juga terdiam ketika mata sang adik menatapnya, seperti diam seribu bahasa. "Yoongi hyung hikksss..." Jatuh di pundak sang kakak walaupun Yoongi terbaring lemah. Jungkook juga tak peduli jika kakaknya akan mengusirnya karena sudah mengusik. Akan tetapi tak ada protesan disana hingga.
"Kau merepotkan..." Helaan nafas dengan kedua mata menatap kosong disana. Dia juga tidak memiliki tenaga untuk mendorong jauh namja yang menangis itu. Walah risih kenyataannya dia seperti entah.... Apakah ini sebuah lelucon untuk hidupnya.
"Ada apa denganku?"
Tak ada yang aneh sebenarnya, hanya saja seorang Min Yoongi ikut menangis bersamanya. Adiknya yang bukan adik kandungnya. Dia menangis dengan tulus atau hanya sebuah skenario saja?
Entah, ini rumit. Tuhan seakan menguji hambanya lagi, untuk mendapatkan hasil terbaik.
,
(Flashback **** ON)
"Eomma..." Taehyung datang dengan boneka beruang di tangannya, air matanya berlinang ketika dia menangisi ayahnya yang tak kunjung pulang. Ditambah lagi hujan badai.
"Kau belum tidur nak, kenapa kau menangis sayang." Ibunya mengusap air matanya dengan wajah khawatir dia juga belum memejamkan matanya ketika melihat jam dinding menunjukkan angka dua belas malam.
Bagaimana dan dimanakah sang suami tidak ada yang tahu hanya sebuah doa dipanjatkan untuk keselamatannya. "Kemana kau Tae?" Anaknya turun dari pangkuannya sang ibu juga mendekat pada anaknya berharap jika putra kesayangannya akan kembali memeluknya.
"Aku ingin menunggu appa, eomma... Kita cari appa." Anak pemberani dengan memeluk boneka beruangnya saja Taehyung berjalan mendekat ke pintu keluar. Ya, bahkan dia juga mengambil payung di salah satu keranjang rumah, ibunya memeluk sang anak dan menggendongnya. Bocah berusia empat tahun ini sudah membuat ibunya kagum.
"Tae sayang, ingat kata appa. Jika kita harus menunggunya. Kita tidak boleh menyusulnya karena badai sangat lebat, bagaimana kalau Tae sakit nanti appa sedih." Ibunya menasihatinya dia tahu bagaimana putranya sangat dekat dengan ayahnya. Dia melihat dan memeluk putranya yang menangis. Dia juga menepuk pundak putranya yang rewel mencari ayahnya.
Kemana ayah.. kemana ayah...
Rengekan itu yang terus keluar dari bibirnya hingga dia serak dia juga merah pada hidungnya seperti bocah kena flu. Ibunya tak bisa melakukan apapun jika putranya menangis selain menunggu suaminya pulang.
"Hikksss... Eomma, kenapa appa belum pulang hikkss... Aku ingin appa pulang, apakah dia mencari mainan untukku hiikkksss. Aku tidak mau mainan kalau appa ku tidak pulang huuueee hikksss....."
Taehyung menyadari bahwa tadi sore dia meminta agar ayahnya mencari kado ulang tahun untuknya. Dia anak nakal jika menurut pemikirannya karena meminta hadiah, itu sama saja dia menuntut hadiah Natal dari sinterklas. Taehyung bahkan menyalahkan dirinya sendiri dengan memukul kepalanya dengan tangan, bocah menggemaskan itu seakan tahu bahwa dia anak nakal dan kurang pengertian.
Jika tahu seperti ini tak seharusnya dia memaksa sang ayah mendapatkan apa yang diinginkannya. "Taehyung jangan pukul kepalamu nak, nanti sakit sayang..." Ibunya menahan tangan anaknya dia juga meminta agar anaknya untuk tenang berjanji bahwa ayahnya akan pulang dengan selamat di tengah badai dahsyat ini.
"Hikksss... Aku tidak mau tidur kalau appa belum memeluk dan menemui ku eomma."
Ibunya mengangguk dengan air mata yang keluar sedikit dari pelupuknya, anak yang polos begitu dia sayangi. Bahkan dia tidak bisa memberikan janji palsu pada putra kesayangannya itu. Berharap bahwa suaminya baik saja sebuah anugerah. Taehyung bahkan menangis dalam pelukan ibunya di samping rasa takutnya dengan gemuruh petir yang menggelegar keras.
Lampu padam dan Taehyung berteriak keras memanggil orang tuanya. Dia juga menangis dengan keras saat mendengar suara petir menyambar pohon yang tak jauh dari rumah mereka. Bocah ini juga menutup kedua telinganya dengan kuat sehingga dia mendengarnya samar namun menakutkan. "Taehyung ada eomma sayang... Ada eomma kamu anak kuat, jangan takut hem..."
"Eomma kenapa petirnya keras sekali apa dia tidak sayang aku. Tae takut eomma, Tae tidak mau berteman dengan petir hikksss...."
Ibunya menutup kedua telinga putra kesayangannya, dia juga mengulas senyumnya di balik lilin yang baru saja dia hidupkan. Putranya tidak suka gelap dan beruntung dia tanggap dengan membeli satu kotak kecil lilin kemarin.
"Sini sayang, eomma tak akan membiarkan Tae sendiri. Ada eomma aigu kamu takut... Tidak apa ada eomma hem, Taehyung tidur nde supaya appa cepat pulang."
Diusapnya penuh sayang rambut anaknya itu dia juga menopang dagu di puncak kepalanya. Taehyung mengangguk dengan pelan ketika ibunya bertanya apakah dia tidak takut? Dia juga mengatakan bahwa ibunya akan selalu ada disampingnya apapun yang terjadi. "Jangan tinggalkan aku eomma." Peluk Taehyung dengan manja, dia juga mengantuk dan lelah habis menangis.
Mata itu juga sedikit merah hingga ibunya meniup penuh sayang, Taehyung merasa nyaman apalagi tiupan ibunya lah yang paling ampuh untuk menyembuhkan matanya ketika sakit.
"Anakku jika kau takut peluklah ibu. Aku tidak akan meninggalkan mu sayang, apakah kau mau memeluk ibumu jika kau takut?"
Taehyung kecil mengangguk dia tak bersuara, hanya mendengarkan suara detak jantung ibunya dengan tenang. Ibu... Dia adalah wanita yang begitu Taehyung sayangi. Hingga bisa tahu bahwa tak semua anak memiliki ibu seperti miliknya. Masing-masing anak punya satu dengan kepribadian yang berbeda jua. Kedua mata Taehyung juga hampir terpejam jika tidak mendengar seseorang berteriak pulang.
"Appa pulang..."
"APPAAAA..."
Kaki bocah itu turun dengan lincah dia juga sedikit oleng ketika ibunya tidak menahan tubuhnya. Karena tak mau anaknya jatuh membentur lantai atau terluka. Taehyung tak memberontak dan manik matanya bertemu dengan ayahnya. Dia merentang tangan dan ingin memeluknya serta menunjukkan hadiah yang dia janjikan.
"Appa kenapa membuatku marah, Tae tidak suka appa pulang terlambat."
"Astaga putra kesayanganku, maafkan aku. Appa janji tidak pulang larut malam Taehyung khawatir ya sama appa."
Taehyung menangis dia memeluk ayahnya dan menenggelamkan wajahnya disana. Wajah menangkisnya membuat kedua orang tuanya tersenyum dan tertawa, dia menganggap hal itu sangat lucu. Apalagi kedua pipi anak mereka yang merah seperti buah tomat matang.
Saat itulah, kehidupan Taehyung kecil bagaikan di surga dia tidak tahu apa itu kesedihan dan masalah hidup rumit. Yang ada adalah ketika kau bahagia mendapatkan mainan baru dan memakan makanan manis atau mendapatkan baju baru hingga kau bisa pamer pada setiap orang berapa imutnya kau.
Lalu sekarang...
(Flashback ***** OFF)
Taehyung sudah lelah menangis untuk sekarang dia hanya bisa mengambil nafas beratnya.
"Taehyung...."
Seseorang di belakangnya juga tak sanggup untuk berbicara, dia juga merasa Kelu pada bibirnya ketika melihat musibah ini.
"Aku ingin sendiri hyung." Taehyung mengangkat tangannya lemas dia juga menatap kosong kesana. Dimana ada halaman sepi di depan rumah sakit, dia juga tak peduli jika dia menyedihkan sekalipun. Seokjin tetap mengikutinya, bagaimana bisa dia melakukan itu sementara adiknya hancur.
"Eomma.... Appa... Kenapa kalian pergi dengan cara seperti itu. Apakah kalian tidak sayang aku lagi hikkss..." Susah sekali untuk bernafas, membuat dia merasa bahwa dia akan memiliki penyakit asma. Begitu lemas kedua kaki Taehyung hingga dia bertopang pada sebuah pohon dan tak mampu berdiri dengan tegap.
"Tuhan kenapa harus mereka..."
Taehyung ingin mati rasanya. Bisakah dia meminta kematian agar bisa menyusul kedua orangtuanya.
..........
TBC...
Hai semua apa kabar kalian, aku updete ketika aku pakai ponsel pinjaman hahaha...
Oh iya jaga kesehatan ya jangan sampai sakit dan siapa yang suka dengan chapter ini? Lalu bagaimana menurut kalian kisah ini apakah terlalu naif? Hehehe...
Terimakasih untuk dukungan kalian, salam cinta hangat untuk kalian.
Gomawo and saranghae....
05/08/2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro