Part 44 : Mikrokosmos
"Hal sekecil itu bisa dilihat, lalu apakah hati itu bagaikan molekul yang di lihat dengan mikroskop? Kalau kebaikan hanya sebuih lalu kenapa kejahatan bisa satu lautan?"
.
(Author ***** POV)
(Flashback ***** ON)
12 February...
Hujan turun dengan deras, seseorang melangkah kakinya di tengah badai yang terjadi. Tak ada mobil atau kendaraan umum, yang ada hanya sebuah payung putih yang bertarung dalam badai angin dengan sebuah tas dan keranjang bayi.
Suara gagak bahkan tak bisa terdengar karena mereka sibuk berteduh dan juga badai hujan yang begitu membingungkan setiap pendengarannya. Namun, dia terpaksa menerobos dan masuk lebih dalam di sebuah kawasan jalan setapak penuh dengan pohon.
Dia masih menggunakan baju rawat inap dengan pandangan gelisah juga beberapa kali menoleh ke belakang. Wanita itu berusia sekitar dua puluh lima tahun dan dia menyembunyikan wajah lelahnya. Wajah pucatnya yang
seperti kehabisan darah. Dia yang berjalan tertatih seperti kehilangan keseimbangan, dengan berkali-kali menopang pada Pohon setiap dia melangkahkan kakinya.
Tuhan melihat satu keburukan darinya, sesuatu yang tak ada orang tau selain malaikat yang mencatat perbuatanya. Dia seperti mengubur dosa dengan cara laknat.
Sampai di sebuah rumah dengan melewati bayang teriakan orang yang membayang di otaknya dan juga keluhan alam padanya. Dia tak bisa menangis dengan lepas, hanya tatapan sendu yang kini tangan mengulas senyum di pipinya. Dia mengusap air matanya sendiri dengan kebanggaan.
"Kau adalah anugerah terbesarku, akan tetapi kau datang di saat tidak tepat." Dia memperhatikan sang bayi mungil yang tertidur lelap dalam keranjang itu.
"Satu bulan menyusui mu. Bagiku itu sudah cukup, aku tidak ingin aib dan tidak ingin kesalahan yang sama saat mengurus mu. Beruntung wajahmu mirip dengan ku dan bukan ayahmu. Aku tak akan membunuhmu tapi aku menemukan surgamu. Disini kau aman dan suatu hari nanti mungkin kau akan menjadi anak orang kaya."
Bayi itu tak menangis, meski guntur berbunyi dan hujan deras turun di bawahnya. Di bawah lindungan payung sang ibu dengan pelukannya juga, tapi tak lagi hanya karena wanita itu juga di kejar badai. Semakin larut dan semakin deras hujan turun. Suhu dingin mematikan sendi setiap nya dan menciptakan linu yang luar biasa di tubuhnya. Apalagi bekas operasi sesar yang dia jalankan belum sembuh total.
Manusia....
Hamba Tuhan, apakah mereka selalu seperti mengabaikan perintahnya. Wanita itu mencium kening bayi kecilnya, menciumnya dengan syahdu dan mencium dengan sayang. Memejamkan kedua matanya hingga titik air mata itu jatuh. Dia datang dan dia pergi...
"Tumbuhlah dengan kuat jadilah manusia berhati malaikat. Maafkan ibumu nak, aku membawamu kesini agar kau menjadi lebih baik. Hidup dengan ibumu akan menjadi masalah dan kau akan menjadi anak yang bermasalah. Ibumu ini seorang penjahat dan bukan wanita baik. Aku akan meminta pada Tuhan supaya kau bahagia selalu nak."
Tatapan itu menjadi kosong saat setiap langkahnya. Tatapan penuh dengan untaian dosa yang pernah ia lakukan bahkan sampai sekarang, dengan mengatakan ini dosa terakhir dan terbesarnya. Semesta menyaksikan salah satu kekejaman yang begitu nyata.
Mungkin jika bayi itu tumbuh dewasa, dia pasti akan bertanya 'di mana ibunya?' memandang dari sana. Wanita pucat itu bahkan menangis, meninggalkan payung yang dia pakai untuk melindungi tubuh putra kecilnya dari cipatran air dingin itu. Semakin mengutuk nya dan sepertinya Tuhan akan murka.
Bayi itu menangis saat dia merasa dingin, tanpa ada yang memeluknya bahkan sang ibu tak ada disana. Dia tak bisa lagi meminum air susu ibunya dan tak bisa lagi merasakan usapan lembut dari tangannya saat memandikannya.
Tak ada malaikat yang menghiburnya dan membuat dia menangis tertahan, suara serak bayi yang meminta tolong karena badai semakin menakutkan. Hingga menumbangkan sebuah pohon di halaman dan beruntung jauh dari bayi kecil yang menangis.
Mungkin pohon tadi membuat seseorang di dalamnya menjadi penasaran, dia keluar dengan melihat sekitar. Melihat bahwa pohon disana ambruk dan hancur berantakan di halaman. Batang kulit yang sudah menua dengan rimbunan pohon yang berkurang, seorang bocah tampan yang terkejut dengan di bawahnya.
"Oh astaga bayi siapakah ini." Dia mendekat dan membungkuk, mengangkat tubuh mungil yang terisak dan menangis itu. Dia langsung memeluk dan menggendongnya dan membawa bayi mungil itu dalam pelukan hangatnya. Senyum dimpel yang nampak di kedua pipinya nampak membuatnya manis. Suaranya juga terdengar keras saat memanggil mamanya.
"Myungsoo ada apa? Kenapa kau berteriak sayang?!" Wanita yang dari dalam rumah itu keluar, dia melihat anak asuh kesayangan nya menggendong seorang bayi. Bayi yang menangis dan terisak kedinginan. Tentu saja dia terkejut, dia meminta Myungsoo masuk dengan dia mengambil tas berisi peralatan bayi di dalamnya.
"Mama, dia kedinginan dan lapar. Siapa yang tega membuangnya?" Nampak begitu sayang meski baru pertama kali menggendongnya. Myungsoo mengusap pipinya ke arah wajah bayi tersebut, sensasi lembut dan kenyal juga bau khas seorang bayi. Ini adalah sebuah anugerah sekaligus kemalangan bagi sang bayi karena dia dibuang orang tuanya.
"Kenapa ada orang yang membuang bayi sehat dan semanis ini. Beruntung dia dibawa ke panti asuhan kita, aku tidak bisa bayangkan jika dia dibuang di sungai dan di tempat berbahaya seperti hutan." Dia mengusap sayang bayi itu, Myungsoo sedikit kesusahan untuk menenangkannya beberapa kali dia menggerakkan gendongannya membuat seperti ayunan kecil untuk si mungil.
Bayi itu kelaparan karena mulut nya membuka saat ada jari yang masuk. Merasa kasihan sang mama langsung menyuruh Myungsoo membawanya ke dalam kamar. Dia tak ingin bayi itu kedinginan karena bajunya yang basah. Apalagi guntur semakin keras. Beruntung sekali anak-anak yang lain sudah tidur dengan nyenyak.
"Mama, bolehkah aku tidur dengan bayi ini. Aku suka dia akan jadi adikku, dan beri dia nama mama. Dia cukup tampan." Myungsoo meminta kedua hal itu pada wanita yang dia sudah anggap sebagai ibunya. Dia sangat ingin, bahkan dia memeluk penuh sayang. Si bayi kecil merasakan kehangatan dan tak menangis sekeras awal tadi.
Ini menyenangkan dan lelabuh yang nyenyak meliputi dirinya. Sang mama mengangguk memperbolehkan bocah itu karena dia tahu bahwa Myungsoo sudah pandai mengurus bayi karena dia paling tua dan sangat bertanggung jawab.
"Jeon Jungkook..."
"Apa itu namanya mama?" Dia menoleh ke atas, melihat sang mama yang mengulas senyumnya dan menganggukkan kepala.
"Iya, di kertas ini ada nama nya. Ini tulisan orang tua bayi itu. Kasihan sekali dia dibuang disaat dia masih membutuhkan kasih sayang orang tua. Myungsoo bisa kau jaga dia, kita semua akan menjaganya dan kita akan membuat dia menjadi anak yang paling berharga." Dia berjongkok menyamakan tinggi badan dirinya dengan Myungsoo.
Melihat wajah mungil itu penuh sayang, juga merasa sedih karena harus melihat begitu banyaknya bayi yang dibuang. Terlalu banyak korban pembuangan, meremat surat itu dengan tangan bergetar. Hingga kusut pada kertasnya. Surat permintaan orang tuanya memberi nama dan menjaganya, dengan alasan yang tidak manusiawi mengenai ketidaksanggupan seseorang merawat anaknya.
(Flashback ***** OFF)
.
Sudah satu jam lamanya keduanya dalam obrolan panjang, Myung Ho berada di depan pintu melambaikan tangannya. Kepergian Shi Hye membuat dia menjadi diam walau sebentar. Ya, sejak pembahasan mengenai Jungkook membuat sedikit perubahan aura. Akan tetapi masih ada kewajaran, pada akhirnya wanita yang mengemban menjadi tumpuan para anak itu duduk dengan menatap cangkir berisikan teh hijau yang tersisa.
Dia duduk dengan menghirup oksigen dengan tenang, ada alasan sendiri kenapa dia seperti itu. Menceritakan semua mengenai masa lalu hampir semua anak asuhnya seperti mengeluarkan beban yang seharusnya dia rahasiakan. Ada dua tipe di dunia ini, orang yang menuntut dan ada orang yang pengertian. Entah benar atau tidak yang jelas seseorang itu berada dalam keduanya.
Myung Ho, menatap foto yang terpajang disana. Dia melihat dua orang yang sedang mengulas senyumnya, mereka berangkulan dengan banyaknya sekelompok anak kecil yang berkerumun di tengah mereka. Semua anak panti adalah semangatnya, dan dia melihat salah seorang dengan mata kerinduan.
"Hei nak, sudah berapa lama kau meninggalkan semua adikmu. Kau aku pertahanan kan dan karena kau suasana seperti ini tercipta dengan menyenangkan. Anak-anak selalu mendoakan dirimu, tetaplah di surga. Dimana semesta selalu menjadi rumahmu. Tuhan akan di sampingmu dan begitu pula, adikmu... Dia menjadi anak dari seorang yang kaya. Seorang yang baik hatinya meskipun dia masih meninggalkan duka. Apa yang akan kau lakukan, jika kau melihat kegelisahan adik kesayanganmu yang menjadi. Mama tidak bisa menolong banyak, adikmu dia pasti merindukan mu. Karena kau pergi begitu cepat."
Wanita cantik itu seperti ingin menangis, tapi dia tahan rasa itu saat melihat wajah senyum yang menjadi sebuah kenangan. Tragedi memilukan yang meninggalkan luka bagi banyak orang. Berharap hal seperti ini terjadi untuk pertama dan terakhir, hanya Jungkook yang mempunyai banyak kenangan dengannya. Seseorang yang pergi dengan membawa nama kebaikan sebagai pahlawan pelindung adiknya.
"Myungsoo kau pasti mengawasi Jungkook bukan? Dia adalah kesayangan mu melebihi dirimu. Entah kenapa kami semua merindukanmu, Jungkook mungkin gelisah dan mama tau apa penyebabnya. Kau tidak akan terlupakan olehnya." Dia tersenyum menatap ke arah jendela, memperhatikan anak-anak bermain dengan riang. Sejuta senyum dan tawa juga teriakan bocah yang menggemaskan.
Memperhatikan sebuah ayunan kosong yang kebetulan tak dipakai, itu ayunan yang terbuat dari ban bekas. Mainan favorit Jungkook ketika masih menggunakan popok di usianya empat tahun dan Myungsoo yang selalu menuruti keinginan adiknya, hingga tercipta mainan yang sederhana disana.
Menangis...
Mama menangis melihat bayang masa lalu yang bergerak, bayang tentang mereka yang masih teringat jelas dalam memori berwarna. Sebuah klausa majemuk dalam setiap deretan cerita. Keduanya tertawa girang dan melambaikan tangan, sadar jika itu hanya bayangan semua itu menghilang dalam beberapa detik.
.
Taehyung tak tahu jika murkanya orang tua akan mengerikan seperti ini. Sang ibu yang baru saja menangis kecewa dan sang ayah yang menamparnya dengan keras hingga suaranya berbunyi nyaring dan memecah dalam ruangan. Baru saja mereka pulang belum sang anak menyambut justru putranya di hukum.
Seokjin menyaksikan kerasnya keluarga ini dalam diam, dia melihat Taehyung yang menundukkan kepalanya dan mengepal. Dia menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa nyeri dan juga menahan rasa sakit di setiap ucapan amarah sang ayah yang meledak. Keluarga Kim memang terdengar keras, dia juga sependapat lantaran di sana penuh dengan ketertiban.
"Kau memalukan kami Taehyung! Kesalahanmu membuat kami malu, kenapa kau memukul gurumu dan kenapa nilai mu turun. Lalu kau tidak mengakui akan kebodohan mu dsn menghajar pak Jo! Beliau menelfon kamu dan mengatakan semuanya!" Sangat keras hingga bantingan pintu yang ditinju itu mungkin sedikit kalah dengan aura amarah sang ayah. Sang anak hanya bisa diam sembari mendengarkan hampir semua rasa sakit itu.
"Suamiku sudah jangan memarahi dia, kita sudah cukup banyak menghukumnya. Biarkan Taehyung berfikir jernih, jangan tampar dia." Taehyung melihat ibunya memohon, bukan suatu hal yang buruk akan tetapi dia tak sanggup jika harus melihat wanita yang melahirkan nya menangis. Melihat sang ibu membelanya meski dia salah membuat Taehyung menjadi sedikit tak enak hati.
Dia melirik ke arah Seokjin yang duduk di meja makan dengan diam. Ingin merengek tapi dia tahu posisi sang kakak sepupu yang tak akan bisa membantu nya karena bisa saja sang ayah menjadi murka. Lagi-lagi Taehyung di tampar sebelum dia berhasil berbicara untuk menceritakan yang sebenarnya.
"Kau anak nakal sangat berandal apa yang membuatmu menjadi seperti seorang preman! Ayah menyesal memanjakan mu hah!" Dia menghajar sang anak membuat putranya jatuh tersungkur dengan tubuh yang berusaha melindungi diri dari tendangan dan pukulan sang ayah, tanpa membalasnya sedikitpun.
"Hentikan! Tolong hentikan suamiku, Kau akan menyakiti Taehyung, hentikan!" Sang ibu menahan tubuh suaminya untuk tidak menyakiti putranya secara lebih.
"Paman, sudah cukup paman." Seokjin berlari, dia menyusul kesana melihat Taehyung yang meringis sakit dan ambruk membuat dia tidak tahan untuk tidak ikut campur. Dia menarik tubuh pamannya ke belakang dan mengatakan untuk sang paman tetap tenang. Seokjin berusaha meski tubuhnya juga terdorong ke sisi kanan karena lengan sang ayah. Saking emosinya membuat Seokjin terbanting satu kali ke dinding dan suasana semakin ricuh saja.
"Jangan hentikan aku, anak kurang ajar ini harus butuh pelajaran!" Dia menunjuk keras ke arah Taehyung, dia juga mengatakan hal kasar di depan sang anak. Dia kehilangan kendali tempramental dan menjadi sadis saat menyakiti namja muda itu. Taehyung seakan tak berdaya karena semua rasa sakit di tubuhnya sudah sukses menghancurkan dirinya.
"Paman kumohon sudah cukup, kasihan Taehyung paman." Seokjin berdiri di depan pria yang menjadi kalap tersebut, kedua tangannya membentang guna menjadi benteng untuk sang adik yang sedang terbatuk di belakangnya. Dadanya terasa nyeri dan disekitar ulu hati juga. "Suamiku hiksss... Kumohon jangan pukul Tae, dia sudah kesakitan kumohon jangan suamiku." Dia memohon dan memeluk suaminya dari belakang, dia ingin tak ada lagi kekerasan. Nafas pria itu sudah mulai teratur tapi tatapan marah pria itu masih menatap anaknya. Dia merasa kecewa berat dan sedikit membencinya untuk sekarang, emosional yang menggila.
Sepertinya sudah aman dan wanita yang menjadi seorang ibu itu berhasil menarik suaminya untuk pergi ke ruangan di sisi sana. Taehyung yang merasa bahwa seluruh kepalanya pening dengan bagian ulu hati yang nyeri pasrah. "Tae, kau tak apa?" Sang kakak sepupu membantu namja muda itu untuk berdiri, dia tak kuasa melihat adiknya begini.
"Aku tak apa hyung, terimakasih." Dia melihat penglihatan di sekitarnya memburam. Meringis saat dia mencoba duduk dan menjadi tak kuasa untuk tidak bersandar, sang kakak tak ingin banyak bicara langsung sigap merangkul tangan sang adik dan mencoba untuk membawanya ke kamar.
"Ayo kita obati lukamu dulu, aku tidak mau kau menjadi lebih bengkak." Dengan sangat hati-hati keduanya berjalan, mencoba menaiki tangga dan penuh perhatian. Kaki lemas Taehyung merasa tak sanggup bergerak tapi dia paksakan, dia melihat wajahnya yang babak belur dengan luka baru di kaca yang tak sengaja ia lewati. Seokjin dengan sangat hati-hati membawanya untuk naik.
"Apakah aku perlu menggendongmu?" Dia merasa bahwa apa yang dilakukan sang adik sepupu cukup menyulitkan. " Tidak aku bisa jalan sendiri, aku akan mencoba hyung." Dia meminta agar sang kakak tidak merepotkan dirinya sendiri. Seokjin tahu jalan pemikiran Taehyung dan dia tak suka jika sang adik berfikir bahwa dia keberatan.
Taehyung tersenyum melihat wajah cemberut sang kakak, dia menganggap itu semua sebagai suatu hal yang lucu. Dia bahkan tersenyum meringis setelah itu dia mengaduh sakit karena lupa dengan lukanya, beruntung sang ayah tak melihat tingkah Taehyung karena bisa saja itu akan menjadi kesalahpahaman lagi.
"Jangan bercanda Tae, kau harus obati lukamu dulu." Siapa yang tidak kesal, jika kau merawat orang terluka sementara dia bermain-main dengan wajah yang begitu menggampangkan. Seolah lupa bahwa dia baru saja bobrok adu jotos dengan hukum alam. "Aku tidak bercanda tapi benar kau sangat lucu, selera humorku rendah jadi maaf kalau aku tertawa." Dia tak ingin sang kakak menjadi lebih marah ketimbang ayahnya.
"Aduh sakitnya." Taehyung protes dia merasa nyeri yang datang secara mendadak itu. "Kau sendiri yang menempelkannya, kau ini harusnya bisa lebih hati-hati." Melihat tangan sang adik yang akan memperparah luka lebam itu membuat namja dengan marga Kim nya itu juga turut andil untuk kepulihan Taehyung yang menjadi anak nakal untuk beberapa waktu.
"Kau sangat pandai mengobati sepertinya. Rasanya menjadi sedikit lebih lega. Apakah tanganmu seperti seorang dukun?" Dia melihat telapak tangan kakaknya, ada garis telapak tangan mujur disana meskipun dia tak tahu apa itu. " Hei anak muda kau ini harusnya bisa memikirkan kemarahan ayahmu tadi dan bukannya bercanda. Lihatlah dirimu kau semakin parah dan paman dia juga sangat marah padamu." Dia ingin sekali menjitak anak nakal di depannya jika dia tidak ingat bahwa dia bekerja disini.
"Bagaimana bisa? Aku tidak salah kenapa aku harus memikirkannya. Pak Jo sangat keterlaluan dan sangat dendam denganku hingga aku di fitnah. Aku tentu saja ingin membanggakan kedua orang tua. Hanya saja ada dua Dugong yang menghalangi." Dia berkomentar banyak dan meracau tak jelas. Seokjin mendengar hal itu semua tanpa kurang satu apapun dia bahkan memasang wajah serius sembari berfikir.
"Tapi ini demi kebaikanmu, paman sangat selektif aku tahu dan aku menghormatinya. Harusnya kau juga karena seburuk apapun dan segalak
nya ayahmu dia juga tetap menjadi ayahmu, karena kau anaknya." Jin berusaha meyakinkan sekaligus memasang hansaplast di sisi jidat adiknya. Dia melihat bahwa tak ada luka lebam yang terlewatkan, kembali memasukan alat medis p3k di dalam tas loker lagi.
Mereka di dalam kamar Taehyung, dimana tempat yang aman dan nyaman untuk menahan rasa emosi. Di sana Jin melihat bahwa tak ada raut emosi yang nampak di wajah adiknya.
"Jin hyung apakah kau suka merasa kesal dan marah saat kedua orang tua marah pada kita?" Taehyung menjatuhkan dirinya di bawah kasur empuk miliknya, kedua manik matanya menatap plafrom atas langit kamarnya. Ini sudah malam dan cuaca disana sepertinya baik karena ada begitu banyak jangkrik yang berbunyi.
Seokjin yang juga merasa ingin ikut bersantai menjatuhkan tubuhnya, di juga menatap sama apa yang sedang dilihat Taehyung. Keduanya menjadi lebih akrab dan lebih dekat dengan banyak hal yang terjadi. "Ya, tapi aku tahu bahwa mereka begitu karena sayang." Dia mencoba untuk menjadi pendengar serta pemberi saran yang baik untuk seseorang disampingnya.
"Kalau begitu apakah ada alasan kenapa kita tidak boleh protes. Kalau dipukul dan dimarahi apakah kita akan harus diam?" Sepertinya membahas hal pribadi pada orang yang kau percaya bukan suatu masalah. Dia kembali menoleh ke arah sang kakak berharap ada jawaban disana. Seokjin juga menoleh dia melihat kalau Taehyung sebenarnya ingin menangis tapi gengsi.
"Tergantung.... Bagaimana kau menyikapi nya. Di dunia ini semua orang tak sama dan semua anak itu beda kepribadian. Meski kau tahu bahwa tak semuanya anak itu terlihat jahat tapi banyak juga dari mereka yang baik. Kau tahu banyak orang menjadi jahat karena keadaaan, mereka butuh makan dan minum untuk hidup makanya mereka jahat."
"......"
"Ayahmu marah karena kau memukul dan kau tahu bahwa yang kau lakukan itu memang kesalahan. Dia tidak mau kau menjadi seorang berandal di jalan dan melakukan tindakan kriminal. Juga, apa yang kalmu lakukan dengan Pak Jo adalah kesalahan yang cukup besar." Seokjin melihat hal itu dan menjelaskannya dari aspek dewasa. Dia tahu bahwa kemungkinan besar Taehyung tak akan tahu penjelasannya.
Tapi dia yakin bahwa dia pasti juga akan memahaminya.
"Jadi maksutmu aku harus diam tanpa melakukan pembelaan jika aku tahu bahwa itu bukan kesalahanku?" Sang adik bertanya dia menuntut satu jawaban yang pasti dari kakaknya. Dengan tegas Jin mengatakannya bersamaan dengan gelengan kepalanya. " Kau juga punya hak asal kau punya alasan kuat dan benar tanpa menghancurkan harga dirimu. Kau juga harus mengalah jika kau ingin menang. Aku tahu kau tidak salah maka dari itu kau juga harus menyesuaikan dirimu pada hal yang benar. Sembarang tidak akan menyelesaikan masalah Tae." ucapnya dengan bijak.
Taehyung memikirkan semua ucapan kakaknya, oke sepertinya pembicaraan ini semakin rumit dan jelas. Terkadang mempunyai seorang kakak yang bisa kau andalkan menyenangkan juga. Dia melihat punggung yang seperti menanggung beban masalah dewasa itu, semua itu nampak jelas. Akan ada hal yang jelas mengenai semua itu.
"Apakah menjadi orang dewasa serumit itu?"
Mungkin pertanyaan aneh terdengar naif dan bodoh akan tetapi tidak masalah. Sang kakak memaklumi apa yang dilakukan adik sepupunya. Masa sekarang ini adalah masa belajar bagi sang adik, kemungkinan ketika dia sudah tua Taehyung akan lebih menghormatinya dan jauh lebih sadar. Sepertinya memang benar kalau Taehyung itu manusia yang menganggap hidup itu simpel.
"Bahkan kau sudah mengalami masalah ini, masalah seseorang yang menginjak kedewasaan. Mencari jalan keluar untuk masalahmu." Senyum miring itu tercipta, dia nampak menenangkan sang adik dengan caranya dan itu berhasil. Taehyung menemukan siapa yang bisa mengerti dirinya, jati dirinya.
Kim Seokjin, sepertinya tidak begitu buruk...
.
Jungkook tak akan tahu jika waktu istirahat nya akan menjadi seperti ini. Terlalu sesak hingga dia tak bisa bernafas dengan benar. Air mata yang jatuh dari pelupuk merupakan hal yang tak dia inginkan saat dia ingin lelap agar lelah hilang. Tubuhnya yang menggigil tak kuasa bertahan dalam hangatnya selimut lantaran dalam hatinya dia menjadi menangis.
Memeluk erat guling yang menjadi salah satu teman dalam tidur. Yoongi melihat bagaimana tubuh itu duduk dengan sisi belakang dimana air mata itu jatuh dan membasahi kasur yang dipakai. Isak menangis dengan memanggil nama seseorang yang tak pernah dia kenal. Jungkook menangis hingga dia tersedu dengan hidung yang merah, kelopaknya menjadi sendu dan sembab. Tentu saja itu merupakan hal yang dilihat pertama kali olehnya.
Yoongi juga terbangun dan dia seakan menjadi saksi seseorang yang menangis. "Hei bodoh, kenapa kau mengganggu sekali. Kau sangat berisik dengan rengekan sialan mu!" Dia mengatakan dengan nada kasar, meski tengah malam burung hantu pun enggan untuk mendengar ucapan Min Yoongi.
Rasanya percuma karena yang muda tak mendengar yang jelas isak kan itu semakin jelas. "Myungsoo Hyung hikksss... Bogoshipo." Suara nya terisak lirih dia bahkan menenggelamkan setengah wajahnya di guling tersebut. Sudah sangat basah dan dia seakan tak peduli. Apakah Yoongi juga peduli? Dia justru memikirkan keadaan mentalnya yang tak bisa tidur. Sungguh memuakan jika dia tidak bisa beristirahat seharian.
"Hei bodoh! Harus aku bilang berapa kali kalau kau berisik! Jangan buat aku marah huh!" Yoongi menyerah sejak beberapa detik yang lalu dia memilih untuk turun dari tempat tidur dan menyenggol tubuh Jungkook dengan kaki. Dia tak memikirkan apa itu sopan santun karena baginya untuk bocah menyedihkan itu, adab tak bisa dia berikan.
Semakin tenggelam dalam gelap, Jungkook merasa tercekik dengan rasa rindu yang menjadi sakit dalam hati dan perasaannya. Dia bahkan tak ingin hal seperti ini terjadi karena dia juga mendengar protes Yoongi. Ingin membalas tapi kerongkongannya tak mampu mengeluarkan suara, seperti tercekik dan sangat menyakitkan.
"Sialan! Jangan ganggu aku kepa-"
Yoongi memaksa membalikan badan namja muda itu, ada siluet kesedihan yang sangat kentara dan Yoongi melihat itu dengan mata elangnya. Bagaimana Jungkook yang menatap dirinya dengan tatapan sendu dan bagaimana air mata itu begitu deras. Jungkook bahkan memejamkan matanya sesekali karena dalam otaknya dia mengingat gambaran Myungsoo yang membuat batinnya tercipta duka.
Diam seketika seperti tubuhnya membeku dalam sebuah es. "Apa, ke-kenapa? Apa yang terjadi?" menatap dengan kedua bola mata yang membulat. "Hikksss... Myungsoo hyung, aku... Hikksss Myungsoo hyung..." dia memanggil sang kakak beberapa kali meski dia tak akan datang karena sudah tiada. Yoongi seperti patung saat melihat adik yang tak ia anggap menangis. Ini seperti...
Seperti...
' Yoongi hyung hikkss... Aku takut hikksss...'
" Jimin " satu kata terucap, dia melihat bayangan sang adik yang mengeluarkan air matanya. Menangis terisak dan begitu memilukan. Yoongi melihat hal itu seperti sangat nyata. Seperti sebuah refleksi antara kenyataan dan bukan. Tapi saat kedua tangan Yoongi mencoba mengucek kedua matanya sendiri dia tak menemukan bahwa itu hanya sebuah halusinasi. Dan mencoba mengumpat pada dirinya sendiri bahwa dia sedang dibodohi oleh Jungkook.
Tapi...
Saat dia merasa bahwa itu suatu kebohongan, bahwa semua itu hanyalah sebuah angan semata dan semua itu sesuatu yang majemuk tak terlihat. Jungkook merasa segala keyakinannya terombang-ambing dengan pemikiran bingungnya. Dia bahkan tak ingin percaya jika semua ini hanyalah mimpi majemuknya karena dia tertidur, lelah menangis.
Sadar bahwa itu semua sangat nyata dan bukanlah mimpi. Jungkook, dia...
"Jangan menangis Saeng, hyung disini..."
Ini semua serasa mimpi saat sang kakak memeluknya dan mengatakan hal itu.
Jungkook akan menjadi orang bodoh yang tak ingin dari kenyataan jika dia memang mendapatkan demikian.
............
TBC...
Apa kabar dengan chapter ini semoga kalian suka dan jangan lupa buat dukungan kalian ya. Oh ya semoga kalian sehat selalu dan tetap bahagia.
Mungkin hanya segini salam dari author karena sudah cukup bingung mau ngomong apa hahaha ..
Salam cinta untuk kalian...
Gomawo and saranghae...
#ell
07/07/2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro