Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 37 : Jamais Vu

(Author **** POV)

Sang ibu membuka catatan tebal buku yang dia temukan di lemari. Tempat dimana sang anak kedua Min Jimin menyimpannya. Sampul yang berdebu itu sudah ia bersihkan, dia berada di kamar Jungkook dimana di kamar inilah sang anak kedua terakhir kali menghembuskan nafasnya. Dia merasa bangga karena Jungkook sendiri tak mengambil atau merusak barang milik mendiang anaknya. Dia akan membuat kamar baru untuknya setelah renovasi selesai, masih banyak kendala termasuk keuangan.

Ya, sepeninggal suami saham yang dijalankan turun dan beberapa diantara mereka memutuskan hubungan kerjasama. Itu bukan hal yang mudah setelah wanita cantik ini menggelontorkan uang untuk perusahan yang bisa dikatakan masih dalam tahap perkembangan. Di samping itu dia tetap menyimpan masalah itu agar kedua anaknya tidak tahu menahu. Dia akan berusaha untuk perekonomian keluarganya juga para pegawai yang berpegang dengan sarana lapangan kerja miliknya.

Rasa pusing yang mendera akibat memikirkan keuangan hilang begitu saja saat dia melihat gambar peninggalan sang anak dimana disana banyak sekali kenangan.

"Aigu, kau sangat menggemaskan sekali. Anak ku yang sangat tampan." Dia menyentuh gambar sang putra seakan dia membelai pipinya. Ada tatapan nanar disana dia merasa bahwa kesenjangan hatinya sudah sangat berat, ada kesedihan disana dan itu karena dia sudah kehilangan banyak orang. "Kau pasti sudah bahagia kan nak? Tak sakit lagi.. aku merasa lega karena itu tapi, aku juga kehilanganmu."

Sendu dan suara beratnya membuat dia seakan terlihat tak berdaya. Bukan hal yang mudah untuk menahan isak nya. Dia mengingat dengan jelas bagaimana wajah pucat sang anak, dia bahkan tak bisa menahan tangisnya itu semua karena Jimin yang berusaha keras untuk bertahan hidup.

Tidak ada yang tahu bahwa sebenarnya sosok ibulah yang paling menyesali ketika anaknya pergi selamanya.

"Aku akan membuat kakakmu sembuh sekaligus sadar, dia hanya belum terbiasa. Kau sudah mengajarkan pada ibu apa itu usaha, bahkan kau menjatuhkan keyakinan mu pada Jungkook bukan?" Sang ibu menatap foto anak dengan penuh sayang, dia melihat foto di dalamnya ada Yoongi kecil yang memeluk adiknya yang masih balita dari belakang.

Keduanya tersenyum dengan sangat bahagia dan masih ada wajah polos dan manjanya. "Kalian adalah putra kesayanganku, dan aku juga memiliki satu putra yang baik. Tuhan bisakah aku menjaga mereka, jangan buat aku berpisah dengan keduanya lagi." Dia pada akhirnya memeluk buku album foto itu. Dia sudah sangat puas melihat banyaknya gambaran anak kesayangannya.

Sembari menatap langit dari jendela, hawa panas masih terasa tapi tak apa. Dia melihat bagaimana awan itu bergerak dengan lembut, langit biru cerah dengan sedikit mendung yang bergerak dari barat. Semilir angin nampak membelai ranting dan itu sangat indah.

Dia menjatuhkan harapan pada seseorang, dan memainkan jemarinya satu sama lain.

Harapannya pada Jungkook sangat besar dan dia juga memberikan kasih sayang sama besarnya. Dia hanya ingin melihat Yoongi bahagia, juga melihat anaknya yang dulu kembali pulang. Ya... Kembali pulang Min Yoongi yang hangat dan peduli.

.

"Astaga aku sudah bilang tembikar itu kau bakar baru kau jemur jika kau tidak melakukan hal itu hasilnya akan buruk, nanti pelanggan lu akan kabur. Apakah kau mau aku tidak menggajimu?!!" Seorang nenek menimpuk lengan salah satu anak muda yang bekerja padanya cukup lama, dia nampak kesal sembari menunjukan hasil tembikar yang gosong dan hitam.

"Maafkan aku nek, tapi karena tidak ada panas membuat tembikar ini lama. Aku terpaksa dan jika keras aku akan memolesnya supaya nampak sama seperti lainnya. Pelanggan kita menuntut cepat, dan kita tidak punya alat seperti kebanyakan." Dia memasang wajah memelas dia tak ingin mengecewakan majikannya, hanya saja dia juga mengaku salah karena tidak bertanya dahulu.

"Kau membuatku sangat kesal sekarang kau perbaiki semua kau tambal pecahnya dan di jemur jangan ikuti orang lain membuatnya. Cara tradisional lebih bagus dan terjamin, oh astaga... Padahal cucuku akan datang dan aku sudah harus marah seperti ini padamu." Dia menjitak karyawannya yang keras kepala, sudah biasa lantaran dia juga harus mendidiknya. Puluhan tahun dia menjadi pembuat gerabah terkenal di daerahnya dia mengalami bagaimana keras kepalanya karyawannya.

Mencoba bersabar karena usianya tak lagi muda, sempat terbatuk karena marahnya dia. Dia mencoba untuk mempercayakan lagi karyawannya tersebut. "Oh astaga aku sudah tak lagi muda, Tuhan jaga umurku agar panjang." Dia menyentuh dadanya yang sesak, dan meminum air yang dia sediakan untuk dirinya. Dia menjadi darah tinggi jika emosi, beruntung dia tidak segalak saat dia muda.

"Nenek?!" Seorang wanita muda datang dia sedikit terburu-buru sembari membawa wadah seperti bakul nasi. Dia baru saja menganyam di rumah tetangganya dan pulang karena sudah selesai membuat. "Kenapa kau berteriak dengan suara seperti dikejar harimau, dan lihatlah dirimu kau seperti gembel." Dia mengomel dengan salah satu cucu dari saudara jauhnya. Dia tinggal disini karena gadis muda itu yang menginginkannya, menanggapi kekesalan sang nenek dengan mengulas cengiran kumalnya.

"Aku tidak sengaja kena cipratan air di jalan, ah itu tidak penting karena cucumu datang kesini." Dia mengatakan hal itu dengan semangat, dia tahu bahwa dia pasti akan senang mendengar nya dan benar saja wanita yang hampir satu abad ini mengulas senyumnya dia hampir menangis mendengar berita ini.

"Hah?! Dimanakah mereka? Katakan padaku cepat cepat! Aigu cicit kesayanganku." Dia berjalan terlebih dahulu menuju di depan rumahnya dia juga sedikit terseok dengan langkah kakinya. Tak tega wanita muda itu menyusulnya untuk merangkulnya, wanita berusia senja ini bahkan melupakan sandalnya hanya untuk segera menemui keluarganya.

Saat pintu di buka dan melihat dua orang yang berdiri di luar pagar masuk rumahnya, ada air mata yang tumpah dan dia seperti memiliki tenaga untuk berlari segera mendekat ke arah cucunya. Yoongi yang belum siap hampir jatuh tertunduk oleh nenek buyutnya. Yoongi sedikit memprotes akan tetapi dia menahan sampai di kerongkongan, dia tak ingin jadi cicit durhaka hanya karena neneknya memeluk sangat erat, dia tak akan mengira jika tubuhnya menjadi sangat sesak sekali.

"Aaaa... Aduh nek jangan dicekik jangan dicekik oh astaga..." Yoongi berusaha untuk tidak jatuh terjungkal karena beban berat yang menghimpitnya, dia berusaha menenangkan sang nenek yang bersemangat itu. "Oh lihatlah astaga kau sudah sebesar ayahmu, Omo ya cicit ku kau sangat tampan dan lihat kulitmu seperti seorang gadis kau rajin perawatan rupanya." Sang nenek tersenyum senang dia sangat girang sampai menepuk punggung Yoongi kuat hingga dia mengaduh lirih.

"Nenek jangan terlalu berlebihan sejak dulu kulitku begini, ah nenek... Kau mencekikku lagi." Meski dia tak mencoba melepaskan pelukan wanita tua itu lantaran tak sopan akan tetapi bibir Yoongi tak mau menghentikan protesnya. Membuat nenek berusia lanjut itu melepaskan pelukan pada cicitnya dengan sedikit tak rela.

Jungkook sepintas tertawa melihat interaksi lucu tersebut dia bahkan melupakan rasa lelahnya lantaran sang kakak membawanya hampir ke tersesat. Ya, disini banyak sekali rumah dan jalan persimpangan bisa saja ingatan sang kakak dengan yang terjadi sekarang berbeda. Dia mengusap tangannya canggung, dia juga mencari kata yang pantas untuk mengucapkan salam pada nenek barunya.

Melihat seseorang yang baru pertama dia lihat membuat sang nenek mengulas senyum dan menyambut namja muda itu dengan wajah bahagia. "Aigu siapa pemuda tampan dan manis itu, mataku menjadi sangat jelas saat melihatmu tersenyum. Apakah kau adik dari cucu kesayanganku?" Dia memeluk Jungkook menepuk punggung nya dengan sangat keras membuat Jungkook sedikit terbatuk karena tenaga ekstra yang begitu besar itu.

Yoongi yang melihatnya tak sengaja berdahak karena tertawa, membuat Jungkook teralihkan kesana. Dia tak salah dengar tadi. Yoongi yang sadar sedang diperhatikan oleh Jungkook berusaha menyembunyikan salah tingkahnya dengan menatap datar dan dingin ke arahnya. Dan tentu saja Jungkook menyadari hal itu.

Dia hanya mengulum senyum dengan membiarkan sang nenek memeluknya, dia tak akan merengek seperti kakaknya karena dia menyukai pelukan tersebut. Dia hanya merasa bahwa, ah... Ini ya pelukan orang tua yang merupakan manusia banyak pengalaman. Jungkook menghormati para manula, sadar atau tidak wanita yang kini mendekap pemuda itu tersenyum, dia merasakan sesuatu yang tak bisa dirasakan mengenai Jungkook.

" Ah benar dia adalah orang yang baik." Suara serak dalam hatinya, berdialog pada dirinya sendiri sembari tetap memeluk nya dengan sayang. Membuat Yoongi yang menunggu cukup lama, dia merasa diasingkan hanya karena seonggok anak panti. Bukan keluarga akan tetapi neneknya sudah menganggap dia kesayangan, jujur Yoongi iri karena dalam sikap dinginnya dia bangga menjadi cucu kesayangan nenek.

"Nek bisakah kau biarkan aku masuk dalam gubuk kesayangan mu, disini sangat panas." Yoongi mendorong kopernya dia juga memasang wajah masam tak mengenakkan miliknya. Sang nenek yang seakan bernostalgia dengan seseorang sudah menghentikan aksinya, dia sadar bahwa Yoongi tipikal orang yang tak sabaran dan cerewet.

"Ah, maafkan aku sayang. Aku sangat senang bertemu denganmu dan..." Sang nenek memperhatikan dengan seksama dia tidak tahu nama pemuda di samping nya. "Ah iya, perkenalkan aku Jeon Jungkook. Aku dari panti asuhan, eomma mengambilku tiga bulan yang lalu. Aku jadi adik dari cucu anda Yoongi hyung."

"Ah nde, namamu bagus seperti orangnya dan kau sangat beruntung karena aku akan menganggap mu seperti Yoongi, cucu kesayanganku. Ayo! Ayo! Masuk aku tidak ingin kulit kalian sama seperti warga disini." Dia mengatakan hal itu seperti sebuah sindiran bersamaan dengan pujian. Bahkan Yoongi sudah masuk tenggelam di rumah itu terlebih dahulu, dia tidak ingin mendengar sok akrabnya Jungkook.

Jungkook merasa sangat canggung, dia bahkan takut jika salah berbicara. Dengan sedikit tersenyum dia mampu memudarkan hal tersebut, sang nenek tersenyum dan mengusap rambutnya penuh sayang. Dia seperti seseorang yang membuat perasaannya bahagia setiap kali berkunjung, dia melihat sosok bayangan Jimin berdiri di depannya. Jimin yang pergi mendahului dirinya yang sudah tua dan malah membuat dia menangis selama tiga hari lamanya. Bahkan dia tak bisa datang ke pemakaman karena halangan yang tak bisa diselesaikan cepat.

Bohong jika nenek Hang tidak rindu pada Jimin, dia sosok yang membuat siapapun akan merindukan nya. Hingga sekarang dan pada akhirnya Jungkook seperti obat untuk kerinduannya terhadap sang cucu. Dia bahkan tak lepas merangkul namja manis itu, dalam diam Yoongi melihat semua.

Bagaimana dan kenapa semua orang seolah menerima dia dengan terbuka, seolah mereka masuk dalam sebuah zona yang namanya melepas sesuatu yang ditampung. Semua pandangan itu biasanya jatuh pada Jimin adiknya, lalu kenapa Jungkook yang bukan adik kandungnya justru mendapatkan tatapan yang berarti. Yoongi tak iri hanya saja dia tak suka siapapun mengganti kan posisi adiknya, tapi tanpa dia sadari sudah banyak orang yang jatuh hati pada Jungkook.

Yoongi berfikir bahwa Jungkook menggunakan sihir tipuan, banyak perkiraan buruknya mengenai orang asing itu. Tak sepantasnya dia masuk dalam keluarga besarnya apalagi merebut hati ibunya, akan tetapi seiring berjalannya waktu dia merasa bahwa tak sepenuhnya pemikiran itu salah. Dia berjalan sembari memikirkan apa yang dia buat tadi, mengabaikan suara neneknya yang meminta dia untuk makan dahulu, dia tak peduli hanya saja kemelut dalam otaknya lah yang membuat dia diam.

Langkah kakinya masuk dalam sebuah kamar berukuran sedang, ini kamar di masa kecilnya saat sebulan berada disini. Masih sama dan bersih dengan banyaknya koleksi mainan masa kecilnya.

"Kau masih disana rupanya." Yoongi terdiam dia menatap salah satu boneka Ultraman pemberian sang adik. Tangannya patah dan itu karena jatuh saat dia bermain. Dia dan adiknya tidur disini dan menghabiskan waktu bersama sang nenek di pedesaan yang tak banyak berubah.

Disini, empat dimana dia dan adik mempunyai kenangan yang sama. Dan tempat dimana sang kakek selalu mengajak mereka berdua ke tempat dimana mereka selalu memperkeruh suasana.

"Yoongi hyung." Jungkook memanggil sang kakak dengan suara lirih, dia menarik koper milik kakaknya yang tertinggal di ruang utama. Yoongi mengubah ekspresi culasnya dan bergumam sebagai jawaban, dia paham dengan apa yang akan dikatakan namja pungut itu.

"Taruhlah dan kau tidur di bawah, aku tidak mau berbagi satu tempat tidur denganmu." Yoongi melempar tas sedang nya dan menjatuhkan tubuhnya diatas kasur empuk dan selalu bersih karena sang nenek selalu merapikan nya. Jungkook melihat wajah sang kakak lelah dan dia tak masalah dengan permintaan tersebut. Dia melihat bahwa masih ada kasur lain di bawah tempat tidur sang kakak, dia juga mengedarkan pandangannya. Semua koleksi mainan masa lampau masih ada dan beberapa komik yang terbitan lama disana.

Jungkook tak akan menyentuh tanpa seizin sang pemilik meskipun dia ingin melihatnya. Yoongi keras dan dia tak akan bisa sembarangan melakukan kesalahan. Mungkin dia akan lebih sering memberikan Yoongi waktu sendiri ketimbang harus membuat dia selalu marah karena dirinya. Kadang pulang adalah pilihan terakhir baginya.

Pada akhirnya dia menaruh semua barang bawaannya disana, dia mengambil kasur di bawah dengan hati-hati. Punggungnya sudah pegal dan badannya juga lelah dia ingin tidur siang selagi nenek memberinya istirahat. Jungkook hanya bisa menatap langit dalam diam, suasana kaku tanpa pembicaraan yang akrab sudah menjadi makanannya.

"Hyung, gomawo... Karena kau aku bisa merasakan menjadi seorang yang merasakan kasih sayang nenek."

Dia mengatakan hal itu walau dia tahu Yoongi akan mengabaikannya, dia hanya bisa melihat bagaimana namja berkulit pucat itu menutup mata dengan tangan kanan yang menutup kedua matanya.

"Aku tahu kau baik hyung, gomawo..." Tubuh Jungkook berpindah miring, beristirahat dengan rasa lelah di tubuhnya beruntung di dalam kamar ini rasanya tidak gerah dan sifat dingin Yoongi masih menjadi peringkat. Sesuai dengan kata mama, tidak mudah untuk mengalahkan batu.

Sama seperti biasanya, dia akan mengalah karena dimana pun Yoongi akan selalu menganggapnya orang asing dan bukan seorang adik. Impian semu? Ya.. tentu saja.

Sementara Yoongi tak tidur sepenuhnya dia melihat punggung Jungkook yang membelakanginya, dia akan selalu mengacuhkan dan tak peduli mencoba menjadi dirinya seperti biasa. Tanpa ada ragu, tapi sayang sekali otaknya justru mengingat hal yang seharusnya dia tak pedulikan. Dan kenapa? Seakan dia tercekik dengan permintaan dalam mimpinya.

"Yoongi hyung, tolong jangan abaikan Jungkook."

Jimin membuat pondasi egois miliknya runtuh dalam hitungan detik, dia benci... Sangat benci... Takdir Tuhan yang dia anggap sebagai petaka.

.

Seokjin terplanting jauh di masa itu, dimana Yoongi dan dia sering menghabiskan waktu bersama dalam belajar atau sekedar nongkrong. Dia ingin memecahkan masalah seseorang yang membuat dia ingin bertindak demikian. Seokjin mengambil selembar kertas dia sangat hafal apa yang ada di dalamnya, sebuah pesan yang ditujukan padanya persis disini. Ditempat dia berdiri saat ini, hingga pada akhirnya dia mengingat sangat jelas saat seekor ikan muncul dalam permukaan.

(Flashback **** ON)

Jimin membawanya jauh dari sahabatnya dengan isyarat ingin mengatakan hal yang penting dan empat mata. Dia yang sedang sibuk belajar untuk menghadapi ujian mengiyakan permintaan namja di depannya. Dia melihat bagaimana bintik-bintik merah meruak di wajahnya juga wajah pucat itu membuat Jimin nampak seperti, alergi.

"Kau tak apa? Kau sedang sakit bukan. Jika Yoongi tahu dia akan marah padamu." Dia mencoba menasihatinya dan dibalas penolakan lembut darinya. Tubuhnya memang lemah akan tetapi dia yakin jika malaikat maut belum menjemputnya.

"Jangan dipikirkan, aku juga tidak mati besoknya." Jimin mengatakan hal itu dengan anggapan lucu membuat Seokjin kesal dengan ucapan namja tembem di depannya. "Kau jangan mengatakan hal aneh di depan ku Jim."

Merasa tatapan tak suka itu menjadi sangat serius membuat Jimin akhirnya menghela nafasnya pelan, dia pasrah dan menjelaskan semua dengan rinci. Dia menepuk pundak sang kakak dan membuat Seokjin bertanya dengan mengangkat alis sebelahnya, dia rasa perbincangan kali ini sangatlah serius.

"Aku hanya ingin minta tolong padamu Jin hyung, karena aku tahu kau bisa aku percayai." Dia tersenyum membuat lekukan pipi berbintik itu nampak seperti gummy smile. Entah kenapa namja yang memakai kacamatanya itu malah menjadi takut sekaligus khawatir.

"Hei kau tak apa? Kau kenapa, aku merasa kau akan jauh Jim."

"Kau peka ya hyung, aku pikir aku bisa membohongimu tapi... Sepertinya tidak karena aku jatuh percaya padamu dan aku sudah yakin." Kedua kelopak hitam bak panda itu sangat lemah dia merasa bahwa dia selalu mengantuk dan lemah badan. Membuat Seokjin membawanya ke tempat lebih teduh, ah... Jimin memakai kursi roda karena dia terlalu lemah.

" Wajahmu pucat dan kau tidak nampak sehat, kau pikir aku tidak khawatir. Apa yang membuatmu mengatakan kau hendak pamit?" Meski sejujur nya dia tidak suka mengatakan demikian akan tetapi Seokjin selalu tahu bahwa Jimin akan menyembunyikan semua masalah, sebesar apapun. Dia hafal sikapnya.

"Kau sudah aku anggap sebagai adik, kau bisa meminta tolong padaku. Agar kau senang dan kau tak perlu ragu. Apa yang membebani mu Jim?" Dia meyakinkan Jimin untuk mengatakan semua tanpa ada yang ditutupi dan itu membuat Jimin semakin yakin dengan pilihan.

Hal yang bisa membuat dia semakin terbuka saat dia mengenal orang seperti apakah temannya, kerabatnya juga orang terdekat lainnya. Tubuhnya yang lemah menjadi sedikit bersemangat dengan kebenaran tersebut dan pada akhirnya dia bisa membuat seseorang yakin, termasuk Jimin yang sempat putus asa dengan nasib dan sakit yang membebaninya.

"Terimakasih. Kau sangat baik bahkan aku senang mendengar kau seyakin ini. Aku harap kau bisa menasihati kakak ku. Dia akan sangat terpukul suatu hari nanti, kau paham dengan maksutku dan aku tidak tahu harus apa kecuali memberikan Yoongi hyung pengganti ku." Dia melihat Yoongi yang sedang tidur diatas pohon dengan rumput hijau sebagai kasurnya. Dia merasa bahwa semakin berat untuk dia melepaskan dan menjadi bagian dari semesta.

Seokjin berusaha memahami ucapan ambigu Jimin. "Kau mengatakan hal itu seakan ingin pamit." Ada wajah ketidaksukaan dari Seokjin sendiri. Mendengar ucapan Jimin yang terasa ngelantur. Dia bahkan menahan apa itu kesedihan lantaran dia tahu Jimin tidak akan suka.

"Ternyata cukup susah ya berbicara dengan orang yang sangat peka. Hyung adalah orang yang mudah aku ajak bicara dan bercanda."

"Kau ingin menyerah untuk sembuh? Kau tahu kami semua mengharapkan keberhasilan mu dalam menghadapi penyakit menyebalkan mu itu. Kau pun tahu bagaimana Yoongi jadinya jika kau tak kuasa bertahan."

Tersenyum simpul dan mengangguk kan kepala, dia paham akan semua ketakutan sahabat karib kakaknya. Dia bahkan tahu apa yang mungkin terjadi dengan Yoongi yang sangat posesif padanya. Dia menjadi kakak yang siap siaga apalagi saat dia sakit seperti sekarang. Jimin yang terpaksa putus sekolah hanya bisa melihat keadaan di rumah yang sejujurnya sangat bosan baginya.

"Tidak, aku tidak menyerah akan tetapi aku hanya menurut dengan Tuhan. Apakah hyung bisa melawan kehendak? Jika semesta akan membawaku ke planet lain, mungkin saja aku di rekrut kesana untuk melakukan sebuah misi." Dia mengatakan hal itu dengan memainkan jemarinya. Dia pintar dalam melukis dan hampir semua lukisannya orang tahu hanya saja dia menggunakan nama lain, Chim. Nama kecil dalam setiap dia menciptakan karya seninya.

"Kau mengatakan hal aneh lagi Jim." Jin entah kenapa dia menangis dengan cepat dia mengusap air matanya. Dia tak suka jika dia sendiri malah membuat namja di depannya khawatir. Dia tak akan mengira jika pembicaraan ini membuat konflik emosional seperti ini. Pada akhirnya Jimin ingin menuntaskan maksutnya dan memberikan dia selembar kertas dengan coretan indah tangannya disana.

"Apa ini?" Jin menanyakan hal ini, dia melihat bagaimana kertas berwarna oranye. "Ini adalah pesanku, aku menuliskannya untuk Yoongi hyung, aku minta tolong untuk kau membaca ulang. Aku takut jika tulisan jelekku ada masalah dalam eja. Berikan padanya saat dia mendapatkan apa yang membuatnya lebih baik." Menyerahkannya dengan harapan bahwa amanah yang dia katakan bisa dilaksanakan.

Seokjin mengangguk paham dia hanya bisa melihat diam kertas di tangannya, dia paham bagaimana perasaan Jimin yang hampir lelah dalam berjuang hidup di sakit yang menggerogotinya.

Lirih...

Kepalanya berdenyut sakit sesaat pesan itu sudah berpindah tugas dari tangannya. Jimin meringis dan memegang kepalanya, dia merasa bahwa kepalanya seperti di hantam batu besar. Dia tak tahan hingga pada akhirnya dia berteriak menjerit.

"AAAAAARGHHHH SAKITTT HIKKKSS SAKIT!"

Jin berusaha membantu Jimin dengan menenangkannya, berharap teriakan kesakitan itu tak akan mengganggu seseorang yang terlelap. Pada akhirnya Yoongi bangun juga dan menyusul keberadaan sang adik yang tak jauh darinya.

Jimin ambruk dari kursi rodanya dan dia berteriak sakit minta ampun. Hingga kedua kakinya bergerak tak beraturan dengan tubuh yang bergerak ke kanan dan ke kiri.

Panik, tentu saja... Bahkan Yoongi lah yang paling keras berteriak. Memanggil bantuan dan mengumpat kasar saat yang dimintai tolong belum kunjung datang, dalam kesadaran tipisnya Jimin menyayangkan. Tentang sang kakak yang belum sepenuhnya benar dalam tabiat.

"Yoongi hyung..."

Lirih dan tak bertenaga, hingga pada akhirnya dia kehilangan kesadaran.

(Flashback **** OFF)

Seokjin membawa janji dan hutan disini, dia hanya takut bahwa Jimin tak tenang disana. Kebenaran bahwa kakaknya semakin sulit diberitahu dengan egois yang menjadi, membuat Seokjin berfikir bahwa apa yang akan dia lakukan. Masih sama membawa pesan dalam kertas yang dimana di akan berikan jika Yoongi pada akhirnya menerima Jungkook.

Tapi disini, dia merasa takut jika Tuhan mengambil kesempatan Yoongi dan pada akhirnya saat ada perubahan kecil malah semakin memperburuk keadaan. Dia tahu bahwa semua ada batas dan Yoongi merasa bahwa dia hidup di dunia sendiri.

"Jimin, bagaimana jika Yoongi kehilangan kesempatan? Apakah aku bisa melihatmu bahagia jika kau tak bisa tenang. Bagaimana bisa aku menghadapi mu dan bertemu dengan mu jika janjiku saja gagal. Yoongi dia semakin sulit..."

Seokjin hanya bisa berharap pada Tuhan, memandang langit untuk menyampingkan masalah nya. Dia merasa bahwa Jimin tahu perasaannya hingga desiran angin datang bagaikan pembawa berita. Rasanya Seokjin akan menjadi gagal jika dia menyerah.

"Mungkin akan aku lakukan hal itu, semoga Yoongi bisa sadar. Aku tak tahu apakah ini berhasil, tapi... Aku harap kau tidak marah Jim, karena aku sendiri juga berharap kakakmu berubah."

Satu keinginan yang terasa sangat sulit untuk diwujudkan.

.

Jatuh terpeleset bukan lah sebuah kesengajaan. Tubuhnya ambruk ke bawah dengan sekujur tubuh yang basah.

Hidung menghirup banyak oksigen dan berusaha meminta tolong, dia mengangkat tangan nya dengan kaki yang bergerak tak lincah. Mencapai sebuah batu atau apapun agar arus sungai tak membawanya.

"Dasar bodoh!"

Dia seperti terdiam memikirkan apa yang akan dilakukan, sementara Jungkook berusaha menghirup udara banyak lantaran tubuhnya seperti terseret arus. Dia jatuh dan mau tenggelam dalam sungai. Memanggil sang kakak yang berada di atas batu sana.

"Hyung, to-tolong aku..."

Seperti mengulur waktu, dan Yoongi hanya diam saja. Dia merasa dia akan membuang waktu disana. Dengan mudahnya dia meninggalkan Jungkook yang tenggelam dalam air cukup dalam.

Seperti Yoongi sengaja meninggalkannya untuk mati.

"Tolong aku... Siapapun..."

Terlalu lemas hingga tubuh itu melayang di dalam air seperti dia tak sanggup memberontak dengan air, sang kakak seperti tak ingin memperlihatkan dirinya lagi.

Gelembung keluar dari mulutnya dan dia menahan nafas agar tidak habis keluar, Jungkook memejamkan matanya dengan mencoba menahan arus yang hendak membawanya. Dia merasa bahwa...

Dia akan mati.

Dan Yoongi seperti sengaja meninggalkan tubuh Jungkook sekarat dalam air, seperti kehilangan manusiawi yang di ajarkan sejak kecil. Seperti tak peduli dan dia...

Bahkan tak menoleh, meski dia tahu bahwa ada yang tenggelam di sana.

.

Gemercik air jatuh dengan suara keras.

................

TBC...

Author datang lagi dengan cerita yang masih banyak kekurangan dalam segi kepenulisan ini, maafkan saya karena hasilnya belum memuaskan dan mungkin belum bisa jadi best novel hehehe.

Terima kasih untuk dukungan kalian sehingga chapter ini lahir dengan maksimal, apabila ada kekurangan mohon komentar dan masukannya. Jangan sungkan-sungkan aku tak akan marah.

Jangan lupa apresiasi kalian dan semoga kalian sehat selalu, jangan lupa ibadah dan tetap di rumah saja.

Semoga Indonesia kembali sehat...

Salam cinta untuk kalian semua, tetap semangat dan jangan lupa bahagia.

Gomawo and saranghae...

#ell

30/06/2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro