Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 30 : Levanter

" Apa yang kau junjung saat kau ingin menunjukan banyak hal pada semua, penontonmu. Apa yang kau pilih ketika kau mendapatkan tatapan yang seakan mematikanmu, egomu... atau kesuksesanmu. Padahal, kau hanya butuh dia ... yang selalu mengawasimu, memperhatikanmu, dan menjagamu. Tapi sayangnya kau seakan melupakanku, tak ada doa dan tak ada lagi lamat harapan dalam bibirmu. Sungguh egois... padahal yang diminta hanya satu. Manusia yang tak sombong dan selalu mengingat apa itu kebaikan, karena Tuhan tak membagi cinta pada setiap makhluknya. Tapi, kau... membagi banyak cinta sampai kau lupa siapa yang membuatmu menjadi puncak. Menyebalkan..."

.

.

.

(Author ***** POV)

Pulang larut malam begini bukan keinginan Yoongi, bahkan berjalan dengan kaki yang sudah kepalang lelah pun bukan disengaja. Wajah kusut tak berbelas kasihan itu pun tak memungkiri bagaimana kerasnya dia mencari selembar rupiah untuk sebuah kehidupan. Padahal, bernafas saja tak membayar karena Tuhan begitu baik. Tapi, kenapa manusia justru sangat kejam jika harus menciptakan banyak uang tapi nyatanya beberapa berusaha mencarinya sampai mereka sendiri hampir mati rasa.

Melelahkan...

Dengan sedikit menggerakan pundaknya Yoongi bisa bernafas lega, dia merasa bahunya tak sekaku saat menyetir mobilnya. Mungkin, jika dia semakin sibuk dan padat terlintas dalam otaknya untuk mencari seorang supir pribadi. Hanya saja, dia juga terlalu sayang dengan jerih payahnya. Dia masih belum bisa sesukses mendiang ayahnya yang meninggalkan harta yang kini dipegang ibunya.

"Astaga, badanku remuk." Keluh Yoongi dengan melempar jasnya di sofa. Ditaruhnya tas kerjanya di lantai dan dia sendiri mengernyit sakit. Dia butuh dipijat untuk mereflekskan otot kakunya. Andai saja ada Jimin disini, pasti akan menyenangkan karena adiknya membawa rasa bahagia dan penatnya tak sejahat ini.

Karena ruangan terlalu gelap, dengan cekatan jemari Yoongi menekan saklar di sudut dinding yang ia hafal. Ruangan yang terlihat gelap itu terang dan membuat kedua mata Yoongi sedikit silau. Beruntung dia tak buta hanya karena lampu lima watt itu.

Yoongi hendak duduk di sebuah kursi yang tak jauh darinya, akan tetapi ketika melihat seonggok daging yang sedang tertidur pulas dengan kepala yang ditaruh di atas meja. Beberapa makanan sudah dihidangkan disana, dan lagi Jungkook juga menyiapkan lauk kesukaannya. Beruntung bagi Yoongi yang tak perlu susah payah membeli makan di luar saat dirinya benar-benar kelelahan. Jungkook mampu menyiapkan hal yang memang dibutuhkan sang kakak dan itu patut diacungi jempol.

"Cih, menyebalkan! Dimana-mana aku muak melihatmu bocah sialan!" Yoongi seperti menggerutu tapi dirinya juga terlalu menyakitkan untuk bicara. Jungkook yang terlanjur pulas cukup beruntung karena tidak mendengarnya. Hanya saja ada gerakan kecil pada salah satu jemarinya, entah dia berpura-pura tidur atau hanya gerakan refleks saat dia pulas. Yoongi merasa tak peduli dan tak pernah peduli dengan kerja keras sang adik.

Bahkan keberadaan Jungkook hanya sampah untuknya, dimatanya dan selamanya akan begitu.

"Kau pikir aku akan makan makananmu, ck! Dasar penjilat, kau juga tidak akan tinggal disini tanpa ibuku." Senyum sombong itu ada. Tatapan tajam tak lebih dari seekor elang pun itu terlihat sangat jelas. Jungkook sepertinya sedikit sadar karena telinganya mendengar apa yang dikatakan sang kakak. itu menyakiti hatinya hingga bibirnya bergerak sedikit memanggil sang kakak. kuharap Yoongi bisa mendengarnya meskipun itu tidak mungkin.

Ingin lewat tapi tidak mungkin, ketika Yoongi sendiri mencium sendiri aroma masakan yang tiba-tiba melewati hidungnya. Seperti masakan ibunya yang memang menjadi makanan favorit Yoongi ketika masih kecil. Dia mengingat segala hal kenangan hidupnya, itu buruknya... dia terlalu tenggelam dalam masa lalu termasuk kenangan bersama sang adik Min Jimin.

"Sial, kenapa aku harus terpancing makanan seperti itu?" munafik jika Yoongi mengatakan tidak tentang bagaimana enaknya aroma masakan Jungkook. dia melirik bagaimana beberapa makanan di atas meja sana seperti melambaikan tangan padanya untuk segera disantap.

Sepertinya jika sudah urusan perut Yoongi akan menyerah. Ada tanda bendera kemenangan yang akan Jungkook terima. Tanpa Yoongi ketahui jika sebenarnya Jungkook sedikit melirik pergerakannya, bagaikan manusia yang tak terusik tidurnya. Sedikit senang hatinya dan hilang sudah rasa sakitnya saat menyaksikan langkah kaki yang melewatinya.

Itu Yoongi dan Jungkook sangat bahagia hingga dirinya menjatuhkan air matanya. Ucap syukur dalam hatinya ketika dia mendengar decitan kursi yang bergesekan di depan sana. Apakah Yoongi duduk disana? ya... sungguh tepat saat Jungkook akhirnya mengucap syukur dalam hatinya. Ingin bersorak senang tapi dia cukup sadar lantaran sedang apa dirinya.

"Jika kau hanya tertawa membanggakan kesombonganmu, jangan harap Jeon! Dasar, bocah ingusan tak tahu diri!" intonasi yang begitu menohok, hingga membuat Jungkook menelan ludahnya ketakutan. Dalam benaknya ia berpikir kenapa Yoongi bisa menebak semua dengan benar, cukup mengerikan karena kemampuan sang kakak sangat mencolok.

Mungkin habis ini Jungkook bertindak bodoh agar Yoongi tak mencurigai ketakutannya.

"Yoongi hyung kau mau sesuatu?" tawar Jungkook dengan tangan yang siap mengambilkan lauk dengan sumpitnya. Dia yang berharap agar Yoongi menerima bantuannya pun tersenyum penuh semangat, dan hanya dibalas tatapan tajam Yoongi yang tak mengenakan. Sungguh sadis cara dari namja bermarga Min ini.

"Kau urusi dirimu, aku bukan anak kecil." Cibir Yoongi kemudian dengan tatapan matanya yang tajam. Meski begitu Jungkook masih saja bersabar dan hanya membalas ucapan sang kakak dengan tarikan nafas panjang.

Sabar...

Itu yang Jungkook butuhkan. Hingga pada akhirnya Tuhan memberikan sebuah keajaibannya, salah satu doa kecil Jungkook terwujud. Keinginannya agar bisa makan bersama dengan sang kakak meskipun tidak seperti yang ia inginkan, bercanda atau sesekali mengobrolkan kegiatan seharian ini.

Setidaknya, senyum kecil itu terulas miring. Wajah tampan yang menatap keberadaan sang kakak yang sedang makan disana adalah hal paling menyenangkan menurutnya.

Jungkook berharap hal seperti ini terulang kembali esoknya....

.

.

Tak ada pembicaraan dari mereka berdua, ruangan terasa sunyi meski ada mereka berdua. Jungkook rasa dia terlalu canggung atau memang sang kakak yang tak ada niat untuk mengajak dirinya mengobrol.

Dilihatnya piring sang kakak yang tinggal separuh dengan menu makanan yang diambil beberapa. Melihatnya saja sudah membuat kedua tangan namja muda itu mengepal menahan sakit. Terasa sesak dan nyeri lantaran Yoongi hanya memakan masakannya sedikit. Ia hanya berharap sang kakak memuji keahliannya sehingga ia bisa mengajak dalam percakapan yang lebih luas.

Maklum saja, tinggal di sini membuat ia masih saja beradaptasi. Termasuk sikap dingin sang kakak yang beralasan.

"Yoongi ingin segera menyelesaikan makan malamnya dan segera tidur. Meski lidahnya merasakan sedap pada makanan di depannya tak membuat Yoongi mengakuinya. Dia merindukan Jimin, sungguh... dan memedam rasa rindu itu dengan sikap cueknya. Bukan Min Yoongi namanya jika dia tidak bersikap arogant. Ini masalah principal dan bukannya rasa kasihan yang seharusnya ia berikan untuk arti sebuah kerja keras.

"Yoongi hyung bagaimana dengan pekerjaanmu, ak-aku dengar sebentar lagi ulang tahun perusahaan." Jungkook memberanikan diri mengambil sikap. Tak baik jika membiarkan suasana dalam ruangan sepi seperti tadi. Dia memakan makanannya pelan dan melirik sang kakak di depannya takut. Walaupun, dirinya menelan makanan itu perlahan.

"Hem." Yoongi masih memiliki atikad baik untuk menjawab, sayangnya dia miskin kata. Hanya gumaman dingin yang acuh, dan kedua mata sipitnya seakan enggan melihat orang yang mengajaknya bicara. Ia malas, dan ingin menghabiskan makanannya tapi anehnya seakan makanan di depannya tidaklah berkurang. Menyesal karena dia mengambil sedikit lebih banyak dari takaran yang ia pakai.

Malu jika harus mengaku dia suka masakan anak pungut di depannya.

Rasanya Jungkook ingin membungkam mulutnya sendiri. Ia menyesal mengatakan pembicaraan terlebih dahulu, andaikan dia berada di dekat sungai Han ia akan memilih untuk menenggelamkan dirinya.

"Yoongi hyung, aku...."

"Sudahlah, aku mau tidur. Jika kau ingin berbucara ajaklah teman di sekolahmu, percakapanmu tak ada untungnya bagiku." Yoongi menghentikannya secara sepihak meninggalkannya langsung tanpa mau mendengarkan ucapan Jungkook sampai habis. Membuat yang muda itu langsung menunduk lesu.

Menyedihkan...

Mendadak dada ini sakit dan Jungkook harus menepuknya perlahan agar lega.

Melihat foto Jimin yang tersenyum saja belum cukup untuk mengobati rasa sakit di hatinya. memang benar jika hati ini rapuh tak salah jika Jungkook merasakan hal demikian. Dia hanya bisa tersenyum di akhir kemudian, mencoba kuat walaupun dia lemah. Mencoba bangkit meski sang kakak beberapa kali mencoba menjatuhkannya. Tapi tak apa dia menganggap ini awal bahagia untuknya.

Entah kenapa dia malah mengingat ucapan Taehyung yang ia dapatkan tadi siang.

"Tak bisa mendapat apa yang kau mau, tapi kau bisa mencoba menjadi apa yang kau mau. Bahkan kegagalan pun bisa berhasil karena kau mencoba, setidaknya cobalah dulu agar kau tahu bagaimana hasilnya. Tak ada yang mungkin di dunia ini...."

Jungkook merasa tertohok dengan ucapan sahabatnya itu, tak ia sangka jika Taehyung sebijak itu kenapa sangat berbeda dengan tingkah absurd yang selalu ia tunjukan di depan semua orang. Mana bisa tahu jika Taehyung bisa sebijak itu, bahkan Jungkook sendiri merasa mendapatkan penerangan dalam kemelutnya.

Membuat Yoongi mengakuinya, suatu hal yang pasti ada tekad Jimin di dalam dirinya.

"Jimin hyung, kau lihat? Yoongi hyung mau memakan masakanku, apakah ini pertanda baik?" berbicara dengan senyum di bibirnya, seperti mendapatkan secercah harapan. Mungkin Jungkook akan dapat tidur dengan sangat nyenyak. Tak ada lagi kekhawatiran akan bagaimana usahanya, seperti yang Taehyung bilang. Tak ada yang mungkin di dunia ini....

.

.

.

.

............................

Taehyung sedikit tidak bersemangat untuk makan saat ini, malam yang menjengkelkan baginya lantaran harus duduk sebangku dengan namja yang melontarkan celoteh yang sama sekali tak ia pahami.

"Aku melakukan pekerjaanku sebagai staff yang profesional dan berkualitas, dan aku hampir lima tahun bekerja disana sejak aku kuliah awalnya pegawai magang hingga akhirnya aku diangkat menjadi karyawan tetap." Ucapnya dengan merapikan jas yang ia pakai, lihatlah bagaimana dia tersenyum bangga dan Taehyung yang sama sekali tak tertarik dan justru membuat kedua bola matanya memutar malas.

Oh membosankan....

Sang ibu sampai mengernyit kedua alisnya heran, tak biasanya Taehyung malas makan apalagi di depannya ada makanan kesukaan anak semata wayangnya ini.

"Kau tidak makan Tae?" sepertinya sang ibu khawatir hingga dia pun menyentuh dahi sang anak sekedar di periksa. Seokjin yang duduk disampingnya mencoba untuk menyentuhnya juga namun di tepis oleh Taehyung sendiri. sepertinya namja muda ini sedang merasakan hormon yang tinggi hingga aura kekesalan memancar setiap detiknya.

"Yaaakkk, dasar..." sungut yang di tepis, sepertinya Taehyung tak sopan dan malah melakukan hal yang membuat Seokjin sendiri menjadi bersikap bodo amat.

"Jangan sentuh aku, kau tukan pamer." Taehyung yang kesal tanpa sadar mengatakan hal tersebut membuat kedua orang tuanya pun terkejut. Seokjin yang nampak kebingungan justru memutarkan otaknya. Dia berpikir jika Taehyung sedang punya masalah dengan masalah cinta atau sumpek dengan mata pelajaran yang kini berganti kurikulum.

"Kau ini pms ya, kenapa marah sekali. Dasar makhluk planet venus."

Taehyung melirik tajam dia seperti seorang bocah tujuh tahun yang memiliki dendam kesumat dengan pria perebut permen kesukaannya, tak ada ampun itu yang ada dalam benaknya sementara apa yang menjadi realitanya. Taehyung malah seakan enggan untuk melakukan apa yang dimaksut 'tak ada ampun.' Dia sadar ini daerah kekuasaannya tapi dia juga tidak punya nyali untuk menghadapi namja yang kini bisa mengintimidasinya. Nasib, seorang adik tak seberuntung seperti dalam buku cerita.

"Kau kira aku yeoja, dasar kukang."

"Ya, kau ini tak ada bedanya dengan yeoja. Lihatlah kau marah tanpa alasan di tanggal muda dan lagi apa salahku aku hanya berbagi cerita kesuksesanku." Ucapnya dengan wajah tanpa berdosa, yang justru membuat Taehyung ingin sekali menampilkan urat kemarahan di dahinya.

Ngomong-ngomong para orang tua yang melihatnya justru melanjutkan makan mereka, tak bisa dipungkiri jika keributan dari dua sepupu ini bisa dikatakan tidak harmonis.

"Kau saja yang sombong, kau mengatakannya seolah melirikku remeh." Ucap Taehyung kecut bahkan dia memasukan potongan dagingnya dengan amarah yang membara ia juga tak takut jika lidahnya tergigit.

Tapi tak ada yang tahu bukan hal seperti ibu bisa saja terjadi.

"Aku tak sombong aku hanya ingin terbuka. Aku ingin membuktikan padamu bahwa kau bisa sukses jika kerja keras, kau kan pemalas mana mengerti akan hal begitu. Lagi pula kau juga tak paham bukan dengan arti kerja keras."

Menyindiri membuat Taehyung ingin sekali mengunyah namja di sampingnya seperti potongan daging di mulutnya. Seokjin yang merasa bangga justru terkekeh kecil saat melihat wajah muak adiknya yang nampak lucu itu. ah, bayi manja yang selalu ia gendong kini sudah dewasa tak ia sangka. Padahal dulu Taehyung sangat lengket dengannya, lalu ketika dewasa malah menjadi menjauh.

Ah, mungkin Taehyung sudah dewasa begitu juga dengan pola pikirnya.

"Kau sangat menyebalkan, lagi pula aku tidak akan menjadi kantoran aku akan bekerja mendirikan usaha sendiri, sehingga aku tak perlu repot menjadi buruh enakan bos yang bisa menyuruh pegawai."

Plak!

Taehyung mengaduh sakit, rasanya kepalanya akan menjadi benjol lantaran sang ayah malah memukulnya dengan sendok bersih. Mengaduh sakit dan membuat Seokjin sedikit meringis, rupanya pamannya masih galak apalagi dengan anaknya yang bisa dikatakan nakal dan membuat masalah.

Sebuah pertunjukan kasih sayang yang indah dan begitu jelas, sang ibu yang melihatnya pun hanya menggelengkan kepalanya. Memaklumi sikap anak dan suaminya yang menurutnya tak jauh beda. Mungkin ini disebut keturunan Tuan Kim.

"Jangan membantah jika ada orang yang lebih tua menasihatimu, anak nakal!" bentak sang ayah yang sedikit kesal dengan tingkah sang anak, setelahnya dia menyeruput teh hijau kesukaannya. Sang ibu mengangguk setuju bahkan membuat Taehyung melongo tak percaya, dia serasa jika tak ada yang membelanya dan justru Seokjin tersenyum menang. Oh ini namanya pengejekan.

Taehyung ingin sekali membantah lagi tapi, ketika ia membuka suaranya sang ayah justru menginterupsinya.

"Appa potong uang jajanmu jika membantah!"

Demi kerang ajaib, Taehyung akan menyerah dengan mantra ajaib ini. dia justru mengatupkan bibir dan mengembungkan kedua pipinya. Wajah kesal dengan tatapan yang tak berani tajam jika berhadapan dengan sang ayah.

Hanya bisa membuang nafas dengan sabar juga bagaimana Taehyung yang mengomel dalam hatinya bahkan bibirnya berkomat-kamit dengan tatapan jengkelnya.

Homina... itu yang menjadi celoteh kesal Taehyung dan Seokjin justru ingin tertawa terbahak melihat adiknya demikian. Ternyata tak ada yang lebih membahagiakan dari pada mengerjai saudara, hiburan di tengah kebosanannya terhadap kantor.

Dan Seokjin tak berkata jujur, bahwa adakalanya dia juga merasa bosan. Hidupnya yang monoton dan hanya kerja, tanpa ada liburan bersama keluarga atau wisata. Itu karena...

Orang tuanya yang tak lagi lengkap.

Taehyung tak tahu itu....

Hanya tersenyum seolah semua baik saja dan membahagiakan. Seokjin kau sebenarnya kenapa?

...............................

.

.

.

Adakah yang tertidur malam ini jika nyatanya waktu sudah larut tapi salah satu manusia tak bisa tidur. Siapakah dia yang belum memilih tidur? Membolak-balikan badan dengan segala pemikiran dalam otaknya.

"Jimin hyung aku ingin bertemu denganmu walau dalam mimpi, aku ingin bertanya sesuatu hyung." Jungkook mengadu lirih menatap langit kamarnya, tubuhnya mulai lelah walau pun begitu dia tak berani mengeluh.

Semakin larut saja dan besok dia juga harus berangkat sekolah. tapi, apakah dia bisa jika nyatanya masalah ini mendasar. Dia butuh sebuah nasihat tapi dari siapa?

Jika saja bisa....

"Selamat malam, Tuhan lindungi aku dalam tidurku, aamiin."

Doa dalam lirihnya dan memejamkan mata kemudian. Mengantuk semoga saja, dan dia berharap jika esoknya lebih baik. Semoga...

Karena yakin pada Tuhan adalah hal yang paling menenangkan...

Kalian setuju bukan?

............................

TBC

Hai semua.... author kembali dengan chap ini, semoga kalian gak bosan dengan kedatangan author...

Dukungan kalian adalah semangat saya dan semoga kita bisa berjumpa penuh kebahagiaan. Jaga kesehatan dan jangan sampai sakit sekarang sangat fenomenal dengan virus dan penyakit.

Masih banyak belajar dan butuh bimbingan yang lebih handal. Semoga kalian puas meski kedatangan author cukup lama. Untuk ke depannya berusaha tepat waktu dan lebih baik lagi.

Maaf kalau typo masih bertebaran, cerita tambah gaje atau apalah. Karena author hanya manusia biasa yang tak luput dari kesalahan....

Sekian dari saya, bye semua... sampai jumpa di next chap...

Salam cinta dan sayang untuk kalian semua....


#el

22/03/2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro