Part 29 : Go Away
" Terkadang menjadi pendiam adalah hal yang paling aman untukmu, saat kau merasa kau harus menyelesaikan setiap masalahmu. Memendam dalam rasa yang penuh akan abstraknya perjalan hidup, dan sebuah skenario. Drama dalam hidup memang dianggap hal tak wajar, tapi... apakah semua kehidupan setiap manusia selalu sama? Nyatanya, kalian memandang orang lain sebelah mata tanpa melihat perasaannya. Pertanyaanku, apakah kalian sudah sempurna? Bahkan surga pun tak akan mungkin kalian dapatkan. Meski, aku tahu... bahwa aku hanya orang yang menginginkan skenario lebih baik."
.
.
.
(Author **** POV)
Flashback **** ON
Berandal itu bergerak dengan gesit, kaki mereka berlari membelah jalanan kecil yang ada di persimpangan disana. Mengejar seseorang yang nyatanya hanya seorang pemuda yang membawa keranjang ditangannya. Sebuah kue manis yang jatuh berserakan di mana setiap langkah larinya tersenggal. Rambut hitamnya nampak berantakan dengan banyak keringat yang keluar dari kening dan juga kerah yang tak beraturan.
Namja dengan seragam sekolah yang sudah kotor dan juga tangan yang lecet, tak lupa pada bagian dagunya juga ada luka lecet dan sedikit lebam. Apakah mungkin terjadi adu hantam saat nyatanya dia adalah korban pengejaran dari mereka yang selalu memalaknya. Seragam SMP nya saja sudah nampak tak rapi dan lagi, dia berlari menghindar di gang sempit rasanya sangat percuma. Hingga, pada akhirnya di berhenti pada sebuah lapangan basket dengan dekat sekolah yang terkenal disana. Mencoba berlari dari empat enam orang yang mengepungnya. Menelan ludah dengan manik mata ketakutan, dia merasa jika nasibnya berada di ujung tanduk.
"Mau lari kemana bocah! kau belum berikan uangmu, serahkan semua dan kau malah melawanku hah!" bentak pemuda garang itu dengan kedua mata melotot seperti hendak keluar. Tentu saja membuat namja yang lebih muda di depannya itu sangat gugup. Bukannya apa, hanya saja rasanya tidak adil jika dia melawan enam orang apalagi dirinya belum handal dalam berkelahi.
"Aku sudah bilang aku tidak punya uang, kenapa kalian tidak percaya. Ini saja aku berjualan setengah jam yang lalu." Pemuda bergigi kelinci itu membantah dan mengatakan dengan wajah gugup yang berusaha ia tutupi. Bukannya diiba justru mereka semakin ingin memaksanya. Mengepung pemuda itu di tengah dengan gerakan tangan yang mengepal siap untuk menghajar.
"Kau jangan menipu, aku tahu kau menyimpan satu kantong uang di sakumu. Aku mengawasimu bocah. serahkan atau tubuhmu akan babak belur, hem?" dia meremehkan pemuda itu ada seulas senyum sadis di wajahnya. Membuat yang muda itu hanya menelan ludahnya.
"Jungkook, berikan saja atau bosku akan menghajar habis dirimu." Salah seorang yang usianya kemungkinan sama dengannya melangkah maju. Ada raut yang mengintimidasi dan itu nampak jelas di pandangan teman sekelasnya itu.
"Jaebum jika kau hanya ingin membuatku menderita lakukan saja tapi jangan ambil uang usaha mama. Apa kau dendam padaku hanya karena aku mengadukanmu?" Jungkook dia menatap teman sekelasnya dengan manik mata yang tegas jua, bahkan untuk seorang seperti dia juga tak ada ketakutan. Walau pada kenyataannya, Jungkook selalu mendapatkan perlakuan tak adil pada teman seangkatannya tersebut. Hanya karena dia adalah seorang anak dari panti.
"Hey, kau kira aku hanya fokus mengganggumu? Tidak ada hubungannya dengan masalah kita. Kau pikir aku hanya kingka kurang kerjaan, cih! Hanya karena kau yang paling di minati bukan berarti aku iri padamu. Aku tahu kau hanya anak tanpa orang tua yang pantas untuk dihajar." Terlampau tajam dengan gigi yang dibuat gemerutuk, Jaebum yang diketahui sebagai ketua kingka di sekolahnya. Dan Jungkook sangat jera bertemu dan mendengarkan namanya. Terlalu menakutkan bagi anak lainnya dan tak ada yang berani membalas perbuatannya, percuma saja mengadu pada pihak sekolah. Jika pada akhirnya hukuman ia anggap sebagai mainan semata.
"Kenapa kau selalu menggangguku, kau kesini bukan memalakku tapi kau ingin mencari kesenangan bukan? Bosmu dia bahkan tidak akan memalakku dan mengejar orang semiskin aku sampai sejauh ini, sebenarnya apa maumu? Aku bahkan tak pernah mengganggumu Jaebum!"
Jungkook merasa kesabaran dirinya sudah di luar kendali, ia seemosional ini untuk pertama kalinya setelah dua tahun dia diam di ruang lingkup pendidikannya di jenjang menengah pertamanya. Tiada hari tanpa kebohongan pada sang mama, Jungkook terpaksa berbohong agar wanita yang merawatnya tidak khawatir. Sementara dia juga tak bisa menyembunyikan luka lebam itu terus kala bertambah.
Dia tidak ingin mencari atau berurusan dengan keributan, sampai akhirnya...
.
.
.
"Kau mengatakan dengan sadis, penolakanmu sungguh tak bisa dinilai kualifikasi sedang." Seseorang baru saja mengomel, dia menggunakan kacamatanya dengan tas penuh berisi buku pendidikannya. Salah satu siswa teladan yang dibanggakan oleh guru dan juga salah satu yang diminati siswi putri. Berjalan dengan mulut cerewetnya, menggempur telinga seseorang yang sedang menikmati permen lolipop kesukaannya.
Kim Seokjin, seorang siswa kelas 3 SMA, satu angkatan dengan salah satu siswa yang dianggap sebagai kingkanya sekolah. meski kenyataannya, yang bersangkutan tidak merasakan demikian. berjalan dengan santainya dan seperti enggan mendengarkan temannya yang tak jauh dengan burung kelaparan.
"Berisik!" tangannya bergerak menepis, meminta jarak agar sahabatnya tidak memperkeras volume suara yang berada di telinga kanannya. Merasa tak nyaman dan berdengunhg sebelah dan membuat kepala hampir saja pusing.
Seokjin yang diusir layaknya seekor ayam tak terima, dia mendengus kesal dan membenarkan kacamatanya yang hampir melorot. Berteriak memaki teman yang memiliki tubuh lebih pendek darinya, hanya saja dia tak pernah mengatakan kebenaran fisik itu. Entah takut atau apa tapi yang ia tahu dia tidak suka diejek pendek.
"Kau harusnya mendengarku, bagaimana kalau dia mengadu pada orang tuanya kau bisa dapat masalah." Rutuknya dengan perasaan was-was dan takut.
"Kenapa aku harus khawatir, aku tidak menghamilinya. Dia saja yang bertingkah seolah aku akan menerimanya."
"Yaaaakkkk! Kau harusnya sadar pedasnya ucapanmu tadi, yang aku dengar ayahnya seorang pengacara kau bahkan memakinya dan menyebut dia dengan kata kasar. Bagaimana kalau kau dipidana dengan pencemaran nama baik, Yoon."
"Aku tidak takut, kau tahu sendiri bukan dia menciumku di depan kelas. Kau pikir dia gadis baik, oh hell... dia tak ada bedanya dengan jalang yang mencoba keluyuran di malam hari dan membuat dosa."
Yoongi benar, dia tak salah dalam mengumpatkan merahannya. Merasa jika kesopanan itu ada dan bahkan harga diri itu masih nampak utama dalam pemikirannya. Sadar atau tidak Seokjin merasa dibungkam, ia ragu apakah Yoongi memang benar salah hingga ia sadar jika posisi temannya antara benar dan salah. Benar karena wanita itu sangat beringas, dan salah karena Yoongi terlalu pedas dan frontal mengatakannya. Membuat satu kelas menjadi heboh dan keduanya disidang di ruang kepala sekolah.
Merasa frustasi dengan keadaan, mau tidak mau namja berkacamata itu mengambil botol dalam tasnya dan meneguknya buru-buru sampai dirasa otaknya penuh dengan cairan agar bisa berpikir. Oh hari yang panas di musim panas.
Namun, ia tak sadar jika Yoongi memperhatikan sesuatu satu menit yang lalu.
"Yoongi kau mau kemana, hei??!"
"Ikut aku." Tangannya bergerak dengan gerakan lambaian jemari yang mengajak. Tentu saja yang diajak merasa bingung dengan alis yang terangkat, apa yang dipikirkan dan apa yang terjadi. Ingin melihat hingga posisinya berada disamping teman sebangkunya itu.
"Apa??!" menyipitkan kelopak matanya, sedikit terang karena biasan matahari yang menerpa kacamatanya. Hingga tangan kanannya menjadi sebuah payung kecil yang menutupi wajahnya. Keduanya terdiam, melihat seseorang yang dihajar habis oleh kumpulan orang berwajah garang.
"Yoon, sebaiknya kita tolong." Seokjin yang memiliki hati lembut terketuk, ia bahkan sempat menarik tangan sahabatnya itu meski sahabatnya sedikit enggan. Membuat dia yang menariknya kembali merengut tak suka.
"Hei kau tidak ingin menolongnya?" tanyanya sekali lagi,
"Tidak, untuk apa? aku tidak mengenalnya." Ucapan enteng yang membuat seseorang merasa terpingkal akan emosi. Oh, sepertinya dia memang pembuat sejarah emosional tingkat tinggi.
"Tak perlu mengenal jika menolong seseorang, lakukan saja. Jika kau ingin menolongnya, buat adikmu bangga. Kau bukan Yoongi yang dulu."
Sindirnya dengan mata yang melirik tajam, melihat Yoongi sekarang membuat dia sedikit muak dan gerah. Tak ada perubahan, yang ada hanya seonggok manusia yang memiliki kepekaan yang telah mati. Membutuhkan sebuah pertolongan sepertinya.
1 detik...
2 detik...
3 detik....
4 detik...
5 detik...
Membuat emosi saja, tak sabar lagi dia yang melihat ketidakadilan itu bergerak. Seokjin berteriak agar mereka tak lagi memukulnya dan melerai. Mungkin, dia akan menjadi korban juga hanya saja... setidaknya tidak ada resiko seorang murid yang mati dihajar.
Menegangkan...
Dimana mata Jungkook juga sempat melihat, dua manusia yang ada disana. Satu yang membantunya berdiri, dan satu lagi....
BUGH!!!!
Yang menahan sebuah pukulan keras dari teman sekelasnya,
"Aku kira kau hanya diam Yoon." Ada senyuman di wajah namja berkacamata itu, Jungkook tak sengaja melihat seserang yang juga merangkulnya kini. Sebuah nama yang menjadi serdadu pusatnya, pendengarannya yang berdengung akibat hantaman keras kaki mereka tak bisa membuat dia tuli sepenuhnya. Siapa dia?
Menjadi momok pertanyaan dalam benaknya, dirinya sudah berantakan dengan seragam awut-awutan. Sedikit sedih karena dagangan kuenya berserakan, apa yang harus ia lakukan jika mama bertanya padanya. Ini tak bisa dikatakan dengan kebohongan.
"Kau tak apa?" Seokjin yang memeriksa keadaan Jungkook, hanya saja Jungkook juga baru pertama kali bertemu dengannya. Hanya bisa menatap polos dan menggeleng kepalanya bingung. Ia bersyukur Tuhan masih menolongnya, memilik dewi fortuna yang datang disaat dia butuhkan.
"Tidak apa, ak-aku baik saja." meringis dengan bibir yang ia tahan agar tidak terasa sakit, ini sakit... ini ngilu sungguh. Wajah babak belur menjadi petunjuknya.
"Kau tenang saja, kami akan menolongmu. Benarkan Yoongi?"
Yoongi...
Itu yang Jungkook dengar, sebuah nama yang entah kenapa dia rasa menjadi sebuah kecocokan. Apakah ia tak asing mendengar nama tersebut, sementara mereka yang sempat menghajarnya justru seperti tak bisa bergerak. Apakah dia orang yang cukup terkenal hingga membuat beberapa orang yang disana mati kutu? Hanya bisa melihat bagaimana namja itu membelakanginya, ia merasa jika ia melihat figur seorang kakak di matanya. itu sangat mengagumkan, hingga ia tak bisa bersuara.
Saat itulah dia...
"Siapa yang ingin kuhajar terlebih dahulu?"
Jungkook benar-benar kagum, ia sempat tak percaya. Hingga sadar atau tidak bisikan lirih keluar dari mulutnya.
"Hyung..."
Siapapun tak mendengarnya, kecuali malaikat yang mencatat amal baik buruk yang ada disampingnya. Satu hal yang pasti, Jungkook rasa dia sangat cocok. Benar-benar cocok, dan ingin menjadi adiknya.
Impian seorang anak panti sepertinya....
(Flashback ***** OFF)
.............
.
.
.
.
Taehyung bukan tipe orang yang mudah mengkhawatirkan seseorang ataupun teman sekelasnya. Hanya saja ini berbeda jika Jungkook belum kembali ke kelasnya, ini sudah jam masuk sampai Pak Kim pun sudah membahas penyelesaian phytagorasnya hingga mulutnya menjadi asam. Sengaja ijin dengan alasan ke toilet agar bisa mencari si pemilik gigi kelinci itu.
Namun ia tak menjumpai jua, hingga akhirnya kedua kakinya merasa pegal sendiri. Melihat bangku gazebo yang kosong membuat namja bermarga Kim ini memutuskan untuk mengistirahatkan kakinya. Dia mendesah lelah dan sesekali menggerakan lehernya yang kebas. "Dimana bocah itu?" menerka puzzle dalam otaknya, mencoba mencari sesuatu yang jelas, hanya saja otak sempit miliknya malah mendapatkan penampakan yang buram.
"Sial, malah gelap." Tak dapat ide, hingga dia akhirnya bersandar nyaman di bangku tersebut. menganggap dia berada di jam kosong dan tak takut akan teguran dari guru yang mungkin saja lewat. Taehyung menganggap sekolahnya menjadi ladang santai. Apakah dia memang terlalu membuat semuanya slow atau dia belum mendapatkan beban masalah yang berat. jelasnya, dia belum dewasa dalam hal apapun. Beruntung dia hidup dalam kemewahan monoton tak majemuk.
"Kenapa kau disana, bukankah jam pelajaran sudah dimulai?"
Suara menginterupsi, baru saja ia berbaring nyaman atau semacamnya. Justru seseorang membangunkannya dari hari bersantainya. Membuat wajah Taehyung tertekuk tak suka, tadinya ia berpikir bahwa seseorang yang tadi adalah seorang guru. Begitu ia melihat siapa dia, dirinya mengulas senyum tipisnya.
"Kemana saja kau Jeon, kau membuatku pusing mencarimu."
"Kenapa kau mencariku? Aku bahkan tidak memintamu untuk mencarimu."
"Kau ini, aku melakukannya karena aku khawatir padamu."
"Khawatir?"
Taehyung merasa sebal dengan ucapan Jungkook, berpikir jika dia memang tak peka atau apa. merasa jika namja muda tersebut memang terlampau polos hingga tidak tahu apa yang dirisaukan oleh sang sahabat.
Jungkook mengangkat sebelah alisnya dia bingung dengan sikap temannya, dia ikut duduk tanpa diminta. Begitu tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya Taehyung justru menjatuhkan kakinya dan membiarkan namja bergigi kelinci itu berada disampingnya. Kini mereka berdua menatap lapangan bola basket yang terkena terik panasnya matahari. Mereka berada di tempat teduh.
"Apa kau merasa baikan?" Taehyung menginterupsi jalannya perbincangan tersebut. Ia menoleh dan melihat Jungkook mengedipkan matanya beberapa kali. Mungkin bingung dan butuh proses agar dirinya paham.
"Ah, ya... aku baik."
Tiba-tiba saja wajahnya sedikit muram, dia menunduk untuk menyembunyikan segalanya. Ia habis menangis sepertinya karena sedikit sembab. Wajah lelah dan juga kusutnya memang menjadi bukti jika dia memiliki masalah yang memang tak bisa dikatakan secara langsung. Sadar atau tidak sepertinya Taehyung bertindak egois, hingga dia sendiri hampir saja memusuhi temannya dan berniat menjauhinya jika dirinya enggan menceritakan masalahnya.
Mungkin ini egois, dan harusnya Taehyung paham jika temannya itu membutuhkan privasi.
Tapi nyatanya dia sendiri sedikit kekanakan.
"Maafkan aku, aku sempat membuatmu tak nyaman. Kau belum memakan bekalmu, dan kau tahu bagaimana ibuku membuatnya untukmu. Kenapa kau belum kembali sampai jam segini, apa kau memang sedang bosan belajar?"
Mencoba mencairkan suasana dengan caranya. Ia tak mau jika ucapannya bisa menyangkut pautkan akan masalah temannya itu. Berusaha menghiburnya dengan cara lebih majemuk.
"Aku tadi ke UKS, kepalaku pusing dan aku baru saja baikan. Maafkan aku, nanti aku makan bekalmu, tadi aku mencicipinya sedikit dan rasanya sangat enak."
Tersenyum, sampai kedua kelopak matanya membentuk bulan sabit.
Taehyung tahu jika Jungkook hanya berpura-pura.
"Ya terserah kau saja, aku malas belajar kau kembali saja nanti saenim marah padamu. Kalau aku sih cuek, aku sudah menjadi jatah kebolosan."
"Kau sering membolos?" Jungkook merasa tak percaya dengan pengakuan Taehyung. Ia melihat jika temannya ini terlihat sebagai siswa teladan dan baik, tapi rupanya penampilan tak menjamin sifat seseorang.
"Mau main?"
"Hah?" Jungkook sedikit blank, masalahnya membuat dirinya tak bisa berkonsentrasi saat ini. Dia hampir saja salah mengartikan maksut Taehyung yang tiba-tiba itu.
"Aku adalah juara bermain basket, ayo bermain dari pada bosan duduk begini." Berdiri, dengan langkah kaki cepat menuju ke lapangan, Jungkook melihat bagaimana mudahnya sahabatnya itu melakukan olahraga disaat jam pelajaran lain berlangsung. Ada perasaan sedikit takut ketahuan dalam dirinya.
Disana Taehyung sudah bermain dengan bolanya dan memasukannya ke dalam ring bola dengan gaya slam dunk. Beberapa kali juga Taehyung berusaha mengajak Jungkook untuk segera bergabung.
"Bagaimana kalau guru tahu, aku tidak mau dihukum. Aku masih baru dan aku tak mau ada catatan pelanggaran dalam bukuku." Biar saja Jungkook diledek pengecut oleh temannya tersebut, ia merasa jika apa yang ia pilih ini benar. Karena peraturan tetaplah peraturan. Taehyung rasa Jungkook terlalu takut melakukan kesalahan, ah tak apa dia mulai memahami bagaimana sifatnya tersebut.
"Jangan menjadi pengecut, peraturan dibuat untuk dilanggar kan?" Taehyung tak hentinya membujuk, ia bahkan menarik tangan Jungkook untuk ikut bergabung walau Jungkook juga menolaknya beberapa kali.
"Mana bisa begitu, aku tidak mau."
Sepertinya Taehyung menyerah bagaimanapun dia mengajak Jungkook sampai akhirnya bocah bongsor itu mau.
"Kadang membuat masalah dalam hidupmu bisa memberimu pelajaran untuk menjadi lebih baik." Ucapan yang terdengar santai dengan canda tawa khas miliknya yang dibalas dengan tatapan cengo manisnya seorang Jeon Jungkook.
"Belajar dari mana kau akan bahasa itu, apakah nilai bahasamu bagus?" ia rasa Taehyung memiliki kelebihan jika dia tak suka pelajaran matematika.
"Hahahaha... mungkin saja tapi aku masih cuek dan tak ingin memikirkan apa bakatku. Mereka hadir tanpa diminta, bagai tamu tak diundang." Memasukan kembali bola ke dalam ring dan hasilnya luar biasa masuk.
"Benar hyung, hanya saja di zaman sekarang mereka lebih terburu-buru mengetahuinya. Hingga lupa diri."
"Ya, asal kau tak lupa padaku." Tertawa lepas bagaikan dia mendapatkan medali emas. Dibalas senyuman tipis namja yang hendak menemaninya bermain basket bersama, walau ada kata terpaksa ketika di jam pelajaran.
"Aku tak akan lupa, wajah bodoh dan kelakuan absurdmu hyung."
Taehyung mengira Jungkook terdiam, Taehyung mengira sahabatnya ini tak punya jawaban. Ia mengira jika Jungkook, memang tak mendengarnya. Mengabaikan dengan sebuah permainan yang ia sukai.
Tapi...
Jungkook mendengar itu semua dan hanya bisa membalas dalam hati. Ia sedikit terhibur suasana hatinya, tak sekelam yang lalu. Dan tak sekelabu yang tadi, ia lega dan bisa bernafas dengan tenang. Beruntung bersekolah di sekolah sehebat ini dan bisa bertemu dengan kawan baru yang membuat ia bahagia. melupakan sejenak masalahnya tentang sang kakak yang berusaha menjatuhkannya di jurang yang dalam.
Membuat dia lupa bahwa dia sempat menangis dengan memeluk foto Jimin yang sengaja ia bawa. Semangat Jimin itulah kekuatannya, merubah menjadi keyakinan dan membentuk semua itu menjadi nyata di kemudian hari.
Membuat Yoongi bisa melihatnya....
Ya, sepertinya Jungkook tak jadi menyerah. Berusaha dan berusaha, atau dia akan kalah sebelum berperang.
Hingga akhirnya Jungkook merasa yakin untuk melanggar sebuah peraturan, peraturan yang dibuat sang kakak tempo lalu. Tersenyum dan menatap langit dan di hatinya menyebut Tuhan meminta agar menjaga Jimin untuk selalu tersenyum.
"Aku menyayangimu hyung..." ucap dalam hatinya jauh di lubuh terdalam. Untuknya yang pergi jauh tanpa ia lihat sebelumnya dan tanpa ucapan selamat tinggal sebelumnya.
Lupa, jangan lupakan hal itu....
.........................
.
.
"Sampai kapan?" tatapan datar di wajah dinginnya, kulit pucat bagaikan salju yang tertinggal di musim panas. Bertahan di dalam ruangan pribadinya, menatap penjuru kota dari kaca gedung pencakar langit miliknya. Min Yoongi dia seperti setitik salju yang tak berarti kehilangan musim dingin yang dulu menyertainya, membuat hatinya tak lagi sejuk dan hanya membawa sebuah kesedihan.
"Sampai kapan aku bisa menjauhkannya Jim, kau seakan tak rela dan membiarkan hyungmu menjalani kehidupan seperti ini. Aku tidak bisa membencimu meski aku yakin kau meminta Tuhan takdir seperti ini. sampai kapan? Apakah sampai aku tua dan bisa bertemu denganmu? Lama... sangat lama, dan aku menjadi pembangkang eomma."
Ada apa?
Kenapa dia menangis...
Meski dia terlihat wibawa dengan wajah dingin dan datarnya, gestur yang diturunkan oleh sang ayah serasa tak berguna saat dia menjadi selemah ini. sampai kapan... padahal ada harapan untuk pergi jauh...
Pergi yang jauh....
Jauh...
Dan jauh...
Go away...
..............................
TBC
Hai semua.... author kembali dengan chap ini, semoga kalian gak bosan dengan kedatangan author...
Terinsirasi dari sebuah lagu ost teacher doctor Kim 2 ' go away ' membuat saya berhasil melahirkan bagian chapter yang mungkin bisa masuk kategori list bacaan kalian. Author sudah berusaha semampunya agar cerita ini tak jatuh dari ekspetasi kalian. Meski author bukan penulis terkenal di luar sana.
Masih banyak belajar dan butuh bimbingan yang lebih handal. Semoga kalian puas meski kedatangan author cukup lama. Untuk ke depannya berusaha tepat waktu dan lebih baik lagi.
Maaf kalau typo masih bertebaran, cerita tambah gaje atau apalah. Karena author hanya manusia biasa yang tak luput dari kesalahan....
Sekian dari saya, bye semua... sampai jumpa di next chap...
Salam cinta dan sayang untuk kalian semua....
#el
16/02/2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro