Part 28 : Save Me
"Tuhan tak pernah berhenti atau meninggalkanmu saat kau terpuruk, dia memperhatikan setiap gerak apa yang kau lakukan. Ketika kau menangis dan kau justru berdiri di tengahnya pada saat itulah Tuhan bersamamu ketika kau bersedih, menyembunyikan air mata yang keluar tanpa kau inginkan. Membasahi hati dan pikiran majemukmu, dia membantumu menghapusnya... menutupinya agar orang tak tahu jika kau sedang terpuruk. Tuhan memangkumu dengan tangannya, dia menunggu kedatanganmu untuk berdoa dan memohon bantuannya. Berserah diri dan sadar jika kau tak akan bisa apapun tanpa dirinya. Hanya karena kau besar dan hebat dalam segala hal bukan berarti kau melupakan Tuhan, berada disisinya akan membawa ketenangan sendiri. Menjadi manusia yang paling beruntung di dunia. Karena saat kau tersenyum, maka Tuhan ikut jua. Mengatakan, kau hebat... berhasil, aku bangga padamu manusia... sembari dia menyebut namamu di akhir kalimatnya. Apa kalian tak ingin seperti itu?"
.
.
.
(Author **** POV)
Berdoa dalam hati, tangan yang terangkat dan menggenggam satu sama lain. Berdoa dalam hati dan melantunkan harapan kecil dalam hatinya. Wajahnya yang kushyuk dengan dirinya yang berharap sebuah kelancaran. Dia takut tapi dia punya Tuhan membuat dia yakin jika dia akan bisa. Berhasil dan tak akan perlu berdebat dengan hatinya yang ingin memporak-porandakan hatinya.
Ditepisnya bisikan iblis yang ingin menghasutnya, ia tak peduli jika nyatanya ada yang tak setuju dengan keputusan ini. Melupakan kejadian yang berlangsung tadi, dimana Yoongi yang hampir saja menghajarnya dan hampir dia membuat mati disini. Jika saja, sang ibu tak akan datang kemungkinan besar Jungkook tak akan selamat.
"Kau tak apa nak?" datang menghampiri dengan segelas air putih yang baru saja ia ambil, dengan suhu hangat yang membuat Jungkook tenang di setiap tegukannya. Merasa baik diantara hatinya yang masih memacu detak jantung yang cepat. Dia mengangguk dengan sedikit ragu dan wajah yang blank. Sedikit sembab dan penampilannya tak karuan, Jungkook yang merasa jika seluruh nyawanya sudah terkumpul hanya bisa bernafas lega.
Menatap kedua kakinya yang telanjang di atas lantai. Sedikit merutuki kebodohannya yang justru memberikan balasan berupa pukulan yang memicu pertengkaran, tapi sungguh dia membela dirinya karena sang kakak yang seperti ingin menghabisinya.
"Eomma akan menghukum Yoongi! kelakuannya sungguh keterlaluan, apakah lehermu masih sakit sayang?" memeriksa sang anak asuh, dia merasa bersalah karena anak kandungnya sendiri tega melakukan hal demikian. Memang pantas dia menampar Yoongi, tindakan sang anak di luar batas manusia. Apakah memang Yoongi akan melakukan hal yang sama atau memang sudah melakukannya ketika bersama Jungkook.
Heran dengan sang anak kenapa tak bisa berubah dan tak bertingkah, kepergian Jimin bukan akhir segalanya. Justru, sang ibu ingin yang terbaik. Mencari pengganti sang adik dan Jungkook adalah orang yang ia yakini mampu, meski kenyataannya sang anak sulung selalu berdalih dengan ungkapan sial.
"Aku tak apa eomma, hanya berbekas saja." ucapnya dengan tenanga, tapi tidak bagi sang ibu yang hanya mendesis tak suka. Ia tahu Jungkook berbohong untuk menutupi keburukan Yoongi yang menjamur. Dan itu bukan hal yang baik jika sang anak selalu berbuat baik pada sang anak yang nyatanya membuat dirinya kecewa.
Apa yang harus ia lakukan kemudian pada Yoongi yang semakin semena. Sementara dirinya tak berada lama di kawasan rumah sang anak. Membelikan satu rumah lagi untuk Jungkook adalah hal terbaik yang terpintas dalam pikirannya, hanya saja... membuat Yoongi menerima sang adik adalah tujuannya sejak awal. Ini tak mudah....
"Kau mengatakan hal itu agar Yoongi tak kena hukuman, apakah kau bisa membelanya jika dirimu saja terluka. Astaga, lihatlah lehermu lecet." Kedua bola mata sang ibu sedikit sipit, dia justru menyentuh luka sang anak. Itu sakit karena yang muda meringis meski ia sembunyikan sebisanya. "Jangan kau tahan nak, lebih baik kau tunjukan pada eomma. eomma tak suka jika kau menyembunyikannya. Kau anak eomma, paham.." mengapit kedua pipi sang anak hingga kedua mata antara ibu dan anak itu saling berhadapan, Jungkook terdiam dengan gerakan kepala yang mengangguk pelan.
Sang ibu menghirup nafas lega....
"Sepertinya kau butuh istirahat, lain kali saja untuk bertemu yang lain okay? Jika berhadapan dengan Yoongi akan semakin buruk, kau tenangkan hatimu dan cepatlah tidur." Ucapnya dengan menyentuh dada sang anak, ia rasa membiarkan Jungkook disini adalah hal baik dari pada dirinya terluka akibat lainnya. Tapi, Jungkook tak setuju rasanya tak akan sopan untuknya jika tidak memperkenalkan dirinya. Di depan mata keluarga lainnya, ia rasa akan sangat kurang pantas jika tak ada jalinan silaturahmi. Meski terngiang ucapan sang kakak jika dirinya tak akan pernah pantas menggantikan posisi Jimin sebagai bungsu.
"Eomma aku ikut," pintanya dengan tatapan memohon, tangan sedikit kekar itu mengapit tangan keriput sang ibu. mengucap lirih dan berharap diberkati, ia tak apa dan semua baik saja. Tak akan ada masalah karena Yoongi tak akan mungkin menyerangnya lagi di depan umum.
"Tapi..." Jungkook menatap penuh permohonan dirinya menatap sang ibu penuh keyakinan. Hingga membuat hati wanita di depannya ini luluh seiring detik berjalan. Mengalah... menjadi salah satu jalan untuknya, agar Jungkook juga cukup bahagia. Ia mencoba menjadi ibu yang baik untuknya, mungkin ini saatnya mengenalkan Jungkook di depan semua keluarga.
"Aku yakin Yoongi hyung tidak akan menyakitiku lagi." Menangkup tangan sang ibu hangat, rasanya namja muda itu mampu menghilangkan rasa ragu dan juga khawatir di hatinya. Bujukan itu berhasil, dimana keraguan itu berubah menjadi anggukan setuju yang membuat hati yang muda menyembul bersorak. Ia berhasil, meski penuh resiko ke depannya. Tak masalah, ia juga ingin merasakan mempunyai seorang nenek dan juga keluarga besar lainnya. Seperti apakah mereka? Jungkook mungkin tak akan penasaran.
Sang ibu memeluk anaknya, dia menepuk punggung itu penuh sayang dan pelan. Seakan mendapatkan semangat yang sangat berarti baginya membuat Jungkook tersenyum tipis. Ini adalah kesekian kalinya sang ibu mendukungnya, rasanya sangat menyenangkan. "Eomma akan menunggumu di dalam mobil, duduklah bersama eomma. Jika Yoongi melirikmu abaikan saja, eomma disisimu." Mengusap sayang rambut sang anak, dia tak ingin membuat penampilan sang anak berantakan. Di matanya Jungkook sangat tampan, disayangkan bagi orang tuanya yang tega menelantarkan anak sebaik dan setampan ini di depan panti. Apakah dia beruntung mengambil Jungkook? tentu saja, ya...
Mungkin petunjuk Jimin saat sebelum meninggal. Menyuruhnya datang ke panti dengan membeli roti cokleta, hingga takdir mengatakannya dan membuat dia merasa cocok dengannya. "Kau anakku, dan kau adalah si bungsu dalam keluarga ini. Jangan merasa tertekan dengan sikap Yoongi dan mungkin sikap beberapa keluarga lain. Jadilah dirimu, karena kau adalah Min Jungkook. Jimin akan melihat dirimu disana bahkan dia senang jika kau memakai bajunya juga sepatunya. Kau sangat tampan, dan pantas." Mengecup kening sang anak dengan kasih. Ia bahkan mengatakan itu dengan tulus, tanpa ada kebohongan di setiap ucapannya.
Jungkook yang mendengarnya terharu dan bibirnya bergumam memanggil sang ibu dengan perasaan bahagia. Ucapannya membawa semangat tersendiri untuknya, dia sendiri merasa bahagia dan ingin menangis. Kasih sayang yang lama hilang kini telah kembali, di tangan orang masih ada memperhatikan dan mempedulikannya. Mengingatkan akan dirinya yang selalu ada teman dan juga saudara, Myungsoo.... dialah yang dirindukan Jungkook selama ini. Bisa seperti seorang ibu, ayah sekaligus kakak dalam satu tubuh. Perhatian melebihi dirinya hingga dirinya berani manja dan selalu menangis mengadu ke arahnya.
"Aku tak akan pernah mengecewakanmu eomma, Yoongi hyung... aku akan membuatnya merasakan sesuatu yang hilang dan menepati janjiku padamu eomma." terucap sebuah janji untuk kedua kalinya, yang mungkin saja sang ibu melupakannya karena paham bagaimana keadaan sekarang.
"Aku tak memaksamu nak, aku hanya kau berharap jika kau mendapatkan hakmu sebagai anak dan seorang adik tanpa mempedulikan sikap kasar Yoongi."
"Eomma, kau tenang saja. Aku menyayangi Yoongi hyung meski dia berusaha meremukkan keyakinan dan juga semangatku. Aku tak akan kalah dengan dirinya, dia lumpuh rasa bukan mati rasa. Percayalah.... akan ada saatnya bunga di dalam dirinya mencair dan tak lagi membeku. Aku akan tetap menepati janjiku karena saudaraku yang mengajarinya. Menepati hingga dirinya pergi dengan jiwa yang besar dan aku bangga, aku ingin sepertinya. Dikenang dan akan selalu ada di sini, karena dia sangat baik dan selalu mempedulikan orang lain tanpa memikirkan dirinya. Kebahagiaan..." menyentuh dadanya dan tersenyum dengan sangat yakin. Membuat sang ibu menangis tanpa diminta.
Jungkook yang khawatir akan ibunya yang menangis segera mengusapnya, menghapus jejak air mata itu dengan lembut. Rasanya sangat menyentuh karena seorang anak yang tak ingin melihat ibunya menangis. walau kenyataannya tak ada hubungan darah dari keduanya.
Pemandangan yang menyentuh, tapi...
Tidak untuk dia, yang tak sengaja mengintip hubungan keduanya dari luar kamar yang dirinya saja enggan masuk. Menatap dengan tatapa datar dan tajam, ia yang merasa jengkel luar biasa. Bekas merah di pipinya bukti bagaimana sang ibu yang telah memberikan pelajaran yang mungkin pantas untuknya. Kedua tangan yang meremat kuat.
"Munafik! Kau munafik sialan. Sungguh munafik!"
Ada yang iri...
Dia yang enggan menerima takdir Tuhan. Tenggelam dalam kesedihan berlarut hingga sekarang, dan tak menyadari bagaimana Tuhan mengaturnya. Enggan tahu dan enggan menerima, sifat egois yang besar. Seperti melawan takdir Tuhan, dan itu bukan sesuatu yang baik. Apakah dia akan bertahan dengan segala keegoisan yang dimiliki olehnya? sementara waktu terus berjalan dan tak lagi sama. Entahlah...
Yoongi mungkin orang yang bodoh meski logikanya berjalan.
Yoongi mungkin orang yang selalu menganggap semuanya santai, meski kenyataanya dirinya memedam rasa marah dan kesal dalam hatinya.
Dan mungkin Yoongi adalah orang yang terlihat sempurna meski nyatanya dirinya rapuh seperti debu.
Kemungkinan semua opsi itu benar.
.....................
.
.
.
Jungkook rasa dia tak bisa bergerak, hiruk pikuk di sini membuat dia merasa di dominasi. Semua orang menatap dirinya tapi kenyataannya tak begitu, hingga kedua tangannya gugup bergetar di atas pahanya. Sang ibu, yang duduk disampingnya langsung menenangkan sang anak. menyentuh punggung tangan sang anak dan mengusapnya sayang. Dia yang mengulas senyum dengan Jungkook yang melirik gugup hingga akhirnya dia menagngguk pelan dengan maksut 'terima kasih.'
Yoongi mencibir tingkah namja di depannya, memuakkan pada akhirnya dia duduk berhadapan dengan Jungkook di meja makan bundar ini. sungguh, jika bukan karena keberadaan sang nenek dan keluarga besar lainnya. Tak akan pernah, dia duduk satu meja dan makan bersama seperti ini.
Melihat wajahnya saja ingin sekali Yoongi menyemburnya dengan minuman di depannya.
"Siapa namamu anak muda?" yang tua mengajak berbicara. Dari yang awalnya menunduk kini kepalanya terangkat, dia sadar jika kegugupannya tak bisa ditutupi hingga menyebut namanya saja dia gagap.
"Ju-Jungkook..." ucapannya dengan sekali hembusan nafas. Ia merasa lega sekaligus tak enak lantaran dia merasa caranya berbicara tak sopan. Sang nenek yang menyapanya tersenyum maklum, ia merasa penasaran dengan cucu barunya yang baru saja diangkat oleh menantunya itu. Jika ia lihat, anak di depannya adalah orang baik.
Ia merasa cocok meski melihatnya saja.
"Nek, aku ingin pulang." ucap Yoongi tiba-tiba mengacaukan ketegangan acara makan malam. Yoongi dengan wajah dinginnya juga tak bersahabatnya mendapatkan tatapan tajam sang ibu. ia heran kenapa sang anak tak bisa diajak kerja sama!
"Kenapa kau buru-buru sekali, kalian baru setengah jam disini." sang nenek yang hafal betul menanggapinya dengan lumrah. Mungkin saja Jungkook seperti itu bukan karena tegang bertemu keluarga besar, ada hal lain dan itu berasal dari Yoongi yang kini menjadi kakaknya. seakan mengerti permasalahannya, sang nenek memanggil pelayan. Memesan makanan dan memulai acara lainnya.
Bersulang....
Jungkook meminum minumannya dengan tegukan perlahan, dia yang menutupi kegugupannya dengan tatapan mata yang gelisah. Ia takut membuat kesalahan pada acara itu apalagi Yoongi yang mendiktenya sedari tadi. Dalam ketakutannya ia berkata, 'apa salahnya?'
Membebani pikiran dalam acara malam ini, dia yang tak terbiasa dengan acara besar seperti ini tentu saja merupakan masalah besar baginya. "Santai saja anak muda, kau bisa menikmati acara ini sepuasmu." Salah satu pria yang dia ketahui sebagai anak adik dari ayah kakaknya yang kini sudah beristri dan duduk disamping istrinya yang sedang menyuapi anak di pangkuannya. Jungkook yang merasa gemas dengan pipi gembul anak kecil disana sesekali mengulas senyum gemasnya, bahkan tanpa sadar anak kecil itu tertawa lebar dan mengeluarkan suara terbahak. Sang ibu yang melihatnya merasa senang karena putri kesayangannya tak rewel.
Sementara di sisi kanan Yoongi ada seorang pria tua yang notabene adalah paman dari kakaknya, atau sekarang menjadi pamannya juga. Dia yang paling wibawa dan sedikit supel sejak acara berlangsung meski sesekali dia membawa candaan dengan caranya yang tak biasa. Mungkin saja menurut kalian kelurga besar ini nampak biasa dan santai tapi bagi Jungkook ini menjadi pemicu ketegangan yang luar biasa.
"Jungkook kau masih bersekolahkah?" sang nenek yang ingin tahu banyak hal, menanyakan masalah pendidikan cucu barunya tak lupa tangan keriput tuanya memberikan sepotong dagin g steak yang baru saja matang dari pandangan. Jungkook sedikit terharu lantaran mendapatkan kejutan dari sang nenek, hanya saja Yoongi buru-buru mengambil potongan daging itu dengan piring yang ia taruh di atas piring Jungkook. Pandangan beberapa orang yang melihatnya ia anggap sebagai sosok tak terlihat. Ia tak suka perhatian kecil yang diterima Jungkook, katakan saja yang tua tengah cemburu.
"Kau ingin nak? makanlah nenek akan memesan yang banyak untukmu." Tersenyum anggun, sosok nenek yang patut di contoh. Mungkin dia sedikit kesal dan tak percaya dengan tingkah cucunya tapi semua itu sembunyikan dengan senyumannya yang rapi.
Yoongi hanya membulatkan matanya, terserah! Meski sang nenek memesan satu truk steak pun Yoongi tak peduli. Karena Jungkook tak berhak mendapatkan kebiasaan yang dulu Jimin dapatkan. Ya... keluarga paling muda mendapatkan daging pertama dari neneknya, itu sudah kebiasaan. Yoongi? dia merusak kebiasaan itu dengan wajah tak ikhlas.
"Biasanya yang mendapatkan potongan daging pertama Jimin, atas nama Jimin aku akan memakannya." Memasukan daging itu dengan sedikit rakus, dia tak ingin daging hangat itu dingin. Dia suka begitu juga dengan sang adik, mereka memiliki kesamaan dari beberapa segi meskipun watak sang adik lebih hangat.
Jungkook yang melihatnya hanya bisa terdiam dengan menggigit bibir bawahnya, dia memainkan jemarinya sembunyi.
"Nah cucuku, kau belum menjawab pertanyaan nenekmu ini."
Beberapa keluarga juga ingin mendengarnya, beruntung mereka sabar. Sang ibu tersenyum mengangguk ketika Jungkook menoleh padanya. Ia tak merasa canggung lagi.
"A-Aku bersekolah di tempat Yoongi hyung bersekolah dulu, nek..." akhirnya Jungkook membuka suara, dirinya memiliki sifat polos yang sudah ditebak oleh sang nenek. Mengangguk senang dan wajahnya nampak cerah di usianya kian menua, "Ah disana rupanya, kau beruntung disana kau akan di didik dengan bagus dan fasilitas lengkap. Kudengar banyak yang berhasil setelah lulus dari sana. Mungkin, kau bisa menjadi seperti Yoongi yang menghandle perusahaan ibunya." memberikan potongan daging kedua di piring Jungkook yang masih bersih, setelahnya sang ibu yang bergerak membagikan danging ke tiga pada sang nenek. Begitu seterusnya hingga akhirnya Yoongi diharuskan memberikan potongan itu pada urutan terakhir, pada Jungkook.
Tapi, sepertinya Yoongi enggan. Hingga Jungkook sendirilah yang memberikan potongan daging kepada sang kakak. ketika tangannya bergerak mengambil, sebuah suara menginterupsinya. "Ku dengar kau dulu berjualan kue, pasti kau pandai memasak kan?" wanita yang bernama Hyi Je, ibu dari seorang anak yang tengah ia pangku. Ia berani membuka suara atas kehidupan Jungkook dulu. dan sepertinya ada senyuman tipis nan dingin dari sana.
"Iya, aku pandai membuatnya. Mama mengajariku, aku dan saudaraku menjual kue keliling karena kebutuhan yang kian mendesak. Tapi, aku menyukainya karena aku bisa membagi kesenangan bagi semua orang." tersenyum manis, hingga nampak gigi kelincinya yang menggemaskan. Sang bayi yang ada disana tersenyum bahagia. Merasa cocok dengan Jungkook hingga beberapa kali ia membujuk ibunya agar membiarkan dirinya di pangku namja yang ada disana, hanya saja ibunya tidak mengijinkan entah kurang percaya atau apa yang jelas, diadakannya pertemuan ini agar mereka saling mengenal satu sama lain.
"Oh begitu, Yoongi bilang karena kau yatim piatu dan tidak punya apapun."
Sang ibu dari sana menatap sinis anaknya juga wanita yang merupakan keluarganya, apa-apaan itu? seperti sindiran dan lagi sang anak menceritakan hal yang sepatutnya bukan dia yang mengatakannya. Akan ada waktu dimana mereka akan mengetahui kehidupan Jungkook. ternyata Yoongi sudah keterlaluan.
"Seperti yang kau lihat dia memang menggelikan." Tunjuk Yoongi dengan jempolnya ke arah Jungkook yang kian menunduk, dia sudah mati kutu dan lagi Yoongi memperlakukannya seolah dia adalah seorang tuna wisma yang menumpang di rumahnya. Ia tak malu hanya saja sedikit sakit hati dengan sang kakak yang melakukan ini padanya. Apakah ada etika dalam menghargai seseorang. Hanya beberapa yang tertawa tanpa sadar, sementara sang nenek dan juga sang ibu hanya diam dan memasang wajah tak suka kepada mereka. Ini keterlaluan...
"Yoongi bagaimana keadaanmu, apakah kau sudah membaik. Nenek terakhir melihatmu setelah seribu hari kematian Jimin."
Yoongi sedikit kesal mendengar ucapan sang nenek di akhir kalimat, tangannya meraba bentuk gelas di depannya. oh... apakah sang nenek berusaha mencairkan suasana dengan membawa sedikit kenangan pahitnya.
"Cukup baik, aku sangat bahagia." Yoongi tak ingin terlihat lemah justru mengulas senyum smirknya. Ia menatap langsung sang nenek dengan penuh ketidakperasaan. Tapi, sang nenek bisa membaca pikiran cucunya.
"Tapi tatapanmu mengatakan kau tidak suka akan suatu hal." Meminum teh hijau hangatnya, dia tak ingin melihat wajah tertekuk cucunya. Skakmat!
Ada yang membisu sekarang....
"Jungkook, jika kau merasa tidak nyaman dengan kehadiran kakakmu. Kau bisa pindah berada disisi nenek." Sepertinya sang nenek melihat Jungkook yang semakin tak nyaman.
"Tidak usah nek, aku baik saja. Aku ingin duduk dengan Yoongi hyung." senyum manis, yang mendadak ditanggapi dengan senyum meremehkan milik Yoongi.
Dan itu membuat suasana semakin tidak terkontrol.
"Siapa yang mau duduk dengan anak yatim piatu yang bodoh!"
Ucapan yang bagaikan sebuah pedang, sindiran atau mengatai. Yoongi cukup bodoh hingga sang ibu bangkit emosi, menegangkan karena dirinyalah pertama yang membuat ungakapan kemarahan. Jungkook terperangah dan beberapa orang yang melihatnya terkejut. Sementara Yoongi dengan tanpa rasa bersalahnya hanya bisa menatap sang ibu santai.
"Yoongi kau!"
Apakah terjadi bentrok? Sementara sang nenek hanya melihat semua itu dengan wajah yang tak ada bedanya dengan keluarga lainnya.
Hingga....
PRAAANGGG!!!!
..............
.
.
"Kau kenapa Jungkook?" Taehyung yang mendapat sahabatnya terpuruk sedih, bahkan bekal makanan yang ia bawa pun tak ada minat untuk dimakan.
"Kau tidak suka makanannya?" merasa tak enak atau takut jika dia membawakan makanan yang justru tidak disukai namja di depannya. Jungkook merasa bersalah membuat sahabatnya khawatir.
"Tidak hyung, aku hanya tidak bernafsu." Lidahnya seakan mati rasa, kepalanya cukup pusing dengan kejadian kemarin. Ah, ini bukan dirinya yang seperti biasa. Bahkan tangannya pun di balut perban, Taehyung yang baru sadar tersedak. Sejak kapan tangan itu di perban apakah kedua bola matanya salah lihat?
Sampai ketika Taehyung menanyakannya, Jungkook seperti menghindar ia bahkan bingung ingin menjawab apa.
"Kau kenapa apakah ada yang melukaimu, ataukah kau kecelakaan?"
Meniti setiap mimik wajah yang tertunduk gugup, di hati kecil Taehyung sepertinya opsi pertama cukup tepat.
"Kau jangan berbohong, apakah kakakmu melakukan hal yang membuatmu seperti itu? lukamu..."
Jungkook menelan ludahnya kesusahan, bagaimana bisa Taehyung membaca pikirannya. Ia sengaja membisu ketimbang berbohong. Oh.. masuk akal, jika memang itu benar. Apalagi melihat Jungkook yang ketakutan adalah hal paling mendasar.
"Benar, kakakmu yang..."
"Aku pergi ke toilet hyung."
Meninggalkan, dengan wajah yang cemas dan sekaligus tak enak hati. Menghindari Taehyung yang kini menatap dengan wajah datar bekal makan siang yang masih utuh itu. tiba-tiba saja nafsu makannya hilang sudah.
Apakah Jungkook masih mengganggap dia orang asing?
Entah kenapa Taehyung sedikit dongkol dan kesal dengan Jungkook. Merasa jika dirinya bukan orang yang tak mempedulikan, padahal... ketika semua orang masa bodoh dengannya, dirinyalah yang paling peka.
Hingga...
Taehyung melahap semua makanannya, mencoba menghabiskan bekalnya tanpa menunggu Jungkook. menurutnya,
Percuma....
............................
TBC
Hai semua.... author kembali dengan chap ini, semoga kalian gak bosan dengan kedatangan author...
Jangan lupa vommentnya ya, makin banyak vomment author makin cepat upnya dan harap bertobatlah kalian para silent readers... hargai usaha author ya
Maaf kalau typo masih bertebaran, cerita tambah gaje atau apalah. Karena author hanya manusia biasa yang tak luput dari kesalahan....
Sekian dari saya, bye semua... sampai jumpa di next chap...
Salam cinta dan sayang untuk kalian semua....
#el
31/01/2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro