Part 24 : I'am Fine
" Terlalu mengalah itu salah, banyak bertingkah itu wajar... Salah satu hal yang tak kutahu, aku akan mencarinya. Sampai pada akhirnya aku akan menemukan jawaban, jawaban yang akan menentukan untuk apa... Harus apa, aku berusaha. Demi satu perhatian yang tulus, tanpa ada.. kata terpaksa."
.....
(Author ***** POV)
Ia tahu jika ia akan berhadapan dengan serigala yang menyalak saat langkah kaki telanjangnya memasuki area ini. Dinginnya lantai tak menghalangi niat awalnya. Ia masih bertubuh lemah dengan tangan yang menopang pada sebuah pintu.
Hembusan nafas yang belum teratur sepenuhnya, dengan sedikit keringat yang lolos dari keningnya. Dia yang sedang mencoba berdiri tegap dengan tangan yang sudah memegang gangang pintu kamar si pemilik rumah. Jeon Jungkook yang ingin menjenguk sang kakak, mengabaikan peraturan yang sudah dibuat si empunya. Tapi, ia tidak peduli. Selama ada istilah,
Peraturan di buat untuk dilanggar.
Dari dalam sana ia masih bisa mendengar percakapan dua orang, walau samar Jungkook masih mengerti apa yang dikatakan mereka. Apakah ia mengganggu? Ah, masa bodoh.... Ia harus egois agar rasa penasarannya terobati. Mungkin mengambil resiko besar adalah hal yang akan biasa ia lakukan mengingat kelakuan Yoongi yang tak pernah welcome pada dirinya.
Jungkook hanya memandang kenop pintu di depannya, dengan nafas yang ia hirup seteratur mungkin. Tatapan pucatnya masih kentara meski wajahnya tak sepucat kemarin, Ia berdiri tepat di depan pintu sang kakak yang ia dengar samar sedang berbicara dengan seseorang. Jungkook merasa apakah dia salah datang di saat seperti ini?
Tapi, ia juga berhak melihat keadaan sang kakak dengan kedua bola matanya sendiri. Bukannya ia tidak percaya dengan perkataan sang ibu yang mengatakan jika Yoongi baik saja, hanya saja... hatinya merasa tak puas jika ia tidak wujud sang kakak. Meski ia tahu akan ada resiko dari perbuatan yang ia lakukan saat ini.
"Semoga aku tidak salah..." lirih Jungkook dengan telapak tangan yang sudah memegang kenop itu dengan sedikit bergetar, kembali menghirup nafas dan meyakinkan dirinya untuk menjenguk sang kakak.
"Tidak, hanya saja jika kau berani macam-macam denganku. Tugasmu sebagai karyawanku berakhir!"
"Yaaakkkkk... yaakkkk... yakkkkk... kau tidak bisa melakukannya bangsat!"
" Kenapa kau semakin beringas, apakah aku bilang akan memecatmu sekarang? Itu jika kau melakukan kesalahan, apa kau memang punya salah denganku?"
"Ti-tidak, sudahlah aku ingin bersantai sejenak disini. Percuma berbicara denganmu sangat tidak jelas."
Dari dalam sana ia mendengar percakapan sang kakak dengan seseorang, entah itu siapa hanya saja Jungkook menebak jika dia adalah Seokjin. Salah satu karyawan yang bekerja di perusahaan sang kakak, ia bisa dengan jelas mendengar bagaimana Yoongi yang mengomel seperti biasanya. Tabiat yang sering dia lihat dan didengar membuat Jungkook sedikit lega. pasalnya jika Yoongi mengomel itu artinya ia sudah sehat.
Tapi bukan Jungkook namanya jika dia tidak melakukannya.
Ceklek!
"Yoongi hyung..."
Suara itu terdengar dari luar kamarnya, Min Yoongi yang sibuk-sibuknya mengetik laporannya seketika menghentikan jemarinya. Merasa ada seseorang yang masuk tanpa ijinnya, membuat tatapan setajam elang yang membuat bulu kuduk Seokjin berdiri. Bukannya apa, hanya Seokjin tidak terlalu suka dengan mode Yoongi yang sekarang. Yoongi dengan mental setannya....
Ia berdiri disana, Jeon Jungkook yang menunduk canggung. Merasa iba saat Jin melihatnya, ini adalah hal yang kurang pantas di dapat oleh Jungkook. Jin selalu melihat di luar sana, seorang adik yang akan disambut kedatangannya dengan hal yang wajar, manis ataupun ceria. Bukannya hawa menakutkan yang datang pada setiap pori-pori yang dimiliki Yoongi. Membuat bocah kelinci yang ia kenal seperti menciut adrenalinnya.
"Jungkook, kau sudah baikan? Syukurlah..... kemarilah dan duduk denganku." Ajak Seokjin dengan tangan yang bergerak mendekat ke arahnya. Setelah itu ia menepuk sebelahnya, sofa kosong yang ia duduki. Menjadi alas agar Jungkook juga berbaur di sampingnya. Apalagi Jungkook sepertinya sangat menyenangkan jika diajak berbicara. Tak seperti orang di depannya yang mengabaikan kedatangannya dan mengurus pekerjaan yang jelas-jelas bisa dikerjakan besok.
Kedua manik mata polos itu melirik, sadar jika kedatangannya disambut oleh namja yang lebih tua dibandingkan dirinya. Membuat ia refleks memberi hormat, sama seperti diajarkan oleh mama dan saudaranya di panti. Membuat dia yang duduk disana merasa canggung mendadak.
Sesaat kedua pipi Seokjin seakan berwarna merah tomat, dirinya tak akan menyangka jika Jungkook sehormat itu padanya. Selama ini sangat jarang ia menemukan pemuda seperti itu.
"Yoongi kau tidak menyuruh adikmu duduk, sepertinya dia menunggu perintahmu. Aiiissshhh... hyung macam apa kau yang membiarkan adikmu seperti patung, kau tidak sekejam itu kan Min?!" Sergah Jin dengan wajah jengkel di buat-buat. Ia bahkan melakukan aksen gerak tubuh layaknya seorang ayah yang menasihati anaknya. membuat Yoongi sepintas meliriknya dengan tatapan tajam nan datarnya. Hal biasa yang diterima Seokjin dan hal yang tak mengenakan bagi Jungkook saat tak sengaja melihatnya. Jungkook sempat berpikir ia akan merusak suasana dua sahabat itu.
"A-a-aku akan pergi saja."
Hendak pergi dengan kata yang tersirat untuk meminta maaf, gerak tubuh memutar yang hendak sampai pada pintu keluar itu berakhir dengan sebuah panggilan. Seseorang memanggil dan ia tak ingin dibantah. Sungguh, sebuah keajaiban yang pertama kali Jungkook lihat dan dapatkan secara tak terduga.
"Duduklah, kau mengganggu pemandangan bocah sialan!" titah sang raja egois dengan tingkat gengsi melebihi kuadrat. Membuat Jin bertepuk jidat saat ia melihat bagaimana sadisnya Yoongi dalam bertutur kata. Sang teman merasa Yoongi harus mendapatkan pencerahan rutin di gereja seminggu sekali.
Mungkin ia akan memaksa Yoongi agar ikut dengannya.
"Ah, ndee... gomawo Yoongi hyung." ucap sang adik dengan suka cita, ada seulas senyum tipis di wajahnya saat Jin tak salah melihat.
Begitu senangnya kah Jungkook menerima ijin Yoongi walau sekedar duduk satu ruangan dengannya? Sementara selama hidup Jimin, dulu dia mendapatkan apapun dari Yoongi sendiri. Bahkan Jin pernah melihat Jimin datang ke sekolah mereka, dan disana Yoongi mengajarinya permainan basket. Menjadi pusat perhatian lantaran Jimin hanyalah anak SMP yang masuk ke dalam lingkungan SMA, dimana kebanyakan memilih diam dibandingkan mengeluarkan komentar dan di balas oleh Yoongi nantinya.
Sangat hafal betul bagaimana kejadian itu berlangsung, hingga Jin sendiri dekat dengan Jimin dan menjadi akrab sama halnya dirinya dengan Yoongi. lalu, sekarang....
Jin melihat Jeon Jungkook, yang menjadi adik baru dari sahabatnya. Sosok yang dianggap menyebalkan oleh namja bermata sipit sahabatnya dan selalu membuat Yoongi kesal di sela-sela kerjanya, ah... bukan, maksut Seokjin Yoongi akan kesal tanpa jelas dan menyalahkan Jungkook yang tak ada disana.
Mungkin kemarin dirinya sempat jahat mengerjai Yoongi dan adiknya hingga keduanya berakhir tersesat dan terkena demam. Seokjin merasa ia harus membayar hutang yang tak akui kesalahannya. Tapi, yang menjadi pertanyaannya... dengan cara apa yang harus ia lakukan.
Terbesit ide yang sangat briliant menurutnya.
"Jungkook bukankah kita bertemu hem? Oh... ya, bagaimana kau bisa betah tinggal dengan hyungmu. Bukankah kau setiap hari harus makan hati karena sikapnya, kau sangat hebat bisa beberapa bulan menghadapi kesewotannya. Sementara orang lain belum sampai dua puluh empat jam mereka akan menyerah." Tiba-tiba saja Jin mengajak bercerita, dirinya sampai harus tertawa dengan sedikit akting terpingkal. Seakan dirinya makhluk paling bahagia di dunia.
Jungkook kebingungan bahkan kedua alisnya sempat mengerut saat melihat namja disampingnya seperti itu. Terlebih lagi Seokjin menepuk punggungnya akrab, membuat Jungkook sedikit sakit akan tenaga yang dimilikinya. Hingga akhirnya bocah bergigi kelinci itu menunjukan senyum manisnya dengan canggung.
Sadar atau tidak Yoongi pura-pura tuli dengan pembicaraan sang sahabat dengan adik yang tak pernah ia harapkan dalam hidupnya.
Ia akan bertindak layaknya orang dewasa sewajarnya. Jika temannya memang sedang mengalami kekumatan yang luar biasa.
"Ah, tidak juga... aku su-sudah biasa dengan Yoongi hyung jadi sudah hafal bagaimanapun dia." Menggaruk tengkuknya yang tak gatal, sedikit melirik keberadaan Yoongi dengan pandangan khawatir dan sebisa mungkin menjaga lisannya agar tak salah dalam berkata. Ia tak ingin membuat Yoongi mengamuk disana.
"Heeemmmm... begitu ya? Lalu, apakah kau sangat betah di dekat Yoongi? kau tahu aku dan Jimin sangat dekat bahkan dia pernah bilang bosan berada di samping sang kakak. Asal kau tahu Kook, biar di luar Yoongi seperti kucing garong yang galak, tapi di dalam hatinya ia adalah kakak yang lembut dan penuh perhatian hahahahaha...."
Jungkook tertegun mendengar cerita namja di sampingnya, ia tak tahu betul bagaimana sisi terdalam milik sang kakak. Terlebih Jimin, dia cukup beruntung karena bisa mendapatkan perhatian Yoongi yang bisa dibilang sangat mahal untuk ia dapatkan. Seperti memecah batu besar dengan palu dan sulit dilakukan. Tapi, untuk kata menyerah... Jungkook enggan melakukannya, karena dia sudah memiliki tekad dan janji padanya.
"Betapa beruntungnya Jimin hyung, aku rasa Yoongi tak sepenuhnya galak. Dia memang hyung yang baik saat dia sedang enak suasana hatinya. Aku pernah mendapatkan dan melihat perhatiannya sekali." tersenyum malu bagaikan anak tujuh tahun yang sedang di goda ibunya. Dengan senyum polos yang terlihat gigi kelincinya, manik mata yang terpancara kebahagiaan tanpa dibuat. Tentu saja Seokjin melihat itu semua dengan wajah tenangnya.
"Kau sekuat itu ternyata..." memuji Jungkook dalam hati, tak ada niat untuk menepuk pelan pundak Jungkook seperti yang ia lakukan pada saudaranya saat ia merasa bangga. Ia melihat Jungkook sebagai namja yang tegar dan tak pernah putus asa. Dan sayangnya Yoongi tak pernah menyadari akan hal itu.
"Siapa bilang Yoongi akan selalu galak dan jahat, dia memang baik Kook. Itulah mengapa Tuhan memberikanmu kakak sepertinya, kalian sangat cocok menjadi sauadara, ah... Jimin akan senang menjadikanmu adiknya. Aku yakin itu." menyeruput minuman di depannya Seokjin dengan wajah cerianya membawa suasana tersendiri di aura kecanggungan yang sempat terjadi ini.
"Ya, mama bilang aku mendapatkan keluarga yang sempurna danakan menyayangiku. Aku mempercayainya sampai aku tak bisa tidur saking senangnya, aku bahkan pernah berharap memiliki kakak laki-laki yang bisa menjadi panutanku, dan belajar banyak padanya. Dan aku senang karena Yoongi hyung ditakdirkan menjadi hyungku."
Jungkook sangat bahagia, ia bercerita panjang lebar tanpa sadar. Mengikuti alur Seokjin yang mengajaknya untuk bercakap. Mengabaikan Yoongi yang sudah menekan keyboard laptopnya cukup keras hingga terdengar suara khas dari sana.
Sepertinya suasana hati Yoongi sedikit berubah dan Seokjin berusaha tak mempedulikannya dan memancing percakapan dengan mengajak Jungkook kembali.
"Baguslah, karena Jimin sejak dulu ingin menjadi seorang kakak. Dia pernah bercerita denganku, ia ingin punya adik yang manis dan bisa membuat ia tertawa dengan segala kepolosannya. Sepertinya doa Jimin terkabul karena kau ada disini dan membawa warna terbaru di rumah ini."
"Kim Seokjin apakah kau bisa diam? Sadarkah kau sudah menggangguku! Jika kau ingin berbincang di luar sana dan ajak dia, kau membuatku pusing bodoh!" sahut Yoongi tiba-tiba. Membuat kedua namja tampan itu menoleh ke arah si pemilik mata sipit itu. Jungkook yang menunduk dan merutuki kebodohannya dan Seokjin yang menampilkan wajah datarnya. Bukan ekspresi yang biasa ia tunjukan sehari-hari. Entahlah... sesuatu dalam hatinya ada yang memberontak tak terima dengan sikap Yoongi padanya, atau mungkin melihat Jungkook seperti itu?
Alih-alih menurut Seokjin justru tersenyum tipis dengan wajah yang hendak menantang.
"Yaakkk... kau kesal atau hilang sopan santun, aku dan kau lebih tua aku Yoon, dasar sialan kau. Kau pikir aku tak kesal saat kau memanggilku tanpa embel-embel hyung, ingin rasanya aku membuangmu ke laut mediterania." Seokjin membuat wajahnya sekesal mungkin, tangannya hampir saja melepaskan sepatu kesayangannya dan hendak melemparkannya di wajah Yoongi yang masih santai disana. mengabaikan Jungkook yang memainkan jemarinya untuk menenangkan diri.
"Kau yang tak ada sopan santun, membahas Jimin di depanku. Apalagi kau sangat asik dengan sialan itu, apakah aku akan senang? tidak!" Yoongi nampak tak bisa menahan kekesalannya, ia bahkan melototkan kedua matanya meski nyatanya orang lain melihatnya dengan kelopak sipit yang manis.
"Memangnya apa salahnya, Jungkook adikmu dia harus tahu seperti apa dan siapa Jimin. kenapa kau sangat marah saat aku menunjukan jati diri Jimin pada adiknya?" Seokjin berusaha tetap santai ia tidak mau kalah berdebat dengan namja di depannya, terlebih Yoongi sudah memanggilnya tanpa ada kata hyung di namanya. membuat ia jengkel setengah mati karena hal itu merupakan sikap keterlaluan.
"Siapa bilang orang itu adikku. Adikku Min bukan Jeon, dia hanya anak eomma dan bukan adikku, sampai kapanpun." Ucapan yang tegas dengan tatapan Yoongi yang menatap di depan layar laptopnya tanpa ada niat untuk melirik Jungkook disana. Ia bahkan merasa mual saat melihat seonggok daging hidup yang sudah membuat sebagian hidupnya berubah.
"Bahkan eomma saja begitu membela penjilat itu, cih! Menyedihkan sekali."
Seokjin merasa ucapan Yoongi semakin pedas, ia tak tahu apa yang merasuki tubuh Yoongi dan mengendalikan kewarasan namja tersebut hingga keluarlah kata-kata yang menyakitkan bagi Jungkook secara perlahan. Mungkinkah Yoongi kehabisan obat anti gila? Sementara Seokjin saja yang mendengarnya begitu kesal. Jika ia menjadi Jungkook, pastilah dirinya akan melawan, masa bodoh dengan tua atau muda. Jika yang tua saja tidak bisa memberikan contoh baik sebagai mestinya.
Jungkook merasa terbanting dengan ucapan sang kakak, ia menggigit bibir bawahnya secara releks saat mendengar sepatah kata demi sepatah ucapan sang kakak. Ia hanya bisa diam, karena cukup sadar diri dimana dia berasal. Lagi pula ia belum pulih sepenuhnya, beruntung ucapan Yoongi hanyalah masuk ke telinga kanan dan keluar ke telinga kiri tanpa harus menetap dalam otak. Jika iya, Jungkook akan selalu mengingat ucapan Yoongi.
Cukup!
Satu tarikan nafas dengan tubuh yang kini berdiri tegap, Seokjin yang menatap tak suka kearah sahabatnya. Mendadak ia kesal dengan sahabatnya, ia ingin sekali mengumpat jika dia tidak ingat akan tata krama dan kepada siapa ia hendak melakukannya. Yoongi hanya melirik sepintas tanpa ada niat untuk menanyakan bagaimana suasana hati Seokjin sekarang.
"Ayo Jungkook aku akan mengajakmu ke suatu tempat, dimana kau bisa mengabaikan kucing yang sedang menikmati ikan asinnya."
Sindiran yang cukup lugas dengan atensi yang tertuju ke arah dia yang sibuk dengan pekerjaannya. seakan tuli dengan apa yang dikatakan Seokjin membuat wajah tampan manusia pucat itu terlihat datar dan santai. Tak ada sekalipun di wajahnya perubahan ekspresi, ini membuat seseorang disana cukup muak.
"Cha! Aku juga sedang tidak nyaman disini. Ayo Kook, mumpung masih pagi kau bisa menghirup udara segar. Aku tak ingin wajahmu pucat sama halnya dengan manusia disana." meski namja tampan itu tak menunjuk wajah Yoongi, tetap saja sindiran itu tertuju padanya. Seperti biasa.... Yoongi dengan kekebalan hatinya. menarik tangan si bocah kelinci itu dan menuntunnya untuk segera keluar.
Disana Seokjin berharap akan suara Yoongi yang terdengar keluar, berharap Yoongi untuk lebih sedikit menunjukan kepekaannya. Sengaja menunggu hal itu di setiap langkah kaki yang ia perlambat, menuntun Jungkook yang masih menundukan kepalanya. Aura takut itu masih bisa ia rasakan dan dengan pelan ia sendiri yang menepuk pundak namja muda tersebut agar tenang. Hanya ini yang bisa ia lakukan sebagai seseorang yang baru saja mengenal siapa itu Jeon Jungkook.
"Tolong tutup pintunya hyung, aku butuh sebuah privasi."
Itu Yoongi, dia sedikit memicingkan matanya dan menoleh ke arah sang sahabat. Dengan tangan yang menunjuk pada pintu kamarnya, ia sendiri pun tak sudi melihat dimana Jungkook berdiri. Seakan dia hanya melihat sahabat berdiri seorang diri. Wajah Yoongi yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
.
.
.
Dia merasa tercengo, benarkah ini sikap sang sahabat yang ia sendiripun tak sadari? Sedangkan disini dia merasa berada di tengah kekuasaan pemimpi Jerman Adolf Hittler. Oh, ayolah.... sejak kapan Jerman menjajah Korea dan sejak kapan sifat yang mungkin saja bisa disebut ditaktor itu muncul. Sementara disisinya ada orang yang berusa menyembunyikan luka hatinya.
Dirinya yang sedang belajar untuk bersabar, dan terus bersabar.
Menggelengkan kepalanya pelan, merasa tak percaya dengan kenyataan yang ia jalani hari ini. Dengan Yoongi yang mengangkat sebelah alisnya, ia seakan mencari tahu kenapa Seokjin geram dengannya. Berpurapura tak sadar akan kesalahannya yang lalu, membuat namja tampan dengan bahu lebar itu menoleh kembali ke arah pintu. keluar dari dalamnya dan membawa Jungkook yang sangat menurut dengan dirinya.
Sampai akhirnya pintu kamar itu terbanting dengan sedikit keras saat Seokjin mendorong menutup.
Seokjin hanya kasihan dengan Jungkook, jika kalian tahu. Wajah pucat Jungkook tak mampu menyembunyikan apapun di matanya.
1 langkah....
Mereka keluar dari kamar tersebut.
2 langkah....
Tangan itu merangkul.
3 langkah...
Seokjin tersenyum, seakan memberikan semangat.
4 langkah....
Dirinya mengeratkan jarak tubuh itu agar yang muda tahu bagaimana dirinya membuat nyaman orang lain.
5 langkah....
Seakan mimpi, Jungkook merasakan kepedulian lagi. Seseorang yang belum ia kenal secara dekat dan merasa seperti dalam lingkungan saudara.
Nyatanya....
Rangkulan Seokjin lebih hangat dan sangat welcome. Meski rasanya sangat berbeda saat Yoongi, sang kakak menggendongnya. Membuat tatapan mata yang sempat berkaca itu ingin menangis saja. ia tersenyum tipis di balik bibir pucat dan keringnya serta mengusap dengan cepat kelopak bawah itu dengan punggung tangannya.
Ah, ia merasa sesak dan sedih secara mendadak. Padahal ada orang yang akan menghiburnya, kenapa hatinya merasakan hal seperti ini?
Memilih diam dan menurut adalah hal baik, ia tak boleh mengecewakan seseorang yang mencoba baik padanya. Menawarkan kesenangan untuknya, dan mencoba agar dia tetap semangat meski dengan cara lain. Jungkook sangat berterima kasih dengan Jin, ia harap... ia bisa membalas kebaikan sahabat kakaknya itu dengan hal yang lebih layak.
"Ayo kita nikmati pagi ini, kau butuh kesenangan dan aku akan membantumu. Jangan sungkan, kau bisa menganggapku hyung. Bukankah aku lebih keren dan tampan dibandingkan hyungmu itu?" ucapnya dengan wajah yang menunjukan pede tingkat tinggi, sekedar basa-basi meski receh. Tapi, ia mencoba mengalihkan hal yang berkaitan dengan Yoongi hari ini. Seokjin rasa, Jungkook membutuhkan udara segar.
"Jin hyung tidak bekerja?" tanya Jungkook dengan wajah polosnya, ia menyembunyikan rasa ketidakenakannya kebaikan namja disampingnya.
"Aku bolos, aku merasa penat dengan pekerjaan. Kau tahu menjadi dewasa itu tidak enak saat kau dituntut bekerja keras, aku ini manusia yang butuh refreshing. Biar saja aku potong gaji, aku hanya ingin memuaskan jiwaku yang haus akan liburan. Uang tak begitu berarti bagiku." Menggerakan lehernya kekanan dan kekiri, merasa pegal pada setiap sendir lehernya. Memejamkan mata saat silau matahari tak sengaja menyerang korneanya. Jungkook merasa manusia disampingnya termasuk orang yang tak mementingkan sesuatu secara berlebih.
Dan ia melihat itu semua secara langsung.
Hati kecilnya berbicara, siapa Seokjin sebenarnya?
.
.
.
Kemelut muncul dalam pikirannya, atensi mata yang menatap tajam ke depan. Kelopak sipit yang menyimpan sejuta rahasia di dalamnya, tak ada yang bisa menebak sedang apa dan bagaimana jalan pikirannya. Hanya satu telunjuk kanan yang menekan tombol keyboard ke bawah. Ia yang sedang termagu akan sesuatu, dirinya pun mengabaikan apapun. Sampai akhirnya ia mendengar samar gelak tawa di luar, sebuah tawa yang begitu keras hingga terjungkal.
"Memangnya apa salahnya, Jungkook adikmu dia harus tahu seperti apa dan siapa Jimin. kenapa kau sangat marah saat aku menunjukan jati diri Jimin pada adiknya?"
Terngiang ucapan Seokjin di pikirannya, melintas begitu saja tanpa diminta. Tak menggubris seperti yang ia lakukan selama ini. Hanya duduk terdiam seperti orang yang membosankan. Tak ada niat dalam dirinya sampai akhirnya dia sendiri pun menoleh ke arah jendela.
Ia hanya melihat dua orang yang sedang bermain di samping halaman rumahnya, bermain daun kering di halamannya dan juga melakukan gerakan tarian yang menurutnya sangatlah bodoh. Sebuah kemustahilan bagi dirinya untuk tersenyum atau tertawa jika melihat tingkah polah mereka, padahal... jika diamati pastinya akan lucu dan membuat gelak tawa.
"Hyung kau membuat ranting pohon masuk ke mulutku, eohh!"
"Kau seharusnya menutup mulutmu jika sedang berperang hahaha, astaga kau ini kelinci gembul yang menyebalkan hahahaha..."
"Yaaaakkk, kau menyebalkan Jin hyung..." protes yang muda dengan pipi yang mengembung sempurna, merajuk dengan wajah menggemaskan di usianya yang tak lagi bocah. Membuat seorang Kim Seokjin yang melihatnya tertawa terpingkal, sampai dirinya jatuh terjungkal ke belakang dengan posisi duduk.
Menurutnya wajah Jungkook yang seperti itu justru membuat dirinya hampir sakit perut. Sebuah air mata karena banyak tertawa keluar dengan sendirinya. Ia tak sadar jika mendapatkan hiburan sebesar ini pada makhluk menggemaskan keluarga baru Min ini.
Bukannya diam, justru gelak tawa itu semakin keras. Membuat Jungkook mengembungkan kedua pipinya lagi. Seperti ikan gembul yang penuh dengan oksigen atau tupai yang membawa kacang dari dalam mulutnya.
Karena sebal Jungkook pun bergerak, mendorong tubuh Seokjin dan menindihnya dengan tubuh bongsornya, menduduki punggung Seokjin yang terngkurap karena ulah namja kelinci itu. meski protes tetap saja, Jungkook tak peduli. Ia bahkan meledek dan menggelitik pinggang sahabat kakaknya itu dan mempermainkan dirinya dengan cara menduduki punggung bawahnya. Membuat namja berbahu tegap itu tak bisa melakukan apa-apa.
"Jeon jungkook, yaaakkkk... turun kau, dasar namja durhaka. Aku bukan kursi, hei Jeon! Jangan sembarangan, aissshhh... sial!!" sembur Seokjin dengan nafas yang tertahan dengan pipi yang sudah menyentuh tanah di bawahnya. Daun kering berguguran di bawah mereka, membuat keduanya seperti berada di hujan daun kering. Pemandangan indah yang membuat siapapun iri karena tingkat keakraban mereka. Apalagi, keduanya adalah pangeran dengan segala pesona dan kelebihan mereka.
Sungguh, salah satu keajaiban Tuhan dalam diri manusia....
Dan mereka berdua masih di tatap oleh seseorang di balik jendela, yang enggan sekalipun bangkit dari kursinya.
.
"Bodoh."
Satu kata itu terlontar dari mulutnya, ia masih memperhatikan dua makhluk yang seakan pamer di sampingnya. Ia merasa menyesal melihat kegiatan mereka dan menyia-nyiakan waktu hanya untuk memikirkan salah satu ucapan Seokjin tadi.
Menutup laporan kerjanya, menyandarkan punggung di kursi kerjanya yang cukup nyaman. Ia melepaskan kacamata yang sempat melekat di wajahnya, menaruhnya dengan hati-hati disamping buku dokumen miliknya. Buku berjudul "Pemecahan dalam dunia bisnis." Cukup membosankan karena isinya hanya mencangkup hal-hal yang berbau ekonomi dan wiraswasta.
Terlebih buku itu telah membawa seseorang nampak membosankan dan tak banyak bicara. Duduk dan lihatlah, akan jadi apa jika kalian membaca hal yang 'membosankan'. Min Yoongi contohnya.....
"Aku merindukanmu."
Ucapnya dengan suara sedikit sendu, tatapan datar menatap ke layar laptopnya. Sebuah background besar yang menampakan wajah seseorang, seseorang dengan senyum manis di kedua pipinya yang mengembung. Wajah yang akan selalu awet jika berada di dalam kotak elektronik tersebut. Ia yang tak akan pergi jika tidak diutak-atik, dan ia yang menjadi salah satu bagian penyemangat di saat penat bekerja.
Min Yoongi yang melakukan ini semua....
"Min Jimin, kau tetap adikku."
Menyunggingkan senyum tipis di sudut bibirnya, tatapan penuh rasa rindu yang menggebu. Dengan layar laptop yang masih menyala dan menampilkan foto sang adik yang suka cita. Dengan dirinya yang merangkul adiknya disaat menjuarai lomba yang pernah ia ikuti. Min Yoongi yang mendapat gelar dan sang adik yang memberikan selamat dengan bunga yang cantik.
Realitanya, semua itu tidak lagi, itu sudah cerita lama. Dan tak akan ada hal yang sama, seperti yang diharapkan dia yang sedang menunggu bagiannya.
Semangat hidup yang berkurang dengan pemikiran yang masih terfokus akan masa lalu, ego raksasa enggan mengalah.
Dan Yoongi dia...
Menitikan air mata di wajah dinginnya.
Tes...
Tes...
Tes...
..........................
Tbc...
Sudah ke berapa kali author selalu lama dalam updete cerita, maaf telah membuat kalian lama menunggu. Author merasa tidak enak dengan kalian yang sudah sangat bersabar dan bahkan masih betah dengan ff ini. sebagian besar mungkin lupa akan jalan ceritanya.
Masih jauh dari kata sempurna, kuharap kalian suka dan cukup terhibur dengan cerita ini. beberapa hari author dipenuhi kesibukan dan sedikit masalah yang mengganggu, tidak masalah... semua sudah teratasi dan hanya beberapa persen hal itu benar-benar selesai.
Untuk kalian, pesanku adalah...
Tolong selalu bahagia dan sehat selalu, aamiinn...
Doakan author sehat selalu ya, dan bisa tetap hibur kalian. Walau hanya hiburan melalui sebuah tulisan.
Kalau kalian berkenan,
Jangan lupa tinggalkan jejak vote dan komentar. Jangan lupa mampir ke ff yang lain ya biar gak bosen muehehehe...
Bahagia selalu untuk kalian...
Gomawo and saranghae...
#el
28.11.2019
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro