Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

part 18 : Mic Drop


Bayangkan yang main ini Yoongi hehehe... video hanya pemanis karena ada sountrack musikal yang membangun suasana cerita...

https://youtu.be/C9y_MDTA1i0

"Sometimes when a person leaves your life, you'll realize that person is important."

.

.

.

(Author **** POV)

(Flashback **** ON)

Pernahkah kalian mendengar seruan yang memanggil untuk datang ke suatu tempat, selain suara bel ataupun panggilan 'halo' untuk sekedar berceloteh. Jika kalian berpikir demikian kalian masih waras, ini bukanlah kegilaan saat suara dentingan piano dengan tema bagaikan seorang pshycopat menyeruak. Jemari yang sudah bergerak dengan sangat cepat ditambah penekanan penuh tenaga datang saat si empu memainkannya. Meski begitu suara itu terdengar hingga di ruang sebelahnya. Lagu Beethoven dengan judul 'O De To Joy' salah satu lagu yang tak familiar di dengar oleh Jimin yang terbangun dari tidurnya.

Ya, namja yang dulunya memiliki pipi gembul itu terbangun akibat suara piano yang dimainkan oleh sang kakak. Ia bisa merasakan getaran melodi itu dengan sangat jelas, saat mendengarnya terbenak dalam pikirannya. 'apa yang terjadi dengan sang kakak?' wajah Min Jimin yang pucat terlihat sangat khawatir membuat ia tidak tahan hanya untuk berada di atas ranjang.ia memilih menurunkan kedua kakinya untuk menyentuh lantai. Ia akan memeriksa di dalam ruangan sang kakak. Jimin rasa ini sangat aneh saat mendengar Yoongi sang kakak memainkannya di tengah kegelapan saat semua orang tertidur.

Kedua telapak yang sudah menginjak dengan tegap lantai dingin dibawahnya, berjalan dengan sedikit gontai melalui dua tongkat sebagai bantuannya. Jimin tidak manja, jika kalian tahu itu. meski kakinya lemas dan beberapa orang menawarkan dia bantuan kursi roda dengan santun Jimin menolak itu semua. Jimin rasa ini terlalu berlebihan bagi dirinya yang sedang sakit, Jimin sudah terbiasa dengan ini semua. Bahkan ia menganggap sakit yang ia rasa sebagai pelebur dosanya.

Terus...

Terus...

Berjalan dengan tertatih dan perlahan, namun lagu instrumental yang dimainkan oleh sang kakak terus saja menggema. Untung saja tak ada yang terusik akannya, hanya Jimin yang terlalu peka dengan apa yang dilakukan kakak tersayangnya. Dan ketika dia berada di depan pintu yang tak tertutup sempurna menimbulkan cahaya lampu yang membentuk celah. Jemari kurusnya perlahan menarik pintu berbahan kayu jati itu. semakin lama cahaya menerpa wajahnya, semakin keras pula Jimin mendengarkan lantunan lagu ciptaan Beethoven tersebut.

Punggung sang kakak terlihat jelas di depan mata, Jimin yang terkagum dengan gerakan cepat jemari itu walau samar dalam jarak dua puluh meter saja. Yoongi yang nampak serius dengan kedua kelopak mata yang sesekali terpejam dengan kedua tangan yang cukup lentik memainkan tuts alat musik kesayangannya. Terus... dan terus, hingga akhirnya musik tersebut memberikan kejutan, dimana Yoongi semakin kuat menekan tuts dan semakin cepat dalam menggerakan kedua tangannya. memperlihatkan keahlian diantara ruang kosong imajinasinya, memperlihatkan kelihaiannya dalam bermain piano tanpa bantuan seorang page tuner. Ia hanya bermodalkan hafalan dalam kapasitas otak yang bisa dikatakan cerdas.

Min Yoongi yang begitu menjiwai seakan tenggelam dalam panorama melodi di ingatannya, dan tak sadar jika Jimin sudah berjalan mendekat perlahan tak lupa dengan wajah kekaguman sekaligus khawatirnya. Kagum karena bakat sang kakak yang jarang dipertontonkan terlihat menonjol dan apik sekarang, khawatir lantaran Yoongi sang kakak memainkannya dengan emosi yang menggebu. Jimin mencari kejelasan diantara semua ini, ia khawatir jika suasana hati namja dengan kedua mata sipitnya itu bermasalah. Yoongi akan diam dalam setiap masalahnya, namun ia akan melepaskannya dengan suatu hal yang mungkin memuaskan hasrat amarahnya.

Seperti sekarang....

Sampai akhirnya dimana Yoongi hendak menyelesaikan musiknya. Suara mengaduh kesakitan tiba-tiba muncul. Membuat ia mau tidak mau menyelesaikannya secara paksa. Yoongi tak langsung menoleh ataupun berdiri, suara yang sangat dihafalnya membuat ia seakan diam dan tak menggubris, dalam kepura-puraannya Yoongi melakukan itu semua. Ia sedang kesal, dan entah mana yang benar dan salah semua tak ada yang benar menurutnya. Semua tak ada yang sesuai hatinya dan menurutnya ini semua tidak adil.

"Kau datang kemari? Bukankah kau seharusnya banyak istirahat, kau tidak akan sembuh jika berkeliaran Min Jimin." Yoongi tak ada niat menolong bahkan dia hanya melirik namja di belakangnya dengan wajah datar nan dinginnya. Memperhatikan Jimin yang susah payah untuk berdiri. Dan itu berhasil dilakukan olehnya, terasa lega saat Yoongi melihatnya. Dan terasa menyakitkan bagi Jimin lantaran sang kakak mengacuhkannya. Ini sangat sulit, tapi apa mau dikata sang kakak memang memiliki siat yang menurut Jimin cocok dengan fisiknya.

"Bagaimana aku tidak berkeliaran jika ada seseorang yang memanggilku datang untuk melihat pertunjukannya."

Jimin tersenyum, ia tersenyum sangat manis dengan bentuk pipi yang menggemaskan. Ia berdiri dengan tegap dan bantuan tongkatnya, berjalan perlahan beberapa langkah mendekati sang kakak yang enggan turun dari singgasananya.

"Istirahatlah Jim, kau menolak operasi dan kau malah keluyuran seperti ini. kau mau menyakiti dirimu dengan rasa lelahmu?" Yoongi nampak tak peduli, meski sikapnya bagaikan orang acuh dan masa bodoh. Tetapi hatinya berbanding terbalik dengan keaadaan saat ini. Yoongi menunjukan atensi kepeduliaannya diantara karakternya, ia enggan menunjukan sisi lain dirinya dan mempertahankan image kejam dan dingin sejak dia dibangku sekolah.

"Aku capek jika hanya berbaring, tidur itu capek dan banyak istirahat itu membosankan. Kau tahu hyung tiap kali aku harus melihat dan terbangun dengan sebuah obat dan obat. Aku ingin ada lampu atau benda apapun selain obat disamping mejaku. Karena kau bermain aku bersyukur karena ada yang bisa menjernihkan pikiranku." Jimin memang santai, ia bahkan tak mempermasalahkan sakitnya. Ataupun kakaknya yang sedang dalam mode mengambeknya.

"Jimin, atau kau memang sekeras kepala ini?" Yoongi seakan tersenyum miring ia hanya menyentuh beberapa tuts piano di depannya. menekannya secara perlahan hingga tak ada bunyi nada yang muncul di dalamnya. Dalam lubuk hatinya ia merasa senang dengan interaksi sang adik yang lama tak ia jumpai walau sepuluh menit.

"Aku memang adik dari Min Yoongi hehehe..." meringis saat menampilkan wajah manisnya, Jimin nampak bahagia di wajah pucatnya. Tak ada pancaran kesedihan ataupun susah akan sakitnya. Itu membuatnya terlihat panjang umur.

Yoongi hanya bisa tersenyum miring, dengan kedua tangan yang mengusap tuts piano kesayangannya. Ia bahkan belum menoleh ataupun beranjak, ia masih menikmati posisinya. Membuat ia tak sadar jika Jimin sudah berada disampingnya. Berdiri sembari menatapnya dengan tatapan sukacita. Jika Yoongi marah atau sedang kesal akan suatu hal maka Jimin akan menenangkan dengan caranya. Sebagai adik yang baik ia akan membuat posisi sang kakak menjadi nyaman. Ia tahu jika Yoongi marah atau kesal karena dirinya, dan benar jika dia keras kepala. Seringkali mengabaikan peringatan dokter, orang tua dan kakaknya.

"Kau marah?" memegang pundak sang kakak, tak lupa menatap wajah sang kakak yang datar dan diam seperti biasa.

Yoongi tak menoleh dengan mengacuhkannya dia kembali memainkan lagu yang sempat belum terselesaikan. Lagi-lagi Jimin diabaikan, cukup mengerti jika sang kakak memang mebutuhkan waktu sendiri. ingin berbalik arah, walau ada hati menjerit meminta untuk berbicara lebih panjang. Jimin memilih untuk mengalah karena sadar jika Yoongi memang seperti itu. bukannya apa hanya saja ia tidak mau masalah tambah runyam. Dan lagi, Jimin juga tidak mau dipaksa untuk melakukan operasi lebih banyak, sudah cukup ia menerima efek samping karena hal itu. Ia hanya ingin kebebasan di sisa-sisa terakhirnya, seperti lainnya sehat dan normal. Tanpa ada obat yang membuat ia tak sanggup untuk sekedar bangun.

Jimin membenci sakitnya, tapi ia juga tidak bisa melawan takdir. Ia yakin Tuhan punya rencana lain, dan ia selalu yakin.

"Kau tahu Yoongi hyung, kau marah hanya karena aku mengabaikan keinginanmu. Aku tidak ingin dioperasi lagi, aku ingin menjalani kehidupan normal dan tanpa adanya efek samping di setiap hembusan nafas ini." Jimin mengadahkan kepalanya, ia berbicara dengan nada sedang diantara kerasnya suara piano Yoongi yang dimainkan. Ia percaya telinga sang kakak cukup peka dengan suaranya meski dalam jarak beberapa meter sekalipun. Memegang kedua tongkatnya cukup erat, menatap siluet dinding rumah di masa kecilnya. Tersenyum diantara butiran air mata yang jatuh dalam diam. Tersenyum dan menangis.

Yoongi masih memainkan lagunya dengan khidmat.

"Aku bahkan tak pernah marah jika kau selalu melupakan permintaanku ataupun mengabaikan keinginanku. Aku selalu diam saat kau melakukan itu, aku hanya marah satu kali karena kau begitu memaksa. Tapi... apakah aku juga marah hanya karena kau tak menghabiskan waktu untuk pergi atau seperti saudara lainnya? Kau tahu terkadang kau egois, tapi aku memahami. Aku tak bisa meminta hyung yang selalu ada, aku mengerti kesibukanmu dan aku bersyukur kau menyayangiku hingga detik ini. Aku anggap marahmu adalah rasa sayangmu padaku, terima kasih. Kau masih sudi memperhatikan diriku yang sekarat ini."

Yoongi perlahan menurunkan volume permaianannya. Suara piano yang terdengar semakin lirih seiring jemari yang bergerak perlahan dengan ritme teratur. Yoongi sangat mendengar dengan jelas apa yang dikatakan sang adik. ia tak bohong dengan apa yang ia dengar tersebut. mendadak hatinya sakit seperti mengganjal, kenapa Jimin sesantai ini menjelaskan pengakuannya. Sementara Yoongi saja yang mendengarnya merasa sesak. Terasa pusing dan menjadi beban, Yoongi tak berani menoleh ke belakang. Dia yakin jika sang adik juga melangkah keluar tanpa ia minta, cukup paham jika sang adik nyatanya lebih dewasa darinya. Pemikirannya yang netral dan berbanding dengan dirinya yang tempramental.

Yoongi seakan membisu, saat ia mendengar satu permintaan adiknya.

"Yoongi hyung, aku ingin pergi kesana, wahana bermain. Bisakah kau libur sehari dan meluangkan waktu untukku?"

Jimin meminta ia bahkan sempat tersenyum walau tak ada tatapan balik dari sang kakak. Suaranya sedikit mendayu saat angin malam berhembus di tubuh ringkihnya. Ia harap Yoongi menetapi janjinya tidak lagi mengabaikan hanya karena takut resiko yang diterima olehnya. Jimin masih hidup dan tak ada yang perlu ditakutkan selama ia yang pinta.

"Aku harap kau tidak mengabaikan satu ini, aku sudah lama tidak kesana. Apakah kau mau kesana akhir pekan? Kita bisa bermain seperti lainnya." Ia memintanya lagi, dengan suara yang dibuat sangat ceria. Ia pandai menyembunyikan segala hal, termasuk pening di kepalanya.

"Jimin..."

"Aku meminta dengan sangat. Aku ingin bersenang-senang, aku janji tak akan membuatmu gusar. Asal hyung menemaniku semua akan baik bukan?"

Sang adik seakan memaksa sang kakak, ia bahkan sedikit mengeraskan suaranya seakan semangat. Dan berdoa dalam hati agar Yoongi tidak egois kali ini.

"Istirahatlah, hyung akan menepatinya kali ini."

"Kau janji?" Jimin tampak antusias, ia yakin sang kakak tidak berbohong.

Wajah Yoongi sangat datar dan serius ia masih betah untuk tidak membalikan badannya. Bahkan ia mengangguk dan membuat Jimin berseru senang, ia yakin ia bisa menikmati akhir pekannya. Ia seperti akan sehat meski mendengar anggukan tanggapan sang kakak untuk permintaannya.

"Minum obatmu dan lekaslah tidur, akhir pekan kita akan ke pekan raya."

Yoongi mengatakan tersebut sebelum akhirnya ia mendengar Jimin yang terpekik bahagia. Ia memang salah namun Yoongi rasa belum waktunya untuk meminta maaf, ia akan melakukannya ketika mereka berdua sudah disana. Ia akan meminta maaf sebagai seorang kakak yang baik.

Semoga saja Yoongi bisa mewujudkannya kali ini....

(Flashback ***** OFF)

.

.

.

Yoongi tak tahu jika kakinya menuntun hingga kesini, di sebuah toko alat musik yang tepat berada disampingnya. Menatap datar sebuah grand piano hitam yang mempertontonkan dirinya, berusaha menarik minat beberapa orang yang berlalu lalang, berharap jika ada yang tertarik untuk membelinya.

Jungkook yang sedikit bingung hanya melihat bolak-balik ke arah tatapan Yoongi tertuju, ia yakin jika ada yang menarik perhatian si namja es ini. hingga akhirnya Jungkook sadar jika sedari tadi sang kakak melihat sebuah piano yang terpajang disana.

"Kau jatuh cinta dengan piano itu? kau menatapnya melebihi seorang gadis." Jungkook mengatakan hal itu dengan tiba-tiba. Membuat pikiran Yoongi buyar dan menatap sadis nan tajam ke arah namja bergigi kelinci itu. seakan tatapan itu mengatakan bahwa Jungkook cukup sembarangan.

"Siapa yang mengajarimu berkata seperti itu Jeon!" Yoongi sudah nampak marah, ia juga tak takut jika kejadian yang terjadi tadi terulang. Ia sebal dengan tingkah Jungkook yang menurutnya mengesalkan.

"Kau sendiri."

"Apa??!!!"

"Ya, Yoongi hyung sering mengatakan hal yang menurutku menusuk. Aku terbiasa dan aku mau menirunya."

Jungkook menundukan kepalanya ia memainkan kedua jemarinya dengan gugup, melirik saat kedua matanya tak sengaja melihat Yoongi yang tertawa sumbang. Pemikiran bodoh dan aneh menurut Yoongi.

"Apa untungnya kau meniru gaya bicaraku. Jangan lakukan secara sembarang jika kau tidak bisa melakukannya dengan benar." Yoongi tak habis pikir kenapa Jungkook bisa seperti itu, awal kedatangannya saja ia dikenal dengan celoteh ceria juga, ah... kenapa Yoongi malah membicarakan kelebihannya sih. sadar jika ia hampir melakukan kesalahan besar dalam hidupnya Yoongi menggelengkan kepalanya dengan cepat. Ia nampak gila sekarang.

"Emmmm...." Jungkook tak berani bicara, ia salah jika harus mengikuti apapun yang dilakukan Yoongi. ia juga agak risih jika harus berbicara seperti sang kakak, ini bukan seperti dirinya. kemungkinan mereka kepanasan di terik matahari hingga mereka cukup gila disini.

Sebaiknya ia diam jika tak mau membuat tanduk Yoongi keluar. saat keduanya sibuk dengan acara masing-masing tanpa disangka ada tamu yang tak diundang datang. Keduanya menoleh saat suara teriakan yang seperti makian terdengar. Yoongi menatap beberapa gerombolan namja disana dengan wajah sangar dan dinginnya, sementara Jungkook menatap dengan kedua bola mata hampir keluar terkejut. Kedatangan orang yang tak jauh beda dengan gangster membawa tongkat bisbol di tangan mereka. Dan hanya seorang, mungkin saja itu adalah ketuanya.

"Ini wilayah kami, bayar upetimu dan kalian akan selamat." Seorang dengan wajah sangar tingginya memasang wajah sekejam mungkin ke arah namja bermata sipit itu, menyadari jika mereka adalah mangsa yang empuk dan terlihat kaya dari pakaiannya. Apalagi Yoongi memakai sandang pakaian jas kantoran. Berbeda dengan Jungkook yang memakai kaos biasanya, dan terlihat kotor akibat debu. Melihat Jungkook saja ketua gangster itu tidak yakin jika bocah itu adalah orang kaya.

"Kau dan teman gembelmu telah merusak pemandangan wilayah kami, bayar dengan semua orangmu dan kau akan keluar dari sini dengan selamat." Tunjuknya ke arah Jungkook yang menunduk, setelah itu kearah Yoongi yang terlihat tidak suka dengan sikap namja berandalan di depannya.

"Kau pikir ini daerah nenek moyangmu! Aku tak melihat seorang gembel kecuali kalian para kunyuk!"

Jungkook nampak terkejut dengan nada bicara sang kakak, tak menyangka jika Yoongi mampu mengatakan hal yang bisa saja membahayakan mereka. Melihat bagaimana ekspresi ketidaksukaan para anggota gangster membuat Jungkook menelan ludahnya. Dalam hidupnya ia tak pernah berurusan dengan segerombolan preman jalanan, ia lebih baik dikejar oleh anjing hutan ketimbang habis ditangan manusia yang garang di depannya.

"Berani sekali mulutmu berbicara, apa yang kau makan. Kau namja sombong, kau tidak tahu siapa kami?!!"

"Kalian manusia, kita sama-sama makan nasi jadi aku tidak takut denganmu. Lagian nama kalian tidak cukup terkenal untuk mengalahkan kastaku." Yoongi sangat santai dirinya melipat kedua tangannya di dada. Berbanding terbalik dengan Jungkook yang meringis takut ke salah seorang yang tak sengaja melihatnya.

Terlihat dimata Jungkook jika ketua kelompok itu mengepalkan tangannya, ini tidak baik menurut Jungkook. Ia rasa ia harus memperingatkan Yoongi soal ini. berjalan mendekat dan membisikan dengan melirik mereka yang sepertinya tak terima dengan ucapan pedas kakaknya.

"Yoongi hyung, lebih baik kita lari. Aku tak yakin kau bisa menghadapi mereka, kau tahu mereka sepertinya membahayakan kita." Lirihnya dengan wajah tegang Jungkook mencengkram lengan sang kakak, hanya saja hal itu berlangsung tak lama saat Yoongi meliriknya tajam dan membuat bocah bergigi kelinci itu menciut nyalinya.

"Apa kau takut dengan mereka, sialan!" Yoongi mendesis, ia cukup kesal dengan ucapan Jungkook. sepertinya Jungkook terlalu meremehkan dirinya.

"Bukannya begitu, kau pikir kau mampu melawan mereka dengan jumlah banyak sementara hyung hanya sendiri." Jungkook mengatakan hal tersebut dengan hati-hati, ia tidak mau mereka mendengarnya.

"Kau kan ada." Itu Yoongi dia bahkan tersenyum sinis kearah mereka, membuat gerombolan tersebut meradang karena tertantang.

"Apa??!!"

"Kau jago karate bukan? Kau gunakan pada mereka seperti kau lakukan padaku."

Yoongi basa-basi, ia hanya tidak ingin nampak pengecut di depan mereka yang sepertinya siap menyerang. Ia yakin ia akan menang melawan mereka.

"Aku tidak mau mati muda."

"Kau terlalu pengecut, tadi kau bertingkah mau menghajar pencopet itu Jeon sialan!"

"Itu kan tadi, sekarang beda hyung..."

Jungkook merengek dia nampak seperti anak kecil, dan Yoongi menepuk jidatnya kesal. Demi Tuhan Jungkook memang menguji kesabarannya, ia tak akan menyangka jika Jungkook tak jauh beda dengan keponakan jauhnya yang masih balita. Ternyata hanya badan Jungkook saja yang besar.

Keduanya saling berdebat, merasa terabaikan membuat pria dengan wajah sangarnya itu menghentikan aksi mereka.

"Hei kalian.... bisakah kita selesaikan, dengan cara kasar atau upeti." Memberikan sebuah pilihan yang membuat Jungkook bungkam tak berani menjawab. Namun, hatinya was-was lantaran Yoongi memasang ego yang tinggi diatas tahta raja neptunus. Ia rasa tidak salah jika terpaksa membuat Yoongi pingsan dan membawanya kabur ke tempat aman dibandingkan membiarkan dia memancing masalah dengan mereka.

"Hyung..."

"Jangan sekarang Jeon!"

"Tapi-"

"Kemarilah jika kalian ingin uang kami."

Rasanya Jungkook ingin mengumpat, menjitak dan memukul kepala Yoongi agar segera sadar. Perkataannya tak bisa menjadi bahan yang cukup aman, membuat ketegangan ini semakin menjadi dan Jungkook tak tahu harus bagaimana menyelesaikannya, selain....

Mempertahankan dirinya dengan jurus karatenya.

Untungnya gelar sabuk hitam sudah ia dapat....

Sementara Yoongi dia adalah mantan kingka sekolah, berandal namun pintar.

.

.

.

..........................

"Ini pudingmu..."

Sepiring puding rasa buah yang siap di meja seseorang. Seseorang yang sibuk dengan memainkan ponselnya, disusul Jinyoung yang kini duduk di depan namja dengan bahu lebarnya. Mendapatkan pelayanan terbaik membuat Kim Seokjin tak lupa mengucapkan 'terima kasih.'

"Syukurlah kau masih selamat dari tragedi tersedak itu, ini akan menghebohkan jika seorang pelanggan mati karena tersedak kopi."

"Kau pikir aku mati karena racun sianida, itu hanya mitos Jinyoung."

Seokjin menyeruput kopi yang sudah dingin, ia bahkan mengulas senyum candanya. Sepertinya Seokjin memang bukan pria pendendam.

"Siapa tahu di salah satu belahan negara di dunia ini ada kasus seperti itu. kita tidak hidup sendiri kan?"

"Kau sangat pintar mencari alasan, adik kecil."

Jinyoung tersenyum bangga, ia anggap hal itu sebagai pujian karena ada kata pintar di dalamnya. Ia juga merasakan demikian.

"Kenapa kau tersenyum tak jelas seperti tadi, apa kau sedang jatuh cinta?" Jinyoung penasaran sejak awal, ia bahkan memberikan pertanyaan yang menurut Seokjin aneh. Karena ia memang belum merasakan jatuh cinta.

"Kau salah ini lebih dari jatuh cinta, justru aku melihat tontonan menarik." Seokjin nampak bangga karena melihat suatu hal yang jarang terjadi. Mengingatnya saja membuat ia terpingkal, tapi Seokjin cukup tahu diri jika ia tidak mau tersedak seperti tadi. Ia juga tidak mau merepotkan Jinyoung yang harus bersusah payah menepuk punggungnya.

"Lalu? Kau nampak seperti orang gila tadi."

Jinyong sudah kesal, ia juga tak menyangka jika pertanyaannya diputar-putar layaknya gasing. Ia ingin serius tapi kenapa justru banyak hawa candaan?

"Kau tahu Yoongi?"

Seokjin tersenyum, ia bahkan memakan pudingnya satu sendok, dan mengunyahnya pelan. Melihat Jinyoung nampak berpikir mengingat.

"Oh, pria dingin yang sangat datar dengan wajah tripleknya itu. aku tahu karena dia temanmu kan hyung, hanya saja aku tidak suka dengan sikap angkuhnya." Jinyoung mengatakan hal itu sangat jujur, ia tak bohong mengenai Yoongi yang jauh dari kata orang menyenangkan jika diajak bersosialisasi.

"Mungkin kau bisa melepaskan dalilmu mengenai sikap Yoongi, tapi kau pasti akan tertawa jika menjadi aku."

Lagi-lagi Seokjin tersenyum tak jelas, ia rasa Seokjin sedang kerasukan hantu badut atau wanita yang mati karena tertawa.

Karena merasa kasihan melihat wajah Jinyoung yang nampak kesal, membuat tangan kanan Seokjin bergerak mengajak. Ia meminta agar namja muda didepannya untuk mendekatinya. akan ada bisikan yang diberikan oleh namja berbahu tegap tersebut.

.

.

.

"Hahahaha... astaga hahahaha ak-aku hahahaha... kenapa kau tidak merekamnya hyung kkkkk...."

"Andai bisa, aku akan lakukan itu."

Jinyoung tertawa terpingkal, perutnya hampir sakit saat mendengar bisikan Seokjin setelahnya. Ini berita besar dan maha dasyat pertama kali ia tahu mengenai bos besar dari teman namja di depannya. Seokjin senang membagikan kisah lucu ini, hanya saja ia cukup teledor jika memberikannya pada Jinyoung. Kelebihan Seokjin dia sangat teliti dalam menjalankan tugas, hanya saja ia juga teledor. Karena lupa ia memberitahu hal yang Yoongi tidak suka jika sampai kesebar pada Jinyoung. Karena Jinyong juga mempunyai kelemahan, dia suka keceplosan.

............................

.

.

.

Jungkook hanya terdiam sembari menopang dagu di bahu Yoongi. pikirannya mendadak bimbang saat mengingat kejadian tadi, melirik sedikit dengan memicingkan kedua matanya. ia lihat wajah Yoongi yang babak belur pada bagian pipinya, bekas bogeman keras bentuk pembelaan dirinya. Jungkook merasa sakit tepat di nyeri perutnya, tendangan yang tak main-main dari berandal kota yang tak sengaja mereka temui. Jungkook tak harus lelah melangkahkan kakinya untuk sampai kerumahnya, Yoongi yang bertanggung jawab.

Entah setan apa yang masuk dalam tubuh pemuda itu membuat Jungkook sedikit kagum. Apakah Yoongi mulai luluh dengan hasil kerasnya, atau karena ia kasihan pada dirinya yang lemah ini. Jungkook terlalu bingung dan bimbang. Ia tak bisa berkata sekarang melainkan hanya melamun dan memikirkan hal apa yang membuat semua ini terjadi.

Terluka itu pasti, inilah buktinya....

"Tubuhmu berat kau harus membayarnya, jika aku tak baik hati kau akan mati dengan perut membengkak."

Entah kenapa Jungkook semakin menyukai ucapan sarkatik kakaknya, ia hanya bisa mengangguk dan berdehem dengan ucapannya. Jujur saja ia masih sakit pada ulu hatinya. cukup lama karena Yoongi menggendong tubuh bongsor kelinci itu dipunggungnya. Setengah jam menuju klinik yang terdapat di perempatan jalan tujuh km. Dekat dengan pet shop dan juga toko makanan. Bernafas lega karena Yoongi memang keberatan menggendong adik sialan di punggungnya.

"Yoongi hyung bisakah kita pergi ke sana?" Jungkook menunjuk dengan jemarinya, bisikan katanya membuat Yoongi spontanitas menghentikan langkahnya. Berbalik ke samping dan melihat wahan aksi penuh tantangan. Sebuah teriakan jerit penonton yang menggelegar si bongsor menunjukan sesuatu yang sangat Yoongi ingat.

"Yoongi hyung, aku ingin pergi kesana, wahan bermain. Bisakah kau libur sehari dan meluangkan waktu untukku?"

Suara Jimin yang mendayu, itulah yang diingat Yoongi membuat dirinya merasa lemas. Sejak kapan pikirannya sekacau ini, ucapan Jimin adiknya terlintas begitu saja tanpa permisi. Jungkook melihat dengan respon bingungnya merasa tak enak. Apakah ia salah? Ah... seharusnya ia sadar. Yoongi membencinya dan Yoongi hanya menolongnya. Itu pun karena Jungkook ditendang dengan keras. Mungkin saja Yoongi tak mau repot mengurusi mayat tubuhnya dan membiarkan ia hidup dengan menghirup oksigen banyak.

Merasa bersalah, membuat namja bergigi kelinci itu menunduk.

Merintih dengan nyeri kesakitan yang terdengar serius. Meminta tolong dengan cititan kecilnya.

"Hyung, sakit..."

Membuat lamunan itu hilang dan Yoongi sadar dari lamunan bodohnya. Menjaga image yang selama ini ia kantongi membuat ia kembali mendecih sebal. Apalagi baru saja ia mengatai Jungkook dengan sebutan bego.

Dan pemuda dengan kelopak mata sipit itu melanjutkan perjalanannya kembali. Menggendong Jungkook yang kini terdiam, keduanya sibuk dengan pemikiran masing-masing. Di dalam pikiran Yoongi saat ini ada banyak hal, ingatannya menganai sang adik yang sudah tiada, Jimin.

Pertama, Jungkook membuat ia repot.

Kedua, Jungkook membuat ia kesal dan emosi.

Ketiga, Jungkook membawanya dalam lubang korban copet.

Keempat, Jungkook berhasil membuat ia menggendong dirinya selain Jimin. itupun karena keberuntungan.

Kelima...

Jungkook berhasil membuat pikirannya kacau.

Ego dan hati mulai berdebat.

Saudara atau musuh yang ia benci.

Yoongi sadar diri ia juga tidak ingin ada seorang pun yang menggantikan posisi Jimin. hanya Jimin dan akan selalu Jimin yang menjadi adiknya bukan orang lain atau pun orang yang ia gendong saat ini. ia melangkahkan kakinya secapat mungkin, membuat ia sampai di depan pintu klinik. Beruntung ada seorang perawat yang hendak keluar dan membukakan pintu untuknya. Berjalan masuk dan membiarkan Jungkook nyaman di punggungnya meski ia tak sudi dan sedikit emosi di balik wajah dinginnya.

Dan ketika ia bertemu sebuah ranjang kosong dimana ada dokter disana, dengan tak berperikemanusiaan Yoongi menjatuhkan tubuh bongsor yang sempat ia tompang. Menjatuhkannya dengan kasar dan tanpa manusiawi, membuat Jungkook meringis sakit saat tak sengaja perutnya mengocok karena guncangan jatuh. Tentu saja dokter disana langsung sigap, dan melihat Yoongi dengan wajah tak percaya.

Ditambah lagi Yoongi langsung pergi setelah meminta pada si dokter untuk memeriksa Jungkook. ia bahkan pergi keluar tanpa menemaninya seperti pasien lain di ruangan ini, dan lebih menyakitkan lagi Yoongi enggan memanggil dia dengan sebutan saeng di depan dokter yang kini memeriksanya tersebut.

Ini sangat ngilu, tepat di hati Jungkook. inikah rasanya tak dianggap? Seharusnya ia sudah biasa. ah, Jungkook tak tahu harus seperti apa. rasanya serba salah.

Dan rasa ngilu itu tertutupi oleh ngilu dan sakitnya perutnya itu.

Menatap kebawah dengan segala kemelut pikirannya, pandangan Jungkook jauh menerawang. Ia bahkan hanya diam dan mengangguk saat mendapatkan pertanyaan dari dokter tersebut.

.

.

"Jimin...."

Yoongi hanya bisa menerawang kesana. Saat melihat semaraknya wahana dari kejauhan, dimana suara mesin dan juga gelak tawa dari banyaknya pengunjung disana. Ia duduk di bangku jalanan, dekat dengan klinik dimana ia membawa Jungkook dengan niat terpaksa.

Lelah dan juga sesak, membuat ia menyandarkan kepalanya. Mencari kenyamanan diantara pejaman matanya. Yoongi terlihat menikmatinya saat ini, bahkan ia sudah tak mendengar suara keributan di wahan sana. Ia mengantuk sebenarnya hanya saja ini belum waktu yang tepat untuk tidur.

Mungkin menunggu Jungkook tak ada salahnya karena ia bisa beristirahat.

Sesaat setelahnya, Yoongi merasa ada telapak tangan yang menutup kelopak matanya. merasa geli pada bagian wajahnya, ia kira dia diganggu seseorang namun saat mendengar suara manusia paling mengesalkan menurutnya membuat dia mendesah kesal dan melepaskan tangan tersebut hingga telapaknya menggenggam tangan itu, ia juga hampir mengeluarkan umpatan jika tak mendengar suara Jungkook memanggilnya lagi. Ia mengira Jungkook pelakunya, tapi sedikit terkejut saat Jungkook berada disampingnya dengan perut yang diperban dan tertutup kaus. Berjalan tertatih dengan wajah bingungnya, bingung dengan seseorang di belakang Yoongi.

Salah jika manusia yang mengganggunya adalah Jungkook, membuat Yoongi perlahan menoleh ke belakang. Rambut panjang dengan kulit putih juga sebuah lipstik merah merona, jangan lupa tatapan menggoda yang Yoongi tahu dan sangat tak ingin ia lihat.

"Kau!!"

"Hai Oppa, apa kabar. senang bertemu denganmu."

Yoongi berdoa dalam hati semoga di depannya hanya sebuah penampakan ataupun halusinasi. Ia berharap jika ia lekas pergi dari pandangannya. Namun sepertinya salah saat ucapan peda yeoja cantik sekaligus nyentrik itu terlalu pede berbicara. Membuat Yoongi dengan cepat melepas genggamannya dan berdiri, di samping Jungkook yang kebingungan.

Yoongi tak suka kedatangannya dan bersumpah akan membangun benteng sebesar Cina agar yeoja gila itu tak mengejarnya.

Sadar atau tidak Yoongi mencengkram lengan Jungkook, bahkan terasa kuat. ditambah tatapan Yoongi yang sedikit takut dan tak nyaman. Sadar atau tidak Yoongi memberikan sisi lain yang Jungkook tak tahu, dengan pelan tangan itu bergerak menyentuh pundak sang kakak.

"Hei bocah kita lari."

"Hah, kenapa?"

"Pokoknya kita lari Jeon!"

"Tapi aku tidak bisa perutku sakit hyung."

Yoongi menatap perut Jungkook yang diperban, cukup aneh kenapa perut itu harus diperban. Yoongi rasa perutnya hanya terluka bagian dalam. Tapi masa bodoh, yang penting Jungkook sudah diobati bukan?

Satu hal yang pasti Yoongi ingin lari dari yeoja gila yang selalu meminta dia untuk menikahinya, dan Yoongi tak akan pernah sudi menikahinya meski ia mengancam bunuh diri. Sialnya yeoja itu tidak sendiri dan dikawal dua bodyguard berbadan besar.

Sadar jika dalam keadaan tak memungkinkan membuat Yoongi berjongkok, menarik tangan Jungkook dan berada di depannya.

"Cepat naik kepunggungku!"

"Hah! kau yakin?"

"Cepatlah buntel, jangan banyak cerewet!"

"Kenapa hyung harus menggendongku?!"

"CEPAT ATAU KITA AKAN DAPAT MASALAH BOCAH!"

Mau tidak mau, dengan perasaan tak enak hati Jungkook melakukannya. Ia bahkan sudah berada di punggung Yoongi, sembari berkata maaf dengan lirih. Dan Yoongi mendengar itu semua, merasakan jika detak jantung Jungkook berdetak cepat di punggungnya. Ia rasa Jungkook ketakutan, ya... Yoongi akui ia memang galak. Tapi tak ada waktu untuk intropeksi diri karena ada hal lebih penting dari pada itu. terlebih, dua pria itu semakin mendekat begitu juga dengan yeoja yang sudah memasang wajah masamnya.

"Hei bego, kau bisa untuk diam dalam keadaan apapun?"

"Hah!?"

"Jika kau tidak diam itu artinya kau bego."

......................

Tbc...

Btw adakah yang rindu dengan saya? Author berniat mau up marathon beberapa ff yang nyantol di hati buat diteruskan. Tolong doanya supaya ide author lancar. Kuharap kalian puas dengan chapter ini, dan tidak kapok untuk mampir kesini.

Jangan bosan dengan author dan ceritanya ya. Semoga kalian bahagia selalu... masih setia dengan haru-haru?

Btw, video awal hanya sebagai pemanis suasana ajjah, anggap yang main itu Yoongi hehehe...

Doakan author sehat selalu ya, dan bisa tetap hibur kalian.

Kalau kalian berkenan,

Jangan lupa tinggalkan jejak vote dan komentar. Jangan lupa mampir ke ff yang lain ya biar gak bosen muehehehe...

Bahagia selalu untuk kalian...

Gomawo and saranghae...

#el

08.09.2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro