Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6. Pengorbanan Leona

Leona memasuki ruang rapat dengan langkah tergesa. Jadwalnya setelah jam makan siang ini memang rapat bersama divisi controller dan audit internal. Untuk membahas persiapan audit di gudang distribusi di bagian pulau Sumatera. Rapat usai dua jam kemudian. Hasil rapat menyatakan Leona bertugas untuk melakukan audit di Lampung, dan Palembang. Sisanya akan ditangani Jihan dan Kris yang merupakan rekan Leona di divisi audit internal.

"Le, ikut kita, kan?" tanya Kris yang mendatangi kubikel Leona seraya mencangklong tas ranselnya.

"Kemana?" jawab Leona malas. Kedua tangannya kompak bertumpu di atas meja untuk menopang dagunya.

"Biasa ...." Jawaban dengan irama mendayu itu berasal dari Jihan yang baru meninggalkan kubikelnya.

"Skip dulu, deh," tolak Leona halus. "Kamu sama Jihan aja dulu ya, Kris."

"Lusa kan kita udah ke luar kota, Na. Nggak barengan lagi," bujuk Kris.

"Tau, nih! Kamu lagi ngirit ya, ngumpulin uang buat beli kado ulang tahun pernikahan orang tua angkat kamu!" ucap Jihan yang langsung mendapat sikutan pelan dari Kris di sampingnya.

Leona hanya meringis pelan, dalam hati cukup heran karena ia tidak pernah menceritakan hal ini pada siapapun. Namun, ia mengingat lagi kalau setiap merayakan ulang tahun pernikahan, Mama dan Papa angkatnya itu selalu mentraktir makan pegawainya bahkan untuk seluruh cabang. Maka dari itu, hari jadi pernikahan mereka memang sudah diumumkan bahkan sejak satu bulan sebelumnya. Jadi, Leona berpikir mungkin saja Jihan hanya asal menebak karena tahu beberapa minggu lagi, orang tua angkatnya memang akan merayakan hari jadinya.

"Next time, gabung ya, Le," ujar Kris kemudian. "Udah ditunggu anak controller juga tuh," lanjut Kris lalu benar-benar pamit dari sana.

"Duluan ya, Le," pamit Jihan lalu menyusul Kris.

Leona sendiri mulai mengemasi barang-barangnya ke dalam tas. Rencananya sore ini akan pulang ke rumahnya di Tangerang. Rumah peninggalan mendiang orang tuanya yang sekarang ditempati oleh sang kakak bersama istri dan anaknya.

Sebenarnya pilihan Leona untuk tidak ikut hang out bersama Kris dan Jihan, selain karena ia tengah berhemat karena perlu menabung untuk membeli kado anniversary kedua orang tuanya, ia juga memilih menyisihkan uangnya untuk sang keponakan. Kakak satu-satunya sedang tidak memiliki pekerjaan tetap. Sementara keponakannya sudah memasuki usia cukup untuk masuk sekolah. Memang kakak iparnya saat ini masih bekerja, tapi tetap saja Leona merasa perlu membantu keuangan keluarga kakaknya itu.

"Tante Nana!" suara nyaring itu menyambut Leona yang baru turun dari mobilnya di halaman rumah.

Sosok bocah laki-laki bertubuh gempal berlari kecil lalu memeluknya. Leona dengan gemas mengacak rambut bocah yang tingginya sebatas pinggangnya itu. Namanya Arash putra satu-satunya sang Kakak.

"Tante kangen banget sama Alas!" seru Leona sambil mencubit pipi tembam Arash.

"Alas juga kangen Tante Nana!" seru Arash lucu.

"Sudah malam kok masih main di luar, sih?" tanya Leona gemas, lalu mengajak Arsya masuk ke dalam rumah.

"Na, kok nggak ngabarin kalau mau pulang?" sambut Adis-kakak ipar Leona-di ruang tamu rumah.

"Iya, Mbak, kebetulan lusa aku ke Sumatera. Pekerjaanku juga kebetulan sudah selesai, jadi besok sengaja ambil cuti. Terus aku kepikiran buat pulang deh, kangen sama Arash," sahut Leona seraya meletakkan tasnya di atas meja.

"Ya sudah istirahat dulu Na, kalau begitu. Kamu sudah makan belum? Tapi Mbak nggak masak apa-apa hari ini."

"Sudah kok Mbak," jawab Leona kemudian pamit memasuki kamar. Memang waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, Arash juga sudah masuk kamar untuk tidur.

Sejak kedua orang tuanya berpulang, dan ia menjadi anak angkat keluarga Wiyoko, Leona memang sudah jarang sekali pulang ke rumah ini. Apalagi di rumah ini yang tersisa kakak laki-lakinya saja yang tidak cukup bertanggung jawab sebagai satu-satunya keluarga Leona yang tersisa. Padahal seingat Leona saat orang tua mereka masih ada, kakaknya yang berusia lima tahun di atasnya itu bukanlah anak yang nakal.

Sejak menjadi yatim piatu, Erlan-kakak Leona-tidak pernah bertahan lama di satu pekerjaan, sering tidak pulang dan bahkan abai pada Leona dulu. Sempat bekerja di luar kota, tapi akhirnya pulang dengan tangan kosong. Saat mendengar ada wanita yang mau menikah dengan Erlan pun Leona sangat terkejut. Apalagi setelah mengenal kakak iparnya yang bernama Adisti itu adalah seorang wanita lemah lembut yang sangat baik.

Terlepas dari sikap buruk sang kakak, Leona berharap kakaknya dapat hidup lebih baik untuk keluarganya. Namun, harapan Leona itu sepertinya sulit dicapai Erlan. Seperti sekarang, hingga menjelang tengah malam Erlan belum juga pulang. Dan, Leona baru tahu dari Adis kalau Erlan sudah tidak pulang ke rumah selama dua hari.

Menurut Adis, dua hari yang lalu Erlan pamit pada Adis untuk ikut bekerja dengan temannya, entah apa jenis pekerjaannya. Terakhir kali, Erlan bekerja sebagai pengemudi ojek daring. Namun, sepeda motor yang menjadi alat mata pencahariannya itu ditarik oleh kolektor di jalanan karena sudah menunggak cicilan empat bulan lamanya. Sebenarnya Leona bisa saja, memberikan motor untuk Erlan, tapi Adis melarang karena bukan satu kali juga Leona membelikan Erlan sepeda motor dan berakhir dijual oleh Erlan sendiri.

Pernah juga Leona meminjamkan mobilnya untuk Erlan gunakan sebagai taksi daring. Namun, Erlan yang ceroboh membuat mobil Leona ringsek karena menabrak sebuah warung kelontong di pinggir jalan. Sedangkan, mobil yang Leona gunakan sekarang, pemberian Wiyoko yang akan ia jaga dengan baik.

"Mbak, nggak kerja?" tanya Leona saat pagi-pagi sekali Adis masih saja di rumah.

"Nggak, Na. Aku sudah dua hari izin nggak masuk kerja karena Mas Erlan nggak pulang. Arash nggak ada yang jaga. Semenjak Mas Erlan menganggur, memang Mbak nggak sanggup bayar orang buat jaga Arash."

Oh, masalah apa lagi ini? Wajah muram Adis saat menjawab pertanyaannya, membuat Leona merasa iba. "Gimana kalau kita keluar yuk, Mbak. Kita beli peralatan sekolah buat Arash. Jadi masuk sekolah kan, tahun ini?" ajak Leona.

Adis menggeleng lemah. "Belum tau, Na. Mbak bingung, Mas Erlan susah diajak bicara serius. Apalagi persoalan biaya, belum kelihatan pasti. Jadi, belum ada keputusan untuk sekolah Arash."

"Mbak, nggak usah pikirkan soal biaya. Biar nanti Nana yang urus ya," ucap Leona menenangkan.

"Tapi Na, nggak seharusnya kamu ikut berkorban dalam masalah yang dibuat Erlan," balas Adis sedih.

"Berkorban apa sih, Mbak. Kita kan keluarga. Sudah seharusnya saling membantu," jawab Leona lagi.

Setelahnya, Adis setuju pergi bersama Leona untuk mengajak Arash jalan-jalan ke sebuah Mall yang tidak jauh dari rumah. Leona mengajak Adis dan Arash makan, belanja, hingga bermain di arena bermain keluarga. Melihat Arash yang ceria memang memberi kebahagiaan tersendiri untuknya.

Leona sedang menemani Arash membeli es krim sementara Adis sedang pergi ke toilet saat sebuah panggilan masuk di ponselnya. Deretan nomor tak dikenal yang tertera di layar membuat Leona ragu untuk menjawab. Memilih melanjutkan menikmati es krim bersama Arash, Leona akhirnya mengabaikan panggilan itu.

Hingga beberapa menit berselang, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Melihat nomor tak dikenal tadi ternyata si pengirim pesan, Leona membuka pesan itu dengan malas.

+628129876xxxx

Gue sudah bilang ke Mama dan Papa, kalau gue nggak bisa menikah sama lo, Na.

+628129876xxxx

Jadi, sori kalau lo nggak jadi dapat harta dari Mama dan Papa dengan pura-pura balas budi.

Leona menahan diri untuk mengumpat karena ada Arash disampingnya yang masih menikmati es krimnya yang hampir mencair. Mengurungkan niatnya untuk mengucap kata kasar, justru Leona bersyukur karena tidak jadi menikah dengan pria yang pemikirannya mengerikan seperti Aries.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro