Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Jilid Ketujuhbelas

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Berprinsip tinggi adalah ciri dari lelaki sejati."

Perempuan sesantai dan setenang Harastha harus dihadapkan dengan pria agresif yang begitu ugal-ugalan mendekatinya, hanya karena modal 'tertarik'. Sungguh sangat jengah, terlebih dia pun tidak nyaman dengan pandangan orang-orang sekitar.

"Jangan mendekati saya lagi, bisa?!" sarkasnya telak.

Hamizan menggeleng santai. "Tidak."

Helaan napas berat lolos begitu saja. "Semula hidup saya tenang-tenang saja, tapi semenjak bertemu dengan Anda, ketenangan itu seketika sirna. Dimohon kerjasamanya, saya tidak tertarik ataupun menaruh minat untuk memiliki hubungan lebih dengan Anda!"

Bagaimana dia tidak merasa risi, dalam sehari ada tiga kali Go-Jek yang datang ke indekost hanya untuk sekadar mengantar makanan. Bukan hanya sebatas itu saja, Hamizan pun tanpa tahu malu datang langsung ke indekost dengan modus mengunjungi Aminah, padahal lelaki itu tengah menggali informasi lebih lanjut perihalnya.

Tidak cukup di sana saja, lelaki itu pun tak segan untuk merecokinya di tempat kerja. Selalu ada saja alasannya mengapa datang ke Rumah Sang Pemimpi. Sungguh jengkel sekali rasanya, belakangan ini Hamizan selalu wara-wiri untuk merusak hari-hari tenangnya.

"Seleranya pria-pria matang, kah?"

"Setengah matang pun saya suka asalkan bukan Anda!"

Hamizan justru tersenyum tipis menanggapi perkataan ketus tersebut. "Setengah matang ya? Digoreng, dikukus, atau direbus kalau boleh tahu?"

Kesal. Harastha pun refleks menghentakkan kaki, dia menunjuk ke arah pintu keluar. "Anda bisa pulang sekarang."

"Lupa ya? Bunda Zani telah menitipkan kamu dan juga Rumah Sang Pemimpi pada saya. Masa masih muda sudah terjangkit virus pikun," sahutnya dengan santai memilih untuk duduk di kursi yang memang disediakan bagi para costumer yang hendak melakukan sesi pemotretan.

"Saya rasa Anda bukan pengangguran yang bisa leluasa ongkang-ongkang kaki di tempat yang tidak seharusnya!"

"Tentu saja saya bukan pengangguran, tapi pekerjaan saya tidak mengharuskan saya untuk stay di tempat. Tahu kerja remote? Nah itulah pekerjaan saya."

"Sombong sekali Anda!"

Hamizan terkekeh kecil. "Padahal saya hanya menjawab pertanyaan kamu, kenapa malah men-judge saya sombong. Apa ada yang salah?"

Harastha tak menjawab, dia memilih untuk beristighfar lebih banyak. Jika tidak ingat, pria yang di depannya saat ini merupakan keponakan dari sang atasan, sudah dia usir sejak tadi juga.

Kehadirannya tak membantu, justru hanya jadi benalu. Benar-benar muak!

"Jangan terlalu benci, benar-benar cinta sama saya malu nanti," cetusnya penuh akan rasa percaya diri.

Dia harus berhasil membuat Harastha jatuh hati, bagaimanapun caranya dia harus menjerat perempuan bercadar itu agar bisa bertekuk lutut di hadapannya. Tidak ada satu pun orang yang boleh merusak kerukunan keluarganya.

Sebelum kebusukan mereka terbongkar, dia yang akan lebih dulu mengikat Harastha agar tidak bisa dinikahi oleh sang ayah. Dia akan pastikan itu, Harastha bisa dia dapatkan dengan mudah. Hanya perlu waktu dan effort lebih saja.

"Nauduzbilahimindzalik," singkatnya.

Hamizan tak tersinggung sedikitpun, dia malah kian penasaran. Sampai sejauh mana Harastha jual mahal.

"Antara benci dan cinta itu beda tipis, Harastha."

"Oh ya? Setipis urat malu Anda, kan!"

Tanpa sadar dia justru tertawa puas. Meskipun tidak bisa menangkap jelas wajah kesal Harastha, tapi dia yakin betul bahwa di balik cadarnya, perempuan itu sudah jengah setengah mati.

"Seharusnya kamu berterimakasih pada saya," katanya lagi.

"Untuk?"

"Karena saya kamu jadi sering berdzikir. Kamu tahu, kan lantunan istighfar itu penggugur dosa paling mudah, bukankah kamu jadi sangat rajin beristighfar kala bersama saya?"

"Konsepnya bukan seperti itu, Tuan!"

"Lantas seperti apa, Nona?"

"Saya tidak segan-segan untuk mengadukan kamu pada Bu Zanitha atas tindakan tidak menyenangkan."

Alis Hamizan terangkat satu. "Yakin akan menang? Saya keponakannya lho, lagi pula salah saya apa? Wajar, kan seorang laki-laki mendekati perempuan lajang."

"Wajar? Wajib dihajar maksud Anda!"

"Dihajar pakai kasih sayang terdengar jauh lebih ramah di telinga saya. Boleh, lha."

Detik itu juga Harastha berlagak akan memuntahkan sesuatu dari mulutnya. Benar-benar jijik mendengar gombalan Hamizan yang begitu murahan.

"Hamizan tolong berhenti merecoki hidup saya!"

Dia menggeleng singkat. "Tidak bisa."

"Saya sudah memiliki calon. Tolong kamu pahami akan hal itu!"

Salah satu bibir Hamizan terangkat satu. "Masih calon, kan? Belum tentu jadi juga."

"Tapi kami sudah berencana untuk menikah dalam waktu dekat."

Detik itu juga Hamizan terdiam dengan pandangan kosong. Seketika dia teringat akan pertemuan Harastha dan juga sang ayah beberapa waktu lalu, spontan dia pun mengepalkan tangannya erat-erat dengan rahang yang juga mengeras hebat.

"Saya yang akan lebih dulu memperistri kamu," desisnya.

Harastha menggeleng kuat, dia mundur beberapa langkah karena merasa tidak nyaman dengan tatapan yang diberikan Hamizan. Begitu tajam serta menusuk, hingga membuat dirinya lumayan takut.

"Kamu tidak bisa melakukan itu, karena dia sudah lebih dulu menemui wali saya," ungkap Harastha beberapa saat kemudian, setelah dirinya mampu menguasai diri.

"Sekarang pun saya bisa menemui wali kamu."

Harastha menggeleng kuat. "Saya tidak mau dan tidak akan pernah mengizinkan kamu."

"Saya bisa memberikan yang lebih dari pria itu!" tegasnya.

"Lebih Anda bilang? Tahu apa Anda soal dia?!" sahut Harastha tak kalah gentar.

Harastha harus memutar otak agar Hamizan segera menyingkir dari hidupnya. Dia tidak sepenuhnya berbohong, karena dia memang sudah memiliki calon dari hasil perjodohan yang sudah disepakati oleh umi serta abahnya.

Meskipun sampai dengan sekarang dia belum kunjung memberi kepastian, tapi setidaknya itu bisa dijadikan sebagai alasan kuat agar Hamizan mundur secara teratur.

Senyum miring tercetak jelas. "Perlukah saya menjawab pertanyaan kamu? Saya rasa bukanlah hal yang penting."

Harastha menatap sengit Hamizan, keduanya terlibat perang mata cukup lama sampai akhirnya sama-sama menunduk.

"Pantes salam Bunda nggak ada yang jawab. Adu tegang jilid ke berapa ini, hm?" ungkap Zanitha yang baru saja memasuki Rumah Sang Pemimpi.

"Nggak sampai berjilid-jilid kok, Bun paling cuma beberapa bab," sahut Hamizan begitu santai.

Zanitha geleng-geleng kepala. "Jangan diusilin terus atuh Astha-nya, Bang. Beneran suka repot kamu."

"Emang suka beneran, Bunda," ceplosnya.

Mata Harastha membulat seketika, dia tidak percaya jika Hamizan bisa sefrontal itu mengatakan suka. Karena biasanya pria itu selalu bersembunyi di balik kata 'tertarik'.

Zanitha terkekeh kecil. "Bawa ke rumah kalau gitu, kenalin sama Buna. Kasihan tahu, Papa kamu udah ngebet banget mau cepet-cepet punya mantu."

"Maaf, Bu saya permisi ke belakang dulu," ujar Harastha saat melihat mulut Hamizan yang akan terbuka sempurna untuk menyahuti perkataan Zanitha.

"Mau ke mana atuh? Sini ngobrol dulu, sekarang bertiga sama Bunda. Jauh lebih aman, jadi gimana kelanjutannya, hm?" cegahnya seraya menarik tangan Harastha.

"Gimana mau ada kelanjutannya, orang belum dimulai juga Harastha langsung minta tutup buku," sahut Hamizan.

Zanitha tak kuasa untuk menahan tawa. "Astha ..., Hamizan ini dinginnya nggak kira-kira kalau sama perempuan. Sama Naqeesya aja taringnya lebih sering keluar, kenapa sama kamu dia bisa sesantai dan semanis ini sih. Masa iya kamu nggak mau sama ponakan Tante?"

Harastha meringis kecil, dia dibuat tidak bisa berkutik sama sekali. Hanya bisa diam dan menunduk dalam.

"Sudah ada calon katanya, Bun tapi Abang yakin sih itu cuma akal-akalannya aja biar bisa nolak Abang," adu Hamizan kian menjadi.

Zanitha merangkul lembut bahu Harastha. "Benar apa yang dikatakan Hamizan?"

Padalarang, 27 Juli 2024

Finally bisa up juga, terima kasih sudah mau sabar meunggu. Apa ada yang kurang? Drop di kolom komentar ya ☺️

Gaskennn???

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro