Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Jilid Ketigapuluh Enam

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Menegur dengan masih memperhatikan kosakata dan tatanan bahasa adalah cara paling ampuh supaya tidak menyinggung pihak mana pun."

"Kalau nggak salah ingat Astha pernah bilang kayak gini sama Umi, 'Buat apa Astha menghakimi mereka, bahkan untuk membencinya pun nggak pernah terbesit dalam pikiran Astha. Kalau memang niat Astha seperti itu, Astha nggak mungkin mau repot-repot mencari keberadaan mereka dan meninggalkan Umi begitu saja. Malah Astha bersyukur, karena kejadian itu Allah pertemukan Astha dengan Umi dan juga Abah'. Bener nggak sih, atau hanya perasaan Umi aja?" katanya di tengah perjalanan pulang.

Harastha memilih diam, tapi kepalanya dia jatuhkan di pundak Hamidah. Dengan lembut Hamidah pun menghadiahi elusan penuh kasih sayang di sana.

"Umi memang nggak tahu sesakit apa luka hati Astha, karena Umi nggak pernah merasakan ada di posisi Astha. Tapi Umi percaya, kalau cucu Umi yang shalihah ini nggak mungkin tega menyakiti orang lain, terlebih orang itu berstatus sebagai orang tua kandungnya sendiri."

"Terlepas dari semua yang sudah terjadi, bisakah Astha berpikir ulang untuk mempertimbangkan keputusan yang sudah Astha ambil?" tutur Hamidah sehati-hati mungkin.

Dia kecup singkat puncak kepala Harastha, lalu menggenggam hangat kedua tangannya. "Bisa nggak kita berhusnuzan sama Allah dulu?" katanya lagi.

"Maksud Umi?" Kepalanya mendongak, dan dia pun menarik diri agar duduk tegak seraya menatap Hamidah.

"Kalau seandainya Hamizan nggak salah paham, dan berasumsi Astha ada affair sama Hamzah, mungkin sekarang kalian sudah menikah karena Hamna nggak punya alasan kuat untuk menolak menantu seperti Astha. Sudah mah cantik, shalihah-nya nggak kira-kira pula."

"Umiii ih, malah bercanda. Terbang ini hidung Astha karena kebanyakan dipuji," selanya yang dihadiahi kekehan ringan.

"Coba Astha bayangin nikah sama saudara kembar sendiri? Naudzubillah, jangan sampai atuh. Ini adalah skenario Allah, sebuah cara untuk mengungkapkan kebenaran. Mungkin kalau nggak ada kejadian terciduk warga, sampai sekarang pun Astha belum tahu tentang fakta kedua orang tua kandung Astha. Bener nggak?"

Hamidah menjeda kalimatnya, sebisa mungkin dia berusaha untuk membuka pikiran Harastha tanpa harus beradu urat, ataupun memaksa untuk memahami takdir dengan cara instans.

"Sekarang Umi tanya sama Astha. Apa yang akan Astha lakukan kalau berada di posisi Buna? Ditelepon mendadak karena putranya dituduh melakukan tindakan tak senonoh, dan didesak untuk melangsungkan akad dengan perempuan yang diduga sebagai selingkuhan dari suaminya. Coba, apa nggak naik darah Bunanya."

"Walaupun Umi juga nggak bisa membenarkan tindakan Hamna yang sudah kasar memperlakukan Astha, mengucapkan hal-hal yang tidak pantas, tapi namanya juga manusia yang lagi emosi. Mana bisa dia berpikir dengan jernih, iya, kan?" tuturnya lagi.

Lagi-lagi Harastha berkawan geming, dia mencerna setiap perkataan Hamidah dengan kepala sedingin mungkin.

Dipegangnya dada sang cucu seraya tersenyum dengan sangat lebar. "Sekarang Allah sudah mengabulkan doa Astha, Allah perkenankan untuk kalian bertemu. Masa iya sih Astha mau menyia-nyiakan takdir Allah yang terancang dengan sangat apik itu hanya karena emosi sesaat. Padahal Astha tahu, kalau emosi itu sumbernya dari syaitan. Ihhh, Umi sih nggak mau jadi pengikut syaitan."

"Mau disangkal sekuat apa pun, fakta kalau Hamzah dan Hamna merupakan orang tua kandung Astha nggak akan pernah bisa. Sembilan bulan lho Astha ngontrak di perut Buna, setelah lahir malah Umi ambil alih. Apa nggak kasihan Bunanya ditinggal lagi, padahal kesempatan untuk tinggal sama mereka sangat besar. Nggak mau gitu kumpul sama Papanya juga? Jadi keluarga yang utuh dan harmonis. Itu, kan impian semua orang. Astha beruntung lho diberi amanah itu sama Allah. Masih alhamdulilah, diperkenankan bisa bertemu orang tua kandung sendiri."

"Jangan sampai terlalu fokus merawat luka sampai nggak sadar mengabaikan pintu surga. Surganya Astha ada di bawah telapak kaki Buna, masa surganya mau disia-siakan begitu aja?" tukas Hamidah begitu lembut dan menenangkan.

Cara menyelesaikan masalah bukanlah dengan emosi, ataupun suara tinggi. Justru harus dengan pendekatan serta perkataan yang santun penuh dengan kehati-hatian. Dapatkan hati serta simpatinya, selepas itu biarkan jadi urusan Allah.

Karena sejatinya hati manusia itu memang milik Allah, dan hanya Dia-lah yang memegang kendali-Nya.

Mendapati pelukan erat Harastha, dengan cekatan dia membalasnya. Dia elus punggung bergetar Harastha, karena kini perempuan bercadar itu sudah terisak pilu.

"Maaf ya, Umi malah buat Astha nangis lagi," ujarnya.

Harastha mendongak, dia hapus kasar air matanya lantas berucap, "Kenapa sih teguran Umi selalu sehalus ini?"

"Karena sasaran Umi ini," sahutnya seraya kembali menyentuh dada Harastha.

"Jadi gimana? Berubah pikiran nggak? Mau Umi antar buat ketemu Papa sama Buna?" selorohnya beruntun.

"Memangnya pintu rumah mereka masih terbuka untuk Astha? Rasanya tadi Astha sudah sangat keterlaluan, memilih pergi tanpa sepatah kata pun. Astha seolah menutup mata dan telinga kalau mereka melepas Astha dengan tangisan."

Dirangkulnya tubuh sang cucu, dia letakan dagunya tepat di atas kepala Harastha. "Bahkan tangisan Hamna jauh lebih histeris dari 24 tahun lalu saat Umi membawa Astha pergi. Hamzah masih sama, dia selalu bersembunyi di balik senyum palsu padahal matanya berair karena nggak ikhlas melepas Astha untuk yang kedua kalinya."

"Tadi malah ada tambahan tiga pasang mata, yang juga enggan melepas kepergian Astha. Ada Hamizan, Hazman, dan juga Hazami yang menyaksikan langsung kehancuran orang tuanya atas kepergian Astha. Padahal Astha juga tahu, segigih apa Hazami membuka teka-teki takdir yang terjadi. Dia itu anti pondok pesantren, tapi karena Astha dia mau lho. Nggak ingat dulu pernah kabur bareng sama adiknya, hm?"

Lagi dan lagi perempuan bercadar itu memilih untuk berkawan geming.

"Abah bisa putar balik lho ini kalau Astha minta," timpal Bima yang sedari tadi memilih untuk jadi penyimak, dan fokus menyetir.

"Nggak untuk hari ini, Umi dan Abah perlu istirahat. Akan jauh lebih baik kalau kita pulang, dan biarkan suasananya sedikit mendingin dulu," jawab Harastha setelah mempertimbangkan banyak hal.

"Siap laksanakan Shalihah, perlu isi amunisi dulu nggak nih? Perasaan tadi Abah denger ada bunyi perut, mana nyaring banget lagi," kekehnya.

Harastha pun tertawa kecil. "Astha mau nasi tutug oncom Abah. Lapar akut ini."

Bima mengangguk patuh. "Kalau Umi mau apa?"

"Ngikut Astha aja, yang penting kenyang."

Bima pun mengacungkan jempolnya, dan mencari tempat makan yang sekiranya menyajikan menu nasi tutug oncom sesuai request sang cucu.

"Kakinya sekarang gimana? Masih sakit? Perlu kita check ulang ke rumah sakit?" cetus Hamidah kemudian.

"Umi nggak usah berlebihan, insyaallah beberapa hari ke depan pun kaki Astha bisa kembali pulih. Lagi pula Astha nggak bawa uang ih, tadi juga pelunasan biaya perawatannya dilunasi Ustaz Hazman. Astha malu Umi, cukup lama Astha ditahan di klinik karena hanya bisa bayar setengahnya," keluh Harastha.

"Nggak papa sekali-kali ngerasain ditraktir adiknya."

Mendengar kata 'adik' Harastha pun kembali terdiam. Refleks dia meraup kasar wajahnya.

"Astha sudah berdosa Umi."

Hamidah menoleh cepat. "Berdosa apa maksud Astha?"

"Masa tadi Astha deg-degan parah pas digendong Ustaz Hazman. Astha harap ini bukan perasaan suka ataupun cinta, tapi cum---"

"Cuma apa, hm?" potongnya.

Harastha menggeleng kecil.

"Maaf ya karena ketidaktahuan Umi dan Abah, hampir saja kami menikahkan kalian berdua."

Dia pun mengangguk maklum. "Dua kali Astha hampir dinikahi saudara kandung sendiri. Alhamdulillahnya hanya hampir dan nggak kejadian ya, Mi?"

Hamidah mengecup pipi Harastha yang terhalang cadar. "Allah masih menaungi kita dari kelalaian, Sayang."

"Makasih ya, Umi dan Abah selalu jadi pengingat bagi Astha. Selalu mau menegur dengan cara yang halus, tanpa pernah sedikit pun meninggikan suara. Betapa beruntungnya Astha dititipkan Allah pada Umi dan juga Abah," ungkap Harastha begitu tulus.

"Umi sama Abah juga beruntung karena diperkenankan Allah untuk merawat si cantik nan shalihah ini," sahut Hamidah tak kalah tulusnya.

Padalarang, 07 September 2024


Manis banget sih Harastha dan Hamidah ini ... Keduanya positif vibes abiss 😉🤗

Jangan lupa boom vote sama komennya 🤭✌️

Gaskennn nggak nih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro