Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Jilid Ketigapuluh

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Memutuskan sesuatu di tengah amarah yang tidak stabil, hanya akan mendatangkan rasa sesal."

"Saya tidak mau menikah dengan Hamizan, Sya," lirih Harastha di dalam pelukan Naqeesya.

Dengan lembut Naqeesya mengelus punggung Harastha. "Nggak akan ada pernikahan, Teteh jangan khawatir ya."

Harastha menggeleng lemah. "Bagaimana mungkin kamu bilang nggak ada pernikahan, sedangkan di luar sudah ada banyak orang."

Naqeesya mengurai pelukannya, dia tersenyum tipis lantas berujar, "Bang Hamizan memang mencintai Teh Astha, tapi dia pun nggak mau menikahi Teh Astha dengan cara seperti ini. Percaya sama Sya, nggak akan pernah ada pernikahan."

Harastha meraup kasar permukaan wajahnya yang masih tertutup cadar. Dia sudah benar-benar putus asa dengan semua yang terjadi saat ini. Selepas kejadian tadi, mereka dibawa ke balai desa untuk diadili.

Dia tidak berani untuk menghubungi umi dan abahnya, alhasil dia hanya bisa menghubungi Naqeesya. Walaupun gadis itu tidak bisa membantu banyak, tapi setidaknya bisa menemani dia untuk menghadapi semua ini.

Hamizan dengan didampingi kedua orang tuanya masih dicecar banyak pertanyaan, didesak untuk mengakui hal yang jelas-jelas tidak pernah dia lakukan. Sedangkan Harastha dan Naqeesya berada di sebuah ruangan, diamankan agar tidak kabur.

"Sya obati lukanya dulu ya, Teh," ujar Naqeesya karena memang tadi sempat diberi kotak P3K oleh seorang warga.

Harastha hanya mengangguk patuh.

"Lingkungan ini sangat menentang keras perzinaan, siapa pun yang tertangkap basah maka akan mereka nikahkan saat itu juga. Memang hanya secara agama, tapi mereka pun akan mengurus legalitasnya supaya sah di mata negara," ungkap Naqeesya seraya mengobati luka Harastha.

"Bagi para pezina berlaku hukum cambuk 1000 kali (bagi yang belum menikah), bukan dengan cara menikahkan mereka. Itu sudah keliru, terlebih saya dan Hamizan jelas-jelas tidak terlibat perzinaan. Ini hanya kesalahpahaman, Sya."

Naqeesya mengangguk singkat. "Sya tahu itu, tapi kondisinya mereka menangkap basah Teteh sama Bang Hamizan tengah berduaan, di tempat gelap pula. Manusia zaman sekarang terlalu gampang menyimpulkan, terlalu mudah men-judge hanya berdasarkan pada asumsi, padahal bukti yang dikantongi pun nggak cukup kuat. Teh Astha dan Bang Hamizan masih berpakaian lengkap, kan saat itu?"

"Demi Allah, Sya, saya tidak melakukan hal yang tak senonoh sebagaimana tuduhan para warga. Bahkan pakaian saya masih terpasang dengan lengkap, hanya salah satu sepatu saya yang dilepas Hamizan, itu pun untuk melihat keparahan luka saya."

Suara pintu yang dibuka mengalihkan perhatian keduanya. Hamna berdiri di sana, lalu mulai menjalankan tungkai untuk menghampiri keduanya.

"Sya mau menolong Buna?" tanyanya seraya bersimpuh di depan Naqeesya, karena posisi gadis itu yang tengah duduk di kursi.

Naqeesya kaget bukan kepalang, dia bantu Hamna untuk berdiri dan duduk di kursi kosong sampingnya. "Apa yang bisa Sya bantu?"

Hamna menoleh sekilas ke arah Harastha, lalu menatap lekat pada Naqeesya lantas berkata, "Papa bersikeras nggak mau menikahkan Hamizan dan juga Harastha. Sedangkan para warga pun bersikeras tidak akan membebaskan mereka kalau akad nikah belum dilangsungkan. Sya mau menggantikan posisi Harastha untuk menikah dengan Bang Hamizan?"

Mata Naqeesya membulat sempurna, bahkan mungkin akan keluar dari tempatnya. "Bu-bu-na bercanda, kan?"

Bukannya menjawab, Hamna justru menangis tersedu-sedu. Bayangan akan perdebatan sengit di antara sang putra dan suaminya berputar begitu apik.

"Papa nggak mengizinkan Hamizan untuk menikahi Harastha, karena Papa ada main, kan di belakang Buna sama perempuan bercadar itu?!" ujar Hamizan diliputi rasa amarah.

Tangan Hamzah sudah mengudara, dan siap untuk melayangkan tamparan. Namun, terjatuh dengan sendirinya karena akalnya masih cukup bekerja.

"Pertemuan Papa dan Harastha di restoran beberapa bulan lalu. Tasbih berinisial HR yang Papa akui hasil nemu, nyatanya itu milik Harastha. Puncaknya tadi, cara Papa dalam memandang Harastha sangatlah berbeda, bahkan Papa seakan lebih mengkhawatirkan dia ketimbang putra kandung Papa sendiri. Apa itu belum bisa dikatakan sebagai bukti kuat atas perselingkuhan di antara Papa dan juga Harastha?!"

Napas Hamizan naik turun, dia tertawa sumbang lalu kembali berkata, "Sekarang Papa bersikeras menentang adanya akad nikah. Papa nggak mau, kan selingkuhan Papa dinikahi putra kandung Papa sendiri!"

Detik itu juga tamparan keras tepat mendarat di pipi kanan Hamizan. Darah segar mengalir di sudut bibir, tapi dia tak gentar sedikitpun. "Hamizan mendekati Harastha hanya untuk membuktikan kalau Papa nggak bisa semudah itu menyakiti Buna. Jika Papa bisa dengan tega menyakiti Buna, maka Hamizan pun bisa melakukan hal yang sama pada Harastha!"

"Papa tidak pernah berselingkuh dengan wanita mana pun, terlebih dengan Harastha. Kamu salah paham Hamizan," terang Hamzah.

Hamizan tertawa sumbang. "Salah paham Papa bilang? Salah paham yang dilakuan secara berulang dan terus-menerus. Hamizan rasa Papa bukan keledai yang jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya!"

"Kalau memang tidak ada perselingkuhan di antara Papa dan Harastha, biarkan akad nikah ini berlangsung," sambungnya menantang.

"Nggak bisa! Nggak akan pernah ada pernikahan di antara kamu dan juga Harastha!"

"Kenapa?!"

Hamzah kehabisan kosakata, dia tidak bisa mengutarakan asumsinya terkait Harastha yang dicurigai merupakan putri kandungnya. Karena itu hanya akan semakin memperunyam keadaan, terlebih dia pun belum memiliki cukup bukti.

"Diamnya Papa, Hamizan artikan sebagai jawaban," katanya lantas berlalu.

Meninggalkan sang ayah seorang diri di sudut ruangan, dan tubuhnya dibuat kaku seketika saat melihat tubuh Hamna di balik tembok pembatas dengan air mata yang sudah beranak pinak.

"Saya tidak seperti yang Putra Ibu tuduhkan. Saya memang mengenal baik suami ibu, tapi saya berani bersumpah tidak ada perselingkuhan di antara saya dan juga Pak Hamzah. Hamizan hanya salah paham," sangkal Harastha saat Hamna baru saja selesai bercerita.

Hamna menatap tak suka ke arah Harastha. "Kamu tidak berhasil mendapatkan suami saya, lantas sekarang kamu mau menjebak putra saya!"

Naqeesya berusaha untuk menenangkan Hamna yang tengah diliputi emosi. "Buna yang tenang, Sya yakin ini hanya salah paham. Sya percaya Teh Astha nggak mungkin ada main sama Papa. Buna percaya, kan sama Sya?"

Hamna menggeleng tegas. "Sekarang yang Buna pikirkan bukan soal itu. Buna hanya ingin Hamizan dibebaskan dan bisa dibawa pulang. Hanya Sya yang bisa membantu Buna."

"Tapi Sya nggak mau nikah sama Bang Hamizan, Buna," cicitnya pelan.

Dielusnya lembut puncak kepala Naqeesya lantas berkata, "Bantu Buna ya, Sayang?"

Naqeesya berkawan geming.

"Saya bersedia menikah dengan Putra Ibu, dan saya akan pastikan tidak ada perselingkuhan yang terjadi di antara saya dengan Pak Hamzah," putus Harastha kala Naqeesya tak kunjung memberikan jawaban.

"Tidak akan pernah saya biarkan putra saya jatuh pada perempuan seperti kamu!"

Setetes air mata jatuh begitu saja. Sehina itukah dia di mata orang lain?

Hatinya menjerit sakit, orang yang baru pertama kali dia temui. Tapi, berhasil menorehkan luka sedemikian rupa.

Dalam kondisi terjepit Naqeesya pun berujar, "Sya-sya-sya ma-u ni-kah sama Bang Hamizan."

Gadis itu tidak tega melihat Harastha dipandang rendah oleh Hamna. Sebagai sesama perempuan, dia bisa merasakan sakitnya.

Terlebih hanya sekadar akad nikah yang diminta para warga, sebatas sah di mata agama. Dia bisa meminta talak setelah nanti sampai rumah.

Statusnya akan tetap sama, tidak ada yang berubah.

"Tukar pakaian kalian, dan saya akan bantu kamu untuk pergi dari sini. Saya harap ini adalah pertemuan pertama dan terakhir, jangan pernah kamu tampakan diri lagi di hadapan saya ataupun anak dan suami saya!" ujar Hamna syarat akan intimidasi.

Harastha tak lagi memiliki kekuatan untuk menyela. Dia tidak akan berdosa atas prasangka buruk orang lain terhadap dirinya. Yang terpenting sekarang dia bisa bebas dan pulang.

"Maafkan saya karena secara tidak langsung sudah menumbalkan kamu, Sya," ungkap Harastha saat mereka sudah sama-sama bertukar pakaian.

Naqeesya memeluk Harastha cukup erat, tangisnya pecah saat itu juga.

Saat pelukan di antara keduanya terurai, dengan cepat Hamna menarik Harastha. Mengabaikan rintih kesakitan perempuan itu karena harus mengikuti langkah lebar Hamna. Kakinya yang memang sakit, kian menjadi, terlebih cengkraman tangan Hamna pun kian kuat, hingga sesekali mengenai luka di telapak tangannya.

Harastha menunduk dalam, menyembunyikan wajahnya yang hanya mampu dia tutupi dengan sehelai pashmina yang tersampir tidak rapi. Terlalu terbiasa menggunakan khimar terusan, dia sampai kesulitan dalam mengenakan pashmina milik Naqeesya.

Padalarang, 31 Agustus 2024

Kasihan banget Harastha, diseret paksa sama ibu kandungnya sendiri 🤧😭 ... Hamna badas banget kalau lagi ngamuk. 😬🙃

Mau double up? Boom vote sama komen dulu, insyaallah nanti malam aku up lagi 😂🤣✌️

Masih mau digaskennn?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro