Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Jilid Kelimabelas

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Jangan terlalu dini dalam menyimpulkan, telaah terlebih dahulu untuk memastikan kebenaran."

Langkah lebar Hamizan tertahan kala dirinya menangkap sosok yang begitu familiar dari pandangan. Matanya melebar seketika saat menyadari sang ayahlah yang terlihat tengah asik bercengkrama di depan sana.

Rahangnya mengencang tanpa bisa dicegah saat menyadari kehadiran seorang wanita yang tidak begitu asing menyapa netra, dia seakan pernah menjumpai perempuan bercadar dengan balutan abaya dan khimar hitam tersebut.

Tanpa kata dia memutar haluan, bergegas untuk menjauh. Ada sesuatu yang jauh lebih penting dari sekadar memergoki sang ayah yang tengah asik berduaan dengan seorang wanita.

Sang ibu tercinta, hanya Hamna yang saat ini dipikirkan oleh pemuda itu.

Kaki jenjangnya kian bergerak cepat saat mendapati sang ibu yang kian mendekat. Dia putar tubuh Hamna dan merangkulnya lembut seraya berkata, "Pindah resto yuk, Buna."

Hamna mendongak dan menahan diri untuk tidak melangkah. "Katanya Abang mau makan ramen, kok nggak jad---"

"Ayam geprek buatan Buna jauh lebih menggiurkan. Makan ramennya lain waktu aja ya?"

"Nggak biasanya Abang plin-plan kayak gini. Ada apa hayoh?"

Hamizan tipikal orang yang teguh akan pendirian, termasuk dalam hal sesederhana memilih makanan. Jika sudah menginginkan A, dia tidak akan tergiur dengan apa pun sekalipun sudah tersaji di depan mata.

Hidupnya sudah ditata dengan sedemikian rupa, sudah ter-planning serapi mungkin, tidak ada istilah berubah pikiran. Maka tak heran jika sang ibu, mempertanyakan kejanggalan yang dirasa.

"Abang mau meniru Hazami yang apa-apa dilakukan secara spontanitas. Menjadi sosok yang sedikit melenceng dari kebiasaan nggak papa, kan?"

Hamna pun manggut-manggut. "Tapi nanggung atuh, Bang, kita udah di sini. Take away aja, sekalian beli buat Papa sama Azam."

Hamizan pun mengangguk pasrah, dia paling tidak bisa menolak keinginan sang ibu. "Boleh, tapi Buna tunggu di mobil ya? Antriannya pasti lama, lagi ramai juga. Buna paling nggak suka nunggu, kan."

"Tanpa Abang minta pun Buna yang akan menawarkan diri buat nunggu di mobil," sahutnya diakhiri kekehan.

Hamizan bernapas lega dibuatnya. "Kunci mobilnya sama Buna, kan?"

Hamna merogoh tasnya lalu memperlihatkan sebuah kunci pada sang putra. "Lupa kayaknya nih Abang, kan tadi Buna ditinggal sendiri di parkiran karena Abang yang nggak tahan mau ke toilet."

Hamizan pun terkekeh kecil. "Iya nih mendadak pikun. Tadi, kan Abang buang hajat dulu ya."

Ditepuknya lembut bahu Hamizan. "Masih muda penyakit lupanya jangan dipelihara ah, nanti kayak Papa."

Hamizan hanya tersenyum samar mendengar guyonan tersebut.

Setelahnya Hamna pun berlalu menuju parkiran, sedangkan Hamizan kembali memasuki area restauran, dia memesan makanan sesuai permintaan Hamna terlebih dahulu, lantas kembali melajukan langkah ke tempat yang sebelumnya pernah dijajaki.

"Bisa-bisanya Papa menduakan Buna, parahnya dengan wanita bercadar yang usianya bahkan jauh lebih muda," desisnya dengan wajah memerah menahan amarah, serta tangan yang saling mengepal kuat.

Napasnya terengah-engah, naik turun tak terkendali, terlebih kala melihat bagaimana interaksi di antara sang ayah serta perempuan bercadar tersebut. Sangat dekat, bahkan tanpa sungkan saling menggenggam erat.

Hamizan benar-benar dibuat naik pitam. Dia tak lagi bisa menahan amarah. Rasa hati ingin sekali menghadiahi bogeman mentah tepat di wajah Hamzah. Namun, dia tak bisa bertindak gegabah, terlebih mengumbar aib perselingkuhan yang dilakukan sang ayah.

"Akan Hamizan pastikan perempuan itu jatuh dan bertekuk lutut di hadapan Hamizan. Papa harus membayar lunas rasa sakit yang dengan sadar Papa torehkan di hati Buna."

Matanya berkilat marah, dia benar-benar tidak bisa menahan emosi. Semakin lama berada di sana, semakin terbakar hatinya. Dia tak ingin pemandangan tak pantas itu disaksikan oleh sang ibunda tercinta.

Dia menjegal seorang waiters dan berkata dengan suara pelan, "Tolong tumpahkan sesuatu pada wanita bercadar di depan sana."

Semula permintaan tersebut ditolak mentah-mentah, tapi setelah diberikan beberapa lembar uang pecahan Rp. 100.000,00 waiters tersebut langsung menyetujuinya.

Sudut bibir Hamizan terangkat satu saat segelas jus mangga mengotori bagian lengan abaya yang dikenakan oleh perempuan bercadar itu.

Gerak tungkainya mengekor di belakang sang perempuan, hingga dia harus menahan diri saat sosoknya hilang di balik pintu kamar mandi khusus perempuan.

Hamizan bersandar pada dinding seraya memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Dia sabar menunggu, hingga akhirnya sosok itu kembali menyapa netra.

Alangkah terkejutnya saat dia menyadari bahwa perempuan yang kini berada tepat di hadapannya, adalah perempuan sama yang juga pernah dia jumpai saat di lapangan basket beberapa waktu lalu.

"Anda---"

Perkataan Harastha menggantung di udara, saat Hamizan dengan lantang menyela perkataannya.

"Hamizan Rasyid."

Kening Harastha terlipat sempurna. "Saya tidak tertarik untuk berkenalan dengan Anda."

Hamizan menegakkan tubuhnya, dia menatap lekat sosok di depan sana. "Tapi saya tertarik untuk mengenal kamu lebih dekat, bagaimana?"

Mata Harastha membulat seketika, dia mundur beberapa langkah lalu berkata, "Tapi saya tidak!"

Hamizan memasang senyum paling manis nan meneduhkan. "Percaya dengan istilah cinta pada pandangan pertama?"

"Itu nafsu, bukan cinta!"

Mendapat jawaban ketus, bukannya gentar dia justru semakin tertantang. "Tahu darimana?"

"Mohon maaf saya tidak ada waktu untuk meladeni orang aneh seperti Anda. Permisi!"

Dengan kecepatan kilat Hamizan mengejar langkah Harastha dan menjegalnya. "Saya rasa kita perlu untuk berdiskusi lebih lanjut."

"Saya rasa tidak!"

Seumur hidup, baru kali ini dirinya bersikap se-agresif itu pada perempuan. Bahkan, rasanya dia malu sendiri jika tidak ingat akan tujuannya.

"Tak kenal maka ta'aruf, bukan begitu?"

"Ta'aruf Anda bilang?!"

Hamizan refleks mengangguk cepat. "Pacaran halal bukankah harus diawali dengan akad nikah, dan ta'aruf menjadi pintu pembukanya."

"Perlukah bantuan untuk menghubungi pihak RSJ terdekat? Dengan senang hati saya akan melakukannya."

"Sepertinya menghubungi petugas KUA terdekat jauh lebih baik."

Harastha geleng-geleng kepala dibuatnya. "Ainuka!"

Dia memang paling lemah dalam hal memaki, hanya sebatas bisa mengatakan hal-hal mendasar, seperti ainuka yang memiliki arti 'matamu'.

Hamizan justru mengukir senyum tipis. "Roksuka," sahutnya santai.

Perempuan bercadar itu memutar bola mata malas. "Yasallam!"

"Ya Mu'min ..., Ya Muhaimin ...," ujarnya tanpa sedikitpun merasa bersalah.

Padalarang, 10 Juli 2024

Maaf lama up, akunya baru pulih pasca jatuh dari motor 🙏😂🤣 ... Gimana sama part kali ini? Penasaran nggak sih sama kelanjutannya?

Masih mau digaskennn?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro