Jilid Keenambelas
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Konon katanya semakin riuh perdebatan, semakin erat sebuah hubungan."
"Ngetuk pintu dulu, kan bisa!" protes Hazami saat sang kakak sulung nyelonong masuk begitu saja.
Hamizan memilih untuk menjatuhkan bokongnya di sisi Hazami yang tengah tengkurap seraya menatap layar gawai. "Emangnya kamu kalau masuk kamar Abang suka ngetuk pintu dulu?!"
Hazami pun bangkit dan duduk berhadapan dengan sang kakak. "Ada apa? Nggak biasanya Abang mau repot-repot nyamperin Azam," selidiknya penuh rasa curiga.
"Abang nggak suka basa-basi, langsung ke intinya aja. Siapa perempuan bercadar yang bersama kamu di lapangan basket beberapa hari lalu?"
Alis Hazami terangkat satu. "Apa urusannya sama Abang? Perlu banget ya Azam jawab?"
"Tinggal jawab aja apa susahnya sih, Zam."
"Apa untungnya kalau Azam kasih tahu Abang?" selorohnya menantang.
Hamizan menggeram pelan. "Azam mau apa, hm?"
Pemuda itu mendelik seketika. "Termasuk dalam tindakan sogok menyogok, kah ini?"
"Ayolah, Zam kasih tahu Abang. Jangan berbelit-belit, bisa, kan?" desaknya.
Hazami turun dari ranjang, dia berlalu meninggalkan sang kakak dan memilih untuk berdiri di pojok ruangan dekat jendela yang dibiarkan terbuka. "Sejak kapan Bang Hamizan jadi kepo sama urusan orang? Lagi pula tahu dari mana soal perempuan bercadar yang tadi Abang tanyakan itu?"
Hamizan memutar otak, mencari alasan selogis mungkin agar tak menimbulkan kecurigaan berlebih. "Abang tertarik dengan dia, ada masalah?"
Sontak Hazami pun menoleh dan berjalan cepat menghampiri sang kakak. "Abang bilang apa tadi? Tertarik?"
Hamizan mengangguk singkat. "Kenapa kamu sampai sekaget itu, Zam?"
Hazami pun dengan segera menggeleng seraya menetralkan mimik wajah. "Shock, lha pake nanya lagi. Abang tuh nggak pernah kelihatan gandeng perempuan, malah kayak kehilangan minat untuk menjalin hubungan sama lawan jenis. Terus sekarang tiba-tiba interogasi Azam soal kayak ginian. Wajar, kan?"
"Bukan kehilangan minat, tapi emang belum ketemu orang yang tepat. Hati-hati kamu kalau ngomong," selanya meluruskan.
Hazami bersidekap dada, dia menatap sang kakak cukup lekat lantas berkata, "Kalau emang Abang tertarik sama perempuan bercadar itu, ya usaha sendiri lha. Jangan libatin Azam, udah dewasa, kan?"
Hamizan berdecak tak suka. "Perhitungan banget kamu sama kakak sendiri, padahal Abang cuma tanya siapa perempuan bercadar itu."
"Bukan perhitungan, tapi kalau Abang emang tertarik ya harus effort donk."
Pemuda itu seakan bisa bernapas lega, setidaknya jika sang kakak turun tangan dia bisa terbebas dari tugas yang diberikan oleh ayahnya. Jujur saja, dia sangat amat ragu dengan penjelasan Hamzah, yang baginya tidaklah masuk akal.
Membiarkan Hamizan mendekati Harastha jauh lebih baik, ketimbang dia yang harus repot-repot mencari tahu. Jujur saja, dirinya sudah angkat tangan untuk menjadi detektif abal-abal. Harastha bukan tipikal orang yang mudah akrab dan terbuka perihal urusan pribadi dengan sembarang orang.
Perempuan bercadar itu terlampau misterius dan tersembunyi.
"Dia bukan pacar baru kamu, kan, Zam?"
Spontan Hazami pun tertawa. "Sejak kapan perempuan bercadar mau diajak pacaran?" tanyanya balik.
"Terkadang penampilan nggak mencerminkan akhlak dan kepribadian. Ada sebagian orang dengan cover 'paham agama' tapi ternyata masih kerap kali melanggar aturan agama. Abang hanya bertanya, apa itu salah?"
Hazami pun manggut-manggut. "Nggak semua kayak gitu, kan Bang?"
"Ya udah sekarang jawab pertanyaan Abang yang tadi."
"Ogah. Nggak ada untungnya juga buat Azam. Usaha sendiri, lha!" sahutnya lantas berlari keluar kamar untuk mengamankan diri dari amukan sang kakak, yang sepertinya sudah habis kesabaran.
"Bunaaa!" teriaknya mencari keberadaan sang ibu yang terlihat tengah duduk santai seraya menonton televisi.
"Apa sih, Zam teriak-teriak. Ini rumah lho, bukan hutan," ujar Hamna mengingatkan.
Hazami langsung terduduk di sisi Hamna dan memeluk pinggang ibunya erat. "Bang Hamizan ngamuk," bisiknya.
"Kamu kali yang duluan mancing-mancing. Kenapa, hm?"
Hazami mendekatkan bibirnya ke arah telinga Hamna yang tak tertutup hijab. "Bang Hamizan lagi puber, Buna," adunya dengan suara pelan.
"Hazami!" tegur Hamizan sudah berkacak pinggang di belakang sofa yang tengah ditempati oleh ibu serta adiknya.
"Duduk samping Buna sini, Bang," pinta Hamna menepuk sisi kosong sebelah kanan.
Hamizan menurut patuh. "Apa Buna?"
Hamna tak langsung menjawab, dia melepaskan cengkraman kuat tangan Hazami yang melingkari pinggangnya, meminta si bungsu untuk sedikit mengatur jarak agar tidak terlalu sesak.
"Ada perempuan yang menarik hati Abang?" tanyanya begitu to the point.
Sontak Hamizan pun memberi tatapan membunuh pada Hazami yang meringis kecil seraya menunjukkan dua jarinya tanda damai.
"Omongan Hazami kok dipercaya, dia mah nggak amanah Buna," sangkalnya.
Hamna tersenyum lembut. "Kalau benar juga nggak papa atuh, Buna malah seneng kalau emang Abang udah punya calon. Kasihan Papa, udah makin berumur masa belum juga dapat mantu."
"Abang belum kepikiran buat nikah."
Hamna mengangguk paham. "Buna nggak maksa Abang buat cepet-cepet nikah, tapi kalau emang udah ada calonnya kenalin ke Buna atuh. Jangan pacar-pacaran ah, ada cara yang halal kenapa harus pilih yang haram."
Digenggamnya tangan sang putra. "Abang harus jaga kepercayaan Buna sama Papa, jangan rusak perempuan yang sudah dijaga dengan baik oleh kedua orang tuanya. Pacaran itu pembuka pintu zina, dari yang awalnya nggak ada niat bisa jadi timbul keinginan karena adanya kesempatan. Bukannya Buna nggak percaya sama Abang, tapi Buna hanya ingin mengingatkan Abang."
"Pembahasan Buna terlalu jauh."
"Itu hanya bentuk kekhawatiran orang tua pada anaknya. Maafin Buna atuh kalau buat Abang jadi kurang nyaman."
Hamizan refleks memeluk Hamna, dia paling tidak suka jika sang ibu begitu ringan menuturkan kata maaf, padahal apa yang diucapkan bukanlah sebuah kesalahan.
"Kulkas dua pintu yang biasa beku mendadak berubah jadi suhu ruang kalau lagi sama pawang," celetuk Hazami santai.
Dia geleng-geleng kepala dibuatnya, kakak sulungnya itu memang sangat manis jika sedang bersama Hamna. Lain cerita kalau sedang bersamanya, yang kerap kali menunjukkan taring berbahaya dengan pesona sedingin kutub utara.
"Usil banget kamu ini, Zam, kayak nggak pernah manja-manja aja sama Buna, hm?" ujar Hamna menanggapi.
Hazami pun ikut masuk ke dalam pelukan. Sepasang kakak beradik itu berperang tangan untuk memeluk pinggang Hamna.
"Kok jadi berebut, Buna engap ini ah," katanya.
"Abang jauh-jauh sana, kasihan Buna. Kan, Abang udah gede, nggak pantes masih gelendotan sama Buna," usir Hazami tak mau kalah.
"Abang duluan, kamu yang ikut-ikutan. Harusnya kamu yang jauh-jauh sana!"
Hamna memijat pelipisnya pelan. "Apa Buna harus membelah diri dulu supaya kalian nggak berebut, hm?"
Hamizan memilih untuk mengalah, dia pun kembali duduk tegak lantas berkata, "Buna itu limited edition, nggak ada duplikatnya."
Hamna terkekeh kecil dibuatnya.
"Buna mau tahu calonnya Bang Hamizan, kan? Nih Azam kasih tahu," ungkap pemuda itu seraya menyerahkan gawainya yang tengah menampilkan dia dan juga Harastha yang sedang asik bermain basket basket.
"Itu calonnya Bang Hamizan atau target kamu selanjutnya Hazami?" sahut Hamna menatap curiga.
Hamizan yang semula sudah pucat, mendadak tersenyum penuh kemenangan. "Targetnya Hazami, lha, Buna. Mereka satu frame itu, mana di-post di sosmed juga. Yang lagi puber itu Azam, bukan Abang!" kompornya memanasi.
Padalarang, 15 Juli 2024
Alhamdulillah bisa up sesuai jadwal, di tanggal ganjil 🤭 ... Mau tahu kelanjutan kisah mereka?
Gaskennn guys???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro