Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Jilid Keduapuluh Enam

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Mau sekarang ataupun nanti, sakitnya akan tetap sama. Terlebih luka yang tertoreh bersumber dari seseorang yang diyakini tidak akan menghadirkan duka."

"Sedikit lancang karena tiba-tiba saya mengajak Ustazah untuk bertemu, tapi ada hal penting yang harus saya bicarakan," ungkap Hazman saat Harastha baru saja duduk.

Mereka melakukan pertemuan di sebuah restoran, di mana tempat itu ramai oleh sejumlah orang. Sebisa mungkin Hazman menghindari khalwat, yakni berdua-duaan dengan perempuan yang bukan mahram.

Harastha mengangguk maklum. "Ada apa memangnya Ustaz?"

Hazman meneguk ludahnya susah payah, dia tarik napas panjang lalu mengembuskannya secara perlahan. "Terkait perjodohan, sepertinya saya tidak bisa melanjutkannya."

"Boleh saya tahu alasannya?"

"Sebelumnya saya meminta maaf yang sebesar-besarnya karena terkesan mempermainkan sesuatu yang sakral. Umi dan Abah pernah mengatakan pada saya untuk tidak terlalu lama mengulur waktu menuju ke jenjang pernikahan, khawatir akan menimbulkan fitnah. Pada saat itu saya menyanggupi, dan mengusahakan secepat yang saya mampu. Akan tetapi, saat ini saya tidak mampu untuk bertanggung jawab atas ucapan saya sendiri."

"Saya gagal meyakinkan kedua orang tua saya, seperti yang Ustazah tahu bahwa saya ini merupakan putra kedua dari tiga bersaudara, dan kakak saya belum menikah. Orang tua saya keberatan jika saya melangkahi kakak saya, sedangkan saat ini kondisi kakak saya tidak memungkinkan untuk melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat."

Hazman tersenyum tipis dan sekilas melihat ke arah Harastha yang terlihat tidak bergeming sedikitpun. "Ustazah tidak perlu khawatir, saya akan tetap membantu Ustazah untuk menemukan orang tua kandung Ustazah. Dan saya pun yang akan berbicara langsung terkait masalah ini pada Umi dan Abah."

Anggukan kecil Harastha berikan. "Apa sudah tersampaikan semua, Ustaz? Jika memang iya, saya akan kembali pulang."

Hazman termenung, dia tidak menyangka bahwa reaksi Harastha akan setenang ini, bahkan perempuan di depannya terlihat sama sekali tak keberatan.

Mendapati keterdiaman Hazman, perempuan bercadar itu pun akhirnya kembali berujar, "Saya bisa memaklumi keputusan Ustaz Hazman, dan saya pun menerimanya dengan hati sangat lapang. Sebagaimana yang beberapa hari lalu pernah Ustaz Hazman katakan bahwasanya bagi Ustaz Hazman rida dan restu orang tua adalah hal yang paling utama, dan sekarang Ustaz menemui saya dengan tanpa rida dan juga restu orang tua."

"Maaf ...," katanya syarat akan rasa bersalah.

Harastha tersenyum di balik cadarnya, terlihat mata bulat itu sedikit menyipit. "Tidak perlu ada permohonan maaf, karena tidak semua perjodohan harus berakhir di pelaminan. Meskipun tidak ada pernikahan, tapi silaturahmi ini jangan sampai terputus ya Ustaz? Kita mengawalinya dengan baik-baik, dan mengakhirinya pun dengan cara yang baik-baik pula. Saya akan bantu untuk bicara dengan Umi dan Abah, karena ini merupakan tanggung jawab saya juga."

Pada akhirnya Hazman pun mengangguk pasrah.

Harastha bangkit berdiri lantas berujar, "Saya pamit, assalamualaikum."

"Wa'alaikumusalam," sahutnya dengan suara teramat lirih. Dia hanya mampu melihat punggung Harastha yang kian menjauh tanpa sepatah kata pun. Bibirnya benar-benar kelu, kosakata seolah hanya tercekat di kerongkongan.

Sedangkan Harastha memilih untuk mengayunkan langkah secepat mungkin, dia harus segera menemukan tempat paling aman yang sekiranya bisa digunakan untuk menenangkan diri. Sebuah masjid yang berada di seberang jalan menjadi tujuan, tanpa berpikir panjang lagi dia segera mengambil wudu lantas melaksanakan salat sunnah guna memperbaiki suasana hatinya yang terasa porak-poranda.

Tangis yang sedari tadi ditahan mati-matian, akhirnya tumpah ruah tepat di sujud terakhir. Dia tidak pernah menyangka perjodohan yang dirancang dengan sangat matang bisa berakhir dengan kepiluan. Kecewa pasti dirasa, tapi dia tidak bisa berbuat banyak kala keputusan final sudah Hazman layangkan.

Memangnya dia siapa, sampai Hazman harus mati-matian memperjuangkannya? Dia tidak selayak itu untuk diperjuangkan, dan Harastha cukup sadar diri akan hal tersebut.

"Hasbunallah wanikmal wakil, nikmal maula wanikman nasir," katanya selepas menunaikan salat. Hanya dengan berdzikir dan berdoa sebanyak mungkin yang saat ini bisa dia lakukan.

Bibirnya tidak pernah berhenti mengagungkan Asma-Asma Allah. Berharap rasa sakit yang menggerogoti dada bisa segera sirna, Harastha percaya jika Allah mampu mendatangkan luka, maka Dia pun bisa dengan mudah menggantinya dengan bahagia.

Dia hapus linangan air mata, menarik napas panjang dan mengembuskannya kasar. "Rencana Allah selalu baik, Astha."

Setelah memastikan tidak ada jejak kesedihan lagi, dia pun bergegas untuk keluar. Ada hal yang jauh lebih penting ketimbang dia menangisi takdir. Dia harus memfokuskan diri pada pencarian sang orang tua, terkait masalah hati biarkan jadi urusan nanti.

Harastha yang tengah memakai sepatu, tersentak dengan adanya sepasang tangan yang menyodorkan sekotak tissue tepat di depan wajah. Dia pun mendongak, lantas tersenyum melihat tingkah orang di depannya, yang tanpa izin langsung duduk begitu saja di sampingnya.

"Untuk apa? Saya tidak membutuhkannya, Sya," ungkap Harastha saat sepatunya sudah terpasang sempurna.

Naqeesya terkekeh kecil. "Sya tahu Teh Astha baru selesai nangis, kan?"

"Kamu ke mana aja, Naqeesya? Baru kelihatan batang hidungnya sekarang, hm," ujar Harastha tanpa mau menjawab pertanyaan Naqeesya.

"Jangan mengalihkan pembicaraan deh, Teh. Sini, pundak Sya nganggur kok buat jadi sandaran," ungkapnya seraya menepuk bahunya sendiri.

"Kamu tahu saya ada di sini dari siapa?"

Naqeesya menunjuk ke arah belakang dengan dagunya, dan tubuh Harastha membatu seketika saat melihat tubuh tegap Hazman ada di sana.

"Sya?"

"Sya ada di restoran yang jadi tempat pertemuan Teh Astha sama Kang Hazman, Sya juga tahu semuanya. Kang Hazman yang meminta Sya untuk jadi orang ketiga, supaya kalau ada apa-apa sama Teh Astha, Sya yang akan turun tangan."

Harastha menutup rapat matanya, lantas meraup seluruh permukaan wajah dengan kedua telapak tangan.

Tanpa diminta Naqeesya langsung merengkuh tubuh Harastha. "Ada Sya kalau Teteh perlu teman buat cerita," bisiknya.

"Kalian saling mengenal?" tanya Harastha setelah rengkuhan di antara keduanya terurai.

Naqeesya terkekeh kecil. "Kenal banget malah, lupa kayaknya nih. Sya, kan pernah cerita tentang Kang Hazman sama Teteh."

"Kang Hazman ini anak keduanya Papa Hamzah ih, Teh Astha. Kakaknya Hazami, sama adiknya Bang Hamizan," imbuhnya lagi.

Harastha memijat pelipisnya yang sedikit berdenyut. Dia sama sekali tak menyangka, ternyata dunia sesempit ini ya?

"Akang titip Ustazah Astha ya, Sya. Kalau ada apa-apa kabari, Akang harus jemput Buna dulu," pinta Hazman setelah cukup lama hanya diam menyimak.

Naqeesya mengacungkan jempolnya. "Siap, Teh Astha aman sama Sya. Titip salam buat Buna."

Hazman mengangguk singkat lalu mengucapkan salam sebagai tanda berpamitan.

"Yuk, Teh kita ke Selasar Sunaryo Art Space lagi. Jangan kebanyakan galau, gugur satu tumbuh seribu. Gagal sama Kang Hazman bisa nyambung sama Bang Hamizan. Iya, kan?"

Harastha menggeplak tangan Naqeesya. "Apaan sih, Sya, nggak lucu banget bercandaan kamu."

Naqeesya malah tertawa tanpa dosa. "Kan nggak mungkin kalau sama Hazami, emangnya mau sama bocah ingusan?"

"Pulang nih saya kalau kamu ledekin terus."

Perempuan dengan balutan pashmina merah muda itu pun tertawa kecil lalu menggandeng tangan Harastha. "Jangan dong, yang temenin Sya keliling Selasar Sunaryo Art Space siapa nanti? Maaf deh maaf, Sya janji nggak akan bahas soal itu lagi."

"Setahu saya kamu lagi PPL, kan Sya?"

"Udah selesai atuh, Teh sekarang lagi proses nyusun skripsi."

Harastha hanya manggut-manggut saja.

"Kalau Sya bilang alasan Kang Hazman batalin perjodohan bukan semata-mata hanya karena Papa sama Buna apa Teteh percaya?" katanya tiba-tiba.

"Kamu ngomong apa sih, Sya. Ngaco!"

"Bang Hamizan suka sama Teh Astha, Kang Hazman mundur karena nggak mau bersaing sama kakaknya sendiri. Padahal, kan Kang Hazman yang udah lebih dulu ambil start ketimbang Bang Hamizan yang stuck di tempat," ocehnya tanpa diminta.

Padalarang, 23 Agustus 2024

Nyeseknya berasa banget 🤧😬 ... Duhh, Hazman kok bisa ngambil keputusan secepat itu 🙃🙂

Gaskennn nggak nih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro