Jilid Keduabelas
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Antara musik dan al-quran adalah dua hal yang tak bisa disatukan, bukan hanya perihal haram ataupun halal."
Bergelung di dunia seni seperti sudah jadi jati diri, terlebih dalam bidang musik di mana Hazami sangat bercita-cita untuk menjadi musisi legendaris layaknya sang idola, yakni Wachyoe Affandi atau yang lebih dikenal dengan nama Doel Sumbang.
Jika sang ayah lebih menyukai seni fotografi, lain hal dengan sang putra yang tidak bisa jauh-jauh dari musik, terlebih musik sunda yang sudah amat melekat dengan dirinya. Bahkan play list musik dalam gawainya pun didominasi oleh para musisi sunda, dari mulai yang terdahulu hingga para penerus di zaman sekarang.
"Nggak denger apa azan zuhur sudah mulai bersahutan?!"
Hazami yang tengah asik bermain basket seraya menyalakan musik dengan speaker mininya pun menatap tak suka pada seseorang yang tiba-tiba saja datang.
"Azan di masjid, ini di lapangan. Emang harus banget dimatiin. Rusuh banget sih jadi orang!" semburnya sebal bukan kepalang.
Terdengar helaan napas berat. "Setidaknya kalau kamu nggak berniat untuk bergegas menunaikan panggilan Allah, hentikan sejenak kegiatan yang tengah kamu lakukan. Terlebih, musik yang tengah kamu nyalakan cukup kencang. Harus ada etika dalam beragama."
"Daripada Anda repot-repot mengurusi hidup saya, lebih baik Anda pergi sana!" usirnya kesal.
"Jika bukan karena Tante Zanitha yang meminta saya untuk menemui kamu, saya pun tidak mau!" sahut Harastha tak kalah sengit.
"Kenapa harus Anda sih yang ditunjuk Bunda Zani."
Harastha berusaha untuk mengontrol diri dengan banyak menarik napas. "Hazami, kedatangan saya kemari murni karena tuntutan pekerjaan. Jadi dimohon kerja samanya, bisa?"
Dengkusan kasar Hazami keluarkan. "Okeee."
"Nggak ada niatan untuk salat dulu, kah?" tanyanya kemudian saat melihat Hazami kembali asik dengan bola basketnya.
"Saya belum salat zuhur kalau belum jam dua," sahutnya santai lalu memasukkan bola basket ke dalam ring.
Mata Harastha membulat seketika. Baru kali ini dia menjumpai manusia yang teramat santai dalam hal menunaikan ibadah, terlebih yang dilalaikan merupakan kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar.
"Lebih baik terlambat daripada nggak sama sekali," katanya lagi.
Harastha dibuat geleng-geleng kepala. "Saya ada penawaran bagus untuk kamu."
Keningnya terlipat, dia sejenak menghentikan kegiatannya lalu berjalan lebih mendekat pada Harastha. "Apa?"
"Saya tantang kamu untuk bermain basket, siapa yang lebih dulu memasukkan bola ke dalam ring dia yang keluar sebagai pemenang. Sebagai imbalannya, yang kalah harus menuruti apa pun yang diminta pemenang."
"Anda meremehkan saya? Siapa takut!"
Harastha menyimpan terlebih dahulu tas punggungnya di pojok lapangan, lalu dia menghampiri Hazami yang sudah bersiap di tengah lapangan.
"Kalah jangan nangis," peringatnya dengan sudut bibir yang sengaja diangkat satu.
Dari balik cadarnya Harastha tersenyum samar. "Kamu tahu nggak sih setan dikeluarkan dari surga bukan karena dia nggak taat, tapi karena kesombongan yang ada dalam dirinya. Kamu jangan dulu berbangga diri!"
Hazami hanya memutar bola mata malas. "Kalau mau ceramah salah tempat, Ustazah."
"Apa tadi kamu bilang?"
"Lho Ustazah Astha, kan ya?" selorohnya santai.
Harastha berusaha untuk tenang, sebisa mungkin mengontrol gerak mata agar tak kentara dirinya tengah dirundung rasa resah.
Tiba-tiba Hazami tertawa. "Lupa, mana mungkin seorang ustazah kabur sama santri berandalan kayak saya. Nggak mungkin, kan ya!"
"Bisa kita mulai sekarang?" ujar Harastha ingin segera menaklukkan pemuda tengil di hadapannya.
Hazami pun mengangguk tanpa ragu.
Bola basket dilempar ke atas, keduanya fokus untuk menangkap bola tersebut. Dengan gerakan cepat dan lincah Hazami berhasil mendapatkan bola itu, Harastha tak kehabisan akal dia terus berusaha untuk mengambil cela dan momentum.
Abaya hitam yang dikenakan sama sekali tak membatasi geraknya. Langkahnya terlihat leluasa mengejar Hazami yang begitu pongah membawa bola sesuka hatinya. Saat bola dilempar menuju ring, bola itu meleset tidak sesuai harapan. Dengan cepat Harastha mengambil alihnya, dia berusaha menghalau tubuh tinggi Hazami yang terus menghalangi.
Di percobaan pertama Harastha pun gagal memasukan bola, dan jelas langsung dihadiahi tawa meremehkan Hazami.
"Makanya jangan sombong jadi perempuan!" katanya lantas bersiap untuk memasukkan bola basket dengan satu tangan.
Harastha melompat setinggi yang dia mampu, berusaha untuk menjegal laju bola tersebut. Dia tersenyum kala lagi-lagi bola itu tak berhasil masuk ke dalam tempat yang seharusnya.
"Masih bisa sombong, di percobaan kedua yang hasilnya masih failed juga?" seru Harastha.
Hazami menggeram sebal, rahangnya sedikit mengencang karena merasa tak terima atas perkataan Harastha yang terasa merendahkan di telinganya.
Di saat fokus Hazami teralihkan oleh rasa emosi, di saat itu pulalah Harastha mengambil kesempatan untuk memasukkan bola dengan cara membelakangi ring.
"Kamu kalah Hazami, mari ikut saya."
"Lepas ih!" katanya berusaha menjauhkan tangan Harastha yang kini tengah menarik kupluk hoodie yang sedang Hazami kenakan.
"Salat atau mau saya salatkan?"
"Anda siapa ngatur-ngatur saya, orang tua saya sendiri pun tidak sampai hati memperlakukan saya dengan cara seperti ini!"
Harastha menjauhkan tangannya. "Saya memang orang lain, tapi saya peduli dengan akhirat kamu. Sekalipun kita tidak benar-benar saling mengenal, setidaknya saya bisa bersaksi bahwa saya pernah mengajak kamu untuk menunaikan ibadah. Kamu kalah bukan? Maka turuti permintaan saya!"
Dengan langkah malas Hazami pun menurut, keduanya berjalan menuju mushalla yang memang berada tak jauh dari lapangan basket.
"Jangan minta saya untuk mengimami An---"
"Kamu terlalu percaya diri rupanya, lagi pula tidak ada yang membenarkan salat berjamaah dengan yang bukan mahram. Saya pun tidak memiliki keinginan untuk kamu imami," potong Harastha cepat.
Mereka memilih untuk salat sendiri-sendiri, Hazami lebih dulu menuntaskannya sedangkan Harastha masih terlihat khusuk meresapi apa yang tengah dikerjakannya. Entah Harastha yang lambat, atau Hazami yang terlalu cepat, karena pemuda itu cukup lama bengong di pintu masuk guna menunggu Harastha menunaikan kewajibannya.
"Lama!" sembur Hazami saat Harastha tengah memakai kembali sepatunya.
"Maaf," sahut Harastha tak ingin mengeluarkan energi secara cuma-cuma hanya sekadar untuk mendebat sang pemuda.
"Bunda Zani beneran yang nyuruh, kan?" tanyanya memastikan kembali.
Harastha mengangguk pelan. "Mau mulai sekarang?"
"Nggak ada yang lain selain Anda lagi memangnya?"
"Yang lain sedang ada job masing-masing, kebetulan saya yang free."
"Fotografer profesional, kan?"
"Bukan seorang profesional, tapi insyaallah bisa," jawabnya.
"Awas kalau hasilnya failed!" ancamnya.
Harastha hanya manggut-manggut saja. "Jadi bagaimana, mulai sekarang?"
"Ambil gambar yang bagus dari banyak angle," ungkap Hazami, lalu kembali menyalakan speaker mininya.
"Apa tidak bisa dimatikan saja musiknya?"
Hazami melotot tak terima. "Suka-suka saya, lha kenapa Anda yang protes!"
Harastha tak ingin semakin mengulur waktu. Alhasil dia menurut dan berharap tidak ada satu pun ayat al-quran yang tercecer dalam ingatannya.
Baginya musik bukan tentang halal dan haram, melainkan bagi seorang penghafal al-quran sebisa mungkin menghindari hal-hal semacam tersebut, guna menjaga hafalan. Sebab dia percaya antara musik dan kalam Allah tidak bisa diletakkan dalam satu hati yang sama.
Padalarang, 21 Juni 2024
Seru bukan duel di antara sepasang adik dan kakak ini? 🤭🤣 ... Mereka emang sulit untuk akur sepertinya, berasa lagi lihat Hamna dan Hamzah di masa lalu 😬
Gaskennn guys?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro