Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Jilid Kedelapan

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Jadilah laki-laki yang tidak menganut paham patriarki, karena itulah definisi dari suami sejati."

"Boleh saya tahu nama Anda?" ulang Hamzah saat tak kunjung mendapat jawaban.

"Harastha," sahutnya dengan nada rendah.

Hamzah pun mengangguk kecil. "Maaf atas kelancangan saya yang tidak mampu menjaga pandangan. Saya tidak bermaksud buruk, hanya sebatas teringat dengan mendiang putri saya. Hanya itu, tidak lebih."

Harastha menanggapi dengan anggukan singkat, serta senyum tipis di balik cadarnya.

"Formal banget sih bahasanya, santai aja atuh, Pa, Teh," protes Naqeesya.

Hamzah terkekeh kecil. "Itu namanya tatakrama dalam bertutur kata, apalagi Papa baru mengenal Harastha. Bukan begitu?"

"Iya deh iya, terserah Papa aja. Kalau Sya ajak Teh Astha ketemu Buna boleh, kan? Sya mau kenalin Teh Astha sama Kang Hazman," ungkapnya blak-blakan.

"Ya boleh atuh, Buna seneng pasti, ada temennya. Kasihan Buna terlalu banyak bergaul sama kaum laki-laki."

"Tambah satu lagi bisa kali, siapa tahu yang keempat dapat perempuan, kan?" godanya dengan alis dinaik-turunkan.

"Sya lupa nih. Papa juga, kan punya anak perempuan."

Naqeesya terkekeh kecil. "Sya, kan maksud Papa?"

Hamzah hanya merespons dengan anggukan. "Ehh, tadi Sya bilang apa? Mau ketemu Kang Hazman? Nggak ada atuh, Sya, lagi di pesantren. Pulangnya hanya sesekali pas ada jadwal libur. Adanya paling Bang Hamizan."

Naqeesya menepuk jidatnya. "Sya lupa ih Kang Hazman, kan ngajar di pesantren. Ya udah deh sekarang kenalan sama Bang Hamizan dulu aja ya, Teh?"

"Hah? Gimana?" sahut Harastha terkejut.

"Nggak, bukan apa-apa," kilah Naqeesya.

"Yuk, Pa pulang sekarang, kebetulan juga tadi Sya naik angkutan umum. Nebeng bisa, kan?" sambungnya begitu semangat.

"Bantu Papa cari Azam dulu, Buna bisa ngamuk kalau Papa pulang tanpa bawa putranya."

"Ish, ish, pasukan suami takut istri ternyata ya Papa ini!"

Hamzah menggeleng pelan. "Bukan takut, tapi Papa sangat menghormati dan menghargai Buna. Sayyidina Umar yang terkenal paling ditakuti dan disegani oleh seluruh penduduk bumi, termasuk setan pun tunduk patuh pada istrinya. Beliau memilih diam kala dimarahi, itu bukan karena beliau takut, tapi tanda jika beliau laki-laki sejati yang mampu memuliakan pasangan. Seorang amirul mukminin sampai seperti itu, apalagi Papa yang bukan siapa-siapa ini?"

"Sya tahu nggak jawaban Sayyidina Umar saat ada yang bertanya ihwal sikap diamnya kala diomeli oleh istrinya?" imbuh Hamzah seraya menatap ke arah Naqeesya.

Naqeesya pun menggeleng kecil.

"Sayyidina Umar menjawab, 'Aku menahan diri tidak mengeluarkan sepatah kata karena istriku punya tanggung jawab besar untukku. Dia membantuku, dia memasak makanan untukku, memasak roti, mencuci bajuku, menyusui dan merawat anakku, padahal itu tidak wajib baginya, itu kewajibanku sebenarnya. Tapi istriku melakukan hal itu untukku, maka aku memilih diam saja saat diomeli'. Sya paham, Nak?"

"Pantes Ayah selalu membantu Bunda dalam hal pekerjaan rumah. Selama ini, Sya kira kalau Ayah dijajah oleh Bunda, ternyata Sya yang salah menduga."

Hamzah tertawa dibuatnya. "Sya kira kita hidup di zaman apa, hm? Harusnya Sya bangga karena punya Ayah yang nggak patriarki, yang tahu tentang hak dan kewajibannya sebagai suami."

"Laki-laki, kan pemimpin rumah tangga. Apa nggak jatuh harga dirinya saat melakukan itu semua?"

"Itu keliru, Sya. Kalau memang perempuan dinikahi hanya untuk melakukan berbagai pekerjaan rumah, ya sudah nikahi saja asisten rumah tangga. Kalau memang perempuan dinikahi untuk memuaskan nafsu, ya sudah nikahi saja para perempuan malam yang menjaminkan 'kepuasan'. Pernikahan bukan hanya perkara itu saja, ada esensi dan nilai lebih makanya diberi label sebagai 'ibadah terlama', ya karena dalam menjalaninya memang nggak mudah, lha wong ganjarannya juga surga," terang Hamzah panjang lebar.

Naqeesya hanya manggut-manggut saja. Sedangkan Harastha merasa takjub sekaligus kagum dengan pemikiran orang yang baru dikenalinya tersebut.

Di zaman seperti sekarang, sangat sulit menjumpai pria dengan pola pikir demikian. Sebab, saat ini lebih banyak didominasi oleh laki-laki penganut paham patriarki.

"Diskusinya kita lanjut di rumah, bantu Papa cari Azam dulu ya, Sya?" pintanya kemudian.

"Pisah aja kalau gitu supaya cepet ketemunya, nanti ketemu di parkiran ya, Pa? Sya sama Teh Astha, Papa sendiri nggak papa?"

Hamzah mengangguk paham. "Papa ke sebelah kanan ya," katanya lantas berlalu pergi.

"Dari tadi Teteh diam aja? Kenapa?" tanya Naqeesya seraya berjalan menelusuri sudut demi sudut Selasar Sunaryo Art Space.

"Terus harusnya Teteh gimana, Sya? Nggak nyambung juga kalau nanti Teteh ikut gabung. Mau bagaimanapun Teteh ini orang luar, nggak kenal juga sama Pak Hamzah. Sungkan atuh."

"Iya juga sih, Sya juga pasti akan melakukan hal yang sama kalau ada di posisi Teteh. Oh, ya kita harus cari Bocil yang ada di foto ini. Nanti kalau Teteh lihat kasih tahu, Sya," katanya seraya menunjukkan foto Hazami yang ada di gawai.

Kening Harastha mengernyit. "Kamu serius anak ini yang harus kita cari?"

"Iya, emangnya kenapa?"

"Ya Allah, Sya kenapa dunia sesempit ini sih. Kalau anak itu Teteh tahu, sudah pernah ketemu beberapa kali. Namanya Hazami, kan?"

Naqeesya pun mengangguk. "Teteh kenal di mana?"

Harastha tak langsung menjawab dia terdiam sejenak terlebih dahulu. "Oh itu ..., ehm ..., anu ...,"

"Dia ngerusuh di Rumah Bidadari ya? Udah ketebak sih, si Azam emang biang onar!"

Harastha meringis kecil.

"Mantannya, kan satu kost ya sama Teh Astha. Kalau bukan Sya yang laporin ke Buna sama Papa, si Azam pasti semakin nyaman dengan hubungan haramnya. Amit-amit deh, anak Papa yang satu itu emang agak lain, paling beda sendiri, dan nyebelin parah," ocehnya.

"Sya, nggak boleh ngomong gitu ah. Kita nggak pernah benar-benar tahu tentang seseorang, kita hanya sebatas tahu dari luarnya. Kita juga nggak berkewajiban untuk menilai orang lain, itu bukan tugas dan urusan kita. Jangan diterusin ya."

"Teteh mah sebelas duabelas sama Bunda, paling susah kalau diajak ghibah."

"Lebih enak makan daging sapi, ketimbang makan bangkai saudara sendiri."

Naqeesya membalasnya dengan putaran bola mata malas. "Okeee!"

Saat matanya menangkap sosok yang tengah dicari, spontan Naqeesya pun melempar tas selempangnya, hingga berhasil menyambar tengkuk bagian belakang Hazami.

"Pulang!" desisnya seraya menarik lengan kemeja kotak-kotak yang Hazami pakai.

"Kak Sya apa-apaan sih! Azam bukan maling ya, nggak usah pakai acara seret-seret segala!"

"Papa pusing nyariin kamu, Zam! Nggak tahu diri banget sih jadi anak, jangan buat ulah terus, kan bisa?!"

"Perasaan Azam salah mulu di mata semua orang."

"Bukan perasaan lagi, tapi emang salah!"

"Kak Sya itu galaknya melebihi Bang Hamizan sama Kang Hazman, untung spesies seperti Kakak cuma satu. Coba kalau sampai Azam punya kakak kandung perempuan, bisa beneran stress pasti," keluhnya mengoceh.

"Dihh, siapa juga yang mau punya adik kayak kamu? Ogah!"

"Azam juga ogah!"

"Sudah cukup, kenapa kalian malah ribut!"

Fokus Hazami teralihkan seketika. "Harus banget ya ketemu Anda lagi?!"

"Anda pikir saya mau bertemu Anda untuk yang kesekian kalinya? Kalau bisa protes, saya pasti akan menolaknya dengan sangat tegas!"

"Dasar perempuan judes so jual mahal!"

Naqeesya melihat ke arah Harastha dan juga Hazami secara bergantian. "Kok malah jadi kalian sih yang ribut?"

Padalarang, 11 Juni 2024

Di mana ada Hazami disitulah ada keributan 😅🤣 ... Naluri adik kakak di antara Harastha dan Hazami cukup kuat, karena hampir setiap ketemu ribut mulu 😂✌️ ... Apa ada yang kurang? Sok silakan tulis di kolom komentar ☺️👉

Masih mau digaskennn???

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro