BAGIAN DUA EPISODE PERTAMA: RASA SUKA
Cerita ini aku putuskan untuk dilanjutkan, karena kebetulan ide muncul. Sayang kalau tidak ditulis, jadilah untuk dilanjutkan. Selain itu, untuk episode yang sebelumnya akan diperbaiki/direvisi, tidak berubah terlalu banyak hanya sedikit diperbaiki agar lebih enak dibaca. Tapi, bertahap tidak akan langsung.
Langsung saja tanpa basa-basi, selamat membaca. Semoga kalian suka~
##################################################################
Filk POV
Sudah satu minggu sejak kejadian pemusnahan Thief Devil dan kematian Pak Jaka. Mungkin bisa saja hari ini menjadi peringatan satu minggu kematianku, kalau saja Pak Jaka tidak menawarkan atau tepatnya memaksa untuk mengorbankan nyawanya menggantikan aku.
"Jaga dia dan selamatkan dunia, Filk."
Itulah ucapan terakhir dari Pak Jaka sebelum mengambil ujung benang merah untuk penukaran roh dari tanganku. Aku hendak menghentikannya, tapi karena Pak Jaka cepat sekali mengikat tali merah itu ke jari telunjuknya aku hanya terdiam tanpa sempat mencoba menghentikannya. Cahaya putih pun tiba-tiba muncul di antara mereka, bertanda proses pertukaran terjadi.
Aku tidak terlalu mengerti tentang pesan kedua dari Pak Jaka. Menyelamatkan dunia dari apa? Bukankah dengan kekalahan roh Thief Devil yang dikatakan mengancam dunia maka dunia terselamatkan. Apa mungkin ada roh jahat lain yang terlepas dari segelnya selain Thief Devil atau kalau roh-roh yang masih penasaran dibiarkan di dunia maka bisa mengancam dunia?
Yah, apapun itu, pasti pesan dari Pak Jaka ada maknanya. Jadi, aku akan melaksanakan pesan pertama dan mencari tahu makna pesan keduanya. Apabila sudah menemukan makna pesan keduanya, mudah maupun susah, aku akan melaksanakannya. Aku janji.
***
"Ilk, apa benang merah itu bisa dipakai lagi?" tanyaku dengan suara hati.
Ilk, roh senjata yang dulunya dimiliki ayahku dan sekarang milikku, tidak memiliki wujud seperti roh-roh yang lain dan tidak bisa keluar dari dalam tubuhku. Jadi, dia selalu saja di dalam tubuhku. Kami sering kali berbicara di waktu-waktu kosong untuk menghilangkan kebosanan atau menukar informasi. Aku menanyakan soal yang berhubungan dengan roh dan soal ayahku, sedangkan Ilk menanyakan soal perkembangan dunia ini.
(Tentu saja, benang itu bisa digunakan berapa kali pun,) jawab Ilk.
"Kalau tidak salah kau bilang benang itu untuk memindahkan roh yang hidup ke roh yang mati, kan? Kalau seperti itu, berarti seharusnya Susan yang sekarang adalah Pak Jaka yang berpindah ke tubuh Susan."
(Hahahaha, kalau seperti itu tidak ada artinya benang merah itu diciptakan. Memang benar roh yang hidup dipindahkan ke roh yang mati, tapi bukan berarti kesadaran orang hidup itu ikut dipindahkan. Lagipula, ingatan seseorang itu kan ada di otak tubuh, bukan di roh.)
"Ahh... Jadi, mudahnya roh orang yang hidup diubah menjadi nyawa saat di benang merah, lalu diberikan ke orang mati itu."
(Yah... kurasa hampir sama seperti itu.)
"Ah, memangnya siapa yang menciptakan benang merah itu?"
(Maaf, aku tidak bisa menjawabnya. Tepatnya untuk sekarang aku tidak bisa menjawabnya.)
"Baiklah... Aku akan menunggu."
"Maaf membuatmu menunggu, adikku tersayang~"
Kak Nida, kakak perempuanku, datang menghampiriku sambil membawa hidangan sarapan. Lalu, dia menaruh semua hidangan sarapan di atas meja. Kemudian, dia duduk di kursi sebelahku.
"Hei, Filk," panggil Kak Nida. "Minggu nanti kita akan pergi ke taman, kan?"
"Iya. Bukannya kemarin aku sudah bilang, kenapa tanya lagi?"
"Heheheh, aku hanya ingin memastikan apakah yang kudengar kemarin benar. Habisnya tidak biasa Filk yang mengajakku. Apakah kemarin kau mulai jatuh cinta denganku~?" tanya Kak Nida dengan nada semangat. "Kau tahu kan, kita ini saudara, mana mungkin bisa pacaran. Tapi, bukan berarti kakak melarangmu untuk mencintaiku. Hanya saja, kita tidak akan bisa pacaran. Jadi, kau boleh terus mencintai kakakmu ini~"
"Ah, i-iya..."
Memang benar, biasanya kakakku ini yang selalu meminta jalan-jalan di akhir pekan. Lagipula alasan aku mengajak Kak Nida jalan-jalan di akhir pekan untuk menembus kesalahanku yang lalu, yang selalu saja ada gangguan setiap kali kami ingin pergi.
Tapi apakah keanehan aku mengajaknya duluan semengejutkan itu? Sampai-sampai pikiran kakakku kacau dan melenceng ke hal yang berbau cinta... Ah, aku memang cinta Kak Nida. Tapi sebagai keluarga, bukan ke hal yang romantis.
Kalau masalah ke yang romantis, aku sudah menemukannya. Dia adalah gadis yang lemah, cengeng, dan penakut. Namun, dia juga gadis yang baik hati dan perhatian. Sejujurnya aku jatuh cinta pada pandangan pertama, dan semakin jatuh cinta kepadanya. Maka dari itu, tanpa pesan dari Pak Jaka, aku pasti akan melindunginya walau nyawa taruhannya.
"Kyaaaa~ Filk tersenyum dengan wajah memerah, berarti apa yang kukatakan benar~!" terang Kak Nida mengejutkanku. "Aku jadi malu~!"
Sayang sekali, tapi kalau arti 'cinta' ke romantis, Kakak salah besar. Tapi, karena aku tidak mau merusak kesenangan kakakku ini, jadi aku hanya bisa mengeluarkan tawa paksa untuk menanggapi pernyataan Kak Nida.
Kemudian kami pun sarapan dengan tenang. Mungkin hampir disebut tenang, kalau saja Kak Nida tidak selalu memperhatikanku dengan ekpresi senang. Kakakku ini benar-benar senang sekali, aku jadi tidak tega untuk menghancurkan harapannya. Aku harap akhir pekan nanti memang aku bisa jalan-jalan dengannya.
Setelah itu, aku pun pamit ke Kak Nida untuk pergi ke sekolah. Selama di perjalanan aku mengobrol dengan Ilk, untuk menghilangkan rasa bosan berjalan sendiri menuju sekolah. Kami membicarakan tentang pertandingan sepak bola yang kemarin malam kami tonton. Sebenarnya aku ingin sekali menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan roh atau masa lalu Ilk, tapi rasanya itu sedikit menyakiti perasaannya. Karena setiap kali dia menjawab hal itu, aku merasa ada nada sedih yang mendalam. Jadi, aku bertahap saja menanyakan hal itu.
Informasi yang kudapat dari Ilk sampai sekarang semuanya sudah kuketahui dari Susan. Misal roh astral adalah roh yang hampir saja ke alam baka, tapi ditengah jalan dia ingat ada keinginan yang belum terpenuhi. Jadi, roh itu kembali lagi ke bumi. Sedangkan roh yang tampak, ada karena tidak rela keinginan itu terpenuhi. Mudahnya, roh ini walau sudah mati masih ingat dengan keinginan yang belum terpenuhi dan memilih untuk tinggal di bumi sampai keinginannya itu terpenuhi.
Namun, ada beberapa juga informasi baru bagiku. Misal soal roh jahat. Ternyata, bukan hanya Thief Devil saja yang tersegel, ada beberapa roh jahat yang tersegel dan ada kemungkinan segelnya terlepas karena segelnya tidak diperbarui. Roh jahat yang disegel ini kebanyakan roh-roh jahat yang memiliki kekuatan sebanding atau lebih kuat dari Thief Devil. Karena kekuatan mereka itu, para pemburu, yaitu clan Pemusnah tidak sanggup memusnahkannya dan memilih untuk menyegelnya.
Dengan mengetahui hal itu, sekarang aku paham maksud pesan Pak Jaka yang kedua. Sepertinya dia memang sudah tahu bahwa segel yang menyegel roh jahat lain kemungkinan akan lepas. Informasi ini sudah aku beritahu ke Clan Ure, tepatnya ke ketua baru, yaitu Pak Dimas. Lalu, Pak Dimas pun menyuruh seluruh anggota Clan Ure untuk mencari informasi keberadaan roh jahat yang lain.
Sekarang aku hanya tinggal menunggu informasi dari mereka tentang keberadaan roh jahat lainnya. Selama itu, aku dibebas tugaskan dari hal-hal berbau roh supaya aku bisa fokus ke roh jahat bila sudah tiba waktunya. Maka dari itu, aku bisa mengajak Kak Nida untuk jalan-jalan di akhir pekan dan tidak bekerja dengan Susan sampai saat ini.
Jujur kukatakan, aku merasa tidak suka dengan situasi saat ini. Aku tidak bisa bersama dengan Susan lagi, paling-paling hanya ketemu, itu pun kebetulan saat di sekolah atau di jalan. Apalagi Susan pun belakangan ini sibuk untuk menenangkan roh-roh penasaran, jadi kesempatan aku bisa bersama, bahkan bertemu dengannya sangat kecil sekali. Ditambah fakta hubungan kami hanyalah rekan kerja, maka bisa dibilang nol persen aku untuk bertemu dengannya.
(Kenapa kau tidak mengajaknya ketemua dan jalan-jalan? Seperti kau mengajak kakakmu,) ucap Ilk.
"Sudah kubilang seperti sebelumnya, aku dan dia hanyalah rekan kerja. Akan aneh kalau aku mengajaknya jalan-jalan. Apalagi dia selalu sibuk dengan pekerjaannya."
(Kau ini terlalu terpaku akan hubungan, ya. Kurasa tidak aneh bila mengajak seseorang yang dekat denganmu untuk jalan-jalan. Memangnya kau mau seperti ini terus?)
"Yah... aku bohong bila menjawab baik-baik saja..."
(Maka dari itu, cepatlah bergerak! Jangan menyerah sebelum berjuang!)
"Ah, kau ini roh senjata atau roh cinta?"
(Aku ini roh senjata. Aku bisa seperti roh cinta karena melihat hasil perjuangan ayahmu untuk mendapatkan ibumu. Jadi yakinlah dengan saranku ini.)
"Akan kupikirkan lagi..."
Sebenarnya alasan utama aku tidak bisa melakukan saran Ilk adalah karena rasa malu. Apa yang harus aku jadikan alasan untuk mengajaknya jalan-jalan? Aku benar-benar tidak bisa menemukan alasan yang bagus. Kalau pun tanpa alasan, pasti membuat dia tidak nyaman.
Setelah itu, kami tidak saling mengobrol lagi. Mungkin karena kehilangan topik yang pas untuk dibicarakan atau Ilk memilih diam karena dia tahu aku sedang memikirkan cara untuk bisa bertemu lagi dengan Susan.
***
Sekarang kondisi kelas sedikit tidak teratur, karena guru yang mengajar sedang tidak masuk. Beberapa teman kelasku asik sendiri, mengobrol, bahkan ada yang tidur. Sedangkan aku, duduk diam dengan menompang dagu sambil melihat ke luar jendela. Aku bingung apa yang akan aku lakukan untuk menunggu waktu istirahat tiba, jadinya aku hanya melakukan hal itu.
Tapi, perhatianku teralihkan setelah mendengar dua perempuan teman sekelasku sedang membicarakan topik yang terdengar menarik. Satu gadis berambut hitam pendek sedang duduk, dan satu lagi berambut panjang sedang berdiri di sampingnya. Jarak kami cukup dekat, hanya terpisah satu tempat duduk di depan. Jadi, aku bisa mendengar pembicaraan mereka tanpa harus bersusah payah.
"Beneran?" tanya gadis berambut hitam panjang.
"Beneran, sudah dua minggu aku tidak bertemu dengan dia," jawab gadis berambut pendek.
Maksud 'dia' yang diucapkan gadis berambut pendek adalah pacarnya. Aku tidak sepenuhnya menanggapi pembicaraan mereka. Tapi, dari yang dapat aku tangkap, bahwa mereka sedang membicarakan soal pacar gadis berambut pendek yang sedang pergi ke suatu tempat tanpa memberikan kabar kepadanya.
"Kalau begitu, tinggal hubungi atau kirim pesan kepadanya. Bilang kalau kau ingin bertemu dengannya."
"Masa aku yang melakukan itu. Seharusnya dia yang melakukan itu, aku kan perempuan."
"Terus kau mau terus seperti ini? Menunggu dia bergerak dengan kemungkinan dia memikirkan hal yang sama sepertimu. Kau harus bergerak duluan."
"Hei, Filk, kau baik-baik saja?"
Seketika aku langsung mengalihkan perhatian dari mereka menuju orang yang berdiri di sampingku. Dia adalah Dimas, sahabatku. Kami selalu satu kelas sejak kelas tiga SD hingga sekarang. Berkat itu, kami pun menjadi sahabat.
"Tentu saja aku baik-baik saja. Memangnya aku terlihat seperti orang yang terjangkit penyakit rabies?"
"Yah... tidak selamanya kondisi seseorang disebut baik apabila sedang tidak terkena penyakit," ucap Dimas sambil duduk di kursi yang sebelumnya dia bawa. "Habisnya aku melihat kau memperhatikan kedua gadis itu, seperti tertarik dengan apa yang sedang mereka bicarakan. Tidak biasanya kau tertarik dengan hal seperti itu. Apa jangan-jangan tadi kau salah minum obat?"
"Woi, itu tidak sopan. Aku ini laki-laki normal, jadi wajar saja aku tertarik dengan masalah... cinta..."
"Hahahah, iya-iya, maaf sudah menghinamu. Lalu, apa ma-"
"Tidak, aku mendengar percakapan mereka karena terdengar menarik, bukan karena aku punya masalah yang sama."
"Seperti biasa, selalu saja bisa memprediksi kalimatku yang akan terucap dan menghentikannya sebelum selesai. Tapi, kali ini ada kesalahan yang kau lakukan. Jadi memang be-"
"Ti-Tidak, aku sudah bilang, aku tidak punya masalah yang sama dengan pembicaraan mereka."
"Iya-iya, terserah. Aku pun berpikiran sama dengan temannya itu, kalau memang ingin mengubah situasi maka harus maju. Tidak ada jaminan kalau laki-lakinya itu yang maju duluan. Bisa saja pola pikir dia sama seperti perempuan itu, menginginkan pihak lain yang maju duluan. Kalau terus seperti itu, bisa-bisa selamanya mereka tidak akan saling bertemu."
Bel pertanda waktu istirahat pun berbunyi, keadaan kelas pun menjadi semakin ricuh. Biasanya aku akan diam menunggu mereka semua keluar, baru keluar karena tidak ingin berdesakan di lorong. Tapi kali ini aku langsung keluar dari kelas dan rela untuk menerobos beberapa murid lain yang berjalan menuju kantin di lorong. Ada sesuatu hal penting yang harus aku lakukan, jadi kali ini aku tidak bisa menunggu sampai keadaan tenang.
Aku bukan sedang menuju kantin, tapi menuju kelas 8-G. Di sana aku ingin menemui gadis yang selama ini aku rindukan, yaitu Susan. Aku tidak tahu apakah dia ada di sana atau sedang pergi bekerja, tapi setidaknya aku coba dulu ke sana. Kalau memang ada, maka itu keberuntunganku. Tapi kalau ternyata tidak ada, aku akan melakukanya besok. Besok ternyata tidak ada juga, maka aku akan terus melakukannya sampai bisa bertemu dengannya.
Aku harus mengatakan sesuatu kepada Susan, secepatnya. Kalau tidak, maka masalah ini tidak akan pernah terpecahkan. Mungkin bisa saja apa yang dikatakan Dimas terjadi, yaitu aku tidak bisa bertemu dengan Susan selamanya. Aku tidak mau itu.
"Filk!"
Aku pun menghentikan langkahku, karena mendengar panggilan itu. Lalu aku melihat ke sampingku, dapat dilihat Susan datang menghampiriku.
"Filk, ada yang ingin aku katakan," ucap Susan tanpa membiarkanku bertanya soal kedatangannya dulu. "Aku... itu... Bagaimana bilangnya, ya..."
Susan pun menghentikan kalimatnya sambil memalingkan kepalanya, sepertinya dia malu dan bingung untuk menyampaikan apa yang ingin dia katakan. Kira-kira apa yang ingin dia katakan, ya?
Ah, sekarang bukan saatnya untuk diam! Aku harus segera mengatakan sesuatu kepada Susan!
"Susan, aku juga... aku juga ingin mengatakan sesuatu..."
"Eh, be-benarkah? La-Lalu, apa itu?"
"Ah, tapi kalau apa yang ingin kau katakan itu penting sekali, jadi kau saja duluan yang mengatakannya."
"Ti-Tidak... ini tidak terlalu penting, jadi Filk saja yang duluan. Pasti itu hal yang penting."
"Tidak, tidak terlalu penting, kok. Jadi, Susan saja yang duluan."
"Filk saja..."
"Susan saja..."
Aku pun tidak mendengar balasan dari Susan lagi, dia hanya diam menundukkan kepala. Begitu juga denganku, diam sambil menundukkan kepala.
(Woi, cepatlah kau saja yang mengatakannya duluan!) perintah Ilk tiba-tiba muncul. (Kalau dia yang duluan mengatakan yang ingin dikatakan, bisa saja nantinya kau jadi tidak bisa mengatakannya!)
"A-Aku tahu itu..."
Aku langsung mengatur napas, agar sedikit menghilangkan rasa gugup. Setelah terasa tenang, aku pun menatap Susan dengan mantap.
"Baiklah, aku yang duluan," ucapku membuat Susan menjadi melihat ke arahku. "Sebelum itu, ayo kita cari tempat yang sepi, supaya pembicaraan ini tidak terdengar oleh orang lain."
Kami pun pergi menuju belakang gedung sekolah, dekat gudang. Di sana tidak ada siapa-siapa, kecuali kami berdua.
"Susan, aku... aku ingin bekerja lagi denganmu," ucapku memulai pembicaraan. "Aku ingin membantumu lagi untuk menenangkan roh-roh penasaran. Aku akan memohon kepada Pak Steven agar bisa bekerja denganmu lagi. Maka dari itu, apakah kau tidak keberatan?"
"I-Itu... sebenarnya aku pun ingin mengatakan hal yang sama. Tadinya aku ingin memintamu agar bekerja denganku lagi... Ternyata kau ingin bekerja denganku lagi, syukurlah," balas Susan. "Hm, aku akan bicara dengan Pak Steven agar kau diizinkan bekerja denganku lagi."
"Baiklah, aku serahkan kepadamu. Oh iya, bukan hanya itu yang ingin aku katakan. Aku juga... ingin selalu bersamamu."
"Eh?" kaget Susan.
"Aku tidak ingin menjadi rekan kerjamu saja..."
"Ma-Ma-Ma-Maksudmu?! Ingin lebih dari sekedar rekan kerja?" tanya Susan dengan wajahnya yang sudah merah padam.
"Iya."
"I-I-I-Itu... ka-ka-ka... kau ingin aku me...me..."
"Iya, aku ingin kau menjadi temanku."
"Eh, teman?" tanya Susan, wajahnya seketika terlihat seperti biasa, namun ada ekpresi kaget bingung.
"Iya, teman. Aku ingin kau dan aku menjadi teman, tepatnya teman dekat. Agar kita bisa pergi sekolah bersama, makan siang bersama, atau bisa jalan-jalan di akhir pekan layaknya teman akrab."
Sebenarnya aku ingin mengucapkan menjadi pacar, bukan teman. Tapi karena terlalu malu, jadinya malah keluar kata teman. Yah, tidak masalah juga, terpenting tujuan utamaku agar bisa bersama dengan Susan bisa tercapai.
"Apa kau tidak keberatan dengan hal itu?"
"Iya... aku mau."
Rasanya aku ingin meloncat-loncat senang sambil berteriak 'hore' dengan lantang. Tapi, itu sangat memalukan, apalagi di depanku adalah Susan. Kalau dilihat oleh sepuluh atau bahkan seratus orang di saat aku melakukan hal yang memalukan, aku tidak keberatan. Tapi, kalau dilihat oleh Susan, lebih baik aku mati.
"Kalau begitu... mulai besok, kita berangkat sekolah bersama... Itu pun kalau kau mau."
"Iya, besok pagi aku akan datang ke rumahmu."
Aku langsung tersenyum senang mendengar itu. "Ah, apa kau sudah makan, Susan?!" tanyaku setelah sadar kalau waktu istirahat sebentar lagi selesai.
"Be-Belum... Saat bel istirahat, aku buru-buru keluar untuk menemuimu, jadi tidak sempat makan."
"Kalau begitu, ayo kita ke kantin!"
"I-Iya, ayo!"
Dengan ini, hubungan aku dengan Susan tidak terancam akan putus, bahkan sampai tidak bisa bertemu untuk selamanya. Selain itu, rasanya hubungan kami bahkan bisa terus berkembang sampai ke tingkat yang tinggi.
Yah, itulah yang akuharapkan. Tapi, aku terlalu lengah sampai tidak memikirkan kalau untuk pencapaian yang besar maka rintangannya pun lebih besar. Bahkan, rintangan itu bisa membuat pencapaian yang sudah didapatkan menjadi kandas.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro